PERKEMBANGAN
TEORI SOSIOLOGI
Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak
bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas
Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih
diminati. Ini sebabnya mengapa
baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen
Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto,
Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga
menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte
(1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku
E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian
Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro
sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak
terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von
Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para
dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai
mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada
kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara
lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang
belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan,
Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam
sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan
perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari
kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada
pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari
theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong
ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian
yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang
dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh
tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan /
menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari
gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan
revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya
dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”.
Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah
dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi,
ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang
saling terjalin.
“Sociology
thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but
it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality.
Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social
sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with
social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”.
(Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu
sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang
mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan
perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa
bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok
masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan
bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat
berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara
Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber
dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena
melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem
sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner
(1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of
Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan
“Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang
dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian
lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social
System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan
pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar
Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori
sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain
yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan
sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor
“dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan
mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai
negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua,
theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah
yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi
ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia
mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah
timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku
sosial yang lebih universal.
REORIENTASI SOSIOLOGI
INDONESIA
Baik lahirnya “nation
state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang
digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori
struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang
dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang
mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang
sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria,
berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas
menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk
pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam
masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan
arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi
1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang
sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi
faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal
tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary
Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah
lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara
aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962)
dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding
(1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan
memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya
dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C.
Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society;
An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING
(1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper
Torchbooks.
[3] C. Wright Mills
(1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut
diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang
lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T.
Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya
gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan
warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang
menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin
dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New
Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah”
dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat
diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh
dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan
pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan
timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun
1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang
paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau
di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi
sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena
memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal
memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi
sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan
perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada
di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa,
bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan
negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial
bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang
sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu
ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta
perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai
komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat
lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social
elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal
abad ke-19.
Inilah sebabnya
mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang
akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi
sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan
Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara
terpadu
Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep
hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata
tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural
antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan.
Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan
terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang
terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci
memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk
imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert
Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat
faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga
sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan
menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang
kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua
, teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan
dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur
patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes,
1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata
gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global
(ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada
masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan
perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat
problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah
dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang,
dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi
MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di
Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara
berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan
imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya
pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di
dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering
dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang
sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan
demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke
negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan
bahwa media massa tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi
ketaatan' ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak
berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori
sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa
adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi
media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', sebagaimana
ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada
(Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan
keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy
) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama
parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa
pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog
Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai
kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus
setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam
kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya
"Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI 8,
2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari
konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi
maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya,
bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini
Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti,
yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media
massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih
melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan
dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu
perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah
terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan
multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner
1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan
potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan
dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan
transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak
tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling
tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat
tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan
masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada
kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan
kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi,
apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau
kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya,
'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya walaupun kita mengamati
realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai
tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita
sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara
pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan
maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan
maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat
meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan
pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu
komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat
media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa
parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya,
faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Referensi
- Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila
Fenomena Jurnalisme Direfleksikan , Jakarta.
- Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf
dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in
transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo
Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur
Einführung , Lüneburg, 317-340.
- Cardoso,
Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin
America , Berkeley.
- Galtung,
Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL
OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
- Halloran,
James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the
Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2,
43-46.
- Hepp,
Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung,
Opladen.
- Kellner,
Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural
Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten
Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur
Einführung , Lüneburg, 341-363.
- Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5,
Konstruktivistische Perspektiven, Opladen. Luhmann,
Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
- Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als
autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische
Analyse, Opladen.
- Talcott
Parsons (1964[1951]): The Social System , New
York/London. Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American
Empire , New York.
No comments:
Post a Comment