Ilmu Hudhuri dan Ilmu
Hushuli
Baik Kant maupun
Kierkegaard, sama-sama mengambil pendirian yang berlebihan dalam menanggapi
'Aku' noumenal Cartesian. Keduanya tidak merestui
kehadiran dan hubungan 'Aku' noumenal itu dalam diskusi rasional. Kant –kata
Yusuf Karam- membangun dinding sebegitu tebal antara 'Aku' noumenal dan 'Aku'
fenomenal, sehingga tidak lagi menyisakan celah. Semantara, Kierkegaard –kata
Badawi- menerima 'Aku' noumenal sepenuh-penuhnya sampai menyia-nyiakan 'Aku'
fenomenal. Sayangnya, Karam dan Badawi sendiri selaku dua pemikir Arab yang
akrab dengan literatur filsafat Islam tidak melakukan elaborasi. Misalnya
melalui karya-karya Ibnu Sina, terutama Al-Ta'liqot; satu dari sekian karya
falsafi Ibnu Sina yang direvisi Badawi sendiri.
Di beberapa tempat dari
Al-Ta'liqot, Ibnu Sina cukup aktif mengulas pengetahuan 'Aku' akan dirinya
sendiri. Coba kita memulai dari filsafat kritik Kant. Asumsikan saja sallamna
(kita terima) forma (ruang dan waktu), 12 konsep dasar (kategori) itu sudah
tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi
sebagaimana yang dipaparkan Kant. Ibnu Sina mengingatkan kita, sekiranya benar
bahwa kita tahu forma (ruang dan waktu) serta konsep-konsep dasar (kategori)
itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap
intuisi inderawi, tentunya semua itu hadir dan ada pada diri kita. Kehadiran
ini menujukkan bahwa kaitan semua itu langsung dalam relungan diri. Tidak ada
lagi dualisme dan rentang. Diri secara langsung meliput forma, konsep dan
cerapan-cerapan inderawi sebagaimana adanya. Dalam bahasa Kant, ia mengatakan,
forma, konsep dan cerapan indrawi dalam kapasitas sebagai noumena hadir
langsung pada diri pengetahu, dan diri ini mengetahui atau menyaksikan langsung
akan hal ihwal mereka dalam kapasitas yang sama. Maka, ada serangkaian noumena
dan bisa diketahui.
Seandainya forma, dua belas
konsep dan semua cerapan inderawi itu diketahui oleh diri pengetahu masih juga
sebagai fenomena, maka diri pengetahu perlu suatu perangkat kognitif (apakah
semacam intuisi inderawi, formal ataukah lainnya) yang dengannya ia mengetahui
semua itu. Jika demikian, bagaimana dengan hasil pencerapan intuisi yang
terakhir ini, apakah masih juga sebagai (berupa) fenomena pada diri pengetahu? Mempertahankan ke-fenomena-annya malah akan terus dicecar
tanpa henti oleh pertanyaan seperti ini. Yakni, memilih fenomena tidak akan
mungkin menuntaskan persoalan, karena harus selalu dan selalu mengandaikan
fenomena di atas fenomena dan intuisi di atas intuisi, pengandaian ini
berlanjut terus dan terus, tanpa akhir (tasalsul). Dengan kata lain, bila semua
konsep dan lain-lainnya yang ada pada diri dianggap sebatas fenomena, maka
mesti adanya jarak kognitif (cognitive gap) antara diri pengetahu dan konsep
itu.
Sama sekali tidak pernah
menyentuh dan tahu fenomena (konsep dan selainnya) itu. Bukankah Kant sendiri
yang mempercayai adanya noumena dan fungsinya sebagai sebab kemunculan
fenomena. Oleh karena ini, forma, konsep-konsep dasar dan semua cerapan indera
diketahui noemena-nya oleh subjek pengetahu secara langsung. Suhrawardi
menyebut pengetahuan langsung ini dengan istilah isyraqi yang selalu
disandingkan dengan istilah hudhuri.
Dalam kaitannya dengan
'Aku' Kant, uraian Ibnu Sina menjadi lebih jelas lagi. Yakni, kalau saja forma
dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri
pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi
(gambaran), sudah barang tentu 'Aku' pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya
sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah
citra-citra 'Aku' yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya 'Aku'
mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.
Oleh karena ini, Ibnu Sina
mengatakan, realitas noumenal 'Aku' tidak bisa didemonstrasikan melalui
citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan
pula difahami kecuali dengan menyadari realitas 'Aku' terlebih dahulu.
Kendati demikian,
Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas 'Aku' dengan dua argumen.
Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika
realitas 'Aku' diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas
fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena 'Aku' tidak tersentuh dan
berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas 'Aku' bukan 'Aku',
tetapi 'Dia', karena 'Dia' berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah
implikasi yang bertentangan dengan identitas 'Aku'.
Ba'dal-lutayya wallati,
baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas
aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum
berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan
bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap
pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan,
dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya
sendiri.
Pengetahuan hudhuri sebagai
perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak
terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi "Aku berfikir" atau
"Aku ada" yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau
proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan
itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia
menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang.
Maka, 'Aku' dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang
bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang
ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi,
fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami 'Aku'
serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah,
pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan
hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim
terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua
macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara).
Pernyataan ini tidak mesti
berakhir pada Subjektifisme sebagaimana Kierkegaard. Yakni, sampai di sini
jelas bahwa ada noumena-noumena pada diri manusia dan bisa diketahuinya secara
langsung dan hudhuri. Tidak dengan refleksi ataupun perangkat inderawi dan
rasional, tetapi dengan penyaksian dan kesadaran jiwa. Kant boleh saja
mengkritik, bagaimana memahami secara rasional dan meniterpretasikan 'Aku' dan
citra-citranya yang terungkap oleh penyaksian jiwa tersebut? Sebagaimana yang
lalu, Kierkegaard berpandangan bahwa setidaknya- 'Aku' tidak bisa
dirasionalkan, karena tidak bisa dijadikan objek pikiran dan rasio. 'Aku'
adalah subjek pikiran.
Bagaimana dengan Ibnu sina
dan Suhrawardi serta filsuf-filsuf Muslim lainnya? Barangkali hal yang amat
sederhana untuk dikatakan bahwa ‘Aku’ yang subjektif dan hudhuri ini diketahui
oleh semua subjek secara sama, rata dan mufakat; mereka sepakat dan tegas akan
keakuan dan keberadaannya. Sebuah usulan sederhana yang –memang barangkali-
menyimpan penuntasan awal. Waalahu a’lam.
Pasca Sarjana Jurusan Teologi dan Filsafat
[HPI] Himpunan Pelajar
Indonesia, Republik Islam Iran
No comments:
Post a Comment