A. Kamil
الهی عارفان
مگو
يند
عرفنی
نفسک
و
این
جاهل
میگو
ید
عرفنی
نفسی
“Tuhanku, para
arif berkata kenalkan diriMu kepadaku, dan jahil ini berkata kenalkan diriku
kepadaku.”
Pandangan dunia (weltanschauung)
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan
pengenalannya terhadap kebenaran (asy-Syai fil khârij).
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi
dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin lluas dan dalam
pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat
melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya,
pandangan dunia yang lancung dan salah kaprah akan membuatnya terpuruk hingga
titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat
bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa
yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.
Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?
Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi
kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter? Dapatkah
manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla… bla..?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai
makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada
persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan
keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,
penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di
atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha
bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till
death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir
hayatnya.
Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak
mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini. [1] Karena uslub
atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal. Filsafat sebagai iinduk
ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini.
Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan
metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua
eksisten.[2] Betapa pun, sebelum memasuki
gerbang filsafat terlebih dahulu iinstrument yang digunakan dalam berfilsafat
harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrument
berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam
menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan
panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari)
antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak
Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan
epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya. Yakni,
sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat – yang nota-bene menggunakan
akal (an-sich) – kita harus membahas instrument dan
metodologi yang valid untuk menyingkap tirai realitas
ini. Dan ini adalah raison d’être pembahasan
epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar
menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga
harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk
mengenalnya adalah mungkin.[3] Pembahasan epistemology sebagai
ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model
filsafat, harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Apa Itu Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori
ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi
adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan
konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi
eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum
(objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan “kebenaran” macam yang dianggap patut diterima dan apa yang
patut ditolak.
Masalah-masalah
Filosofis Yunani dan Masa Medieval
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama
Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu
pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber
beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi.
Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama
dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan
reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen,
Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika
sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat
dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan
bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang
lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari
pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk
menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan
semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide,
yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa
benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna
dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan
filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang
dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi
menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham.
Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk
dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang
lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode
dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari
pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri
khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi
kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan
aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan
aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh
Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh
para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa
ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, tetapi menentang keduanya baik
Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai
sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat
sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu
rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa
filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi
terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman
dalam sebuah system keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam
masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika
sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable)
tentang tabiat, tetapi memandang iman dalam otoritas skriptual sebagai sumber
keyakinan agama.
Masa Plato dan
Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas
mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara
resmi istilah epistemology ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang
epistemologi adalah Aristoteles.Ia adalah murid Plato dan pernah tinggal
bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.
Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles lebih jelas
dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana
tertuang pada table di bawah ini.
Table komparasi
epistemology Plato dan Aristoteles.
Topik Pemikiran
|
Plato
|
Aristoteles
|
Perbedaan epistemologi Plato dan
Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme
Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan
Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh
pengetahuan mempengaruhi filsu-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.
Rasio
Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga
akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi
adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis
kubu empiris (indriawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes
(1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman,
Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka
berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas)
yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi)
atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti,
Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah
filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu
pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan indriawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan
metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik
atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam
investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat
Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam
mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi
pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito
Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat
ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus
disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia sering disebut
sebagai dualistis. Ia
melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa
adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai
hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama
kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada
awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang
kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya “Essay
Concerning Human Understanding (1690). John Locke
memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula
rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa
pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang
menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat
observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke
adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume.
Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a
bundle or collection of perceptions”). Manusia
hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu
seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut
Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa
yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat
hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal
kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki
kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan
kumpulan persepsi saja.[bersambung]
Catatan kaki
[1] . Silahkan rujuk آmuzesy-e Falsafeh, Ustadz Ayatullah Agâ Misbâh Yazdi, jilid 1, hal. 91, Syarkat-e Câp-e wa Nasyr-e
Bainal Milal Sazemân-e Tablighati Islâmi, Qum.
[2] .
Idem.,
[3] . Ma’rifat
Syinâsi dar Qur’ân, Ustadz Ayatullah Agâ Jawâdi آmuli, hal. 22, Markaz-e Nasyr Isra’, Qum
No comments:
Post a Comment