Monday 27 November 2017

Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Hukum Islam

A.Pendahuluan
    Salah satu kecenderungan dominan paradigma fikih ( hukum Islam) yang muncul selama ini lebih  
menonjolkan dan membela kebenaran ortodoksi, yaitu paradigma yang terlalu berlebihan menekankan 
pada aspek legal-formal, sehingga kurang dapat menangkap ideal-moral[1] di balik ketentuan legal 
formal Kenyataan fikih yang demikian akan bebal dan gagap, apabila dihadapkan dengan realitas dan 
kompleksitas kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Untuk itu, agar fikih mampu berinteraksi 
dan memberikan jawaban responsif terhadap persoalan kehidupan masyarakat, perlu penyegaran 
kembali, orientasi baru dan modifikasi pemikiran  fikih. 
    Fikih pada mulanya merupakan hasil pemahaman ulama terhadap teks-teks kitab suci, terutama  
Alquran sehingga kecenderungan melakukan teologisasi fikih tidak dapat dihindari. Hampir semua 
produk fikih selalu dianggap bersifat transedental, walaupun hal itu sebenarnya bersifat temporal. 
Term halal-haram, sah-tidak sah, dan seterusnya dalam semua bahasan fikih merupakan bukti 
kecenderungan teologisasi dan transedentalisasi fikih yang tidak dapat dipungkiri. 
    Karena kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas,  beberapa karakteristik  fikih muncul, 
yaitu  (1) fikih berwatak juz'iyah, kasuistik, dan micro-oriented, (2) akibat pemikiran yang kasuistik 
ini, fikih hanya berguna untuk menangani persoalan-persoalan yang sudah terjadi, (3) fikih cenderung 
mengabaikan persoalan strategis, (4) fikih bersifat formalistik, sehingga tidak pernah mempertanyakan 
untuk apa suatu hukum ditetapkan dan untuk kepentingan siapa, yang penting dapat dipertanggung
jawabkan secara formal pada bunyi teks tertentu. Tidak menjadi masalah apakah hukum itu dalam 
kenyataan historisnya dapat menyentuh kepentingan (kemaslahatan) banyak orang atau hanya 
menyentuh kelompok tertentu.[2]
    Kecenderungan yang disebut terakhir di atas, yang menjadikan fikih sebagai paradigma "kebenaran
ortodoksi'', yaitu semua realitas ditundukkan pada kebenaran fikih. 
Hal itu dapat dilihat dari kenyataan, hampir tidak ada sejengkal pun dari belantara kehidupan kaum  
muslim yang dapat terlepas dari ortodoksi fikih. Namun, karena penekanan yang terlalu berlebihan 
pada formalisme dan teologisasi,  fikih seolah-olah justru menjauhkan diri dari realitas sosial, terjadi 
alienasi fikih.[3] 
    Kenyataan fikih seperti digambarkan di atas tak ubahnya merupakan metamorfosis dari paham  
positivisme Auguste Comte[4] yang telah banyak dikritik.[5] Dengan ungkapan lain, fikih yang 
formalistik adalah bentuk lain dari logika positivistik. Perbedaannya, yang pertama menundukkan 
kebenaran pada teks, sedang yang kedua menundukkan kebenaran pada realitas empirik.
    Realitas tersebut di atas makin diperparah oleh kenyataan historis, ilmu-ilmu keagamaan (Islam)  
 mengalami polarisasi dan masing-masing berdiri pada kutubnya tanpa pernah ada upaya serius
 saling mendekatkan. Belum lagi jika ilmu keagamaan dihadapkan pada ilmu sosial yang sementara 
ini dianggap di wilayah sekuler, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan wilayah keagamaan.
    Ilmu fikih dengan kecenderungan formalistik misalnya, seolah-olah berseberangan dengan disiplin 
 di luar fikih seperti tasawuf falsafi yang lebih cenderung  esoterik, inklusif, dan filosofis. Akibatnya, 
banyak tokoh tasawuf falsafi seperti Al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, dan Ibn Al-'Arabi tidak mendapat 
apresiasi yang layak dari kacamata fikih.
B.Hermeneutika Sebagai Tawaran Solusi 
               Dalam pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika[6] sebagai solusi atas kebuntuan  
pemikiran Islam, termasuk hukum Islam dalam berbagai aspeknya dalam menghadapi tantangan zaman 
seolah menjadi sesuatu yang niscaya.  Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Fazlur Rahman, 
Nasr Abu Zayd, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, dan tokoh-tokoh lainnya senantiasa menyinggung 
pentingnya metode ini.[7] 
Asumsi kuat dari para pendukung hermeneutika, bahwa pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam sudah tidak relevan untuk konteks sekarang, karenanya perlu diganti dengan metode pemahaman baru, yaitu  hermeneutika. Namun demikian persoalannya adalah, sebagai suatu 'produk impor', mungkinkah hermeneutika dapat menggantikan metode pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam, terutama metode tafsir/pemahaman teks ajaran, terutama Alquran? Selanjutnya, jika dapat diganti dengan hermeneutika, persoalan-persoalan apakah yang akan  terjadi?.
Secara umum, hermeneutika dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna[8]. Namun, ia lazim dimaknai sebagai seni menafsirkan (the art of interpretation). Konon, dalam tradisi kitab suci, kata ini sering dirujuk pada sosok Hermes, yang dianggap menjadi juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossen Nasr,[9] sering diasosiasikan sebagai Nabi Idris.
Sebagai sebuah metode penafsiran/pemahaman, hermeneutika memiliki aliran yang sangat beragam, yang bahkan kadang saling kontradiktif antarsesamanya. Namun setidaknya ada dua polarisasi utama, yakni aliran objektivitas dan aliran subjektivitas. Tradisi objektivitas yang penjaga gawangnya adalah Emilio Betti yang menekankan otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid. Sedangkan, tradisi subjektivitas dengan Gadamer sebagai tokohnya, lebih mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakikat memahami itu sendiri. Menurutnya, berbicara tentang penafsiran objektivitas yang valid adalah sesuatu yang mustahil.[10] 
Kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks dan si pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks --baik itu teks kitab suci maupun teks umum-- dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks. Untuk lebih jelas, pola hubungan segitiga tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
                                     

Pemahaman umum yang embankment, sebuah teks selain produk si pengarang (pembuat atau penyusun teks), juga merupakan produk budaya atau (meminjam bahasa Foucoult) episteme suatu masyarakat. Karenanya, konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Teks dalam konteks hermeneutika sifatnya adalah "polyfonik", mempunyai tafsiran dan "suara" yang banyak, sesuai dengan penafsirnya. Kata Sayyidina 'Ali tentang Qur'an, "Innama yunthiquhur rijal." Qur'an itu adalah teks mati; yang membuatnya "hidup" dan berbunyi adalah manusia. Sementara manusia itu berbeda-beda pendapatnya.[11]
Wahyu yang telah menjadi "verbal" dalam bentuk susunan kata-kata yang turun pada Nabi pun adalah terbatas. Mengenai pengertian dan pemahaman diagram dan kesepakatan dengan diagram tersebut; input -----> wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al Quran Bedanya dengan kultur input-----> alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam kumpulan masyarakat Arab] ----> output kultur Arab.[12]
Persoalan dan pemahaman yang umum terhadap teks adalah; input ==> [proses] ==> output    wahyu ==> [proses dalam diri Nabi Muhammad] ==> Al Quran (ayat qawliyah) surroundings ==> [proses adaptasi & pembelajaran oleh komunitas Arab] ==> kultur Arab. Kultur Arablah yang mula-mula mendapat "suntikan" ayat qawliyah, secara berangsur-angsur, sehingga ayat qawliyah itu haruslah dalam bahasa Arab. [13]
C.Hermeneutika Fikih: Referensi Sosio-Historis
Berkenaan dengan fikih (hukum Islam), institusi hukum dalam Islam sebetulnya senantiasa bertalian dengan tradisi masyarakat dimana hukum itu dirumuskan dan diterapkan. Dalam proses pembentukan dan perkembangannya Islam senantiasa membuka diri dengan nilai-nilai ranah sosial masyarakat. Karenanya mengapa substansi hukum yang diderivasikan dari budaya masyarakat lokal  (Arab, saat itu) sering diadopsi oleh Nabi untuk masuk dalam lingkup sistem hukum agama yang sakral. Ambil contoh institusi hukum warisan, qisas, maupun hukum keluarga lainnya.[14] Dapat dilihat betapa nilai-nilai adat masyarakat Arab sangat kental dalam filsafat bangunan hukumnya. Dengan demikian, dalam proses perkembangan berikutnya bangunan Syariah Islam perlu juga mengadopsi tradisi hukum dalam masyarakat tertentu di mana ia dikembangkan. Inilah esensi kaidah usul fikih Al-Adah Muhakkamah.[15]
Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi, karena telah membumi,  ia terkena kategori sebagai fakta historis. Fakta historis ini dapat dijumpai semenjak Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah). Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis tersebut dapat  dimengerti jika karakter dan genre ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah.[16]
Konsep dialektika Islam awal dan budaya Arab setidaknya menampakkan tiga pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya.[17] Karena sifatnya yang selalu berdialektika dengan realitas, tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia,  Islam yang baik adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan masa depan bangsa secara keseluruhan.[18]
Ada sebagian orang mengatakan bahwa, budaya bersumber dari akar yang historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah SWT. Pandangan seperti itu meletakkan seolah-olah antara budaya dan wahyu adalah saling bertentangan. Sumber wahyu memang non-historis, tetapi ketika Allah hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, Allah menggunakan peralatan yang historis untuk bisa menyampaikan pesan kepada manusia. Qur'an sendiri berfirman, "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhaja," masing-masing umat seorang rasul diberikan syari'at dan manhaj yang sesuai dengan kondisi sosial mereka masing-masing. Artinya, wahyu dan firman Tuhan mewujudkan diri melalui bahasa budaya lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun secara gradual, karena Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja konteks historis yang ada. Bagaimana mungkin Allah yang non-historis berbicara dengan manusia yang historis kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural yang historis.[19]
 Contoh kongkret: karena Qur'an turun di tanah Arab, dengan sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti kultural yang historis, yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan 'arabyyan la'allaku ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab, struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu sendiri. Kalau mengikuti studi-studi linguistik modern, dengan jelas diperlihatkan bahwa sesungguhnya bahasa bukan sekadar deretan kalimat, tetapi juga pandangan dunia. Jadi, karena wahyu Islam turun dalam bahasa Arab,  pandangan dunia orang Arab jelas mempengaruhi ajaran Islam.[20]
Di kalangan juris Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam itu diakui sebagai sesuatu yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah muhakkamah", adat masyarakat dapat dijadikan sumber hukum Islam. Artinya: hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab", Artinya juga ==> itu bervisi "Al Quran tidak murni terdiri atas wahyu, sebab ada sebahagian yang dipengaruhi kultur Arab.
Setiap nabi membawa wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang dihadapinya; wahyu, dengan demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis. Wahyu ada "dalam" sejarah manusia, bukan di "luar" sejarah manusia, memang Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya tidak akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah Qur'an tidak ada wahyu lagi. Akan tetapi persoalan yang akan muncul adalah apa  yang disebut dengan hukum Qur'an itu?
Al-Qur'an memang panduan dan guidance  bagi kehidupan umat Islam (hudan lin nas), tetapi dia bukan kitab hukum. Akan tetapi teks-teks Qur'an dapat  ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi oleh budaya setempat. Sebab wahyu sebagai kehendak Allah membutuhkan baju yang kongkret, yaitu kultur masyarakat yang ada. Jadi, struktur wahyu itu adalah: pesan universal (seperti tersimpan dalam Lauh Mahfuz") --> Kultur setempat (sebagai baju) = wahyu, Kaum muslimin hanya diwajibkan untuk mengikuti pesan universalnya, bukan baju tempat pesan itu menemukan wadahnya. Jadi, bukan produknya yang wajib diikuti, tetapi nilai-nilai yang ada di balik produk itu. Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan ke dalam kehidupan kongkret,  itulah tugas manusia untuk ijtihad.[21]

D.Hermeneutika Kholid Aboul Fadl[22] Sebagai Model

Sebagai contoh dan model, berikut ini akan ditampilkan teori dan penerapan  hermeneutika khusus yang mengkaji hukum Islam, yaitu hermeneutika Khalid Aboul Fadl. Khalid Aboul Fadl mencoba menjelaskan diskursus dinamika hukum Islam melalui pendekatan ilmu-ilmu kritis seperti hermeneutika dan semiotika. Pendekatan ini menawarkan sebuah relativisme yang besar atas disiplin yang sangat miskin dengan relatifisme yaitu hukum Islam (fikih).Warna sebab akibat yang mencolok dalam fikih menjadi relatif dalam pedekatan misalnya sebab akibat tidak selalu terjadi karena relasi sebab akibat itu hanya terjadi kalau hubungan antara teks dan pembaca itu bersifat mekanis dan tertutup.[23]
 Kholid Aboul Fadl mencoba menerobos itu dengan tawarannya. Pada dasarnya yang menjadi perhatian studi Kholid Aboul Fadl tidak jauh berbeda dengan Abu Zaid[24] yaitu tentang penafsiran teks-teks keagamaan. Salah satu studinya yang terkenal adalah tentang fenomena “authoritarianism” dalam tradisi hukum Islam. Authoritarianism yang dimaksud disini adalah metodologi hermeneutika (tafsir) yang menaklukkan dan menundukkan mekanisme memproduksi makna dari teks kepada bacaan yang selektif dan subjektif. [25]
Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang juris “authoritarianism hemeneutics” menjadi sesuatu yang di luar kontrol. Metode penulisan yang authoritarianism seperti ini,  menurutnya akan melakukan korupsi atas kejujuran teks-teks Islam dan mematikan suara mereka. Ia juga percaya bahwa metodologi yang demikian ini akan juga menghilangkan efektivitas dan dinamika hukum Islam.[26]
Fenomena authoritarianism ini berbahaya karena akan berakhir pada penundukan atas keinginan Tuhan, lebih berbahaya lagi karena authoritarianism merupakan tindakan yang memarginalkan realitas antologis dari yang suci dan mendepositkan keinginan Tuhan ke dalam perantara (manusia,ulama) yang kemudian mereka jadikan rujukan. Di sini perbedaan yang perantara dan yang prinsip (Tuhan) menjadi titik jelas dan kabur. Keinginan Tuhan dan pembicaraan perantara menjadi satu dan sama sebagaimana seorang perantara melakukan determinasi yang berdasarkan atas pandangan mereka sendiri atas yang prinsip. [27]
Semenjak yang prinsip di atas diwakili dalam indikator tekstual maupun non tekstual, dalam proses yang authorirarianism ini, perantara menegasikan kebebasan indikator dan membuat suara dari indikator-indikator tersebut sesuai dengan determinasi mereka sendiri. Dinamika authoritarian ini akan menutup segala kemungkinan self-expression dari indikator-indikator dan menghalangi perembangan dan evolusi makna yang ada dalam komunitas penafsiran. Gambaran inilah yang disebut dengan “the construction of the authoritarian.”[28]
Cara pandang di atas dipergunakan oleh Kholid Aboul Fadl untuk melihat hukum Islam. Hukum Islam ini sebagai indikator tekstual dari yang prinsip dan para ulama fiqih sebagai perantara nampaknya sulit untuk dipisahkan. Kitab-kitab fiqih adalah cerminan dari determinasi makna perantara yang seolah-olah tidak bisa diganggu gugat atas yang prinsip. Kalau bicara tentang hukum Islam, mau tidak mau mematuhi authoritarianism para ulama fikih baik dari segi produk maupun metodologi.[29]
Diakui oleh Kholid Aboul Fad, hal di atas memang sulit sekali untuk dihindarkan. Ketika seorang pembaca membaca sebuah teks dan mengambil hukum dari teks tersebut resiko yang hadir adalah pembaca tersebut akan menjadi perwujudan yang teks yang ekslusif. Resikonya kemudian adalah teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan sama. Dalam proses yang demikian, teks kemudian diabadikan kepada pembaca dan pembaca menjadi pengganti teks. Ketika seorang pembaca memilih bacaan teks tertentu dan mengklaim bahwa bacaan-bacaan lain tidak mungkin, teks dilemahkan ke dalam watak pembaca. Apabila seorang pembaca menundukkan teks, yang menjadi bahaya adalah pembaca dan transenden, tak tersentuh dan authoritarian.untuk menghindari tindakan authoritarianism dalam hukum Islam. [30]
Kholid Aboul Fadl mengusulkan agar seorang pembaca memiliki lima sifat yakni jujur, kontrol diri, hari-hati, komprehensip, dan masuk akal. Selain lima hal ini Kholid Aboul Fadl mengusulkan agar semua wilayah tafsir Islam itu dilihat sebagai sebuah work in movement. Istilah ini sebenarnya ia pinjam dari Umberto Eco.Yang dimaksud dengan istilah ini adalah semua teks pada dasarnya terbuka untuk berbagai penafsiran/pemahaman. Dengan kata lain teks selalu terbuka dari gerakan yang dinamis. Hukum Islam kalau mau bertahan harus diperlakukan sebagai teks yang senantiasa terbuka. Teks yang terbuka ini selain mengandung gerakan tafsir yang banyak juga menjadikan teks menduduki posisi yang sentral.[31]
Dalam posisi ini teks akan berbicara dengan suara yang selalu diperbaharui kepada generasi pembaca yang baru karena maknanya tidak dipastikan dan selalu berkembang. Seorang pembaca akan senantiasa akan kembali kepadanya karena dengan ini dia akan mendapatkan masukan dan penafsiran yang baru. Jika teks tertutup, maka tidak ada gunanya untuk membaca teks.[32]
Penutupan teks seperti tersebut di atas akan terjadi jika pembaca menganggap makna teks sudah dibatasi, tidak bisa berubah dan stabil, hal ini sangat berbahaya. Menurut Kholid Aboul Fadl menutup sebuah teks adalah sebuah arogansi dan dalam kondisi yang demikian seorang pembaca sedang mengklaim bahwa pengetahuan diri mereka sama dengan pengetahuan Tuhan.[33]
Penutupan teks dalam konteks tradisi hukum Islam ini identik dengan penutupan pintu ijtihad. Ijtihad ditutup karena kalangan mayoritas juris sunni menganggap authorirarianism ijtihad hanya dimiliki oleh generasi pembaca awal. Mereka menolak bahwa kebenaran ijtihad adalah kebenaran bisa dicapai semua orang. Dan kebenaran ijtihat bukan pada hasil, akan tetapi pada prosesnya. Dalam kaitan ini, sebagian kalangaan juris ada yang berpendapat bahwa setiap mujtahid adalah benar. [34]
Pada masa itu kalangan juris pecah kedalam dua kubu yaitu kalangan mukhati’ah yang berpendapat bahwa hal yang satu tidak mungkin memproduksi dua realitas. Bagi kelompok ini yang benar adalah satu. Kelompok kedua adalah kalangan musawwibah yang berpikiran bahwa suatu yang satu bisa memproduksi banyak kebenaran. Termasuk dalam kelompok ini adalah al- Juawaini, al-Suyuthi dan al-Razi. Namun kecederungan terakhir ini tidak menjadi warna dominasi dari tradisi hukum Islam kita.[35]
Kholid Aboul Fadl juga bicara tentang kecenderungan penafsiran isolatif yang diterapkan oleh sebagian kalangan Islam. Dalam sebuah artikel yang ditulis untuk menaggapi 11 September atas gedung WTS di Amerika, ia mengemukakan kritiknya terhadap cara pemahaman keagamaan yang tertutup. Cara pemahaman keagamaan yang tetutup itulah yang mengakibatkan munculnya ekstrimisme dalam Islam seperti kelompok Osama bin Laden, organisasi-organisasi jihad.[36]
Secara historis, cara pemahaman seperti tersebut di atas kalau dirunut akan menemukan sumber pada gerakan salafi dan wahabisme. Jauh sebelum itu memang terdapat sekte Islam yang memiliki kemiripan cara pandang dengan wahabisme yaitu kelompok khawarij. Namun kelompok khawarij habis. Menurut Kholid Aboul Fadl keompok seperti ini yang menyumbangkan cara baca al-Quran yang membelenggu. Dalam bahasa Kholid Aboul Fadl kelompok seperti ini membaca al-Quran secara isolatif. artinya ketika mereka menafsirkan al-Quran, kebenaran-kebenaran hanya dibatasi untuk mereka sendiri. Mereka tidak berusaha mendialogkan al-Quran dengan kebenaran historis dan sosiologis. Kalau ada kebenaran historis dan sosiologis, itu adalah hanya menjadi milik mereka. Inilah yang mengesankan bahwa Islam itu seolah-olah agama yang tidak toleran. Pada hal di dalam Islam, ajaran-ajaran  mengenai toleransi dijunjung tinggi.[37]
Ajaran fenomena yang demikian, Kholid Aboul Fadl mengembalikan bagaimana  sesungguhnya kita memperlakukan al-Quran. Ia menyatakan bahwa al-Quran adalah sebuah teks yang berbicara melalu pembacaannya. Kemampuan manusia untuk menafsirkan teks-teks adalah berkah dan sekaligus beban. Berkah karena kemampun memberikan kelenturan untuk mengadaptasi teks untuk merubah situasi. Sekaligus beban karena pembaca harus betanggung jawab. Setiap teks menyediakan belbagai mungkin pemaknaan. Segala kemungkinan tersebut dieksploitasi, dibangun dan akhirnya ditentukan oleh upaya pembacanya. Apabila moralitas pembacanya tidak toleran, maka akan menghasilkan penafsiran yang tidak toleran pula.[38]
E.Penutup           
Fikih atau Hukum Islam kalau mau bertahan dan bersifat reesponsif harus diperlakukan sebagai teks yang senantiasa terbuka. Teks yang terbuka ini selain mengandung gerakan tafsir yang banyak juga menjadikan teks menduduki posisi yang sentral. Hal ini menjadi dasar bagi pengembangan paradigma fikih ke depan  Masalah substansial dalam kaitan ini adalah  membangun paradigma fikih sebagai agen "pemaknaan sosial''. Landasan keilmuan membangun paradigma fikih sebagai agen "pemaknaan sosial'' adalah dengan menggunakan perangkat-perangkat ilmu lain di luar ilmu fikih, baik ilmu tasawuf, filsafat, teologi, maupun ilmu-ilmu sosial.
Untuk kepentingan di atas, gagasan ilmu sosial profetik oleh Kuntowijoyo yang body of knowledge-nya sudah mulai tampak mempunyai relevansi yang tinggi.[39] Atas dasar itu, sudah saatnya dipikirkan menggeser fikih dari paradigma "kebenaran ortodoksi'' kepada paradigma "pemaknaan sosial''. Dengan pergeseran itu, fikih akan menjadi wacana tandingan (counter discourse) dalam politik pemaknaan yang sedang berlangsung.
            Paradigma pertama ( kebenaran ortodoksi) menundukkan realitas pada teks ( introvert skriptual) 
dan berwatak "hitam-putih'' dalam memandang realitas, sedangkan paradigma kedua ( pemaknaan sosial) 
menggunakan realitas untuk memaknai teks, sehingga memperlihatkan watak yang lebih bernuansa. Cara 
demikian dapat menggeser fikih dari kecenderungan normatif kepada kecenderungan historis. Kerangka 
semacam inilah sepertinya yang dikehendaki Mohammed Arkoun ketika mengkritik rancang bangun 
epistemologi ilmu keagamaan. Menurutnya, struktur dan bangunan ilmu agama (Islam) harus dilihat 
sebagai produk sejarah biasa yang hanya berlaku pada penggal waktu dan ruang tertentu.[40] 
            Meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam sering disebut universal-transedental (salih li kulli 
zaman wa makan), tetapi jika nilai-nilai itu dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, tidak lagi bersifat 
universal-transedental dalam arti sebenarnya. Ia sudah menjadi fenomena historis sosiologis. Cara berpikir 
seperti ini dapat menghindari apa yang disebut Arkoun sebagai proses taqdis al-afkar al-dini (sakralisasi 
pemikiran keagamaan)[41]. Jika pemikiran Arkoun ditarik dalam ilmu fikih, fikih harus diletakkan sebagai 
perangkat hermeneutika  yang implikasinya sangat besar bagi kehidupan, dan karena itu memunculkan 
problem metodologis yang besar pula.
            Sifat fikih sebagai perangkat hermeneutika mempunyai watak ganda. Di situ sisi mempunyai 
watak relativitas yang sangat tinggi, karena harus mengakomodasi pluralitas realitas. Di sisi lain harus 
melunakkan kepastian normatif yang berdimensi keabadian hukum agama yang bertumpu pada 
"rasionalitas Tuhan''.
            Meletakkan fikih sebagai perangkat hermeneutika mempunyai landasan pemikiran yang cukup 
kokoh dalam konteks pemikiran hukum Islam.  Salah satunya adalah rancang bangun fikih yang 
dikontruksi Abu Ishaq Al-Syathibi dengan konsep maqasid al-syari'ah-nya. Sedangkan di tingkat 
metodologis, terdapat sejumlah metode usul al-fikih seperti istihsan, al-mashlahat al-mursalah, 
dan dikombinasikan dengan berbagai metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti tawaran 
Arkoun di atas.  Metode-metode ini agak longgar terhadap ketentuan spesifik normatif dan lebih 
mementingkan logika nas, yaitu kemaslahatan. Metode-metode seperti ini sangat relevan, karena
 hukum Islam itu diturunkan pada hakikatnya untuk mencari kemaslahatan.




[1]Fazlur Rahman, Islam ( Chicago: The University of Chicago Press, 1966), p.32. dan  Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition ( Chicago: The University of Chicago Press, 1982), p.20.   atau konsep  maqashid al-syari'ah menurut Abu Ishaq al-Syatibi dalam buku monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah ( Kairo: Maktabat wa Matba'at Muhammad Ali Sabih wa Auladih, 1969).
[3]Ibid.
[4]Auguste Comte adalah seorang filosuf Perancis (1798-1857), filosuf ini membagi perkembangan masyarakat menjadi 3 tahap, yaitu teologi, metafisika dan positif(ilmu pengetahuan). Karena penekannannya pada tahap positif atau ilmu pengetahuan ini konsepnya yang terkenal adalah positivisme. Positivisme Comte ini sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan ilmu dan teori tentang kebenaran. Suatu itu dikatakan benar jika bersifat teramati dan terukur. Lihat Paul Edwards ( Editor in Chief), The Encyclopedia of Philosophy ( New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press dan London: Collier Macmillan Publishers, 1972), II: 173-177. 
[5]Kritik tajam terhadap  positivisme Auguste Comte, lihat M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi terutama uraian Fasal Pertama yang berjudul "Apakah.Agama Masih Diperlukan?" ( Jakarta: Bulan Bintang,1974). p. 7-23.
[6]Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutic tidak begitu popular dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermeneutic pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermenetik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang popular digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Quran di lingkungan Islam M.Amin Abdullah," Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Kegamaan:Proses Negosiasi Pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca" makalah disampaikan pada Moslem Scholars Congress" Reading of The Religious Texts and The Roots of Fundamentalism" Yogyakarta Hotel Saphir, Ahad, 13 Juni 2004. dan M.Amin Abdullah, "Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan Pembaca"  pengantar buku edisi Indonesia Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif karya Khaled M.Abou El Fadl terj. R. Cecep Lukman Yasin ( Jakarta: Serambi, 2004),p.VII-VIII.          
[7]Tokoh-tokoh lain yang menggagas pembaharuan pemikiran metodologi hukum Islam tersebut adalah Mahmud Syaltut karyanya Islam Aqidah wa Syari'ah ( Mesir: Dar al-Qalam, tt.)., Yusuf al-Qardlawi karyanya al-Ijtihad fi al-Syari'ah al-Islamiyah Ma'a Nazarat Tahliliyah fi al-Ijtihad al-Mu'asir (Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.), Ali Syari'ati karyanya On The Sociology  of Islam terj. Hamid Algar ( Berkeley: Mizan Press,1979), terutama Bab II," Approaches to the Understanding of Islam," p.39-69, Mahmud Muhammad Taha dan Abdullahi Ahmed an-Na'im dalam The Second Message of Islam terj. Abdullahi Ahmed an-Na'im ( Syracuse: Syracuse University Press,1987) dan Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse Universiry Press, 1990), dan Muhammad Syahrur dalam al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Mu'asirah (Kairo: Sina lil-Nasyr,1992).   

[8]Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique,(London:Rutledge & Kegan Paul, 1980), p.1.
[9]Sayyed Hossen Nasr, Knowledge and Sacred, ( New York  State University Press. 1989), p. 71.
[10]Richard E Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, ( Evanston: Northwesten University Press,1969), p. 45-65.

[11]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari  http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.

[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Afif Muhammad, " Islam dan Budaya Lokal" dalam Harian Pikiran Rakyat, Selasa 18 Maret 2003.
[15]Ibid. dan Al-Jurjani, at-Ta'rifat ( Mesir: Mustafa al-Halabi,1938), p.130. Dalam khazanah hukum Islam, ada upaya untuk menyamakan antara adat dan kearifan. Dalam al-Qur'an, kearifan merujuk pada kata 'urf (yang fi'l madli-nya 'arafa dan seakar dengan ma'raf dan ma'rifah), diungkapkan dua kali dalam konotasi positif. Yang pertama berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memerintah dengan 'urf, yaitu pada Q.7:199, 'Bersikaplah pemaaf, perintahkan dengan 'urf dan berpalinglah dari orang-orang jahil'. Ayat yang kedua berkaitan dengan para malaikat (ada yang menafsirkan angin atau para rasul) yang diutus dengan membawa 'urf, yaitu pada surat al-Mursalat ayat pertama: Wa al-mursalat 'urfa. Kearifan itu adalah adat yang memiliki kearifan (al-'adah al-ma'rifah) yang dilawankan dengan al-'adah al-jahiliyyah. Di sini tidak setiap adat adalah 'urf. Jika kita kaji lebih lanjut, rangkaian ayat ini (misalnya dari ayat 193-203), sebenarnya berkaitan dengan pembicaraan mengenai sistem kepercayaan jahiliyah yang sangat tidak masuk akal, dengan menuhankan berhala-berhala yang tidak dapat mencipta, menolong, bahkan bergerak sekalipun. Penuhanan berhala-berhala ini terjadi paling tidak akibat dua hal. Pertama karena karakter psiko-antropologis manusia yang cenderung me-reifikasi (mengongkretkan/membendakan) hal-hal yang abstrak. Kedua, kecenderungan untuk menuhankan hal-hal yang misterius, mengagumkan, dan memiliki energi yang dahsyat , sebagai aktualisasi kesaksian primordialnya bahwa Allah adalah Tuhannya yang kemudian terlupakan (Q.7:172). Maka perintah dengan 'urf, juga mesti melibatkan pengetahuan (ma'rifah) yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan, yang akan menolak (nafy) hal-hal yang sebenarnya bukan Tuhan dan mengukuhkan (itsbat) Tuhan yang sebenarnya. Karenanya, doktrin tauhid Islam dimulai dengan nafy (la ilaha) kemudian diikuti dengan itsbat (illat al-Lah). Dari sini kita dapat melihat hubungan 'urf-ma'rifah-ma'ruf berlawanan dengan nukr-jahiliah-munkar. Jadi 'urf betul-betul merupakan kristalisasi kearifan budaya lokal yang didasari pengetahuan yang memadai.  

[16]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari  http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.

[17]Khalil Abdul Karim, Syari'ah Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan terj.Kamran As'ad dari judul asli al-Juzur at-Tarikhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah ( Yogyakarta: LKis,2003). . Respons Alquran terhadap kehidupan masyarakat jahiliah yang ada saat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu tradisi yang dimiliki masyarakat jahiliah, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, hukum potong tangan bagi pencuri sudah dikenal di tengah masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian dipertahankan oleh Islam. Secara substansial dan material, di situ tidak ada perbedaan antara hukum potong tangan yang berlaku pada masyatakat Arab jahiliah dan hukum potong tangan yang ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah sumbernya. Hukum potong tangan yang diberlakukan masyarakat Arab pra-Islam bersumber dari tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun, hukum tersebut dipertahankan, dengan mengalihkan sumbernya dari tradisi masyarakat Arab pada wahyu Allah SWT. (Alquran). Kedua, Alquran mempertahankan sebagian dari tradisi pra-Islam dan menolak sebagian lainnya, misalnya dalam hukum poligami. Poligami bisa berarti poliandri (seorang perempuan bersuami lebih dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri lebih dari satu). Poligami dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh Islam, sedangkan dalam arti yang kedua (poligami) diterima dengan pembatasan. Jika sebelum dan di awal Islam seorang laki-laki boleh memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas, Islam membatasinya hanya empat orang.Ketiga, Alquran menghapus suatu tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah, misalnya riba. Seperti diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-Islam berada di tangan para saudagar kaya yang bersikap sangat zalim terhadap rakyat kecil dan kaum lemah dengan, misalnya memberlakukan sistem riba. Melalui sistem ini golongan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Ketika seorang miskin meminjam uang dengan sistem riba, seringkali dia tidak dapat melunasi utangnya. Kalau sudah begitu, dia dirampas dan dijadikan budak. Tidak jarang pula yang ditampas adalah istri atau anak-anak perempuannya. Dengan demikian, perbudakan pada masyarakat Arab pra-Islam terkait erat dengan sistem ekonomi yang berlaku di tengah-tengah mereka. Islam mengharamkan riba dan memberlakukan pinjam-meminjam dengan sistem mudharabah (bagi hasil), lalu mengatasi masalah perbudakan yang menjadi akibat sistem riba dengan kewajiban membebaskan budak sebagai hukuman atas pelanggaran-pelanggaran tertentu agama Islam, misalnya tebusan untuk suatu pembunuhan atau denda bagi orang yang melakukan hubungan seksual dengan suami/istri di siang hari bulan Ramadan. 

[18]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari  http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.

 

[19]Ibid.
[20]Ibid.

[21]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari  http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.

 

[22]Kholid Aboul Fadl adalah seorang “intelektual Islam nakal” yang lahir di Kuwait, sebuah negara Islam yang sangat jarang menelurkan intelektual Islam yang kaliber international. Ia belajar hukum Islam di Mesir dan dinegaranya sendiri. Dia mendapat gelar kesarjanaan dari Pennsylvania, Yale dan Princeton. Dia terlibat dalam gerakan-gerakan hak asasi manusia. Karyanya tidak disukai oleh dunia arab khususnya Arab Saudi. Apa yang menarik dari Kholid Aboul Fadl adalah perhatiannya terhadap hukum Islam yang relatif baru.
[23]Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin dari judul asli Speaking in God's Name: Islamic Law , Authority and Women ( Jakarta: Serambi, 2004),p.10
[24] Nasr Hamid Abu Zaid sekarang menjadi guru besar untuk studi Islam di  universitas Leiden, Belanda, dan menjadi pembibing beberapa mahasiswa yang sedang menulis desertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa penafsiran di Eropa, seperti di Jerman, Prancis, maupun tempat lainnya . keberadaan di Belanda karena dia harus meninggalkan negrinya karena dengan kasus hukum yang dialaminya. Dia mendapat perlindungan politik di Belanda dengan imbalan dia harus mengajar. Boleh dikatakan Nasr Hamid Abu Zaid memiliki perhatian yang sangat mendalam bidang studi tafsir , hermeneuitika dalam Islam. Hampir semua karyanya diarahkan untuk memberikan alternatif baru bagaimana caranya melakukan bacaan (penafsiran) terhadap teks-teks keislaman. Obyek studinya meliputi sufsm, tafsir (hermenetika) sampai kepada persoalan studi perempuan. Namun semua objek kajian itu digerakkan oleh pemikiran dia tentang perlunya cara pemahaman (tafsir) pada teks Islam (nash). Studi yang ditekuninya adalah murni teologis, melihat dari teks ke teks. Hal ini mungkin karena tidak memiliki keahlian dalam bidang ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi. Ilmu seperti bahasa dan sastra, linguistik dan hermeneutika adalah disiplin ilmu yang juga digunakannya dalam menganalisis dikursus keagamaan. Lihat karyanya, Naqd al-Khitab al-Dini (Kairo: Sina al-Nasyr,1994).p.55.

[25]Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin dari judul asli Speaking in God's Name: Islamic Law , Authority and Women ( Jakarta: Serambi, 2004).p.12.

[26]Ibid.p.280.
[27]Ibid.
[28]Ibid. p.284
[29]Ibid.
[30]Ibid. p.292..
[31]Ibid..p. 293.
[32]Ibid.p.294.
[33]Ibid. p.295.
[34]Ibid. p.296
[35]Ibid..p.297.
[36]Ibid. p.298.
[37]Ibid..p.299.  
[38]Ibid. p.300.
[39]Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001).
[40]Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. S.Hidayat ( Jakarta: INIS,1994),p.282.
[41]Ibid.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer