Relasi antara Iman dan Ilmu
Pertanyaan seputar
Pencipta, ma’âd (eskatalogi) dan berbagai jalan yang menuntun
manusia kepada kebahagiaan dan hal-hal yang berkenaan dengannya yang
menerangkan masalah tersebut secara mendetail (baca: wahyu) merupakan pertanyaan-pertanyaan
eksistensial, yang menurut Hakim Ilahi Sabzawari, apabila manusia lari (escape)
darinya, hal itu tidak akan membiarkannya tenang dan diam, tetapi justru
akan senantiasa mengusik dan menganggu kuriositas dan nurani dalam dirinya.
Lantaran keberadaan dan ketiadaan adalah sebuah fenomena yang saling
kontradiktif satu dengan yang lain, karena itu salah satu di antara keduanya
apakah ia benar atau salah.
Cabang ilmu
pengetahuan yang concern dengan pencarian dan
penyelidikan ini adalah filsafat pertama (falsafah al-ula). Kendati
ekstasi syuhudi (disclosure) dalam kaitannya
dengan realitas-realitas ini adalah memadai untuk memberikan kepuasaan terhadap
“kerewelan” kuriositas seorang arif, hingga hal ini berpindah menjadi sebuah
kerangka konseptual dan menerangkannya dalam bentuk argumen-argumen rasional;
sebab selain itu ia akan gagal menyuguhkan penilaian-penilaian kognitif dan
konseptual (nazhari) untuk meyakinkan orang lain. Oleh karena
itu, orang yang membatasi berbagai makrifat hanya dalam kerangka syuhudi, tanpa
sadar ia telah merobohkan bangunan dan menggoyahkan tatanan tauhid, lantaran
tidak tersedia lagi jalan untuk memberikan petunjuk bagi orang lain dan
tiadanya pembelaan terhadap penalaran (istidlâl, reasoning) terhadap
muatan-muatan makrifat. Dengan kata lain, jika akal tidak memainkan peran
apapun dalam konsep sentral ajaran-ajaran agama serta pengalaman mistik
merupakan kriteria kebenaran satu-satunya dalam hal ini, pembelaan rasional
terhadap iman menjadi tidak relevan. Lantaran tatkala kriteria rasionalitas
yang merupakan common language di antara seluruh manusia,
dipandang sia-sia dan tiada guna, setiap orang akan memiliki hak klaim religius
yang disenanginya, dan akibatnya sebagai seorang yang mengalami pengalaman
mistik boleh jadi memberikan laporan ihwal banyaknya keberadaan tuhan-tuhan (polytheism),
dan yang lainnya mengajak kepada tauhid (monotheism).
Hasil dari
agnostisme atau fideisme yang tidak menaruh kepercayaan terhadap akal dan tidak
reliabelnya ilmu hushuli ”acquired
knowledge” —sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ja‛far al-Sadiq As,
dalam percakapannya dengan seorang ateis yang dinukil oleh Hishām ibn al-Hakam
— pintu gerbang menuju theisme akan tertutup dan ajakan iman kepada Tuhan akan
kehilangan relevansinya. Hishām meriwayatkan bahwa seorang ateis bertanya
kepada Imam Ja‛far al-Sadiq As tentang Tuhan. Imam
menyebutkan sifat-sifat tsubutiyah (afirmasi) dan salbiyah
(negasi) yang dimiliki oleh-Nya dan mengilustrasikan-Nya sebagai Tuhan yang
patut dan layak mendapatkan sembahan dan ibadah manusia secara mutlak. Ia
berkata, “Ucapanku ‘Allah’ bukan merupakan sebuah
penegasan atas huruf-huruf ini, ‘alif,
lām, hā’; sebaliknya aku bermaksud extensi atau
instanta (misdāq) dari-Nya yang merupakan Pencipta segala
sesuatu dan manusia adalah ciptaan-Nya. Huruf-huruf ini memberikan indikasi
terhadap-Nya dan Dia adalah fâil (agen) yang disebut
sebagai Allah, Mahakasih, Mahasayang, Omnipresence (ada
dimana-mana), dan nama-nama yang serupa dengannya; Dia adalah “Tuhan”.Ateis itu
menjawab: “Kami tidak temukan sebuah konsep selain sebuah penciptaan.” “Jika
engkau tidak berkata demikian,” jawab Imam, “Maka hal itu tidak menuntut kami
untuk meyakini pada satu Tuhan. Kami belum berkewajiban meyakini sesuatu yang
belum terkonseptualkan, namun sebaliknya, kami berkata, segala sesuatu yang
dicerna oleh panca indra adalah sesuatu yang fisikal, oleh karena itu, apa yang
ditemukan dan dikonseptualkan oleh panca indra adalah sebuah artifact, dan
Pencipta harus dibuktikan.”[1]Pada percakapan di
atas, Imam pertama kali menjelaskan apa yang dimaksud dengan nama-nama ini dan
sifat-sifatnya adalah realitasnya dan instanta eksternalnya (al‑misdāq
al‑khārijī).
Dalam menyanggah penjelasan Imam, si ateis itu mencoba
memblok media debat dan dialog dan menyebutkan bahwa konsep-konsep tidak
merepresentasikan realitas dan apa yang lahir dalam benak dan pikiran kita
adalah artifak-artifak dan kreasi-kreasi pikiran kita sendiri. Dalam
menjawab sanggahan itu, Imam As berkata bahwa apabila hal itu benar adanya,
maka keharusan keyakinan pada tauhid (monotheism) akan menjadi
absurd. Lantaran tauhid (monotheism) mewajibkan
manusia untuk meyakini sesuatu yang aktual, eksternal dan Tuhan esa yang tidak
terfantasikan; sementara pikiran-pikiran manusia merupakan khayalan dan fantasi
dari imajinasinya yang tercipta dalam kondisi tertentu dan akan sirna pada
kondisi yang lainnya. Oleh karena itu, bagaimana seseorang dapat hidup dalam
tawanan konsep-konsep dan tidak memandang kebenaran keesaan (tawhīd)
Tuhan dan nama-nama-Nya terindah yang diwajibkan untuk percaya dan yakin
kepada-Nya? Setelah menunjuk konsekuen (tâli) yang keliru dari
penegasan sang ateis, Imam As menyuguhkan sebuah argumen rasional untuk
membuktikan wujud Tuhan dan memandang rasional argumen, yang melacak keberadaan
suatu Pencipta non-indrawi, yang memadai untuk tujuan ini.
Pertanyaan ihwal keberadaan Tuhan, jawabannya merupakan
perkara yang sangat penting dalam membentuk identitas manusia dan bagaimana ia
memandang dunia, merupakan sebuah pertanyaan yang bersemayam dalam hati dan
jiwa manusia dan tidak dapat terpuaskan dengan sesuatu yang lain kecuali dengan
keyakinan. Tuhan dan hari kiamat bukan merupakan perkara yang “tidak merugikan
orang yang tidak mengetahuinya; dan tidak menguntungkan orang yang mengetahuinya.”[2]
Sebaliknya, keduanya merupakan realitas, yang mana pengetahuan ihwalnya
merupakan “berita agung (nabai’ al-azhim)”[3]
dan lalai terhadapnya sangat berisiko dan fatal. Bahkan kendatipun sekiranya
keberadaan hari kiamat tidak benar adanya, tapi masalah yang sangat risky
di sini adalah kebahagian sentosa atau penderitaan abadi. Oleh karena itu, akal
praktis (al-‛aql al-‛amalī) mewajibkan kita untuk
mengantisipasinya meskipun sekiranya hal tersebut kecil kemungkinannya
untuk terjadi. Seruan akal praktis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam
al-Sādiq dalam menghadapi ‛Abdul Karim ibn Abī al-‛Awjā,[4]
tidak menjamin seseorang untuk menolak doktrin ini sebagai sesuatu yang tidak
bermakna dan menolaknya dari segala jenis perenungan.
Ajaran Sophisme dan Penafian Kesepadanan
antara Ilmu dan Iman Para pemikir yang terpengaruh oleh ajakan sophisme laten
atau terbias oleh pemikiran skeptis terbuka abad kiwari, tertinggal dari
pengetahuan rasional tentang realitas metafisis dan ajaran-ajaran agama.
Terlebih, dalam membela ideologi inderawi dan cabang korup ideologi empiris,
mereka dengan tergesa-gesa menunjukkan dengan jelas penghinaan terhadap
filsafat dan pikiran-pikiran beradab yang dibentengi oleh taman akal dan diairi
oleh siraman wahyu. Ironisnya, sementara
orang seperti ini sangat tenggelam dalam pembahasan-pembahasan konseptual dan
bergantung pada segala sesuatu yang internal pada ranah pemikiran, ia
melancarkan serangannya pada narasi dan petunjuk yang diberikan oleh
konsep-konsep rasional yang menuntun ke arah realitas eksternal dan
doktrin-doktrin agama. Penafian dan pengingkaran kesepadanan antara iman dan
akal, yang bersifat umum dalam filsafat agama Barat merupakan paradoks yang
telah usang. Hal ini berdasar kepada bukti bahwa kebanyakan orang, yang
memiliki disiplin ilmu yang tinggi dan argumen terhadap doktrin-doktrin agama,
tidak memiliki komitmen apapun terhadap iman dan memamerkan sikap ateistik dan
kekufuran; dan pada sisi yang lain, kebanyakan orang-orang beriman tidak mampu
mendemonstrasikan dan mengusung argumen-argumen rasional keimanan mereka. Kecil
kemungkinannya wacana ini dapat menjadi jelas dari apa yang kita bahas dan kaji
dalam diskusi kita sebelumnya ihwal akal teoritis (al-‛aql al-nadharī)
dan akal praktis (al-‛aql al-‛amalī).
Berbagai proposisi
yang dibuat sebagai hasil dari sebuah hubungan yang diformulasikan dalam
benak antara subyek-subyek dan predikat-predikat proposisi tersebut, yang
mengekspresikan kopulanya, dan adalah akal teoritis (al-‛aql
al-nadharī) yang menegaskan hubungan-hubungan ini. Iman merupakan
nexus (yang menghubungkan) jiwa dan objek persepsinya; dan akal praktis
merupakan agen, yang membangun hubungan ini. Pengetahuan teoritis manusia
berkaitan dengan sensasi (ehsās), memori (hāfidha),
imajinasi (khiyāl), estimasi (wahm),
dan rasionasi (ta‛aqqul); dan iman dan kecendrungan-kecendrungan
praktisnya, dengan seluruh level yang dapat diterima adalah hal yang
proposional bagi persepsi teoritisnya. Namun, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, dengan membedakan antara iman dan ilmu – yaitu, pada level-level
dimana pemisahan antara iman dan ilmu dapat dipahami dan dipersepsikan – akan
muncul empat kelas, masing-masing dari empat kelas ini termasuk di dalamnya
subkelas-subkelas. Keempat kelas ini adalah orang beriman yang berilmu, orang
kafir yang berilmu, orang beriman yang jahil, orang kafir yang jahil.
Dapat disimpulkan
dari wacana ini bahwa pemisahan antara iman dan ilmu yang terjadi pada
level-level tertentu pada perjalanan religius seseorang tidak mengindikasikan
sebuah pemisahan lantaran inkapasitas akal dalam mengetahui ajaran-ajaran agama
dan realitas-realitas metafisis. Sebaliknya, dari poin ini, dapat dilihat bahwa
orang-orang yang tidak memiliki kognisi syuhudi terhadap realitas, bagi mereka
akal hanya merupakan sebuah jalan untuk menentukan kebenaran beragam iman
agama. Karena apabila akal praktis (practical reason, al-‛aql
al-‛amalī) mengadopsi persepsi kebenaran yang telah ditentukan,
iman agama dalam perkara ini merupakan sebuah iman yang memiliki konsep yang
bermartabat dan dapat dipertahankan. Dan jika iman diproporsikan kepada kebenaran
yang belum diotentikasi maka iman ini merupakan iman yang buta. Lantaran
dengan alasan yang sama, jika realitas masyhur bagi seseorang, ia masih belum
memiliki iman terhadapnya, pengetahuannya masih berasosiasi dengan kekafiran
dan kekaburan. Dan jika realitas tidak diketahui sehingga tidak diimani,
kejahilan ini teracik dengan kekufuran dan penyimpangan. Iman merupakan
tendensi jiwa dan kecendrungan ini apabila ia sahih (valid) dan benar maka ia
bergantung kepada perkara-perkara sahih dan apabila ia salah maka ia bergantung
kepada perkara-perkara keliru dan batil. Oleh karena itu apabila jalan untuk
menentukan benar dan salahnya masalah-masalah metafisis dan doktrin-doktrin
agama masih tertutup dengan asumsi bahwa rumitnya realitas dan vitalnya masalah
keimanan, penilaian ihwal benar atau tidaknya iman seseorang terhadap
tuhan-tuhan yang beragam atau terhadap Tuhan yang Esa dan Perkasa menjadi tidak
mungkin adanya.
Keniscayaan
Eksistensial antara Iman dan Akal dalam Tradisi-tradisi Islam
Dengan dalil kekuatan
yang dimiliki oleh akal dalam mengenal dan mengetahui proposisi-proposisi agama
dan sebagai konsekuensinya pengaruh ilmu dalam menentukan dan menilai iman yang
benar dan sahih, terdapat keniscayaan eksistensial antara ilmu dan iman yang
benar, bukan keniscayaan non-eksistensial. Dan atas dasar ini dalam banyak
teks-teks agama (Kitab dan Sunnah), iman dan ibadah setiap orang termasuk ke
dalam ranah iman dan ilmu, misalnya:“Sesungguhnya hamba (abid) yang paling
takut kepada Allah adalah kaum ulama.”(Qs. Fatir
[35]:28) “Tidak beriman seorang Mukmin sehingga
ia gunakan akalnya.”[5]Dan pada sebagian
teks-teks agama yang berkenaan dengan derajat iman dan ibadah, ia berada pada
ranah derajat ilmu dan makrifat setiap orang. “Abid yang jahil adalah ibarat
seekor keledai yang berputar namun tidak memiliki tujuan.”[6]“Ilmu dan akallah
yang memberikan nilai dan harga setiap orang.”[7]“Agama seseorang
adalah sekadar dan seukuran ilmunya.”[8]Demikian juga, dalam
hadis-hadis disebutkan bahwa pengetahuan yang tidak disertai dengan iman
dan amal maka ia menjadi objek cemoohan. “Jantung api pada Hari
Kiamat adalah pada setiap orang kaya yang kikir mendermakan hartanya kepada
orang-orang fakir dan pada setiap orang berilmu yang menjual agamanya kepada
dunia.”[9]“Hamba yang paling
keji di hadapan Allah adalah ulama yang bejat (fâjir).”[10]“Betapa banyak ulama
yang jahat dan hamba yang jahil! Maka jauhilah kejahatan dari kaum ulama
dan kejahilan dari para hamba.”[11]Riwayat yang disebutkan belakangan
disebutkan pemisahan antara ilmu dan iman serta celaan terhadap ilmu yang tidak
disertai dengan iman, juga celaan iman dan penghambaan yang tidak dibarengi
dengan ilmu. Serta celaan terhadap orang-orang yang menjauh darinya. Pada
sebagian riwayat yang lain disebutkan bahwa sebaik-baik teman seperjalanan bagi
iman adalah ilmu. “Ilmu merupakan seorang teman karib bagi iman.”[12]Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa
sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang divisualkan dalam perbuatan dan
didemonstrasikan melalui panca indera. “Ilmu yang paling
berguna adalah ilmu yang diamalkan.”[13]“Sebaik-baik ilmu
adalah yang disertai dengan amalan.”[14]“Semulia-mulia ilmu
adalah yang teraplikasikan lewat panca indera dan anggota badan.” [15]Dan dengan demikian,
seburuk-buruk ilmu adalah ilmu yang tidak dibarengi dengan amal dan
perbuatan.“Ilmu tanpa amal adalah kekejian.”[16]“Ilmu yang tercela
adalah ilmu yang tanpa perbuatan.”[17]“Seburuk-buruk ilmu
adalah yang tidak diamalkan.”[18]“Ilmu tanpa amal merupakan hujjah
Tuhan bagi para hamba.”[19]
Hadis-hadis
yang telah disebutkan menunjukkan bahwa pemisahan dan penafian keniscayaan
negatif antara ilmu dan amal merupakan keniscayaan eksistensial. Artinya iman
yang benar, sahih, dan kokoh hanya dapat terwujud ketika ia berurusan
dengan perkara nyata dan faktual, serta senantiasa bersama dengan makrifat yang
hakiki, sebab iman tanpa makrifat dan pengetahuan sahih, sebagaimana iman
tanpa makrifat dan pengetahuan, adalah berbahaya dan beresiko. Keniscayaan
eksistensial antara iman dan pengetahuan bermakna bahwa derajat tertinggi iman
tanpa derajat-derajat tinggi ilmu, sekali-kali tidak akan pernah terwujud. Maka
dari itu dalam mencari iman yang benar tidak terlepas dari menuntut ilmu dan
pengetahuan yang benar. Untuk menjasadkan realitas ini, sekali-kali tidak dapat
bersandar kepada iman yang memassa dengan orang-orang bodoh dan kefasikan yang
melimpah yang dilakukan oleh orang-orang berilmu.
Dari ketidakmampuan para filosof dalam membuktikan wujud
Tuhan tidak memberikan pembenaran atas pengusiran rasionalitas. Penegasan
kitab-kitab samawi telah menghadirkan apa yang disebut sebagai pengalaman
agama, eksistensi Tuhan tidak lain hanyalah sekedar sensasi, atau bahasa agama
yang masing-masing tan-makna atau transrasional sifatnya. Kendati semua
orang yang lebih berakal dan lebih berilmu meniscayakan kuatnya intensitas iman
dan keberagamaannya, namun tetap saja terdapat orang-orang pandai ateis, hal
ini tidak mengindikasikan bahwa ilmu itu adalah tercela, duniawi dan
menyesatkan, lantaran contoh-contoh pemisahan dan keniscayaan non-eksistensial
antara iman dan ilmu tidak menafikan keniscayaan eksistensial yang terdapat di
antara keduanya.
Orang Beriman yang Dungu dan Orang Dungu yang Beriman
Kurangnya perhatian terhadap keniscayaan eksistensial
antara iman dan akal telah menggiring sebagian orang berpandangan bahwa
akal dan ilmu hushuli sebagai sesuatu yang cacat atau sekedar pelengkap saja
untuk menegaskan doktrin-doktrin agama. Mereka menyarakan penggunaan akal –
yang diterangkan dengan misal, “Keberagamaan seseorang adalah bergantung dengan
prosorsi akalnya”[20] merupakan kriteria
pembenaran atas iman seseorang – yang terinspirasi oleh semangat fanatisme dan
puritansime. Tren ini merefleksikan kedudukan teologi kontemporer Barat.
Setelah bertekuk lutut di hadapan sensasionalisme dan mengucapkan selamat
tinggal terhadap rasionalitas, dan berpaling dari agama yang sepadan secara
total dengan prinsip-prinsip rasionalitas, selanjutnya ia (teologi kontemporer
Barat ini) bermaksud hendak membela agama sebagai sebuah dimensi dari peradaban
manusia. Nilai filosofis filsafat empirik dalam menyuguhkan proposisi-proposisi
agama dan realitas-realitas metafisis dan bahkan dalam menyingkap realitas
fisis, tidak lain bersandar pada ajaran sophisme dan skeptisisme. Para
teolog yang mengkonsumsi ajaran ini, dalam melakukan pembelaan terhadap
kecendrungan-kecendrungan religius tidak lain kecuali mengandalkan
perasaan-perasaan empirisnya yang diadopsi dari ajaran ini. Para teolog yang
bersandar kepada media indrawi dan persepsi ini dan mengingkari jalinan (nexus)
antara iman dan akal, mendidik kaum mukmin yang dungu dan orang dungu yang
beriman. Lantaran kaum mukmin semacam ini jika ia kokoh memelihara imannya maka
ia akan memberikan fatwa bahwa akal harus dipinggirkan dalam meraup nilai-nilai
makrifat yang dalam dan tinggi, dan atau memberikan justifikasi terhadap ajaran
Materialisme dan Sophisme serta menyebarluaskan kedua ajaran ini. Serta
mengkritik dan mencomooh para pemikir dan cendekiawan ulung yang beriman namun
tetap memberikan peran maksimal terhadap akal dalam menyingkap tirai-tirai
makrifat.
Tatkala akal dipandang sebagai sebuah media yang tidak
patut untuk memahami ajaran-ajaran agama, dan proposisi-proposisi metafisis
ditilik sebagai sesuatu yang samar dan tan-makna, maka peran pengetahuan untuk
membedakan antara ajaran agama yang benar dan yang lancung menjadi sangat
minim. Bahkan, dalam kasus ini, akan terdapat perbedaan yang kecil antara iman
kepada Tuhan dan iman kepada Iblis; dan konsekuensinya iman tetap menjadi buta
dan kebingungan dalam memilih objek-objek sembahan di antara sembahan-sembahan
yang disuguhkan oleh agama-agama yang beraneka ragam corak dan bentuknya. Dalam
kasus ini, dapat disebutkan bahwa duka yang paling mengenaskan yang menimpa
iman adalah pengingkaran kemampuan pembelaan rasional yang dapat dilakukannya.
Pengetahuan pertama adalah Mengenal Tuhan
Jika diakui bahwa akal dapat tunduk (dapat
digunakan untuk mengenal) terhadap Tuhan Sang Pencipta – sebagaiamana yang
telah digemakan oleh hadis, “Pengetahuan pertama adalah mengenal Tuhan,”[21]— kelanjutannya
adalah akal memiliki kapasitas untuk membedakan antara doktrin agama yang benar
dan yang lancung; dan oleh karena itu, disiplin ilmu yang paling penting adalah
cabang ilmu, yang diterapkan untuk kajian ini. Imam Ali As bersabda,
“Pengetahuan yang paling wajib adalah pengetahuan yang menuntunmu kepada
kebaikan dari imanmu, dan menerangi kekeliruanya.”[22]Apabila akal, yang
membangun kemanusiaan seorang manusia dan dimiliki oleh setiap orang, memiliki
kapasitas untuk menimbang dan menilai validitas (yang benar) dan invaliditas
(yang keliru) ajaran-ajaran agama, maka aplikasinya terhadap iman bukan saja
tidak relevan, akan tetapi ia harus dipandang sebagai sebuah media yang dapat
diandalkan untuk menuju kepada kebahagiaan, sebagaimana yang diindikasikan oleh
hadis berikut ini: “Akal merupakan rasul yang benar.”[23]“Akal merupakan
seorang karib sejati.”[24]“Sahabat setiap orang
adalah akalnya, dan musuh setiap orang adalah kejahilannya.”[25]Dalam merefleksikan keutamaan-keutamaan
akal, Imam As bersabda, “Allah yang Mahasuci, tidak menganugerahkan sesuatu
yang paling baik kepada hamba-Nya melebihi anugerah akal.”[26] [bersambung]
Catatan
Kaki
[1]
Al-Shadūq, Abu Ja‛far Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Bābawaih. Al-Tawhid. (Tehran : Maktabat al-Sadūq, 1969), hal. 245.[2] Al-Kulainī , Abu Ja‛far
Muhammad ibn Ya’qūb. Al-Usūl min al-Kāfī.
(Tehran: Dār al-Kutub al-Islamiya, 1987), jil. 1, 23. [3] (Qs. 78: 2)[4] Al-Kulainī , Abu Ja‛far
Muhammad ibn Ya’qūb. Al-Usūl min al-Kāfī.
(Tehran: Dār al-Kutub al-Islamiya, 1987), jil. 1, 78. [5] Āmidī , ‛Abd al-Wahīd ibn Muhammad al-Tamīmī.
Terjemahan dan tafsir oleh Jamal al-Dīn Muhammad Khwānsārī. Syarh
Ghorar al-Hikam wa Dorar al-Kalim. (Tehran:
Tehran University Publications, 1986), jil. 6, hal. 70.[6]
ibid.
jil. 2, 125.[7]
ibid.
jil. 6, 476.[8]
ibid.
jil. 4, 313.[9]
ibid.
jil. 6, 240.[10]
ibid.
jil. 2, 431.[11]
ibid.
jil. 4, 556.[12]
ibid.
jil. 6, 159.[13]
ibid.
jil. 2, 386.[14]
ibid.
jil. 2, 420.[15]
ibid.
jil. 2, 422.[16]
ibid.
jil. 2, 8.[17]
ibid.
jil. 3, 107.[18]
ibid.
jil. 4, 170.[19]
ibid.
jil. 4, 351.[20]
ibid.
jil. 4, 313.[21]
Al-Shadūq, Abu Ja‛far Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Bābawaih. Al-Tawhid.
(Tehran: Maktabah al-Shadūq, 1969), hal. 34. [22]
Āmidī, Abd al-Wahīd ibn Muhammad al-Tamīmī. Terjemahan dan syarah
(ulasan) oleh Jamal al-Dīn Muhammad Khwānsārī. Syarh
Ghurar al-Hikâm wa Durâr al-Kalîm. (Tehran: Tehran University
Publications, 1986), jil. 1, hal. 61.[23]
ibid.
jil. 1, 70. [24]
ibid.
jil. 1, 85.[25] Al-Kulainī XE “Kulainī” , Abu Ja‛far Muhammad ibn
Ya’qūb. Al-Usūl min al-Kāfī. (Tehran XE
“Tehran” : Dār al-Kutub al-Islamiya, 1987), jil. 1, 11. [26]Āmidī,
Abd al-Wahīd ibn Muhammad al-Tamīmī. Translation and commentary by Jamal
al-Dīn Muhammad Khwānsārī. Sharh Ghorar al-Hikam wa Dorar al-Kalim. (Tehran: Tehran University Publications, 1986), jil. 6,
80.Tulisan ini pernah dimuat pada site www.wisdoms4all.com dan www.albalaghalmobeen.net
No comments:
Post a Comment