Oleh: Mahsun
Mahfudz[1]
Abstrak
Kalau kita
mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’
(kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan
dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang
komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah
salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam
wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam
memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi,
antropologi, dan seterusnya. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan
pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh
meninggalkan disiplin ilmu yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak
maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak aplicable.
Oleh karenanya ijtihad harus selalu digelorakan dan pintu ijtihad tidak pernah
ditutup.
Dalam kontek
menggelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqh merupakan perangkat metodologi
baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab
dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya
(al-qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena
peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk
menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul
banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha
menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika
kemajuan zaman.
Kenyataan ini
tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi
global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu
dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya
termasuk metodologi ushul fiqih (qawaid ushuliyah) dan metodologi
pemahaman fiqih (qawaid al-Fiqhiyyahi). Hal ini merupakan pekerjaan
besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam (self
image of Islam) di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan
berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan
pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di
Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik dengan
perangkat metodologinya sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.
Di
kalangan NU, munculnya keputusan Munas Bandar Lampung pada tahun 1992 tentang
penggunaan cara bermazhab secara manhaji yakni menggali hukum dengan
mempraktekkan kaidah-kaidah fiqih dan ushul fiqih, bisa dibilang satu kemajuan
tersendiri, namun ketika kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih dihadapkan kepada
permasalahan yang belum ada ketentuan hukum baik dalam al-Qur’an, Assunnah
maupun dalam kitab-kitab klasik tentu akan tidak cukup untuk dapat menjawabnya.
Sebagai contoh masalah asuransi konvensional, akan lebih tepat jika status
hukumnya dipertimbangkan dari segi ada atau tidaknya maslahah dalam
praktik transaksi tersebut. Dan untuk
melihat mashlahah itu akan lebih tepat jika dengan melibatkan teori
ekonomi yang terkait, tidak melulu dengan kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqih.
Sehingga pertimbangan ada atau tidaknya unsur riba dalam asuransi tidak selalu
ditentukan oleh definisi riba yang biasa dipakai oleh ulama-ulama fiqih klasik
tetapi perlu adanya pengembangan pemahaman definisi tersebut dengan menggunakan
perangkat analisis teori-teori ekonomi.
Oleh karenanya,
upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiy yang telah
didefinisikan di atas adalah sebuah keniscayaan. Usaha itu dilakukan dalam
rangka pengembangan pemikiran metodologis
menuju –meminjam istilah Qodri Azizi- “ijtihad saintifik modern” dengan metode
“manhajiy eklektis”[2] atau “manhajiy
plus saintifik”, sebagai implementasi al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh
wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah.
Dalam
implementasinya, pengawinan dua metodologi tersebut menurut hemat saya harus
memenuhi prasyarat utama yaitu menjadikan al-maslahah al-‘ammah (kepatutan
umum) sebagai pertimbangan penentu dalam menggali sebuah hukum pada tiga
ranah utamanya yaitu dharuriyat (kebutuhan mendesak), hajiyat
(kebutuhan normal), dan tahsiniyat (kebutuhan komplementer). Mengapa,
karena menurut Abdul Wahab Khallaf, pada hakikatnya hukum Islam selalu dibangun
atas dasar mewujudkan maslahah. Sementara untuk menilai ada atau
tidaknya maslahah pada suatu perbuatan hukum harus selalu memperhatikan
kondisi riil. Pada titik inilah kontekstualisasi teks-teks agama menjadi
kebutuhan.
A. Pendahuluan
Di kalangan NU,
Musyawarah Nasional (MUNAS) alim-ulama pada tanggal 21-25 Juli 1992 di Bandar
Lampung adalah awal munculnya kesadaran formal akan pentingnya pengembangan
pemikiran metodologis khususnya dalam rangka melakukan ijtihad untuk mengambil
keputusan hukum. Menurut Ahmad Zahro -melalui telaah dokumenter- sepanjang
kurun waktu 1926 sampai dengan 1999 disimpulkan bahwa Lajnah Bahtsul Masa’il[3] dalam
mengaplikasikan pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian
hukum yang diterapkan secara berjenjang,[4] yaitu
sebagai berikut:
Pertama, metode qauly
(tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat
atau pendapat ulama pengikutnya.[5] Kedua, metode
ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan
hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fikih.[6] Ketiga, metode
manhajiy (bermazhab secara manhajiy/metodologis); yaitu
menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiy
adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh)
dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).[7]
Ditilik dari
sisi pengembangan teoritis dalam metode berijtihad, munculnya penegasan secara
teoritis dalam hal metode dan prosedur penggalian hukum, metode manhajiy
merupakan suatu perkembangan yang ideal karena konsekuensi penggunaan metode
ini adalah harus mengacu pada metode penggalian hukum mazhab empat secara
komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya.[8] Akan
tetapi itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul
fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum
kontemporer. Oleh karenanya agar metode itu compatible dengan dunia
modern, maka perlu ada pengembangan metodologi.
Sementara berijtihad
secara manhajiy dengan pengertian di atas, karena masih berkutat pada
pengambilan dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum
sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam kontek
memecahkan problem hukum kontemporer.[9] Pengembangan
metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik
memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode sain modern
karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan jawaban
kebutuhan muslim kontemporer. Pada titik inilah saya mencoba menawarkan sebuah
gagasan untuk mengisi ruang kosong dalam hal pengembangan metodologi.
Pengembangan
yang dimaksud adalah melakukan upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab
secara manhajiy yang telah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan
motode-metode sain modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari
metode-metode Islam klasik maupum metode-metode Barat modern. Sintesa dari
keduanya diharapkan menghasilkan sebuah metode yang cukup applicable. Usaha
itu dilakukan dalam rangka pengembangan
pemikiran metodologis menuju –meminjam istilah Qodri Azizi- “ijtihad saintifik
modern” dengan metode “manhajiy eklektis”[10] atau “manhajiy
plus saintifik”, sebagai implementasi al-Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh
wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (melestarikan khazanah lama yang baik
dan mengambil khazanah baru yang lebih baik) .
B. Ketidakcukupan Metode-metode Klasik
Perkembangan
pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya[11] telah
menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya.
Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangkan berpikir yang
berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Ajaran dan
semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan
agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary
(suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia
dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka
secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula.[12] Dalam
konteks ini, ijtihad[13]
merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.
Dalam kontek
mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqh merupakan perangkat metodologi
baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab
dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya
(al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena
peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk
menjawab problem kontemporer.[14] Hal ini
memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer
Kesulitan-kesulitan
yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi lebih akut oleh kenyataan
bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan
tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik
dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah
modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi
misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan metode-metode tersebut terungkap dalam
dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama
adalah pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni
memasukkan problem-problem modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga
dengan cara demikian mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan
mereduksi ilmu ke dalam fiqh. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan
seluruh criteria dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang
murni intuitif dan esoteris".[15]
Keprihatinan
serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang mengaitkan krisi
intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa
pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam
penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan legalistik.
Konsekuensinya meskipun seorang faqih (jurist) dididik untuk
menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami
sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan
seluruh problem masyarakat modern.[16] Akibatnya
untuk menjawab problem-problem kontemporer masih selalu mengandalkan informasi
dari kitab-kitab klasik secara tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna
substansinya apalagi metode berpikirnya.
Aspek lain dari
ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh Muna Abu Fadl. Alasan
metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa bila studi fenomena sosial
mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan cara itu relasi-relasi sosial
disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, metode klasik bersifat
atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.[17] Oleh
karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari
para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya
untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.[18]
Kenyataan ini tidak bisa ditolak
karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah
menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika
pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk
metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-Fiqhiyyah. Dinamika yang
dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya inkorporasi wahyu ke dalam
penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana-sarjana muslim dari paksaan
epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan
dalam rangka membangun cita diri Islam (self image of Islam) di tengah
kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang.[19] Di
Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum
Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqh klasik sudah tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan kontemporer.
C. Korporasi
Wahyu dan Metode Ilmiah
Walaupun kebenaran wahyu itu mutlak,
tetapi sebagai bukti kebijakan Allah, nabi dan rasul tidak diperbolehkan
memaksakan ajarannya (kebenaran) kepada orang lain.[20]
Demikian pula yang menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka tidak pernah
memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya, bahkan
mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang lebih
valid.
Pada zaman modern, Islam berada dalam
ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqh yang
mestinya dapat berperan sebagai metodologi baku bagi seluruh pemikiran
intelektual Islam, dipersempit wilayah kerjanya hanya terbatas dalam bidang
hukum Islam. Oleh karenanya sangat beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran
fiqh Islam dikarenakan kurang relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqh
untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal inilah yang kemudian
menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir Islam untuk merumuskan dan
memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut. Al-Jabiri
misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran Islam, yaitu modernis
(‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun), dan
eklektis (taufiqiyyun).[21] Menurut
al-Jabiri, bahwa tipologi itu terjadi karena terdapat relasi signifikan pada
titik tertentu antara satu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai
respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan
berkembang di masyarakat.[22]
Doktrin ideal
yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian
yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan”
sebagai mana mestinya”.[23] Demikian,
agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya,
manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di
dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal”
tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang
harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman
intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami
sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.[24]
Apresiasi atas agama harus dilakukan
pengungkapan makna dibalik teks kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan
tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di
antara Islam Ideal dan Islam Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya
yang menganjurkan agar akal dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam
ayat. Di situlah Islam mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai
metode untuk merekonstruksi pemikiran Islam.[25] Melalui
cara seperti ini seorang mujtahid dapat memastikan posisi akal pikirannya dalam
mencampuri hukum Allah. Ini berarti, antara akal dan wahyu harus ditempatkan
pada posisi yang proporsional dalam artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri
akal tetapi akal dalam perannya tidak boleh melampaui wahyu karena, kebenaran
wahyu bersifat mutlak dan kebenaran akal manusia bersifat relatif (nisbi).[26] Keduanya
tidak boleh saling menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi
terhadap problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan
problematika sebagai realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama.
Oleh karenanya dalam memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.
Hal itu penting,
karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’
(kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan
dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang
komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah
salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan qira’ah maqashidiyyah.[27]
Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang
digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya
misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada wilayah inilah metode
ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan demikian idealnya
adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena
sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan segala
perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka
pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak applicable.
D. Peta
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Di Indonesia, setidaknya ada dua
kelompok besar yang terlibat dalam pembahasan tentang pemberlakuan hukum Islam
di Indonesia. Dua kelompok itu adalah kelompok yang menekankan pendekatan
normatif (formalisme) dan kelompok yang menekankan pendekatan kultural
(budaya). Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam adalah lengkap,
sehingga hukum Islam harus diterapkan kepada seluruh umat Islam untuk
dilaksanakan dalam seluruh kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang kelompok kedua
berpandangan pentingnya penyerapan nilai-nilai hukum Islam ke dalam masyarakat.
Tokoh semisal KH. M.A. Sahal Mahfudh, KH. Ali Yafi dengan pemikiran “Fiqh
Sosial” masing-masing adalah termasuk kelompok yang kedua.
Bagi KH. Sahal bermazhab secara
metodologis (manhaji) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh
dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicable seiring dengan
berubahnya ruang dan waktu, sehingga pemahaman fiqh secara tekstual merupakan
aktifitas ahistoris dan paradoks dengan problem kontemporer.
Menurut KH.
Sahal Mahfudh, keniscayaan itu disebabkan bukan hanya karena memahami secara
tekstual terhadap teks-teks dalam kitab kuning merupakan aktifitas yang ahistoris,
tetapi juga paradoks dengan makna dan
karakter fiqih itu sendiri, sebagai sebuah hasil pemahaman yang tentunya
bersifat relatif menerima perubahan.[28]
Sedangkan prosedur berijtihad/beristinbath secara manhajiy
(metodologis) menurutnya adalah dengan cara melakukan ferifikasi
persoalan-persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar) dan permasalahan
yang termasuk furu’ (cabang) dengan terlebih dahulu melakukan
klasifikasi apakah termasuk dlaruriyyat (kebutuhan mendesak), hajiyat
(kebutuhan sekunder), atau tahsiniyyat (kebutuhan tambahan).[29]
Pada tataran
aplikasi KH. Sahal Mahfudh tampaknya sepakat dengan pendapat Maliki dan Hanbali
dengan konsep al-Maslahah al-Mursalah dan asy-Syatibi dengann teori maqashid
al-Syariah. yang selalu memandang aspek mashlahah sebagai acuan syari’ah dalam beristinbath
dengan tetap memperhatikan pendapat para shahabat, dan fuqoha awal. Cara
ini ditempuh agar dalam proses penggalian hukum (istinbath) tidak
terjerat ke dalam arus modernitas–liberal semata, tetapi tetap dalam kerangka
etik profetik dan frame kewahyuan. Atas dasar pemikiran ini, beliau
memberikan tawaran pemikiran “Fiqih Sosial” merupakan jawaban alternatif guna
menjembatani antara otentisitas “doktrin dengan : tradisi dan realitas sosial”.[30] Dilihat
dari substansi konsep dan semangatnya, tawaran Sahal Mahfudh tersebut nampaknya
tidak jauh dengan apa yang disebut bermazhab secara manhajiy yang
diproklamirkan pemakaiannya pada Munas di Bandar Lampung tahun 1992.
E. Rekonstruksi Metode Bermazhab Secara
Manhajiy: Sebuah Tawaran
Ketika berbicara tentang upaya
melakukan studi rekonstruksi terhadap
suatu konsep, tentu yang paling pertama diketahui adalah pengertian
rekonstruksi itu sendiri. Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction
(Inggris) berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau
perangkaian kembali.[31] Dalam
sebuah aliran dalam filsafat pendidikan dikenal sebuah teori rekronstruksionisme
yang mengatakan bahwa bagi aliran ini, persoalan-persoalan pendidikan dan
kebudayaan dilihat jauh ke depan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata
peradaban yang baru.[32] Menurut
Hasan Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam
berdasarkan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer.[33]
Dalam konteks teori-teori tersebut di
atas, konsep bermazhab secara manhaji yang telah diputuskan oleh
Musyawarah Nasional (MUNAS) NU sebagai salah satu metode untuk memecahkan
masalah-masalah hukum adalah salah satu bentuk produk kebudayaan.[34]
Sementara kaidah-kaidah fiqh dan kaidah-kaidah ushul fiqh adalah
warisan-warisan Islam yang seharusnya senantiasa dituntut menyesuaikan spirit
modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Oleh karenanya kiranya perlu
dilakukan rekonstruksi agar senantiasa kapabel untuk menjawab problem ke depan.
Ini penting dilakukan karena teks terbatas sementara permasalahan selalu
muncul.[35]
Sehingga teks-teks tersebut menjadi tidak cukup memadai untuk menjawab
problem-problem kontemporer.
Ketidakcukupan tersebut dapat
ditelusur ketika kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah dihadapkan
kepada permasalahan yang belum ada ketentuan hukum baik dalam al-Qur’an,
Assunnah maupun dalam kitab-kitab klasik tentu akan tidak cukup untuk dapat
menjawabnya. Sebagai contoh masalah asuransi,[36] maka
akan lebih tepat jika status hukumnya dipertimbangkan dari segi ada atau
tidaknya maslahah dan untuk melihat mashlahah itu akan lebih
tepat jika dengan melibatkan teori ekonomi yang terkait, tidak melulu dengan kaidah
ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, walaupun tanpa harus meninggalkan sikap
bermazhab yang telah menjadi komitmen Nahdlatul Ulama.
Secara operasional upaya rekonstruksi
metode bermazhab secara manhaji harus selalu memperhatikan aspek maqashid
al-Syari’ah (tujuan-tujuan syari’at),[37] sehingga
hukum yang didapatkan tidak akan terlepas dari karakteristik dasar hukum Islam
yaitu takammul (sempurna, bulat, tuntas), wasathiyyah (imbang),
dan harakah (dinamis). Untuk menjawab tantangan dan memecahkan problema
masa kini, kiranya sudah saatnya dilakukan rekonstruksi bangunan metode ushul
fiqih tersebut untuk dikawinkan dengan metode saintifik modern agar dihasilkan
sebuah keputusan hukum yang aplicable.[38] Perkawinan itu dilakukan dengan mengambil
elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun dari Barat modern.
Karena penolakan secara besar-besaran dan a priori terhadap kedua
tradisi adalah tidakilmiah.
G. Tugas ke
Depan
Dengan segala keangkuhan ilmiahnya,
metode Barat sesungguhnya memiliki sejumlah kekurangan, sebagaimana dijelaskan
oleh Louay Safi, yaitu pertama, semenjak awal formulasinya dalam
karya-karya Francis Bacon dan Rene Descrates, metode modern Barat mengalami
bias empirisis yang pada masa kontemporer mencapai puncaknya pada pendekatan
positivistic logis yang dijelmakan dalam behavioralisme Barat. Dengan menggunakan
pendekatan positivistic, metodologi Barat bergerak pada tingkat universalitas
perbuatan yang disarikan dari masyarakat barat kontemporer, dengan cara
demikian meningkatkan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat modern kepada
status hokum-hukum universal. Demikian pula metode yang direngkuh
sarjana-sarjana Barat menghasilkan hukum dan teori yang bias.
Kedua, pada tiga abad
terakhir, sarjana Barat secara sempurna menyingkirkan wahyu sebagai suatu
sumber pengetahuan, dan dengan demikian telah mereduksi wahyu pada tingkat
semata-mata sebagai khayalan dan dongeng. Walaupun penyingkiran itu berakar
dari konflik sarjana Barat dengan wahyu dalam injil, kenyataannya penyingkiran
itu mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan muslim terpaksa mengadopsi secara berlebihan
metode-metode barat, dan karenanya tidak menjadikan wahyu sebagai sumber
pengetahuan, atau menerima wahyu secara sempurna mengorbankan metode-metode
modern dan membatasi diri pada metode-metode klasik semata.[39]
Sementara Louay Safi juga melihat
bahwa ada tiga faktor keterbatasan mainstream metode tradisional yaitu
bersifat legalistik, linguistik, dan terlalu atomistik. Dalam sejarahnya,
sesungguhnya telah muncul pemikiran klasik yang berusaha menyeimbangkan mainstream
tersebut semisal teori maqasid asy-syari'ah (tujuan-tujuan syari'ah)
yang dikemukakan asy-Syatibi. Teori ini dimaksudkan untuk mensistematisasikan
ilmu fiqh dan mengimbangi kecenderungan atomistik dalam pemikiran hukum klasik.[40]
Oleh karena itu tugas para ilmuwan
muslim kontemporer adalah menguji metode-metode yang berkembang dalam tradisi
Barat maupun muslim untuk menentukan sumber-sumber keterbatasan dan
kelebihannya, dan selanjutnya dicari kemungkinan pengembangan dan perkawinan
antara kedua metode tersebut agar dihasilkan anak metode baru yang komprehensif
dan memadahi untuk menjawab problem kontemporer.
[1]Dosen STAI An-Nawawi dan
STAINU Purworejo. Makalah disampaikan dalam forum diskusi ilmiah nasional dalam
Annual conference tanggal 26-30 Nopember 2006 di UIN Bandung.
[2]Istilah “eklektis”
dipinjam dari konsep tipologi pemikiran Islam al-Jabiri yaitu sebuah tipe
pemikiran dalam Islam yang berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik dari
Barat modern maupun Islam, dan kemudian diramu sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi model modernis dan tradisionalis.
[3] Lajnah Bahtsul Masa’il
adalah semacam lembaga fatwa keagamaan milik Nahdlatul Ulama (NU). Secara
operasional lembaga ini melakukan kajian hukum Islam untuk menemukan ketentuan
hukum dari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat (masa’il waqi’iyyah).
[4] Ahmad
Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999,
(Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 118-124.
[5] Aziz
Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press,
1997), h. 365-367.
[8] Metode
dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an,
al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab
Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl
Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dam
az-Zara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an,
al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash,
Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa
ash-Shahabah, dan al-Istishhab. Lihat
Ahmad Zahro, Op. Cit., h. 130-131.
[9] A.
Qodri Azizi, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik
Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003),
h. 54.
[10] Istilah
“eklektis” dipinjam dari konsep tipologi pemikiran Islam al-Jabiri yaitu sebuah
tipe pemikiran dalam Islam yang berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik
dari Barat modern maupun Islam, dan kemudian diramu sedemikian rupa sehingga
dapat memenuhi model modernis dan tradisionalis.
[11] Menurut
Nourouzzaman, sejarah adalah peristiwa masa lalu sebagai cermin masa yang akan
datang. Lihat Nourouzzaman ash-Shiddieqiy, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 12.
[12] M. Amin
Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), h. 227.
[13] Ijtihad menurut
ulama ushul fiqh ialah usaha seseorang ahli fikih yang menggunakan seluruh
kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari
dalil-dalil yang terperinci.. Lihat Ahmad Abu Zahrah, Ushul al- Fiqh, (Dar
al-Tsaqafah, t.t.), h. 216. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Edisi terjemahan
Saifullah Ma’shum dkk., Cet. VIII, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003),
h. 567. Juga Abdul Wahab Khallaf, Ilm
Ushul al-Fiqh, Cet. XII, (Kairo: Dal al-Qalam, 1978), h. 216.
[14] Menurut
Abdillah Ahmad An-Na’im, hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan
dalam memadukan pola pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam
beberapa hal, antara lain yang berkaitan dengan hukum publik,
konstitusionalisme modern, hukum pidana, hukum internasional modern serta Hak
Asasi manusia. Baca Adullahi Ahmed An-na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Rights and International Law, (New York: Syracusse
University Press, 1990).
[15] Ismail R. al-Faruqi, Islamization
of knowledge: General principles and Work Plan, (Herdon, VA: IIIT, 1987),
h. 19.
[16] Louay
Safi Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode
Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2001), h. 20.
[18] Kalau
metodologi ulama klasik menitik beratkan pada usaha interpretasi literal
al-Qur’an dan as-Sunnah, maka metodologi baru yang ditawarkan –terutama oleh
kelompok liberal-religius- menekankan pada aspek hubungan dialektis
antara teks wahyu dengan realitas dunia modern. Hubungan antara teks wahyu dan
realitas dunia modern tidak disusun melalui interpretasi literalis melainkan
melalui interpretasi terhadap jiwa dan pesan universal yang dikandung dalam
teks. Menurut Hallaq, ada dua kelompok yang menawarkan metodologi baru yaitu, Utilitarianisme
Religious dan Liberalisme
Religious. Lihat
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Theories (Cambridge: Cambridge University Press,
1997), h. 207, 212, 214.,
[19] W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity,
(London and New York Routledge, 1988),
h. 140.
[20] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina,
2004), h. 74.
[21] Kaum modernis
(‘asraniyyun, hadathiyyun) menawarkan adopsi modernitas dari Barat
sebagai model paradigma peradaban modern untuk masa kini dan masa depan.
Sebaliknya, kaum tradisionalis (salafiyyun) berupaya
mengembalikan kejayaan Islam masa lalu, sehingga selalu mempertahankan refrensi
masa lalu sebagai hal yang masih relevan untuk menjawab masa kini. Sedangkan
kaum eklektis (taufuqiyyun) berupaya mengadopsi unsur-unsur
terbaik yang terdapat dalam model Barat modern maupun Islam (masa lalu) serta
mempersatukan diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model
tersebut. Lihat M. ‘Abid al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, terj.
Ahmad Basso, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
h. 186.
[22] Muhammad ‘Abid al-Jabiri,
Isykaliyat al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir, (Beirut: Markaz Dirasah
a-Wihdah al-Arabiyyah, 1089), h. 13.
[23] Mastuhu
& Deden Ridwan, “Tradisi Penelitian Agama Islam”, (Bandung :
Penerbit NUANSA PUSJARLIT, 1998), h.
iii.
[24] Ibid, h. iv.
[25] Ibid.
[26] Said Husain al-Munawwar, Op.
Cit., h. 27.
[27] Lebih jelas lihat
asy-Syatibi, Loc. Cit.
[28] Sumanto al-Qurtubi, KH.
M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit CERMIN,
1999). h. 116.
[29] Ibid, h. 117.
[30] Ibid, h. 119-120.
[31] Lihat Bryan A. Garner
(ed.), Black’s Law Dictionary (USA: West Group, 1999), h. 1278. Juga
Osman Raliby, Kamus Internasional
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 439. Juga John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus
Inggris – Indonesia (Jakarta: gramedia Pustaka Utama, 1976), Cet. XXIII, h.
471.
[32] Ali
Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran
dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah mada University Press,
1996), h. 213.
[33] Ia
menawarkan ide teologi baru, yakni bahwa teologi tidak sekedar teologi
doktriner tetapi lebih merupakan ideology revolusi ideologis yang dapat
memotivasi kaum muslim modern untuk bereaksi melawan despotisme dan penguasa
otoriter. Lebih lanjut lihat tulisan Hasan hanafi, Min al-Aqidah ila
al-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1991).
[34] Secara
ontologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai produk dari eksistensi diri
manusia, yang meliputi semua aspek kegiatan manusia baik dibidang sosial,
politik, ekonomi, kesenian, ilmu, dan teknologi maupun agama. Lihat Musa
Asy’arie, Filsafat Islam tentang
Kebudayaan (Yogyakarta: LESFI, 1999),
h. 63.
[35] Nasrun
Rusli, Konsep Ijtihad Assyaukani (Jakarta: PT. Logos wacana Ilmu,
1999), h. 41.
[36] Sistem
asuransi sudah dikenal di duni Barat sejak abad XIV Masehi sementara di dunia
Timur, asuransi baru dikenal pada abad XIX masehi dan para ulama mujtahid
pencetus kaidah ushul fiqh maupun kaidah fiqhiyyah hidup pada sekitar
abad II s. d IX Masehi. Lihat Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 312.
[38] A. Qodri Azizi, Loc.
Cit.
[39] Louay Safi, Op. Cit.,
h. 10.
[40] Ibid, h. 36.
No comments:
Post a Comment