Wednesday, 3 January 2018

MAKALAH USHUL FIQH (IJMA')

   
   A.    IJMA’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Secara terminologi, menurut ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”. Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai dalil hukum. Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah (ijma’ ahl al-madinah). Menurut Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka. Menurut jumhur, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.

   B.     Dalil Keabsahan Ijma’
QS. Al-Nisa`: 115 وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى و َيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا  
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin , Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Ayat tsb mengancam golongan yang menentang Rasul Saw dan mengikuti jalan orang2 non-mukmin. Artinya, wajib hukumnya mengikuti jalan orang2 mukmin, yaitu mengikuti kesepakatan (ijma’) mereka. Hadis Rasulullah Saw riwayat Abu Daud dan Tirmizi:
عن ابن عمر أن رسول الله ص م قال إن الله لايجمع أمتي اَو قالَ أمةَ محمدٍ ص م على ضلالة
Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad Saw, atas kesesatan.
   C.    Landasan (Sanad) Ijma’ dan Contoh Ijma’  
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil jika dalam pembentukannya mempunyai landasan, yaitu Quran dan Sunnah. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan , walau tidak disebut tegas dalam QS. Al-Nisa`: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ ...
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup anak dan juga cucu perempuan. Contoh ijma’ yang disanadkan atas sunnah, kesepakatan para ulama bahwa nenek menggantikan hak ibu, jika ibu kandung si mayit sudah wafat, dalam hal mendapat harta warisan . Dalam hadis disebutkan, ketika ada nenek datang bertanya kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar bertanya kepada khalayak, dan Mughirah lah yang bisa memberitahu bahwa Rasul pernah memberi nenek 1/6 dari harta warisan cucunya.
عن ابن عمر قال جاءت الجدة أمُّ الأمْ وأمّ الأب الى ابي بكر فسأل الناسَ فشهدَ المغيرةُ بن شعبةَ أنّ رسول الله ص م أعطاها ( رواه الترمذي )
   D.    Macam-macam Ijma’
 Ijma’ sharih adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan hukum. Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Karena diamnya sebagian ulama belum tentu menandakan setuju, bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung penguasa, atau boleh jadi disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid karena dianggap lebih senior. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum, karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai persetujuan. Jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara tegas menentangnya. IJMA’ SHARIH (TEGAS) IJMA’ SUKUTI (DIAM)
Dilihat dari segi bahasa, Ijma’ berarti berkumpul, sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan Ijma’ menurut Hukum Islam ialah:
اتّفاق مجتهدى أمّة محمّد صلّى اللهعليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الأعصار على أمر من الأمور
Artinya: “Kesepakatan pendapat para mujtahid Umat Nabi Muhammad SAW, setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Macam-macam Ijma’ :
Ditinjau dari segi caranya, ijma’ itu ada dua macam, yakni:
  1. Ijma’ Qouli.
 Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu persitiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas, baik melalui lisan, perbuatan atau tulisan. Ijma’ ini juga disebut dengan Ijma’ Shorikh atau Ijma Qath’i;
  1. Ijma’ Sukuti.
Yakni secara diam-diam. Artinya sebagian para mujtahid suatu masa menyampaikan pendapatnya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa dan Qadla’ (memberi keputusan), sedangkan sebagian mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai persetujuan atau perbedaannya.
Ditinjau dari segi waktu dan tempatnya, ijma’ ada beberapa macam, yakni:
  1. Ijma’ Ummah.
Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu;
  1. Ijma’ Shohaby.
Yaitu kesepakatan semua ulama’ sahabat dalam suatau masalah;
  1. Ijma’ Ahli Madinah.
Yaitu kesepakatan ulama’-ulama’ Madinah dalam suatu masalah;
  1. Ijma’ Ahli Kufah.
Yaitu kesepakatan ulama’ulama’ Kufah dalam suatu masalah.
  1. Ijma’ Khalifah.
 Yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dalam suatu masalah;
  1. Ijma’ Syaikhoni.
Yaitu kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab dalam suatu masalah;
  1. Ijma’ Ahli Bait.
Yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (Keluarga Rasul).
Kedudukan Ijma’ Segai Dasar Hukum Islam
Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ujma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah:
QS. An-Nisa: 59.
يا أيّها الّذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرّسول وأولى الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”.
Rasulullah SAW bersabda:
لا تجتمع أمّتى على الَضّلالة (رواه ابن أبى عاصم)
“Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”.
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”.
Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.



Contoh-Contoh Pelanggaran Terhadap Ijma Alaihi Wa Sallam
MUKADDIMAH
Ijma' merupakan dasar hukum Islam nan ketiga setelah Al-Qur`ân & Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantara dalilnya yaitu firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa nan menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya & mengikuti jalan nan bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan nan telah dikuasainya itu & Kami masukkan ia ke dlm Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ`/4:115].
Berdasarkan ayat nan mulia ini, para ulama, semisal Imam asy-Syafi'i beristimbath (berkesimpulan) tentang adanya Ijma' dlm Islam. Karena dlm ayat ini Allah kAzza wa Jalla menyebutkan “barang siapa nan menentang Rasul” setelah hidayah datang kepadanya & dia tak mengikuti jalan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla tak hanya mengatakan barang siapa nan menentang Rasulullah setelah hidayah datang kepadanya. Disamping, dia menentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia juga tak mengikuti jalan kaum mukminin. Berdasarkan ini, maka kalimat:
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
menunjukkan adanya Ijma'.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam asy-Syafi'i & para imam lainnya, juga para ulama bahwa maksud kata “al-mu`minin” dlm ayat di atas ialah para sahabat. Oleh karena itu, Ijma' secara keseluruhan nan mungkin terjadi menurut para ulama' adalah Ijma' sahabat.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dlm risalah beliau al-'Aqidah al-Wasithiyah menjelaskan: “Ijma' merupakan dasar ketiga nan dijadikan sebagai sandaran dlm masalah ilmu & agama. Dengan 3 dasar inilah (yaitu, Al-Qur`ân, as-Sunnah, & Ijma'-red), ahlussunnah menimbang (mengukur) semua nan bersumber dari manusia, berupa perkataan & perbuatan, lahir & bathin, nan berkait dgn agama. “
Pernyataan “Ijma' secara keseluruhan hanya mungkin terjadi pada masa sahabat”, bukan berarti setelah mereka tak ada Ijma'. Akan tetapi, Ijma' para sahabat lebih mungkin terjadi, karena mereka belum tersebar ke berbagai kota serta belum banyak orang ‘ajam (non Arab) nan masuk Islam, juga belum ada firqah-firqah dlm Islam.
Sebagaimana Ijma' terjadi pada masa sahabat, juga Ijma' terwujud pada masa setelah masa sahabat. Ijma' mereka ini terjadi dlm berbagai permasalahan. Oleh karena itu, para ulama telah menulis beberapa kitab mengenai Ijma' ini. Seperti Imam Ibnul-Mundzir rahimahullah dgn kitabnya nan terkenal, yaitu Kitab al-Ijmâ. Manhaj` beliau rahimahullah sama dgn manhaj Ibnu Jarir ath-Thabari dlm mendefinisikan al-Ijma'.
Kemudian al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah nan menulis tentang Maraâtibul-Ijma' & menjelaskan apa-apa nan telah disepakati oleh para ulama dari kalangan para sahabat, tabi'in & tabi' tabi'in & seterusnya.
Singkat kata, seluruh ulama sepakat tentang adanya Ijma' dlm Islam. Ini bagian pertama nan harus kita ini ketahui.
Kemudian nan kedua: nan mereka jadikan dasar nan utama adalah Ijma' para sahabat, kemudian Ketiga, Ijma' para ulama. Yaitu kesepakatan mereka dlm suatu hal. Dan terkadang mereka berbeda pendapat, apakah sudah terjadi Ijma' ataukah belum ?
Ijma' juga dapat terjadi dlm disiplin ilmu tertentu. Misalnya, para muhadditsin memiliki Ijma' bahwa hadits
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
adalah hadits nan tak memiliki sanad sama sekali.
Ini merupakan Ijma' (kesepakatan) para muhadditsin (ulama ahli hadits). Mereka telah meneliti hadits terebut, namun tak menemukan sanadnya.
Begitu juga kesepakatan mereka bahwa hadits maudhu` (palsu), dha'îfun Jiddan (sangat lemah), mungkar, tak boleh dijadikan hujjah (landasan) secara mutlak, termasuk dlm fadhâ`il-a'mâl, targhib (janji) & tarhîb (ancaman). Ini Ijma' mereka. Mereka hanya berselisih terkait hadits nan lemah namun tak terlalu parah, bisakah dijadikan hujjah? Sebagian ulama mutâkhirin, seperti Imam Nawâwi, al- Hâfizh & Imam Suyûthi, mengatakan boleh hanya utk fadhâ`il-a'mâl saja, tak utk hukum, 'aqîdah & tafsir Al-Qur`ân.
Ijmâ' para ulama hadits ini, telah dilanggar oleh sebagian orang, atau kebanyakan orang di negeri kita ini ini, bahkan oleh orang nan tergolong terpelajar nan tak mengindahkan Ijmâ' para muhadditsîn. Buktinya, mereka sering membawakan hadits:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Atau membawakan hadits-hadits palsu, atau nan sangat lemah utk fadhâ`il-a'mâl. Mereka beralasan, hal ini boleh. Padahal para ulama telah mengisyaratkan, hadits-hadits nan bisa dijadikan hujjah dlm fadhâ`il-a'mâl itu tak terlalu lemah atau bukan hadits maudhû`. Bahkan saya pernah bertemu dgn salah seorang pelajar dari salah 1 perguruan tinggi di negeri kita ini ini & berdialog tentang permasalahan hadits nan boleh dipakai sebagai hujjah atau dibawakan. Kesimpulannya bahwa mereka tak mengerti atau tak mengetahui Ijma' para ulama. Yaitu kesepakatan mereka bahwa hadits-hadits maudhu` & sangat lemah tak boleh dijadikan hujjah dlm fadhâilul-a'mâl. Ini salah 1 contoh Ijma' para muhadditsîn.
Contoh lain,menurut para ahli bahasa Arab terdahulu telah Ijma' bahwa makna istiwa` nan terdapat dlm banyak firman Allah Azza wa Jalla, di antaranya:
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Allah-lah nan meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) nan kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy,…. [ar Ra'd/ 13:2].
Adalah secara hakiki sebagaimana nan Allah Azza wa Jalla firmankan. Istiwâ' adalah istiwâ' (bersemayam) nan telah diketahui maknanya sebagaimana dikatakan oleh Imam Mâlik. Istiwâ` tak bisa dimaknai dgn istaula (menguasai). Salah seorang ahli bahasa Arab, yaitu Imam Ibnul-A'rabi rahimahullah pernah ditanya tentang makna:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Beliau menjawab, sebagaimana nan Allah Azza wa Jalla firmankan, istiwa` yaitu bersemayam di atas Arsy-Nya secara hakiki. Lalu orang itu menyanggah dgn mengatakan bahwa maknanya adalah istaula. Maka Imam Ibnul-A'râbi menjawab: “Diamlah engkau Karena makna istaula adalah 2 nan berlawanan lalu salah satunya mengalahkan nan lain. Demikian, makna dialog antara Ibnul-A'râbi nan dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dlm kitab Ijtimâ`ul Juyûsyil Islâmiyah, yaitu Ijma' para ahli bahasa Arab terdahulu tentang makna istiwa`.
Muhammad bin an-Nadhr menceritakan: “Saya pernah mendengar Ibnul-A'râbi sang ahli bahasa mengatakan, Ibnu Abi Du'ad ingin agar saya mencarikannya pada sebagian bahasa Arab & makna bahasa Arab bahwa ada istawa` nan bermakna istaula. Maka saya katakan kepadanya, demi Allah, ini tak ada & saya tak akan mendapatkannya”. – dinukil dari kitab Ijtimâ`ul Juyûsyil Islâmiyah.
Tidak pernah dikenal dlm bahasa arab bahwa istiwa' maknanya istaula (menguasai). Sebagaimana perkataan Jahmiyah, Mu'tazilah, Asy'ariyyah & Maturudiyah & orang-orang nan mengikuti mereka. Nah, banyak sekali contoh-contoh Ijma' nan telah disalahi oleh kaum muslimin. Khususnya para pemimpin agama, lebih khusus lagi di negeri kita ini ini.
Saya akan memberikan contoh lain.
Pertama: Bahwa para sahabat telah Ijma' & mereka tak pernah berselisih dlm menetapkan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla nan Allah Azza wa Jalla telah sebutkan dlm Al-Qur`ân & disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada di antara mereka nan bermadzhab dgn madzhab tahrîf (merubah makna nan hak kepada makna nan bathil). Contoh, kalimat “wajah” dlm firman Allah Azza wa Jalla:
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dan tetap kekal wajah Rabbmu nan mempunyai kebesaran & kemuliaan. [ar-Rahmân/55:27].
Kata “wajah” dlm ayat di atas ditafsirkan dgn dzat. Sebuah penakwilan bathil nan pada hakikatnya adalah tahrîf (merubah), jika “wajah” diartikan dgn Dzat Allah. Para sahabat menetapkan wajah adalah wajah. Demikian juga dgn tangan, nuzulnya Allah Azza wa Jalla pada setiap sepertiga malam nan terakhir, sebagaimana hal ini terdapat dlm hadits shahîh, muttafaq 'alaih. (*1)
Allah Azza wa Jalla “bersemayam”, maksudnya bersemayam secara hakiki sesuai dgn keagungan & dzat-Nya. Para sahabat, orang Arab asli mengetahui makna ini & tak merubah. Tetapi ahli bid'ah, dari dulu & sekarang telah merubah makna nan haq ini ke nan bathil.
Kita sedang berbicara mengenai kaum muslimin di negeri kita, khususnya para tokoh agama nan mengikuti tahrîf nan dilakukan oleh Jahmiyah & Mu'tazilah. Contoh, salah seorang tokoh agama, Sirajuddin Abbas menulis buku I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah. Buku ini sangat terkenal & belasan kali dicetak ulang & beredar di Indonesia, Malaysia, & sekitarnya. Penulis buku ini telah merubah sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti tangan diartikan dgn kekuasaan; wajhu diartikan dgn dzat; Turun diartikan dgn turunnya rahmat Allah k & seterusnya. Tindakan ini jelas menyalahi Ijma' para sahabat.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah dlm kitabnya, I'lâmul-Muwaqqi'in, pada awal-awal jilid pertama menjelaskan, para sahabat tak pernah berselisih (sepakat) dlm menetapkan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Maka para ustadz & kiai nan melakukan tahrif saat menjelaskan nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla seperti ini, berarti telah mengikuti Mu'tazilah, Jahmiyah, & nan sepaham seperti kaum Asy'ariyah & Maturidiyyah.
Di pesantren-pesantren atau di sekolah-sekolah diajarkan bahwa sifat Allah Azza wa Jalla itu ada 2 puluh, padahal sifat & nama Allah Azza wa Jalla itu sangat banyak, tak terbatas, hanya Allah Azza wa Jalla nan mengetahuinya. Bahkan mereka membantah orang-orang nan mengikuti Al-Qur`ân & hadits shahîh & Ijma' para sahabat dlm menetapkan nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla serta menyematkan gelar pada mereka sebagai mujasssimah (orang-orang nan menjisimkan Allah Azza wa Jalla) atau musyabbihah (orang-orang nan menyerupakan Allah Azza wa Jalla dgn makhluk-Nya). Ucapan ini dikatakan langsung oleh Sirajudin Abbas dlm bukunya di atas .
Permasalahan ini merupakan permasalahan nan sangat besar, karena pembicaraan mengenai nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla merupakan bagian dari mentauhidkan Allah Azza wa Jalla. Kebanyakan kaum muslimin di Indonesia beraqidah seperti nan disampaikan oleh Sirajuddin Abbas, & sedikit di antara mereka nan mengikuti Ijma' para sahabat.
Apa nan mereka ajarkan, baik secara lisan maupun tulisan tentang nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla kebanyakan menyalahi Ijma' para sahabat. Perhatikanlah Bagaimana mereka telah melakukan tahrîf dlm masalah nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla ? Dan pembawa benderanya adalah Sirajuddin Abbas dlm tulisan-tulisannya. Kemudian diikuti oleh para tokoh agama, kiai & ustadz.
Mereka menyandarkan hal ini kepada madzhab Asya'irah. Madzhab Asya'irah bukan Abul-Hasan al-Asy'ari, karena beliau rahimahullah telah meninggalkan madzhab ini. Sebagaimana beliau rahimahullah jelaskan dlm al-Ibânah fi Ushulid-Diyanah. Namun anehnya, orang-orang Asy'ariyyah (para pengikut Imam Abul-Hasan al-Asy'ari) tak mengindahkan & tak memperdulikan kitab ini.
Abul Hasan al Asy' ari rahimahullah dlm kitab al Ibaanah, dgn tegas mengatakan bahwa beliau rahimahullah mengikuti madzhab Salaf secara keseluruhan, terlepas dari beberapa kritikan dari sejumlah ulama terhadap beberapa point dlm kitab ini.
Sebenarnya Asy'ariyah sekarang ini, mereka mengikuti madzhab Ibnu Kullaab nan mengambil sebagiannya dari Mu'tazilah & Jahmiyyah.
Kita tahu bahwa Abul-Hasan rahimahullah mengalami 3 fase.
Fase pertama, beliau berada di Mu`tazilah. Kemudian fase Kedua, beliau rahimahullah meninggalkan Mu`tazilah & mengikuti Ibnu Kullâb nan banyak menakwil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.
Perlu diketahui, Ibnu Kullâb adalah madzhab nan berdiri sendiri. Pada zaman dahulu, sebelum Abul Hasan al-Asy'ari, bahkan sebelum Ibnu Kullab, dlm masalah nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla ada 2 madzhab. Yaitu madzhab Salaf & madzhab Jahmiyah, Mu`tazilah. Kemudian muncullah madzhab Ibnu Kulaab nan ingin memadukan antara madzhab Salaf & Jahmiyah, tapi pengaruh Mu`tazilah & Jahmiyah masih melekat, meskipun mereka menetapkan sebagian sifat & nama Allah Azza wa Jalla.
Imam Abul-Hasan al-Asy'ari rahimahullah meninggalkan Mu`tazilah menuju madzhab Ibnu Kulâb. Madzhab Ibnu Kullâb inilah nan diikuti oleh orang-orang Asy'ariyyah saat ini. Mereka tak tahu bahwa Abul- Hasan al-Asy'ari telah meninggalkannya & masuk ke fase ketiga di akhir hidupnya yaitu mengikuti madzhab salaf & menulis kitab al- Ibânah. Ini menurut sebagian ulama.
Contoh lain, para sahabat telah berijma' bahwa setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, tak ada lagi nan meminta-minta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mendatangi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memohon kepada Allah melalui perantara beliau, padahal para sahabat Radhiyallahu 'anhum mengalami masa-masa krisis. Tidak ada seorangpun nan mendatangi kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam utk meminta agar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Allah Azza wa Jalla utk mereka.
Imam Bukhaari rahimahullah mencatat sebuah hadits nan sangat agung menjelaskan tentang Ijma' mereka ini & tentang kemurnian aqidah mereka. Juga menceritakan bahwa 'Umar bin Khaththaab Radhiyallahu 'anhu bertawassul dgn 'Abbaas bin 'Abdul-Muthalib ketika terjadi musim kemarau, lalu 'Umar berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
“Ya, Allah Dahulu kami bertawassul dgn Nabi kami kepada-Mu lalu Engkau menurunkan hujan bagi kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dgn paman Nabi kami maka berilah kami hujan”. Anas bin Malik berkata: “Lalu mereka diberi hujan”.
Ini sebuah hadits shahih. kita ini dapati 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, seorang khalifah bersama para sahabat sedang mengalami kesusahan karena kemarau nan berkepanjangan. Mereka tak mendatangi kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam utk memohon langsung kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm, atau menjadikan beliau sebagai wasilah, padahal jaraknya hanya beberapa langkah saja. Mereka sepakat minta kepada 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, paman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam utk berdoa agar Allah Azza wa Jalla menurunkan hujan buat mereka.
Coba, kita ini perhatikan perkataan Umar Radhiyallahu 'anhu: “Dahulu kami bertawassul dgn Nabi kami kepada-Mu”. Maksudnya, dahulu semasa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup. Setalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, mereka sepakat tak bertawassul dgn beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang mereka menjadikan kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai tempat perayaan:
لَا تَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan & bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada. [HSR Abu Dâwud]
Ijma' ini dilanggar oleh banyak tokoh-tokoh agama di negeri kita ini ini. Bahkan ada di antara mereka nan menganjurkan utk memohon kepada Allah Azza wa Jalla lewat perantara orang-orang nan sudah mati, bahkan memohon langsung kepada nan sudah mati.
Saya ambil contoh lagi, Sirajuddin 'Abbas dgn tegas dlm bukunya menganjurkan utk mendatangi kuburan Nabi, bertawassul dengannya dlm memohon kepada Allah Azza wa Jalla, bahkan mendatangi Syaikh 'Abdul-Qadir al-Jailani & lain-lain. Dan menurut mereka, inilah berdoa dgn tawassul. Lagi-lagi, mereka merubah makna tawassul nan hakiki dgn makna nan bid'ah & syirik. Padahal para sahabat telah Ijma' pada zaman mereka, tak meminta kepada nan telah mati, bagaimanapun tinggi kedudukannya, termasuk kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena Ahlus-Sunnah membolehkan ziarah kubur kaum muslimin, juga kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi para sahabat juga telah Ijma' tak boleh mengadakan safar utk ziarah kubur meskipun kubur nan akan diziarahi itu kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Ijma' mereka ini diikuti oleh tabi'in, tabi' tabi'in sampai imam nan empat, yaitu Imam Mâlik rahimahullah, Abu Hanifah, rahimahullah Syafi'i rahimahullah & Ahmad rahimahullah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ ي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Kemudian contoh ketiga, yaitu di antara Ijma' sahabat nan banyak dilancangi di negeri kita ini ini oleh sebagian kaum muslimin yaitu selamatan kematian nan dikenal dgn istilah tahlilan. Padahal Jarir bin 'Abdillah dgn tegas mengatakan dlm atsar nan diriwayatkan oleh Imam Ahmad & Ibnu Majah & saya (Ustadz Abdul-Hakim bin Amir Abdat, Red. ) jelaskan takhrîj atsar ini dlm buku saya tentang hukum tahlilan menurut 4 madzhab:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Kami menganggap berkumpul-kumpul di tempat keluarga mayit & membuat makanan (setelah pemakaman) termasuk meratap.
Ini Ijma' para sahabat. Selamatan kematian di negeri kita ini ini, baik selamatan hari pertama, ketiga, ketujuh, hari keseratus bahkan keseribu, adalah bid'ah munkarah nan menyalahi Ijma' para sahabat. Tapi kita ini lihat tokoh-tokoh mereka membela bid'ah nan terang-terangan menyalahi Ijma' para sahabat. Dengan lisan & tulisan, tak sedikit di antara mereka nan menulis bahwa selametan kematian itu ada dlm Islam. Itu beberapa contoh penyimpangan sebagian kaum muslimin terhadap Ijma' para sahabat Radhiyallahu 'anhu,
Demikianlah, beberapa contoh Ijma' nan dilancangi oleh sebagian kaum muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


B. Syarat-syarat Ijma’.
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1). yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3) Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.
5) Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[1]
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.[2]
D. Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.[3]
E. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.[4]
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya, apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.[5]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.
Artinya:
Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yagn tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[6]
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.
B. SARAN DAN KRITIKAN
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.


[1] Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. ”Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007-hal 70-71.
[2] Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Usul Fikih” Jakarta 2003 M. Hal. 62
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
[4] Prof. Muhammad Abu Zahrah, “Usul Fiqih” Jakarta 2005. Hal. 314
[5] Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 73
[6] Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. “Ilmu Usul Fiqih” Bandung 2007. Hal. 80.


No comments:

Post a Comment

Entri Populer