Wednesday 29 November 2017

Makalah Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli


Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli
Baik Kant maupun Kierkegaard, sama-sama mengambil pendirian yang berlebihan dalam menanggapi 'Aku' noumenal Cartesian. Keduanya tidak merestui kehadiran dan hubungan 'Aku' noumenal itu dalam diskusi rasional. Kant –kata Yusuf Karam- membangun dinding sebegitu tebal antara 'Aku' noumenal dan 'Aku' fenomenal, sehingga tidak lagi menyisakan celah. Semantara, Kierkegaard –kata Badawi- menerima 'Aku' noumenal sepenuh-penuhnya sampai menyia-nyiakan 'Aku' fenomenal. Sayangnya, Karam dan Badawi sendiri selaku dua pemikir Arab yang akrab dengan literatur filsafat Islam tidak melakukan elaborasi. Misalnya melalui karya-karya Ibnu Sina, terutama Al-Ta'liqot; satu dari sekian karya falsafi Ibnu Sina yang direvisi Badawi sendiri.
Di beberapa tempat dari Al-Ta'liqot, Ibnu Sina cukup aktif mengulas pengetahuan 'Aku' akan dirinya sendiri. Coba kita memulai dari filsafat kritik Kant. Asumsikan saja sallamna (kita terima) forma (ruang dan waktu), 12 konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi sebagaimana yang dipaparkan Kant. Ibnu Sina mengingatkan kita, sekiranya benar bahwa kita tahu forma (ruang dan waktu) serta konsep-konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi, tentunya semua itu hadir dan ada pada diri kita. Kehadiran ini menujukkan bahwa kaitan semua itu langsung dalam relungan diri. Tidak ada lagi dualisme dan rentang. Diri secara langsung meliput forma, konsep dan cerapan-cerapan inderawi sebagaimana adanya. Dalam bahasa Kant, ia mengatakan, forma, konsep dan cerapan indrawi dalam kapasitas sebagai noumena hadir langsung pada diri pengetahu, dan diri ini mengetahui atau menyaksikan langsung akan hal ihwal mereka dalam kapasitas yang sama. Maka, ada serangkaian noumena dan bisa diketahui.
Seandainya forma, dua belas konsep dan semua cerapan inderawi itu diketahui oleh diri pengetahu masih juga sebagai fenomena, maka diri pengetahu perlu suatu perangkat kognitif (apakah semacam intuisi inderawi, formal ataukah lainnya) yang dengannya ia mengetahui semua itu. Jika demikian, bagaimana dengan hasil pencerapan intuisi yang terakhir ini, apakah masih juga sebagai (berupa) fenomena pada diri pengetahu? Mempertahankan ke-fenomena-annya malah akan terus dicecar tanpa henti oleh pertanyaan seperti ini. Yakni, memilih fenomena tidak akan mungkin menuntaskan persoalan, karena harus selalu dan selalu mengandaikan fenomena di atas fenomena dan intuisi di atas intuisi, pengandaian ini berlanjut terus dan terus, tanpa akhir (tasalsul). Dengan kata lain, bila semua konsep dan lain-lainnya yang ada pada diri dianggap sebatas fenomena, maka mesti adanya jarak kognitif (cognitive gap) antara diri pengetahu dan konsep itu.
Sama sekali tidak pernah menyentuh dan tahu fenomena (konsep dan selainnya) itu. Bukankah Kant sendiri yang mempercayai adanya noumena dan fungsinya sebagai sebab kemunculan fenomena. Oleh karena ini, forma, konsep-konsep dasar dan semua cerapan indera diketahui noemena-nya oleh subjek pengetahu secara langsung. Suhrawardi menyebut pengetahuan langsung ini dengan istilah isyraqi yang selalu disandingkan dengan istilah hudhuri.
Dalam kaitannya dengan 'Aku' Kant, uraian Ibnu Sina menjadi lebih jelas lagi. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu 'Aku' pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra 'Aku' yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya 'Aku' mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.
Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal 'Aku' tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas 'Aku' terlebih dahulu.
Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas 'Aku' dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas 'Aku' diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena 'Aku' tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas 'Aku' bukan 'Aku', tetapi 'Dia', karena 'Dia' berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah implikasi yang bertentangan dengan identitas 'Aku'.
Ba'dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri.
Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi "Aku berfikir" atau "Aku ada" yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, 'Aku' dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami 'Aku' serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara).
Pernyataan ini tidak mesti berakhir pada Subjektifisme sebagaimana Kierkegaard. Yakni, sampai di sini jelas bahwa ada noumena-noumena pada diri manusia dan bisa diketahuinya secara langsung dan hudhuri. Tidak dengan refleksi ataupun perangkat inderawi dan rasional, tetapi dengan penyaksian dan kesadaran jiwa. Kant boleh saja mengkritik, bagaimana memahami secara rasional dan meniterpretasikan 'Aku' dan citra-citranya yang terungkap oleh penyaksian jiwa tersebut? Sebagaimana yang lalu, Kierkegaard berpandangan bahwa setidaknya- 'Aku' tidak bisa dirasionalkan, karena tidak bisa dijadikan objek pikiran dan rasio. 'Aku' adalah subjek pikiran.
Bagaimana dengan Ibnu sina dan Suhrawardi serta filsuf-filsuf Muslim lainnya? Barangkali hal yang amat sederhana untuk dikatakan bahwa ‘Aku’ yang subjektif dan hudhuri ini diketahui oleh semua subjek secara sama, rata dan mufakat; mereka sepakat dan tegas akan keakuan dan keberadaannya. Sebuah usulan sederhana yang –memang barangkali- menyimpan penuntasan awal. Waalahu a’lam.

Pasca Sarjana Jurusan Teologi dan Filsafat

[HPI] Himpunan Pelajar Indonesia, Republik Islam Iran

No comments:

Post a Comment

Entri Populer