Epistemologi
dalam Filsafat Barat Modern
Filsafat modern dimulai pada zaman Rene Descartes (1596-1650 M) dan Francis
Bacon (1561-1626 M). Akan tetapi, peran dominan Descartes lebih tampak karena
berupaya mengembangkan aspek-aspek epistemologi dalam era baru filsafat
Barat. Ruang pemikiran dimana Descartes hidup sangat berperan dalam
mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa
aspek yang mempengaruhi pikiran-pikirannya:
1. Lahirnya
penemuan-penemuan baru ilmiah yang dimotori oleh Copernicus, Johannes Kepler,
dan Galileo;
2. Penciptaan teleskop yang
berefek pada penolakan beberapa asumsi-asumsi yang tidak benar pada masa lalu;
3. Penemuan benua Amerika
dan perubahan teori terhadap bentuk bumi;
4. Direbutnya ibukota Yunani dan
dikenalnya budaya ilmiah kaum muslimin oleh Eropa;
5. Dibentuknya mazhab baru
Protestan oleh Martin Luther (1483 – 1546 M) dan berkurangnya kekuasaan gereja;
6. Lahirnya teolog baru seperti
Francis Bacon dan bangkitnya aliran baru melawan pemikir-pemikir lama yang
diiringi oleh penolakan filsafat Aristoteles;
7. Munculnya beberapa pandangan
yang menolak secara mutlak pemikiran filsafat yang kemudian berujung pada
Skeptisisme yang dipelopori oleh Francisco Sanches (1551-1623 M).[42]
Walhasil,
faktor-faktor yang disebutkan di atas dan beberapa faktor lain yang tidak
disebutkan, saling berpengaruh satu sama lain yang kemudian mengerucut pada
kemunculan dimensi-dimensi keraguan terhadap agama, etika, dan keyakinan yang
ekstrim atas ilmu-ilmu empirik. Semua kenyataan ini, menjadikan epistemologi
sebagai pokok pembahasan tersendiri dalam era baru filsafat Barat.
1. Rene
Descartes (1596-1650 M)[43]
1.
Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
2.
Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
3.
Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
4.
Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?[44]
Descartes
menjadikan hal yang tergamblang, penggabungan, analisa, dan keraguan segala
sesuatu dalam mencapai pengetahuan pertama sebagai metode sempurna dalam
menggapai pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam tingkatan keraguan,
pertama-tama meragukan segala yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa
kita dalam kondisi tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh setan. Intinya, kita
mesti meragukan apa yang diyakini dan harus sampai pada puncak keraguan.
Setelah mencapai puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan
pengetahuan pertama, dan terus mencari ilmu secara bertahap dengan pengetahuan
pertama tersebut.[45][46]
Tahapan
kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada tahapan ini, Descartes berkata,
“Saya ragu pada setiap sesuatu, namu saya tidak bisa meragukan keraguan saya
itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri dan dikarenakan keberadaan keraguan
ini, saya sampai pada suatu keyakinan terhadap eksistensi peragu.[47] Menurut
Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah kegamblangan dan keterpisahan, yakni
setiap perkara seperti keraguan, sedemikian gamblang dan terpisah satu dengan
lainnya sehingga tidak bisa diragukan lagi, inilah pengetahuan hakiki.[48]
Keyakinan
terhadap persepsi fitrah juga merupakan gagasan penting dalam filsafat
Descartes. Konsep-konsep fitrah seperti, Tuhan, waktu, jiwa, dan benda, yakni
perkara-perkara yang secara potensial terdapat dalam jiwa yang kemudian
mengaktual secara evolutif. Iasangat menekankan aspek-aspek epistemologi dan
meyakini kesesuaian gambaran pikiran dan realitas eksternal.[49]
2.
Benedict de Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza sepakat terhadap tolok ukur “kegamblangan” dan “keterpisahan” yang diajukan oleh Descartes itu dan memandang bahwa pikiran dan realitas eksternal adalah satu. Tentang persoalan hakikat, iamengajukan adanya keharmonisan dan keberaturan, yakni suatu hukum hanya akan benar jika seirama dan harmonis dengan sistem keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal. Ia kemudian membagi pengetahuan-pengetahuan itu ke dalam pengetahuan indriawi dan intuitif (syuhud). Pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan mesti dimulai dari Tuhan.[50]
3.
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)
Leibniz beranggapan bahwa dalam setiap hukum yang benar, predikatnya terdapat dalam subyek. Ia merupakan orang pertama yang membedakan antara pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan eksternal. Dan memandang bahwa pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-kontradiksi, yakni penolakan atas kaidah ini akan berujung pada kontadiksi itu sendiri. Sebagaimana Descartes, ia percaya pada konsep-konsep fitrah.[51]
4. Para
Filosof Empiris Inggris
Kaum empiris menolak konsep-konsep fitrah yang diyakini oleh kaum rasionalis
seperti Descartes. Kaum ini lebih menekankan konsep-konsep yang bersumber dari
indra lahir dan empirisitas. Filosof empirik memiliki kecenderungan yang
berbeda, karena keragaman persepsi-persepsi dan indra-indra. Berkaitan dengan
dimensi persepsi, sebagian mereka menekankan empirisitas pada konsepsi dan keyakinan,
dan sebagian lain hanya pada konsepsi. Sementara yang berhubungan dengan indra,
sebagian hanya meyakini indra lahir, dan yang lainnya berpegang pada kedua
indra, yaitu indra lahir dan indra batin. Hasil-hasil pemikiran dari kelompok
ini niscaya akan berbeda satu sama lain.
5. John
Locke (1632-1704 M)
John Locke beranggapan bahwa sebelum memulai kajian dan pembahasan lainnya,
sangat penting membahas tentang kodrat dan kemampuan akal untuk sampai pada
pengetahuan, penetapan batas-batas akal, dan sumber-sumber makrifat dan
keyakinan,. Iamenekankan analisa dan pengujian atas sejarah, dan empirisitas
dalam pandangannya meliputi hal-hal yang lahiriah dan batiniah.[52] John Locke tidak
mengingkari potensi manusia yang berkaitan dengan semua pengetahuan, namun
menolak keberadaan konsep-konsep aktual yang terdapat dalam jiwa dan pikiran.[53]
Menurutnya, indra lahir dan batin merupakan sumber semua pengetahuan dan
menolak sumber pengetahuan lainnya, seperti intuisi rasional. Iaberkeyakinan
bahwa seluruh bahan persepsi dan pemikiran diperoleh dari hal-hal indriawi dan
observasi empiris dengan perantaraan panca indra lahir di alam luar serta di
alam batin dengan menggunakan indra batin. Konsep-konsep ialah perantara antara
pikiran dan realitas eksternal, dan sebagian dari konsep-konsep berhubungan
dengan perasaan manusia.[54]John Locke
membagi konsep-konsep itu menjadi tunggal dan jamak, universal dan partikular,
satu indra dan banyak indra, substansi, hubungan, dan keadaan. Iajuga menerima
keberadaan substansi untuk menerima aksiden-aksiden.[55]
Ia menerima konsep-konsep universal dan abstrak, konsep ini bebas dari pengaruh
waktu, tempat, dan partikular. Walaupun pemikiran-pemikirannya ini memiliki
banyak penafsiran.[56] Baginya,
pengenalan itu terbagi atas intuisi, argumentasi akal, dan indriawi. Pengenalan
intuisi lebih tinggi dari akal dan akal lebih tinggi dari indra lahir.
Pengetahuan terhdap diri sendiri ialah bersifat intuisi, ilmu terhadap Tuhan
dicapai lewat argumentasi akal, dan ilmu tentang alam eksternal dicapai lewat
panca indra lahir.[57]
Dalam pembahasan kausalitas, ia lantas membedakan antara konsep “sebab” dan
konsep “akibat” dengan prinsip “kausalitas” (setiap akibat bergantung pada
sebab). Konsep tentang sebab dan akibat itu dihasilkan lewat pengamatan
internal dan perhatian atas kinerja iradah, dan “pembenaran (penghukuman)” itu
diperoleh dari pengaruh timbal balik antara maujud-maujud, yakni pikiran meraih
konsep “sebab” dan “akibat” dari pengamatan internal hubungan antara jiwa dan
iradah, maka hubungan konsep-konsep itu satu sama lain akan tercipta setelah
mereka diletakkan secara sejajar dalam pikiran kita, dan karena gamblangnya
masalah itu, akal kemudian menghukumi dan membenarkan hubungan tersebut.[58] John
locke nampaknya seorang empiris yang moderat, karena iatidak menolak akal dan
ilmu-ilmu hudhûrî.
Dengan alasan ini, banyak aspek positif dalam pemikirannya, walaupun solusi
yang ditawarkan dan penjelasannya masih belum sempurna.
6. George
Berkeley (1685-1753 M)
Berkeley beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep universal itu membuat suatu
kerumitan dalam filsafat. Menurutnya, keberadaan konsep-konsep yang lepas dari
segala bentuk sifat dan karakteristik adalah mustahil. Sebagai contoh, konsep
yang abstrak mengenai gerak yang lepas dari benda bergerak dimana gerak itu
tidak cepat, tidak lambat, tidak berotasi, dan tidak lurus adalah hal yang
mustahil, begitu pula mengkonsep segitiga yang tak bersudut.
Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara khayal, gambaran partikular, dan
konsep-konsep universal, yakni adalah sangat jelas bahwa mustahil mengambil
gambaran segitiga selain dari segitiga sama sisi, sama kaki, atau siku-siku.
Konsep dan makna universal segitiga bukanlah gambaran segitiga tersebut. Dan
menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek eksternal, konsep-konsep
partikular, dan kata-kata umum yang tidak menunjuk pada sifat-sifat khusus
sesuatu.[59]
Apabila kita bisa untuk tidak memandang karakteristik-karakteristik itu, maka
pasti kita bisa mencerap konsep itu. Jadi tak mustahil kita bisa mencerap suatu
konsep yang terlepas dari segala karakteristik dan partikularitas. Gagasan lain
Berkeley adalah keraguan terhadap eksistensi maujud-maujud materi, dan
beranggapan bahwa apa yang kita miliki dari benda-benda hanyalah gambaran
benda-benda tersebut. Apabila dikatakan, “benda tertentu berwujud”, maka yang
dimaksud ialah, “saya memiliki gambaran atas benda itu atau saya
mempersepsi benda itu”. Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil, diantaranya
bahwa iatidak membedakan antara kualitas pertama (baca: benda eksternal) dan
kedua (baca: gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini semuanya
berpijak pada perasaan manusia, yakni setiap persepsi tidak lain adalah sama
dan sesuai dengan persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.[60]
Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran konsep-konsep yang nyata itu
ialah suatu maujud yang non-materi, yakni iamenerima adanya prinsip kausalitas
dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain adalah suatu akibat (ma’lul) dan penyebabnya (‘illat) adalah suatu
maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak membutuhkan lagi keberadaan
maujud-maujud materi sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut.[61]
Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep universal, tak ada alasan lagi
menerima prinsip kausalitas. Pada hakikatnya, Berkeley hanya sebatas
meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular, perubahan, dan
kehadiran baru konsep-konsep indriawi dan imajinasi, dikarenakan kaidah
kesesuaian sebab dan akibat, maka iajuga menuntut sebab-sebab yang sesuai dan
setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-sebab yang juga senantiasa
berubah dan baru tercipta seperti materi itu.
Walhasil, George Berkeley menafikan dan meragukan adanya konsep-konsep
universal dan maujud-maujud materi, namun iamenerima eksistensi jiwa
manusia dan Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab kehadiran konsep-konsep
indriawi, sementara jiwa manusia dipandang sebagai penyebab konsep-konsep
khayali.
7. David
Hume (1711-1776 M)
David Hume beranggapan pentingnya pembahasan mengenai proses pemahaman manusia.
Ia membagi persepsi itu menjadi ”konsepsi” (pemahaman, pengertian at-tashawwur) dan
“impresi” (kesan, al-inthibâ’).
Impresi ialah efek, kesan, atau pengaruh yang sangat dalam terhadap pikiran
yang hadir secara visual (melalui mata). Sementara, konsepsi adalah persepsi
yang sangat lemah yang hadir di alam pikiran ketika berpikir tentang suatu
perkara.[62]
Ia juga sebagaimana John Locke yang memandang sumber segala pengetahuan manusia
itu adalah empiris dan impresif. Dan ia menegaskan bahwa apabila setiap konsep
itu berpijak dan bersesuaian dengan impresi, maka konsep itu dikatakan
bermakna, dan jika tidak demikian, maka ia tidaklah menjadi bermakna.
Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah hubungan antara maujud-maujud
dan perkara-perkara hakiki, sementara matematika itu adalah hubungan antara
konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan sebagai hal-hal yang pasti dan
niscaya. Dan menolak hal ini akan berujung pada kontradiksi. Namun, berbeda
dengan hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara hakiki yang tidak memiliki
dua kemestian dan kepastian tersebut.[63]
Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara eksternal dan hakiki dengan
metode hubungan kausalitas, oleh karena itu, ia berupaya mengkaji dan
menganalisa hubungan kausalitas itu. Akan tetapi, kausalitas itu ia pandang
sebagai suatu “kebiasaan” dan “tradisi” pikiran, puncak analisanya ini adalah
menafikan hubungan kausalitas itu dan tak ada jalan mengenal alam eksternal.
Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar pikiran dan jiwa manusia adalah
hal yang mesti diragukan keberadaannya.[64] Sesungguhnya,
kemestian berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahir (Sensisme) pada
wilayah konsepsi dan pembenaran (at-tashdiq)
adalah akan berpuncak pada keraguan dan skeptisisme.
Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab dan akibat ialah bahwa
panca indra lahir tak bisa mencerapnya.[65] Apabila
Hume memperhatikan poin penting dalam pandangan John Locke, maka mustahil ia
menekankan analisanya yang keliru tentang kausalitas itu, karena sebagaimana
yang dungkapkan oleh Locke dengan mudah akan dipahami hakikat ’sebab’ dan
‘akibat’ itu dalam diri kita sendiri, yakni konsep ’sebab’ dan ‘akibat’
tersebut terabstraksi dari kondisi internal manusia (konsep ini berasal dari
hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah dimana jiwa sebagai ’sebab’ iradah
dan iradah ‘akibat’ dari jiwa).
David Hume sebagaimana Berkeley , menolak konsep-konsep universal itu dengan
mengungkapkan beberapa argumen. Salah satu argumennya adalah dimensi
partikularitas setiap sesuatu dan keberadaan impresi di alam pikiran.[66] Dengan demikian,
bisa dikatakan bahwa Hume tidak menganalisa persoalan kausalitas itu dengan
cermat dan teliti, dan bahkan ia cenderung mencampurnya dengan
persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami dua dimensi yang
terdapat dalam konsep-konsep universal yaitu dimensi (yakni keberadaan aktual
dan partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni penghikayatan dan
percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep universal itu bisa
mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep universal manusia
yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).
Hume juga menolak atau meragukan keberadaan substansi-substansi bendawi, hal
ini karena kita tidak merasakan dan memahami sesuatu yang lain (yang berada di
luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan persepsi itu sendiri (karena berada
dalam pikiran kita), disamping itu, tidak ada argumentasi rasional akan
eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan perbedaan antara kualitas
pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca: gambaran benda luar dalam
pikiran).[67] Konklusi pemikiran
Hume seperti di atas tidak lain karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan
demikian, tak ada jalan baginya untuk membuktikan alam eksternal dan maujud
hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia itu tidak memandang selain
persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi manusia, tidak ada suatu maujud
lain yang tunggal dan kekal yang dinamai “aku” yang bisa dicerap dan
diketahuinya.[68] Namun, dengan
memperhatikan penyandaran segala persepsi terhadap “aku” dan perbandingan serta
hubungan antara proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan
dan kondisi jiwa yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan
eksistensi “jiwa” sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh
kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.
Epistemologi
dalam Filsafat Islam
Nampaknya, epistemologi bukan hal yang dikhawatirkan oleh para filosof muslim.
Epistemologi bukan sebagai kajian utama dan inti dalam filsafat Islam.
Persoalan-persoalan mendasar yang hadir dalam epistemologi secara implisit
telah diulas dan dikaji di sela-sela pembahasan filsafat Islam. Karena itu,
disepanjang evolusi pemikiran filsafat Islam tidak akan dijumpai satu karya
yang secara terpisah membahas persoalan epistemologi. Akan tetapi, karena
persoalan epistemologi sedemikian membengkaknya, para filosof Islam kontemporer
menganggap urgen untuk mengkajinya secara mandiri dan terperinci serta
memisahkan dari pembahasan filsafat.
1. Abu
Yusuf Ya’qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252 H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia melihat bahwa penalaran
akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber pengetahun. Akal bertujuan untuk
mempersepsi hal-hal universal dan realitas non-fisik, sementara panca indra
yang berhubungan dengan perkara-perkara partikular dan benda-benda fisik. Ia
beranggapan bahwa akal dan panca indra itu sebagai persepsi-persepsi yang nyata
dan tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki
kemampuan untuk mengungkap, menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.[69]
2. Abu
Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan adalah penalaran akal dan
pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan tahapan awal bagi lahirnya
penalaran-penalaran rasional.[70] Ia membagi ilmu
itu menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana
proses hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap
keyakinannya pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal
dan mendefinisikannya sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup
individu-individu eksternal yang banyak.[71]
3. Abu
Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak menguraikan persoalan yang
terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu kajian pentingnya adalah
pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu
ialah penggambaran sesuatu oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman
hakikat sesuatu dan penggambaran bentuk sesuatu.[72]
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan indra. Dan membagi indra itu
menjadi indra lahir dan indra batin, serta menempatkan indra itu sebagai sumber
awal pengetahuan.[73] Persepsi atas
konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia[74]. Pengetahuan
manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap bahwa hal-hal
yang gamblang (badihi,
tak butuh pada argumentasi) itu bersifat yakini dan bersesuaian dengan
kenyataan luar[75]. pengetahuan
tentang eksistensi jiwa itu adalah bersifat hudhûrî
(lawan dari hushûlî)
dan menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih
awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua
kondisi jiwa.[76]
4. Abu
Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji secara mendalam
persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki adalah suatu
pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma’lum) sedemikian
sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak menghadirkan
kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek luar itu
sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu itu adalah
emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan pernah
bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan dan sampai pada puncak
keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan menggapai keyakinan berkat
pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah skeptisitas lewat alur logika
dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca indra, ia lantas meragukan
hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa sebagaimana akal bisa mengungkap
semua kesalahan panca indra, sangat mungkin akan hadir seorang pemikir lain
yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan membatalkan pengetahuan yang
dipandang gamblang oleh akal (seperti angka sepuluh lebih besar dari tiga). Dan
ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa kita dalam kondisi tidak tidur dan
berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa meragukan segala sesuatu.[77]
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy wa asy-syuhud al-’irfani). Akan
tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika dan penalaran akal, dengan
berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai metode memahami hakikat
eksternal[78]. Ia menekankan
bahwa hasil-hasil yang dicapai oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada
penguatan argumentasi-argumentasinya.[79] Tentang konsep-konsep
universal, ia memiliki dua pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi
yang dianut oleh kaum Peripatetik tentang universal (yakni universal itu bisa
mencakup individu yang banyak) dan gagasan keduanya ialah bahwa universal itu
sama dengan dengan khayal dan imajinasi partikular.[80]
5. Fakhr
al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap indra lahir dan akal
sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah menerima kenyataan
adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan akal itu sebagai
tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra lahir.[81]
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara ‘âlim
(yang mengetahui) dengan ma’lum
bidz-dzat[82] (pengetahuan
esensial).[83] Ia juga
menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan
pengetahuan-pengetahuan badihi
dan gamblang, namun, menurutnya, keberadaan semua keraguan tersebut
tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan yang gamblang tersebut.[84]
6. Shihab
al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif dengan akal (burhân, demonstrative proof)[85] dan metode
intuitif (‘irfâni, gnosis)[86] merupakan dua
metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal, kebenaran, dan pengetahuan
hakiki.[87] Akal dan
indra itu dipandang olehnya sebagai alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî. Ilmu terhadap
diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî.[88]
Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: “Apakah pemikiran[89] mereka itu
sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah kekeliruan? Atau mereka juga
meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka katakan bahwa pemikiran mereka
itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya kebenaran sejati dan pengetahuan
hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap pemikiran mereka itu adalah batil,
maka ini berarti bahwa mereka menafikan pemikiran mereka sendiri. Dan untuk
soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga ragu pada keraguan mereka atau yakin
padanya? Jika mereka memiliki keyakinan atasnya, maka mereka percaya terhadap
wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka ragu atasnya, maka seluruh perkataan
mereka sama sekali tidak berguna[90] dan sebaiknya
kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan mereka
sendiri.”[91] Mengenai hal-hal
yang gamblang dan badihi
itu, ia menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas
eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.[92]
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik diperoleh secara langsung
dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud non-materi dicapai dengan intuisi
(hudhûrî).
Dalam keadaan maujud-maujud itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra
kita, maka yang hadir di alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang sesuai
dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian gambaran itu
dengan objek-objek eksternal.[93] Argumentasinya
ialah: Jika kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di
alam pikiran kita atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini
adalah batal, karena seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan
keadaan pasca berilmu, sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam
diri kita. Dan apabila sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu),
namun, tidak sesuai dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak
memiliki ilmu terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan
kita terhadap segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.[94]
7.
Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang itu sebagai pengetahuan
pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat dan sumber pengetahuan
manusia.[95] Ada tingkatan
dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât)
itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât)[96] dan benda-benda
fisik (al-mahsûsât)
merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.[97]
8. Sadr
al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya, mustahil mendefinisikan ilmu
itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada ilmu yang dengannya ia terdefinisikan.[98] Ia membagi ilmu
menjadi hushûlî
dan hudhûrî
serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke dalam ilmu hudhûrî.[99]Dalam
pandangannya, keyakinan itu memiliki tingkatan, tingkatan pertama ialah ‘ilm al-yaqîn (argumen
rasional), ‘ain al-yaqîn
(intuisi ‘irfani), dan haqq
al-yaqîn (kesatuan wujud).[100] Mengenai
konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan gagasan
kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya sebagai
“penyaksian (al-musyâhadah)
intuitif maujud-maujud non-materi”.[101]
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang sesuai dengan objek-objek
eksternal.[102] Dan pada
hakikatnya, akal bisa mengetahui hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia
berpotensi menerima manisfestasi dan tajalli
seluruh hakikat luar.[103] Mulla Sadra
membagi konsep-konsep universal itu menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis,
logikal. Konsep-konsep filosofis dan logikal itu disebut sebagai “kategori
kedua yang dicerap oleh akal” (secondary
intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa konsep-konsep kedua
filosofis (philosophical
secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek eksternal
dan sementara konsep-konsep kedua logikal (logical
secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek dalam
pikiran.[104] Apakah
konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau majasi? Ia menyatakan
bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari tingkatan-tingkatan wujud
eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran dan pengungkapannya pun
akan lemah dan berada pada batas “kemungkinan” untuk dicerap oleh akal. Dan
begitu pula sebaliknya, suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan
dan pancaran wujudnya pun akan semakin kuat dan berada pada batas “kemestian”
untuk bisa diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas “kemungkinan” dan
“kemestian” untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat eksistensi.[105]
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah mengenai wujud pikiran.[106] Materi ini ia
jelaskan secara terperinci.[107] Dalam kajian
tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas objek pikiran
dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit
mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra
dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut
dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian
sehingga tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru
dalam menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi
dan burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, “Ketika kita
meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu
tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran
sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu,
pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan
objek eksternalnya.[108]
9.
Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277 H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma yang merupakan pijakan
utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud pikiran tidak berbeda
dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan tentang philosophical and logical secondary intelligibles,
ia menjelaskannya secara khusus:
1.
Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek eksternal dan
juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal. Masing-masing konsep itu
mempunyai objek abstrasi tersendiri[109]
2. Konsep-konsep
filosofis adalah suatu sifat khusus bagi objek-objek di alam eksternal, akan
tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di alam pikiran. Di alam luar tidak akan
ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi perbedaan itu hanya ada di alam
pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi pada satu objek eksternal.[110]
3.
Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari konsep-konsep kuiditas yakni suatu
sifat khusus bagi perkara-perkara di alam pikiran (subjektivitas) dan
dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam pikiran. Konsep ini tidak
berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal (objektivitas) dan tidak
menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari objek-objek luar. Konsep-konsep
ini adalah sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara
pikiran semata.[111]
Ia
juga beranggapan bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang
sesuai dengan objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu
berbanding lurus dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu
berdasarkan asumsi yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah
ketiadaan, terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar,
atau memiliki bentuk-bentuk eksistensi yang lain.[112] Gagasannya ini
merupakan poin penting dalam pembahasan epistemologi.
10.
Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan epistemologi sebagai disiplin
ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di alamatkan kepada epistemologi,
ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan jawabannya yang akurat serta
membahas poin-poin penting epistemologi. Ia sepakat dengan filosof-filosof
sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan pengamatan indriawi sebagai alat
dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian epistemologinya adalah bahwa ia
bersandar pada ilmu hushûlî
dan mengembalikan semua ilmu hushûlî
itu kepada ilmu hudhûrî.
Ia menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi ilmu
adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal.[113] Dikarenakan
ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang mengetahui dan
objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan.
Dengan kata lain, ilmu hudhûrî
secara langsung menangkap objek-objek eksternal.[114]
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat dan sumber pengetahuan
manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra batiniah atau
konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap bersumber dari indra
batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra lahir seperti mendengar,
melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan melihat itu misalnya
merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas penglihatan (al-quwwah al-bâshirah)[115] dan kita
mendapatkan gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa,
bukan dari penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu. Penglihatan mata
itu akan menghasilkan reaksi khusus fakultas jiwa dan segala gambaran dan
konsep pikiran yang dicerap dari fakultas tersebut pada dasarnya adalah
pengetahuan esensial (ma’lum
bidz- dzat, essential known).[116] Dari hal ini,
menurutnya, objek-objek eksternal pada hakikatnya adalah pengetahuan aksidental
(ma’lum bil ‘aradh,
accidental known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak dipaparkan oleh para
filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi konsep-konsep filosofis
seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden, wujud, tiada, dan lain-lain.
Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada
prinsipnya, perspektif seperti ini sekaligus merupakan jawaban atas keraguan
David Hume dan Immanuel Kant yang menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat,
dan sejenisnya dan menganggap segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran
semata, hal ini karena, menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap
langsung oleh indra lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa
apabila suatu konsep yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas
dikategorikan sebagai konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan
khayalan semata.[117]
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam sebelumnya yang memandang
hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu yang melandasi
pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan dengan
keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya senada
dengan Syaikh Isyraq.[118]
11.
Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis tafsir atas karya gurunya
sendiri, Ushul-e Falsafeh
wa Realism. Ia dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta,
Tuhan, di awal-awal kemenangan revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah
Ruhullah Khomeni, pemimpin spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai
ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan hasil dari pendefinisian sesuatu[119] dan membagi
ilmu itu menjadi indriawi, imajinasi, dan rasional.[120] Indra juga
berperan sebagai sumber ilmu, namun tak mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas
lain yang berfungsi sebagai analisator, pengurai, dan penyusun memori yang disebut
dengan fakultas akal dan rasional.[121]
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal segala pengetahuan dan
juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq)
mesti berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam “pembenaran” itu bersandar
kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam
kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis
tidak akan memiliki pijakan.[122] Dalam
pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab dan akibat itu berasal dari hubungan
antara jiwa dan iradah. Idenya ini sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan
kritikan David Hume dan Immanuel Kant serta ia juga tidak menerima bahwa
konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran manusia semata.[123]
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi akal merupakan hal yang
gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi. Ia sependapat dengan
gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan “kesesuaian pengetahuan
rasional” dengan objek-objek eksternalnya, karena kalau tak demikian halnya
akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme, tertutup ruang pengkajian filsafat,
dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.[124]
Catatan
Kaki
[1] . Muhammad Ali
Furughi, Seir-e Hikmat dar
eropa, jilid satu, hal. 74.
[2] . Muhammad Ali
Furughi, Seir-e Hikmat dar
Eropa, jilid kedua, hal. 141.
[3]. Syapur ‘Itemod, Tarikh Ma’rifat Syenosi,
hal. 2. Syahid Muthahhari, Syenokht-e
dar Quran, hal. 29. Taqi Mishbah Yazdi, Omusyes Falsafeh, jilid pertama, pelajaran
kesebelas. Mahdi Dahbosy, Nazariyeh-e
Syenokh, hal 32.
[4]. Perlu diketahui
bahwa apabila kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu itu hadir dalam
jiwa dan pikiran kita. Pada satu sisi kita memahami bahwa pada setiap sesuatu
memiliki dua dimensi, dimensi kuiditas dan dimensi wujud. Apabila sesuatu yang
hadir dalam pikiran kita adalah kuiditasnya (mahiyah),
maka ilmu kita terhadap sesuatu itu disebut “ilmu hushûlî” atau “pengenalan rasional“.
Pengenalan rasional ini memahami objek-objeknya lewat symbol-simbol, kata-kata,
kalimat, atau rumus-rumus. Namun, kalau sesuatu yang hadir dalam jiwa kita
adalah wujud eksternalnya, maka ilmu kita terhadap sesuatu itu di sebut “ilmu hudhûrî” atau “pengenalan intuitif“.
Misalnya ketika kita melihat api yang ada di luar diri kita, kalau yang kita
tangkap dari api adalah kuiditasnya, maka api yang ada di dalam pikiran kita
tidak akan membakar pikiran kita, akan tetapi, jika yang hadir dalam diri kita
adalah wujud api itu sendiri, maka niscaya akan membakar diri kita, karena yang
memiliki pengaruh membakar itu hanyalah wujud api, bukan kuiditasnya. Dengan
demikian, ilmu hudhûrî
menangkap objeknya secara langsung (immediate)
dan berkaitan dengan hakikat sesuatu. Pengetahuan intuitif ini ditandai oleh
hadirnya objek di dalam diri si subjek, karena itu pengetahuan ini disebut “presensial“.
Sementara ilmu hushûlî
hanya berhubungan dengan gambaran sesuatu itu. Ali Syirwani, Syarh-e Mushthalahât-e Falsafi,
hal. 110-111.
[5]. Silahkan
rujuk pada catatan kaki no. 4.
[6] . Kebenaran yang
belum diyakini adalah suatu bentuk kebenaran yang diterima secara taklid dari
orang-orang yang dipercaya dan belum melalui proses penelitian secara
sistimatis dan logis.
[7] . Plato adalah
orang pertama yang melontarkan bahwa keyakinan benar yang bisa dibuktikan
sebagai makrifat hakiki. Kaum epistemolog Barat mayoritas menyetujui makna ilmu
seperti ini. Aflatun, Daure-ye
Otsor, jilid kedua, hal. 1119. Paul Edward, Dâiratul Ma’ârif, jilid
ketiga, hal. 10.
[8] . Dalam
epistemologi kontemporer di Barat dibahas esensi ilmu (keyakinan benar yang
bisa dibuktikan), esensi alim (yang mengetahui), esensi ma’lum (yang
diketahui), sumber ilmu, keluasan ilmu yang mencakup ilmu terhadap Tuhan, jiwa
manusia, materi, hakikat sebagaimana adanya (noman), fenomena (yang tampak
kepada kita), pembagian ilmu berdasarkan keabsahan ma’lum, keabsahan alat,
keabsahan metode, keabsahan kehadiran ilmu, dan juga berdasarkan tolok ukur
ilmu. Apabila subyek epistemologi adalah penyingkapan secara umum, maka
akan tercakup segala apa yang disebutkan itu.
[9] . Seperti
pengkajian kaidah tentang sebab dan akibat, ada dan tiada, kemestian,
kemungkinan dan kemustahilan mewujud, wujud tetap dan berubah, qidam dan huduts,
wujud pikiran dan eksternal, wujud dan kuiditas, potensi dan aktual, dan wujud
materi, mitsal, dan non-materi.
[10] . Jalan menuju
makrifat tidak terbatas pada akal dan indra lahir, melainkan pencapaina
makrifat bisa dengan jalan syuhud irfani, ilham, dan berpuncak pada wahyu. Akan
tetapi, apa yang menjadi titik tekan dan inti pembahasan dalam epistemologi
adalah mengenai akal dan indra (lahir dan batin).
[11] . Syahid
Murtadha Muthahhari, Masaley-ye
Syenokh, hal. 13.
[12]. Yang
dimaksud dengan at-tashawwur
(penggambaran, konsepsi) adalah suatu gambaran pikiran dimana bukan penyandaran
sesuatu terhadap sesuatu yang lain, seperti gambaran tentang bulan, matahari,
bumi, langit, Tuhan, dan malaikat yang ada dalam pikiran kita.
[13] . Yang dimaksud
dengan at-tashdiq
(pembenaran, pengesahan) adalah penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain
dalam bentuk positif atau negatif, seperti dikatakan: Tuhan ada, ular naga
tiada, jiwa manusia non-materi, ….Dalam setiap pembenaran terdapat tiga
penggambaran: 1. Gambaran subyek, 2. Gambaran predikat, 3. Gambaran tentang
hubungan subyek dan predikat.
[14]. Yang
dimaksud dengan ‘kategori-kategori kedua filsafat’ (konsep-konsep filosofis)
adalah suatu konsep yang tidak memiliki individu luar dan tidak memiliki wujud
mandiri, namun berwujud mengikuti keberadaan subyeknya. Konsep ini diperoleh
dari analisa akal terhadap perkara-perkara eksternal, kehadiran konsep ini
tidak bisa terlepas dari keberadaan objek eksternalnya. Seperti konsep tentang
’sebab’ dan ‘akibat’, misalnya: api adalah ’sebab’ panas atau panas adalah
‘akibat’ dari api. Kalau kita perhatikan di alam eksternal, yang ada itu
hanyalah api dan panas. ‘Sebab’ dan ‘akibat’ itu tidak nampak diluar. Munculnya
konsep ’sebab’ itu berasal dari analisa akal atas hubungan khusus antara api
dan panas, dan konsep ’sebab’ itu lantas dipredikasikan kepada api. Oleh karena
itu, walaupun ’sebab’ ialah sifat untuk api, tapi ini tidak berarti bahwa
’sebab’ itu memiliki wujud yang mandiri dan terpisah dari api dan kemudian
melekat pada api. Semua konsep dalam filsafat berada dalam kategori-kategori
seperti ini.
[15] . Capelestun, Tarikh Falsafe-ye Garb,
jilid pertama, hal 65.
[16] . Muhammad Ali
Furughi, Seir-e Hikmat dar
Eropa, hal 15.
[17] . Yusuf Keram, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah,
hal. 21.
[18] . Frederick
Copleston, Tarikh
Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal. 99.
[19] . Ibid, hal.
106.
[20] . Ibid, hal.
112.
[21] . Ibid, hal.
126.
[22] . Ibid, hal.
149.
[23] . Frederick
Copleston,Tarikh Falsafe-ye
Garb, jilid pertama, hal. 171.
[24] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha,
hal. 10-11.
[25] . Ibid, hal. 11.
[26] . Ibid, hal. 12.
Dan Aristoteles, Metafisik,
hal. 95.
[27] . Seperti
pengetahuan kita terhadap keberadaan dan wujud diri kita sendiri.
[28] . Aristoteles, Metafisik, hal. 33.
[29] . Yang didirikan
pada tahun 300 M
[30] . Frederick
Copleston,Tarikh Falsafe-ye
Garb, hal. 443.
[31] . Ibid, hal.
261.
[32] . Ibid, hal.
472.
[33] . Plotinus,Tâsu’ât, risalah ketiga,
pasal empat, dan risalah kesembilan, pasal sembilan dan pertama.
[34] . Paul Edward, Ruh-e Falsafeh dar Qarn-e Wustha,
hal. 348.
[35] . Universal
lawan dari partikular yang berarti gagasan yang hanya bisa diterapkan untuk
satu objek individual.
[36] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha,
hal. 64.
[37] . Ibid, hal. 82.
[38] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha,
hal. 102.
[39] . Ibid, hal.
131.
[40] . Ibid, hal.
172.
[41] . Ibid, hal.
209.
[42] . Descartes,Taammulât, hal. 4-5.
[43] . Descartes
adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana
konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan
mutlak dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah
suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari
keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.
[44] . Metode ideal
yang ditawarkan oleh Descartes untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
antara lain:
1. Setiap
persoalan sebisa mungkin dianalisa dan dibagi dalam bagian-bagian yang
terkecil;
2. Hanya
menerima suatu hakikat yang gamblang dan badihi;
3. Mengatur
semua pemikiran kita sendiri dan menggabungkan hal-hal yang paling sederhana;
4. Dalam proses
pengaturan pemikiran ini, jangan sampai ada yang terlewatkan.
Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa,
hal. 167-172.
[45] . Rene
Descartes,Taammulât,
hal. 35-48.
[46] . Bentuk
keraguan Descartes bisa dijabarkan sebagai berikut:
1.
Panca indra manusia sangat rentan tertipu;
2.
Untuk hal-hal yang sangat jauh dan paling kecil, sangat mungkin panca indra
tertipu, tetapi tidak ada keraguan untuk hal-hal yang dekat seperti tangan,
badan, dan kaki;
3.
Bisa jadi semua yang dialami ini terjadi dalam kondisi tidur;
4.
Kita bisa meragukan semuanya, namun kita tidak bisa meragukan matematika;
5.
Adalah sangat logis apabila kita meragukan segala sesuatu.
[47] . Ibid, hal.
46-47.
[48] . Ibid, hal.
51-53.
[49] . Ibid, hal,
124-125.
[50] . Muhammad Ali
Furughi, Seir-e Hikmat dar
Eropa, hal. 36-38.
[51] . Ibid, hal.
102-106.
[52] . Buzurg Mehr, Falosefe-ye Tajribi Ingleston,
hal. 18.
[53] . Ibid, hal. 32.
[54] . Ibid, hal. 26.
[55] . Ibid, hal. 28.
[56] . Ibid, hal. 65.
[57] . Ibid, hal.
90-94.
[58] . Ibid, hal. 55
dan 56.
[59] . George
Berkeley, Risalah dar
‘Ilm-e Insani, hal. 12.
[60] . Ibid, hal.
22-24.
[61] . Ibid, hal.
31-38.
[62] . David Hume, Tahqiq dabore-ye fahm-e basyar,
hal. 123.
[63] . Ibid, hal.
134-137.
[64] . Ibid, hal.
151-152.
[65] . Ibid, hal.
169-174.
[66] . Frederick
Copleston, Filusufon-e
Inggliston, hal. 290-291.
[67] . Ibid, hal.
310-313.
[68] . Ibid, hal.
316-321.
[69] . Hisam
Muhiddin, Falsafatul Kindi,
, hal. 30-46. Dan Muhammad Syarif,
Tarikh Falsafe dar Islam, , jilid 1, 6, 8.
[70] . Al-Farabi, al-Jam’u baina Ra’yi al-Hakimain,
hal. 98-99.
[71] . Al-Farabi, at-tanabbuh ‘ala Sabili as-Sa’adah,
hal. 80-82
[72] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat,
jilid kedua, hal. 308.
[73] . Ibid, jilid
pertama, hal. 214-215. Dan jilid kedua, hal. 321. Burhan syifa, hal. 220-223.
[74] . Ibnu Sina, asy-syifa, Tabi’iyyat, Nafs,
hal. 184-185.
[75] . Ibnu Sina, asy-syifa, Mantiq, Burhan,
hal 63. Dan Ta’liqat,
hal. 79. An-Najah,
hal. 64. Mubahetsat,
hal. 20. Al-Isyarat wa
at-Tanbihat, hal. 212-215.
[76] . Ibnu Sina, Ta’liqat, hal. 148-161.
[77] . Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl,
hal. 12-15.
[78] . Ibid, Mihakk an-Nazhar, hal.
90-98.
[79] . Ibid, Mizânul ‘Amal, hal13.
[80] . Ibid, Mi’yâr al-Ilm, hal.
66-67.
[81] . Fakhruddin
Razi, al-Muhashshal,
hal. 84.
[82] . Adalah
gambaran pikiran dan perasaan internal tentang sesuatu. Misalnya gambaran pohon
yang hadir dalam pikiran kita. Jadi, “yang diketahui secara esensial” itu
adalah gambaran pohon yang ada di alam pikiran dan bukan pohon hakiki yang ada
di alam eksternal.
[83] . Ibid, al-Mubâhats al-Misyriqiyyah,
jilid pertama, hal. 41, 100, 103, 320, 331.
[84] . Ibid, jilid
kedua, hal. 350-352.
[85] . Metode
rasional menangkap objek secara tidak langsung , yakni penangkapan objek
melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui
sebelumnya.
[86] . Berbeda dengan
metode rasional, metode intuitif menangkap objek secara langsung atau immediate, namun
objek-objek intuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa,
dan bahagia. Metode observasi (yang berkaitan dengan pengamatan indriawi), pada
satu sisi, sama dengan metode intuitif, yakni sama-sama menangkap objeknya
secara langsung, namun, objek-objek observasi itu berhubungan dengan
objek-objek fisik.
[87] . Syaikh Isyraq,
Majmue-ye Mushannafât,
jilid pertama, hal. 70-74.
[88] . Ibid, hal. 1,
68, 72, dan 484-487. Dan jilid kedua, hal. 2, 3.
[89] . Pemikiran kaum
Skeptis adalah meragukan segala sesuatu atau tidak meyakini setiap hal.
[90] . Yakni mustahil
orang menganut sesuatu yang diragukannya, apalagi berdasarkan keraguan atas
sesuatu itu, ia menolak dan bahkan menjungkir balikkan pemikiran-pemikiran yang
lain.
[91] . Ibid, jlid
pertama, hal. 211-212.
[92] . Ibid, jilid
kedua, hal. 18
[93] . Ibid, jilid
pertama, hal. 133-134. Jilid kedua, hal. 15. Jilid ketiga, hal. 2-3.
[94] . Ibid, jilid
kedua, hal. 15 dan jilid ketiga, hal. 2-3.
[95] . Syaikh Thusi, Tajrid al-Mantiq, hal.
10-53. Asâs al-Iqtibâs,
hal. 17-345. Talkhish
al-Muhashshal, hal. 14 dan 15.
[96] . Seperti,
universal lebih besar daripada partikularnya sendiri, kemustahilan penyatuan
hal-hal yang saling berlawanan.
[97] . Ibid, Tajrid al-Mantiq, hal.
53.
[98] . Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal.
278.
[99] . Ibid, Mafâtih al-Ghaib, hal.
108-110.
[100] . Ibid, Tafsir Mulla Sadra, jilid
keenam, hal. 282. Mafâtih
al-Ghaib, hal. 140.
[101] . Ibid, asy-Syawahid ar-Rububiyyah,
hal. 142. Dan Matiq Nuwin,
hal. 25.
[102] . Ibid, Asfar, jilid pertama,
hal. 207-208. Mafatih
al-Ghaib, hal. 140.
[103] . Ibid, al-Mabda wa al-Ma’âd, hal
484. Kasr al-Ashnâm
al-Jahiliyyah, hal. 10.
[104] . Ibid, Asfar, jilid pertama,
hal. 332, 333.
[105] . Ibid, hal.
335, 338, dan 339.
[106] . Dalam
filsafat Islam, salah satu pembagian lain wujud adalah wujud dibagi menjadi
wujud di alam pkiran dan wujud di luar pikiran. Perwujudan kuiditas
maujud-maujud eksternal di alam pikiran sebagaimana perwujudan hal itu di alam
eksternal. Ini merupakan istilah umum mengenai wujud di alam pikiran (untuk
penggunaan selanjutnya dalam makalah ini, akan kami singkat menjadi “wujud
pikiran”).
[107] . Lihat, Asfar, jilid pertama,
hal. 76, 263, 327, dan jilid ketiga, hal. 280-309. Al- Masâil al-Quddusiyah, hal. 33-72. Mafâtih al-Ghaib, hal.
101, 102. Risalah
at-Tashawwur wa at-Tashdiq, hal. 308. Syarh al-Hidayah, hal. 222.
[108] . Ibid, Risalah at-Tashawwur wa at-Tashdiq,
hal. 308.
[109] . Suatu konsep
yang memiliki objek luar, yakni di alam eksternal ia memiliki wujud khusus yang
walaupun senantiasa bergantung kepada wujud lain, seperti “panas” atau “dingin”
dimana masing-masing memiliki wujud tersendiri. Misalnya dikatakan, “panas
benda”, ” panas” ini memiliki wujud khusus yang berbeda dengan benda itu
sendiri dimana di alam luar ” panas” ini dipredikasikan, diatributkan, dan
diaksidenkan dengan benda sehingga membuat benda itu menjadi panas. Seluruh
konsep-konsep kuiditas seperti itu, yakni menyatu dengan wujud yang lain dan
diaksidenkan kepada subyeknya di alam eksternal.
[110] . Rujuk
penjelasan rincinya pada makalah ini di catatan kaki no.14.
[111] . Adalah
konsep-konsep yang hanya menjelaskan perkara-perkara pikiran dan tidak bisa
dipredikasikan kepada objek-objek eksternal. Seperti konsep universal,
partikular, dalil, proposisi, pendefinisi, dan konsep logikal lainnya.
Misalnya, universalitas itu bukan sifat bagi satu maujud eksternal dari sisi
keeksternalannya. Dengan kata lain, konsep ini hanya memiliki individu di alam
pikiran dan tidak memiliki individu luar. Kuiditas manusia ketika hadir dalam
pikiran, maka akan menjadi individu bagi konsep logikal universal dan
tersifatkan dengan universalitas. Penyifatan ini tidak terjadi ketika berada di
alam eksternal. Dengan demikian, konsep-konsep logikal merupakan sifat-sifat
bagi konsep-konsep pikiran, bukan perkara eksternal. Ketika konsep ini adalah
sifat bagi pikiran, maka predikasinya dengan subyeknya pun niscaya terjadi dalam
pikiran.
[112] . Mulla Hadi
Sabzawari, Syarh
al-Manzumah, al-Ilahiyyat al-Khas, hal. 53
[113] .
Muhammad Husain Thabathabai, Ushule
Falsafeh wa Realism, hal. 41. Perlu diketahui bahwa kitab ini
merupakan karya khusus almarhum yang membahas epistemologi.
[114] . Ibid, hal.
36, dan 37-60. Nihayah
al-Hikmah, hal. 237, dan 259-260.
[115] . Salah satu
dari fakultas dan indra batin.
[116] . Ibid, Burhan, 136,138, dan 140.
Ushul-e Falsafeh wa realism,
hal. 60.
[117] . Ibid, Ushul-e Falsafeh wa realism,
hal. 67-171.
[118] . Ibid, Burhan, 136, 137, dan
138. Nihayah al-Hikmah,
hal. 2-252. Tafsir al-Mizan,
jilid kelima, hal. 254-271. Ushul-e
Falsafeh wa Realism, hal. 11, 15, 46, 47, 68, 69, 79, 82, 101, 156,
dan 164.
[119] . Yang dimaksud
adalah ilmu hushûlî.
[120] . Murtadha
Muthahhari, Osynôy-e bo
‘Ulum-e Islam wa Mantiq, hal. 29. Masale-ye Syenôkh, hal. 98-109. Pôwaraqi Asfar, jilid
pertama, hal. 45-55.
[121] . Ibid, Masale-ye Syenôkh, hal.
38-42.
[122] . Ibid, Powaraqi Ushul-e Falsafeh,
jilid kedua, hal. 16. 17.
[123] . Ibid, hal.
62.
[124] . Ibid, jilid
pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.
No comments:
Post a Comment