Metode BCM (Bermain, Cerita, Menyanyi) dalam
pembelajaran
Anak memiliki karakteristik yang berbeda
dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan
demikian dalam hal belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa.
Karakteristik cara belajar anak merupakan
fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk
anak usia sekolah.
Adapun karakterisktik cara belajar anak adalah :
a.
Anak belajar melalui bermain.
b.
Anak belajar dengan cara membangun
pengetahuannya.
c.
Anak belajar secara alamiah.
d.
Anak belajar paling baik jika apa yang
dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek
pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional.
Kegiatan pembelajaran pada anak usia sekolah dasar pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat
rencana yang berisi sejumlah
pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia sejolah
dasar berdasarkan potensi
dan tugas perkembangan yang harus
dikuasainya dalam
rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak.
a. Metode bermain
Bermain
adalah merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan kesenangan bagi anak dan bermain dilakukan
anak dengan suka rela tanpa paksaan atau
tekanan dari pihak luar. Kegiatan bermain tersebut tidak mempunyai aturan kecuali yang dutetapkan oleh
pemain itu sendiri. Anak mendapatkan
kebahagiaan dan kegembiraan melalui kegiatan bermain.[1]
Menurut
asal katanya bermain berasal dari kata main. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, Bahwa main adalah
berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati
dengan menggunakan alat-alat atau tidak.[2]
Menurut Singer mengemukakan bahwa metode bermain dapat digunakan
anak-anak untuk menjelajahi dunianya, mengembangkan kompetensi dalam usaha
mengatasi dunianya dan mengembangkan kreativitas anak. Dengan bermain anak
memiliki kemampuan untuk memahami konsep secara ilmiah, tanpa paksaan.
Bermain menurut Mulyadi , secara umum sering dikaitkan
dengan kegiatan anak-anak yang dilakukan
secara spontan.[3] Terdapat lima pengertian metode bermain :
1.
Sesuatu yang menyenangkan dan memiliki
nilai intrinsik pada anak
2.
Tidak memiliki tujuan ekstrinsik,
motivasinya lebih bersifat intrinsik
3.
Bersifat spontan dan sukarela, tidak ada
unsur keterpaksaan dan beba dipilih oleh anak
4.
Melibatkan peran aktif keikutsertaan anak
5.
Memilikii hubungan sistematik yang khusus
dengan seuatu yang bukan bermain, seperti kreativitas, pemecahan masalah,
belajar bahasa, perkembangan sosial dan sebagainya.
Banyak konsep dasar yang dapat dipelajari anak memalui aktivitas
bemain. Pada usia prasekolah, anak perlu menguasai berbagai konsep dasar
tentang warna, ukuran, bentuk, arah, besaran, dan sebagainya. Konsep dasar ini
akan lebih mudah diperoleh anak melalui kegiatan bermain.
Dari pemaparan di atas bahwa metode bermain adalah suatu metode
yang menyenangkan untuk dilakukan, dan sesuatu yang menghibur. Bagi anak
bermain adalah sebuah pekerjaan dan cermin pertumbuhan. Melalui bermain anak
akan memenuhi kepuasannya, ia juga akan belajar banyak karena berlatih,
mengeksploitasi, merekayasa dan mengulang hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.[4] Sebagian orang mengerti apa yang dimaksud dengan bermain, namun
demikian mereka tidak dapat memberi batasan apa yang dimaksud dengan bermain.
Bila kita lukiskan secara sistematis obyek permainan terdiri
dari:[5]
1.
Umur 0,6 – 1,0 tahun : Bermain dengan
dirinya antara lain, tangan, kaki, lidah malahan suaranya sendiri, baru
memerlukan alat.
2.
Umur 1,0 – 2,0 tahun : Bermain dengan
menirukan sesuatu.
3.
Umur 2,0 – 3,0 tahun : Bermain
sendiri-sendiri tetapi ingin berdekatan dengan yang lain.
4.
Umur 3,0 – 5,0 tahun : Bermain yang sama
dalam kedudukan yang sama.
5.
Umur 5,0 – 6,0 tahun : Bermaian bersama
dibawah pimpinan salah seorang dari mereka tetapi sering kedudukan di
perebutkan.
6.
Umur 6,0 – 8,0 tahun : Anak bermain
sandiwara dan tunduk dibawah pimpinan.
7.
Umur 8,0 – 12,0 tahun : Bermain dalam permainan
disertai gerakan yang memerlukan kecerdasan.
a)
Motivasi intrinsik, tingkah laku bermain
dimotivasi dalam diri anak, karena itu dilakukan demi kegiatan itu sendiri dan
bukan karena adanya tuntutan dari masyarakat atau fungsi-fungsi tubuh.
b)
Pengaruh positif, tingkah laku itu
menyenangkan atau menggembirakan untuk dilakukan.
c)
Bukan dikerjakan sambil berlalu, tingkah
laku itu bukan dilakukan sambil berlalu, karena itu tidak mungkin polaatau urutan
yang sebenarnya, melainkan lebih bersifat pura-pura.
d)
Cara atau tujuan, cara bermain lebih
diutamakan dari pada tujuannya. Anak lebih tertarik pada tingkah laku itu
sendiri daripada keluaran yang dihasilkan.
e)
Kelenturan, bermain itu perilaku yang
lentur. Kelenturan ditunjukan baik dalam bentuk maupun dalam hubungan serta
berlaku dalam situasi.
Bermain merupakan alat pelepas emosi. Bermain juga mengembangkan
rasa percaya diri dan kemampuan social. Bermain juga memungkinkan anak untuk
mengekspresikan perasaannya secara leluasa, tanpa tekanan batin.[7] Dari beberapa bentuk-bentuk pelaksanaan dari jenis bermain ada
dua macam yaitu:
1.
Bermain bebas
Dalam pelaksanaan nya dalam bermain bebas
anak tidak terikat dengan peraturan yang ada. Anak dapat bermain sekehendak hatinya
sendiri, atau tanpa alat-alat yang disediakan oleh guru. Ia juga boleh memeilih
permainan yang akan dipergunakannya dan tugas guru dalam perminan bebas ini
adalah mengadakan observasi, serta memberikan aanjuran bila perlu.[8]
2.
Bermain terpimpin
Pada bermain terpimpin ini ada seorang
pemimipin yaitu guru. Dalam pelaksanaannya, anak tidak bebas seperti pada
permainaan bebas, melainkan terikat pada perturan. Peermainan dapat dilakukan
dengan atau tanpa nyanyian.[9]
Dalam diklat BCM dijelaskan jenis-jenis permainan dibagi menjadi tiga yaitu:
Dilihat dari segi pelaksanaannya.
a.
Bermain di out door ( di luar ruangan/kelas
)
b.
Bermain di in door ( di dalam ruangan/kelas
).
Dilihat dari segi sifatnya.
a.
Permainan kecerdasan, misalnya:
1)
Puzzle rukun islam
2)
Puzzle rukun iman
3)
Puzzle nama-nama malaikat, dll.
b.
Permainan rekreatif, misalnya:
1)
Tepuk islam
2)
Tepuk wudlu
3)
Tepuk anak sholeh
4)
Tepuk malaikat[10]
b.
Metode Cerita
Metode cerita dalam buku Moeslichatoen
adalah cara bertutur kata dengan menyampaikan cerita atau dengan memberikan
penerangan kepada anak secara lisan. Sedangkan menurut Lukman Al-Hakim Metode
berceita Adalah cara bertutur kata dan menyampaikan cerita atau memberikan
penerangan kepada anak secara lisan. Tujuannya adalah melatih daya tangkap
anak, melatih daya fikir, melatih daya konsentrasi, membantu perkembangan
fantasi/imajinasi anak, menciptalan suasana menyenangkan dan akrab di dalam
kelas.
Dari penjelasan diatas bisa di simpulkan
bahwa metode cerita adalah sebuah metode pembelajaran yang disampaikan dengan
menggunakan lisan denganrangkaian peristiwa baik berasal dari kejadian nyata
(non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi).
Allah
berfirman yang Artinya:
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qu’ran ini kepadamu, dan
Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya
adalah Termasuk orang-orang yang belum
mengetahui.”
(QS.Yusuf ayat 3)
Dari penggalan Al Qur’an surat Yusuf ayat 3
diatas, dapatlah diambil pelajaran bahwa secara implisit Allah menyebut
Al-Qur’an dengan ‘kumpulan cerita yang paling baik’. Maksudnya dalam mengajak
manusia kedalam keimanan dan ketaatan kepada robbnya, Allah pun menggunakan
metode yang menyentuh hati nurani, yaitu cerita atau kisah-kisah. Hikmah yang
dapat diambil atas sebuah cerita/peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu
adalah sungguh merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk kita berikhtibar
atas peristiwa itu.
Dan Allah berfirman yang artinya:
“Dan Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu,
agar mereka kembali (kepada kebenaran)”. (QS. Al A’rof ayat 176)
Dengan demikian, secara khusus Allah hendak
mengajarkan kepada Rasulullah dan tentu juga kepada para pengikutnya yang
setia,bahwa cerita adalah metode tarbiyah yang paling tepat dan efektif untuk
mengajar manusia berbuat baik (akhlakul karimah) tanpa merasa digurui. Karena
itulah Allah sering kali menggunakan tamsil perupamaan, pelukisan-pelukisan
untuk mengajar manusia menuju ketaatan syariat, antara lain diambil dari dunia
binatang dan tumbuhan yang dilukiskan dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah.
Sebelum seseorang bercerita, terlebih
dahulu ia harus memilih atau menentukan terlebih dahulu jenis cerita apa yang
cocok dan sesuai dengan obyek dakwah yang kita tangani. Pemilihan jenis cerita
ini antara lain ditentukan oleh :
1.
Tingkat usia pendengar.
2.
Jumlah pendengar
3.
Tujuan penyampaian materi.
4.
Suasana acara.
5.
Situasi dan kondisi pendengar.
Dalam menyusun sebuah cerita diantaranya :
1.
Cerita bisa diangkat dari apa yang dilihat,
dibaca an didengar
2.
Cerita berisi nilai-nilai islami yang
mengandung materi yang dipelajari
3.
Cerita menampilkan tokoh-tokoh yang akan
diikuti santri
4.
Cerita tidak terlalu panjang
Adapun pengelompokan cerita ini ditinjau
dari beberapa sudut pandang dalam diklat materi BCM, yang secara sederhana dapat
dibedakan sebagai berikut :
1.
Berdasarkan kejadiannya.
a)
Cerita sejarah ( tarikh ), misalnya :
1)
Sejarah nabi dan rasul
2)
Sejarah para wali songo
3)
Dan lain-lain.
b)
Cerita fiksi ( rekaan ).
2.
Berdasarkan teknik penyajiannya.
a.
direct story ( cerita lagsung/tanpa naskah
)
b.
Story reading ( membaca cerita ).
3.
Berdasarkan pemanfaatan peraga.
a.
bercerita dengan alat peraga seperti dengan
melihat gambar.
b.
Bercerita tanpa alat peraga.
c.
Metode Menyanyi
Metode menyanyi menurut Lukman Al-Hakim
adalah suatu cara dalam mengajar yang di dalamnya berisikan lagu-lagu yang
berkesan dan menyenangkan.
Sedangkan metode
menyanyi menurut Poerwadarminta adalah mengeluarkan bunyi suara belagu dengan
perkataan atau tidak melagukan dengan bernyanyi.
Jadi sebuah metode menyanyi adalah bagian yang
tak terpisahkan dari dunia anak-anak. Menyenandungkan lagu, apalagi yang
berirama riang, sungguh merupakan kegiatan yang digandrunginya. Hal ini
tidaklah mengherankan, karena lagu pada dasarnya adalah bentuk dari bahasa
nada. Yaitu bentuk harmoni dari tinggi rendahnya suara. Pada insan-insan belia
yang perbendaharaan bahasa masih cukup terbatas ini, bahasa nada justru lebih
mudah mereka fahami.
Ketika anak-anak beranjak lebih besar,
mereka akan semakin akrab dengan lagu atau nyanyian. Asal melodinya tidak
terlalu rumit, mereka akan dengan senang hati menyanyikannya.Mereka minta
diajari menyanyi, menghafalkan syairnya, belajar melafalkan kata-kata yang
terdapat pada syair lagu itu, sibuk bergaya ketika menyanyi dan sebagainya.
Semua itu adalah bagian dari dunia keceriaan masa kanak-kanak yang indah.
Dilihat dari segi sifat-sifat lagu yang
baik diantaranya :
a.
Mengandung nilai-nilai islami
b.
Bahasanya indah dan mudah dimengerti
c.
Tidak terlalu panjang
d.
Iramanya mudah dicerna
e.
Syair dan liriknya bisa melibatkan emosi (
gembira, semangat, kagum, dll.)
[1] Hibana S. Rahman. Konsep Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini, PGTKI Press,
Yogyakarta, 2002: Hal. 85-86
[3] Mulyadi, Bermain dan Kreativitas, (Upaya Mengembangkan
Kreativitas Anak Melalui Kegiatan Bermain), (Jakarta: papas sinar sinanti, 2004), hal 32
[8] Petunjuka, Teknis
Proses Belajar Mengajar di RA, Bidang Pengembangan Jasmani dan Kesehatan, (Jakarta
: Depag RI, 2000), hal : 5.
No comments:
Post a Comment