Saturday, 23 December 2017

MAKALAH AKHLAK TASAWUF (HULUL)

BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
  Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
 Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.
 Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah.  
 Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagama, yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia.  
 Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah. 
 Manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang  sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul. 
 Dalam makalah ini, akan dibahas lebih jauh tentang hulul dalam khususnya dalam konsep Mansur Al Hallaj. Dan juga akan dijelaskan bagaimana pendapat para ulama tentang masalah hulul agar dalam mendalami masalah hulul kita tidak terjerumus kepada kesalahan pemahaman.

BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Sejarah Singkat Hulul
  Doktrin al-Hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad. Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
 Hulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulul berarti berhenti atau diam. Adapun secara harfiah dapat didefinisikan Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifatsifat kemanusiaannya melalui fana.
 Menurut Abu Nasral-Tusi dalam Al- Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Kalimat utuhnya: “Sesungguhnya Allah memilih jasad (tertentu)  dan menempatinya dengan  makna ketuhanan (setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”. Ini bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj.
 Menurut Abu Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulul dibangun di atas landasan teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari perkataan Ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkatan nas yang berarti manusia; sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya atthawasin.
 Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim ulama hingga ia terbunuh.

B.     Kedudukan dan Tujuan Hulul
  Al-Hulul berkedudukan paling tinggi dalam bertasawuf karena untuk melalui ini seorang yang bertasawuf harus terlebih dahulu melaui beberapa tingkatan atau tahapan sebelumnya yaitu: 
1.      Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll); 
2.      Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu;
3.      Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4.      Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Jika seseorang merasa mengalami wahdatul wujud (al-Hulul) dengan tanpa melalui tingkatan-tingkatan sebelumnya maka orang tersebut akan mendapat kesesatan.
 Al-Hallaj mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulul Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara, melibatkan emosi dan spiritual serta tidak fundamental dan permanen. 
 Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahat). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahat. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fana' dan al- nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lahut manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulul dari nasut Allah. 
 Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu, Hamka mengatakan, bahwa alHulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

C.     Konsep Ajaran Hulul Mansyur Al- Hallaj
1.      Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansyur Al Hallaj
   Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj. Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.
 Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari.
 Karena pengembaraannya  yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.  
 Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid alBaghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol. Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut alHallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.
 Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul.
 Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah.
2.       Konsep Hulul Mansyur Al Hallaj
   Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.
 Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.  
 Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebut al-lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut.  
 Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.
 Bersatunya antara Tuhan dan  manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman hulul.
 Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.  
  Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian.
 Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang  keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.
 Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang  tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash. 
  Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran alHallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan.
3.      Konsep Taraqi dan Tanazul dalam Hulul
  Taraqi menurut bahasa artinya adalah menaiki atau naik. Sedangkan dalam Tasawuf taraqi berarti usaha seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Dimana seorang sufi melalui maqam-maqam yang harus dilalui tergantung kepada ajaran yang ia tempuh. Sedangkan tanajul menurut bahasa adalah turun. Dalam tasawuf turun ini dimaknai dengan turunnya Alllah swt kepada tubuh tertentu ketika tubuh itu telah sempurna dalam melakukan usaha-usaha penyucian diri atau ketika jiwa itu telah suci. Kemudian Allah mendiami tubuhnya dan menjelma dalam tubuh tersebut. Akan tetapi kejadian ini hanya sementara tidak selamanya.
Perlu diketahui bahwasanya penyatuan atau hulul itu bukan antara ruh manusia dengan ruh Allah. Akan tetapi antara nasut Allah dengan lahut makhluk, karena menurut para sufi Allah itu memiliki sifat lahut dan sifat nasut. Begitu pula dengan manusia yang mempunyai sifat lahut dan sifat nasut. 

4.      Persamaan dan Perbedaan Hulul Kaum Nasrani tentang Nabi Isa dengan Pengalaman Hulul Al Hallaj
  Persamaan konsep hulul antara al-Hallaj dengan nabi Isa adalah mereka sama-sama mempercayai bahwa antara Ruh manusia denga sifat nasut Allah bisa bersatu, dan Allah bisa menjelma didalam tubuh manusia. Tidak bisa dielakkan juga bahwasanya al-Hallaj mengambil konsep hulul ini kepada kaum Nashrani.
Walaupun al-Hallaj mengambil konsep hulul kepada kaum Nashrani, akan tetapi ada perbedaan yang sangat fundamental antara keduanya. Pada kepercayaan kaum Nashrani, mereka berpendapat bahwasanya Allah telah mengambil tubuh nabi Isa dan menjelma dalam tubuhnya sehingga hilang sifat kemanusiaan dari nabi Isa dan Isa menjadi Tuhan. Dan sifat hulul pada ajaran Nashrani itu menyatakan bahwasanya hulul-nya Tuhan dalam tubuh nabi Isa bersifat tetap dan permanen untuk selamanya. 
Berbeda dengan hulul-nya al-Hallaj, pada hulul-nya al-Hallaj tidak menghilangkan sifat kemanusiaan al-Hallaj dan sifat kemanusiaannya itu tetap ada ketika dia tidak sedang mengalami hulul. Dan sifat hulul-nya tidak permanen hanya sementara saja dan itu pun dalam waktu yang singkat. Adapun dia mengaku sebagai Tuhan itu karena ungkapan-ungkapan yang keluar ketika al-Hallaj mengalami hulul, atau biasa disebut dengan syatahat. 

D.    Penjelasan Para Ulama Tentang Hulul
 Para Ulama berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan oleh al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada al-Hallaj karena berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan syatahat. Hal itu terjadi karena para Ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka tidak menyetujui konsep itu karena menurut para Ulama Manusia tidak mungkin bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin menempati manusia.
Selain itu juga mereka menganggap bid’ah tentang konsep tersebut, karena al-Hallaj mengambil konsep tersebut dari kaum Nashrani atau dari konsep Isa as.
Penolakan para Ulama terhadap konsep hulul yang disampaikan oleh al-Hallaj dan corak tasawufnya yang bersifat inklusif tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup al-Hallaj. Penolakan yang disampaikan lebih dikarenakan karena al-Hallaj mengambil konsep hulul dari agama Kristiani atau kaum Nashrani dan mencari kebenaran tidak hanya di dunia Islam akan tetapi diluar agama Islam juga dia mencari kebenaran. Mungkin ini adalah alasan dimana para Ulama tidak setuju dengan konsep tersebut dan kekhawatiran mereka terhadap kepercayaan al-Hallaj tentang Islam karena mungkin pemikiran dia terkontaminasi oleh ajaran-ajaran selain Islam dan ditakutkan dapat menghancurkan akidah dan kepercayaan umat Islam.
 Dalam tinjauan al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulul, ittihad atau wahdah al-wujud secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya Maryam sekaligus. Hulul dan wahdah al-wujud ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut.
 Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdah al-wujud jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulul dan wahdah al-wujud Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.
 Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lahut (Tuhan) menyatu dengan al-nasut (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan kekufuran. 
 Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulul dan ittihad adalah al-Munqidz Min adl-Dlalal dan al-Maqshad al-Asna Fî Syarh Asma’ Allah al-Husna. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihya ‘Ulumiddin.
 Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulul dan ittihad adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. 
 Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayat (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.
 Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah.


BAB  III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 1. Hulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulul berarti berhenti atau diam. Adapun secara harfiah dapat didefinisikan Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifatsifat kemanusiaannya melalui fana.
 2. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu, Hamka mengatakan, bahwa alHulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
 3. Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.  Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat.
 4. Persamaan konsep hulul antara al-Hallaj dengan nabi Isa adalah mereka sama-sama mempercayai bahwa antara Ruh manusia denga sifat nasut Allah bisa bersatu, dan Allah bisa menjelma didalam tubuh manusia. Tidak bisa dielakkan juga bahwasanya al-Hallaj mengambil konsep hulul ini kepada kaum Nashrani.
 5. Para Ulama berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan oleh al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada al-Hallaj karena berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan syatahat. Hal itu terjadi karena para Ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka tidak menyetujui konsep itu karena menurut para Ulama Manusia tidak mungkin bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin menempati manusia.

B. Saran-saran
  Sebagaimana telah kami uraikan diatas, begitu panjang tentang akhlak seorang guru. Dari uraian tersebut diharapkan bisa menambah pengetahuan kita tentang akhlak sorang guru.
 Akan tetapi, masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Besar harapan kami terhadap kritik dan saran serta bimbingan khususnya dari dosen agar makalah ini menjadi lebih bermanfaat bagi kita semua.






DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab. 2006. Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif alQur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cetakan VIII.

Harun Nasution. 1973. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Azyumardi Azra, et. Al., 2002. Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X.

M. Abd. Hadi W., dalam pengantar Saleh Abdul Sabur. 1976. Tragedi al-Hallaj. Bandung: Pustaka.

Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

Nata Abuddin, Drs., H., MA. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada.

Admin. 2010. Makalah Al- Hulul Dalam Tasawuf  (online)  http://bamumin.wordpress.com/2010/09/03/makalah-al-hulul-dalam-tasawuf/ Jum’at, 13 Mei 2011

Admin. 2007. Abu Mansyur Al Hallaj adalah Sufi yang Membawa Konsep Hulul dalam Tasawuf (online)  http://pedangkebajikan.blogspot.com/ 2007/08/abu-yazid-al-busthami-abu-mansur-al.html Jum’at, 13 Mei 2011.



No comments:

Post a Comment

Entri Populer