Thursday 23 November 2017

Makalah Metode BCM (Bermain, Cerita, Menyanyi) dalam Sebuah pembelajaran

                 Metode BCM (Bermain, Cerita, Menyanyi) dalam pembelajaran
Anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam hal belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa. Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk anak usia sekolah.
Adapun karakterisktik cara belajar anak adalah :
a.       Anak belajar melalui bermain.
b.      Anak belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
c.       Anak belajar secara alamiah.
d.      Anak belajar paling baik jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional.
Kegiatan pembelajaran pada anak usia sekolah dasar pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia sejolah dasar berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus dikuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak.
a.      Metode bermain
Bermain adalah merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan  kesenangan bagi anak dan bermain dilakukan anak dengan suka rela tanpa  paksaan atau tekanan dari pihak luar. Kegiatan bermain tersebut tidak  mempunyai aturan kecuali yang dutetapkan oleh pemain itu sendiri. Anak  mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan melalui kegiatan bermain.[1]
Menurut asal katanya bermain berasal dari kata main. Di dalam kamus  besar bahasa Indonesia, Bahwa main adalah berbuat sesuatu untuk  menyenangkan hati dengan menggunakan alat-alat atau tidak.[2]
Menurut Singer mengemukakan bahwa metode bermain dapat digunakan anak-anak untuk menjelajahi dunianya, mengembangkan kompetensi dalam usaha mengatasi dunianya dan mengembangkan kreativitas anak. Dengan bermain anak memiliki kemampuan untuk memahami konsep secara ilmiah, tanpa paksaan.
Bermain menurut Mulyadi , secara umum sering dikaitkan dengan  kegiatan anak-anak yang dilakukan secara spontan.[3] Terdapat lima pengertian metode bermain :
1.      Sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai intrinsik pada anak
2.      Tidak memiliki tujuan ekstrinsik, motivasinya lebih bersifat intrinsik
3.      Bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur keterpaksaan dan beba dipilih oleh anak
4.      Melibatkan peran aktif keikutsertaan anak
5.      Memilikii hubungan sistematik yang khusus dengan seuatu yang bukan bermain, seperti kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, perkembangan sosial dan sebagainya.
Banyak konsep dasar yang dapat dipelajari anak memalui aktivitas bemain. Pada usia prasekolah, anak perlu menguasai berbagai konsep dasar tentang warna, ukuran, bentuk, arah, besaran, dan sebagainya. Konsep dasar ini akan lebih mudah diperoleh anak melalui kegiatan bermain.
Dari pemaparan di atas bahwa metode bermain adalah suatu metode yang menyenangkan untuk dilakukan, dan sesuatu yang menghibur. Bagi anak bermain adalah sebuah pekerjaan dan cermin pertumbuhan. Melalui bermain anak akan memenuhi kepuasannya, ia juga akan belajar banyak karena berlatih, mengeksploitasi, merekayasa dan mengulang hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.[4] Sebagian orang mengerti apa yang dimaksud dengan bermain, namun demikian mereka tidak dapat memberi batasan apa yang dimaksud dengan bermain.
Bila kita lukiskan secara sistematis obyek permainan terdiri dari:[5]
1.      Umur 0,6 – 1,0 tahun : Bermain dengan dirinya antara lain, tangan, kaki, lidah malahan suaranya sendiri, baru memerlukan alat.
2.      Umur 1,0 – 2,0 tahun : Bermain dengan menirukan sesuatu.
3.      Umur 2,0 – 3,0 tahun : Bermain sendiri-sendiri tetapi ingin berdekatan dengan yang lain.
4.      Umur 3,0 – 5,0 tahun : Bermain yang sama dalam kedudukan yang sama.
5.      Umur 5,0 – 6,0 tahun : Bermaian bersama dibawah pimpinan salah seorang dari mereka tetapi sering kedudukan di perebutkan.
6.      Umur 6,0 – 8,0 tahun : Anak bermain sandiwara dan tunduk dibawah pimpinan.
7.      Umur 8,0 – 12,0 tahun : Bermain dalam permainan disertai gerakan yang memerlukan kecerdasan.
Ada beberapa lima kriteria dalam bermain diantaranya :[6]
a)      Motivasi intrinsik, tingkah laku bermain dimotivasi dalam diri anak, karena itu dilakukan demi kegiatan itu sendiri dan bukan karena adanya tuntutan dari masyarakat atau fungsi-fungsi tubuh.
b)      Pengaruh positif, tingkah laku itu menyenangkan atau menggembirakan untuk dilakukan.
c)      Bukan dikerjakan sambil berlalu, tingkah laku itu bukan dilakukan sambil berlalu, karena itu tidak mungkin polaatau urutan yang sebenarnya, melainkan lebih bersifat pura-pura.
d)     Cara atau tujuan, cara bermain lebih diutamakan dari pada tujuannya. Anak lebih tertarik pada tingkah laku itu sendiri daripada keluaran yang dihasilkan.
e)      Kelenturan, bermain itu perilaku yang lentur. Kelenturan ditunjukan baik dalam bentuk maupun dalam hubungan serta berlaku dalam situasi.
Bermain merupakan alat pelepas emosi. Bermain juga mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan social. Bermain juga memungkinkan anak untuk mengekspresikan perasaannya secara leluasa, tanpa tekanan batin.[7] Dari beberapa bentuk-bentuk pelaksanaan dari jenis bermain ada dua macam yaitu:
1.      Bermain bebas
Dalam pelaksanaan nya dalam bermain bebas anak tidak terikat dengan peraturan yang ada. Anak dapat bermain sekehendak hatinya sendiri, atau tanpa alat-alat yang disediakan oleh guru. Ia juga boleh memeilih permainan yang akan dipergunakannya dan tugas guru dalam perminan bebas ini adalah mengadakan observasi, serta memberikan aanjuran bila perlu.[8]
2.      Bermain terpimpin
Pada bermain terpimpin ini ada seorang pemimipin yaitu guru. Dalam pelaksanaannya, anak tidak bebas seperti pada permainaan bebas, melainkan terikat pada perturan. Peermainan dapat dilakukan dengan atau tanpa nyanyian.[9] Dalam diklat BCM dijelaskan jenis-jenis permainan dibagi menjadi tiga yaitu:
Dilihat dari segi pelaksanaannya.
a.       Bermain di out door ( di luar ruangan/kelas )
b.      Bermain di in door ( di dalam ruangan/kelas ).
Dilihat dari segi sifatnya.
a.    Permainan kecerdasan, misalnya:
1)      Puzzle rukun islam
2)      Puzzle rukun iman
3)      Puzzle nama-nama malaikat, dll.
b.    Permainan rekreatif, misalnya:
1)      Tepuk islam
2)      Tepuk wudlu
3)      Tepuk anak sholeh
4)      Tepuk malaikat[10]
b.      Metode Cerita
Metode cerita dalam buku Moeslichatoen adalah cara bertutur kata dengan menyampaikan cerita atau dengan memberikan penerangan kepada anak secara lisan. Sedangkan menurut Lukman Al-Hakim Metode berceita Adalah cara bertutur kata dan menyampaikan cerita atau memberikan penerangan kepada anak secara lisan. Tujuannya adalah melatih daya tangkap anak, melatih daya fikir, melatih daya konsentrasi, membantu perkembangan fantasi/imajinasi anak, menciptalan suasana menyenangkan dan akrab di dalam kelas.
Dari penjelasan diatas bisa di simpulkan bahwa metode cerita adalah sebuah metode pembelajaran yang disampaikan dengan menggunakan lisan denganrangkaian peristiwa baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi).
Allah berfirman yang Artinya:
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qu’ran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS.Yusuf ayat 3)
Dari penggalan Al Qur’an surat Yusuf ayat 3 diatas, dapatlah diambil pelajaran bahwa secara implisit Allah menyebut Al-Qur’an dengan ‘kumpulan cerita yang paling baik’. Maksudnya dalam mengajak manusia kedalam keimanan dan ketaatan kepada robbnya, Allah pun menggunakan metode yang menyentuh hati nurani, yaitu cerita atau kisah-kisah. Hikmah yang dapat diambil atas sebuah cerita/peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu adalah sungguh merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk kita berikhtibar atas peristiwa itu.
Dan Allah berfirman yang artinya:
“Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”. (QS. Al A’rof ayat 176)
Dengan demikian, secara khusus Allah hendak mengajarkan kepada Rasulullah dan tentu juga kepada para pengikutnya yang setia,bahwa cerita adalah metode tarbiyah yang paling tepat dan efektif untuk mengajar manusia berbuat baik (akhlakul karimah) tanpa merasa digurui. Karena itulah Allah sering kali menggunakan tamsil perupamaan, pelukisan-pelukisan untuk mengajar manusia menuju ketaatan syariat, antara lain diambil dari dunia binatang dan tumbuhan yang dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah.
Sebelum seseorang bercerita, terlebih dahulu ia harus memilih atau menentukan terlebih dahulu jenis cerita apa yang cocok dan sesuai dengan obyek dakwah yang kita tangani. Pemilihan jenis cerita ini antara lain ditentukan oleh :
1.      Tingkat usia pendengar.
2.      Jumlah pendengar
3.      Tujuan penyampaian materi.
4.      Suasana acara.
5.      Situasi dan kondisi pendengar.
Dalam menyusun sebuah cerita diantaranya :
1.      Cerita bisa diangkat dari apa yang dilihat, dibaca an didengar
2.      Cerita berisi nilai-nilai islami yang mengandung materi yang dipelajari
3.      Cerita menampilkan tokoh-tokoh yang akan diikuti santri
4.      Cerita tidak terlalu panjang
Adapun pengelompokan cerita ini ditinjau dari beberapa sudut pandang dalam diklat materi BCM, yang secara sederhana dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan kejadiannya.
a)        Cerita sejarah ( tarikh ), misalnya :
1)      Sejarah nabi dan rasul
2)      Sejarah para wali songo
3)      Dan lain-lain.
b)        Cerita fiksi ( rekaan ).
2.      Berdasarkan teknik penyajiannya.
a.       direct story ( cerita lagsung/tanpa naskah )
b.      Story reading ( membaca cerita ).
3.      Berdasarkan pemanfaatan peraga.
a.       bercerita dengan alat peraga seperti dengan melihat gambar.
b.      Bercerita tanpa alat peraga.
c.       Metode Menyanyi
Metode menyanyi menurut Lukman Al-Hakim adalah suatu cara dalam mengajar yang di dalamnya berisikan lagu-lagu yang berkesan dan menyenangkan. Sedangkan metode menyanyi menurut Poerwadarminta adalah mengeluarkan bunyi suara belagu dengan perkataan atau tidak melagukan dengan bernyanyi.
Jadi sebuah metode menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dari dunia anak-anak. Menyenandungkan lagu, apalagi yang berirama riang, sungguh merupakan kegiatan yang digandrunginya. Hal ini tidaklah mengherankan, karena lagu pada dasarnya adalah bentuk dari bahasa nada. Yaitu bentuk harmoni dari tinggi rendahnya suara. Pada insan-insan belia yang perbendaharaan bahasa masih cukup terbatas ini, bahasa nada justru lebih mudah mereka fahami.
Ketika anak-anak beranjak lebih besar, mereka akan semakin akrab dengan lagu atau nyanyian. Asal melodinya tidak terlalu rumit, mereka akan dengan senang hati menyanyikannya.Mereka minta diajari menyanyi, menghafalkan syairnya, belajar melafalkan kata-kata yang terdapat pada syair lagu itu, sibuk bergaya ketika menyanyi dan sebagainya. Semua itu adalah bagian dari dunia keceriaan masa kanak-kanak yang indah.
Dilihat dari segi sifat-sifat lagu yang baik diantaranya :
a.       Mengandung nilai-nilai islami
b.      Bahasanya indah dan mudah dimengerti
c.       Tidak terlalu panjang
d.      Iramanya mudah dicerna
e.       Syair dan liriknya bisa melibatkan emosi ( gembira, semangat, kagum, dll.)



[1] Hibana S. Rahman. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, PGTKI Press,  Yogyakarta, 2002: Hal. 85-86
[2] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1986. Hal: 620
[3] Mulyadi, Bermain dan Kreativitas, (Upaya Mengembangkan Kreativitas Anak Melalui Kegiatan Bermain), (Jakarta: papas sinar sinanti, 2004), hal 32
[4] Gustian Edi, Mempersiapkan anak masuk sekolah, (Jakarta : Puspa Swara, 2001), hal : 38
[5] Simanjutak, Pasaribu, Pengantar psikologi perkembangan, (Bandung: Tarsito, 1984),hal: 55
[6] Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak….hal: 31-32
[7] Slamet Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Hikayat, 2005), hal : 116
[8] Petunjuka, Teknis Proses Belajar Mengajar di RA, Bidang Pengembangan Jasmani dan Kesehatan, (Jakarta : Depag RI, 2000), hal : 5.
[9] Ibid, hal. : 6
[10] Sanggar B-3, Op.Cit, hal. : 40-41

No comments:

Post a Comment

Entri Populer