A.Pendahuluan
Salah satu kecenderungan dominan paradigma fikih ( hukum Islam) yang muncul selama ini lebih
menonjolkan dan membela kebenaran ortodoksi, yaitu paradigma yang terlalu berlebihan menekankan
pada aspek legal-formal, sehingga kurang dapat menangkap ideal-moral[1] di balik ketentuan legal
formal Kenyataan fikih yang demikian akan bebal dan gagap, apabila dihadapkan dengan realitas dan
kompleksitas kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Untuk itu, agar fikih mampu berinteraksi
dan memberikan jawaban responsif terhadap persoalan kehidupan masyarakat, perlu penyegaran
kembali, orientasi baru dan modifikasi pemikiran fikih.
Fikih pada mulanya merupakan hasil pemahaman ulama terhadap teks-teks kitab suci, terutama
Alquran sehingga kecenderungan melakukan teologisasi fikih tidak dapat dihindari. Hampir semua
produk fikih selalu dianggap bersifat transedental, walaupun hal itu sebenarnya bersifat temporal.
Term halal-haram, sah-tidak sah, dan seterusnya dalam semua bahasan fikih merupakan bukti
kecenderungan teologisasi dan transedentalisasi fikih yang tidak dapat dipungkiri.
Karena kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas, beberapa karakteristik fikih muncul,
yaitu (1) fikih berwatak juz'iyah, kasuistik, dan micro-oriented, (2) akibat pemikiran yang kasuistik
ini, fikih hanya berguna untuk menangani persoalan-persoalan yang sudah terjadi, (3) fikih cenderung
mengabaikan persoalan strategis, (4) fikih bersifat formalistik, sehingga tidak pernah mempertanyakan
untuk apa suatu hukum ditetapkan dan untuk kepentingan siapa, yang penting dapat dipertanggung
jawabkan secara formal pada bunyi teks tertentu. Tidak menjadi masalah apakah hukum itu dalam
kenyataan historisnya dapat menyentuh kepentingan (kemaslahatan) banyak orang atau hanya
menyentuh kelompok tertentu.[2]
Kecenderungan yang disebut terakhir di atas, yang menjadikan fikih sebagai paradigma "kebenaran
ortodoksi'', yaitu semua realitas ditundukkan pada kebenaran fikih.
Hal itu dapat dilihat dari kenyataan, hampir tidak ada sejengkal pun dari belantara kehidupan kaum
muslim yang dapat terlepas dari ortodoksi fikih. Namun, karena penekanan yang terlalu berlebihan
pada formalisme dan teologisasi, fikih seolah-olah justru menjauhkan diri dari realitas sosial, terjadi
alienasi fikih.[3]
Kenyataan fikih seperti digambarkan di atas tak ubahnya merupakan metamorfosis dari paham
positivisme Auguste Comte[4] yang telah banyak dikritik.[5] Dengan ungkapan lain, fikih yang
formalistik adalah bentuk lain dari logika positivistik. Perbedaannya, yang pertama menundukkan
kebenaran pada teks, sedang yang kedua menundukkan kebenaran pada realitas empirik.
Realitas tersebut di atas makin diperparah oleh kenyataan historis, ilmu-ilmu keagamaan (Islam)
mengalami polarisasi dan masing-masing berdiri pada kutubnya tanpa pernah ada upaya serius
saling mendekatkan. Belum lagi jika ilmu keagamaan dihadapkan pada ilmu sosial yang sementara
ini dianggap di wilayah sekuler, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan wilayah keagamaan.
Ilmu fikih dengan kecenderungan formalistik misalnya, seolah-olah berseberangan dengan disiplin
di luar fikih seperti tasawuf falsafi yang lebih cenderung esoterik, inklusif, dan filosofis. Akibatnya,
banyak tokoh tasawuf falsafi seperti Al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, dan Ibn Al-'Arabi tidak mendapat
apresiasi yang layak dari kacamata fikih.
B.Hermeneutika Sebagai Tawaran Solusi
Dalam pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika[6] sebagai solusi atas kebuntuan
pemikiran Islam, termasuk hukum Islam dalam berbagai aspeknya dalam menghadapi tantangan zaman
seolah menjadi sesuatu yang niscaya. Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Fazlur Rahman,
Nasr Abu Zayd, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, dan tokoh-tokoh lainnya senantiasa menyinggung
pentingnya metode ini.[7]
Asumsi kuat dari para pendukung hermeneutika, bahwa
pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam sudah tidak relevan
untuk konteks sekarang, karenanya perlu diganti dengan metode pemahaman baru,
yaitu hermeneutika. Namun demikian
persoalannya adalah, sebagai suatu 'produk impor', mungkinkah hermeneutika
dapat menggantikan metode pemahaman konvensional terhadap sumber dan ajaran
Islam, terutama metode tafsir/pemahaman teks ajaran, terutama Alquran?
Selanjutnya, jika dapat diganti dengan hermeneutika, persoalan-persoalan apakah
yang akan terjadi?.
Secara umum, hermeneutika dapat didefinisikan sebagai
suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna[8]. Namun, ia lazim dimaknai sebagai
seni menafsirkan (the art of interpretation). Konon, dalam tradisi kitab suci, kata ini sering dirujuk
pada sosok Hermes, yang dianggap menjadi juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini
oleh Sayyed Hossen Nasr,[9] sering diasosiasikan
sebagai Nabi Idris.
Sebagai sebuah metode penafsiran/pemahaman, hermeneutika
memiliki aliran yang sangat beragam, yang bahkan kadang saling kontradiktif
antarsesamanya. Namun setidaknya ada dua polarisasi utama, yakni aliran
objektivitas dan aliran subjektivitas. Tradisi objektivitas yang penjaga
gawangnya adalah Emilio Betti yang menekankan otonomi objek interpretasi dan
mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid.
Sedangkan, tradisi subjektivitas dengan Gadamer sebagai tokohnya, lebih
mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakikat
memahami itu sendiri. Menurutnya, berbicara tentang penafsiran objektivitas
yang valid adalah sesuatu yang mustahil.[10]
Kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola hubungan
segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks dan si pembaca (penafsir
teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami
sebuah teks --baik itu teks kitab suci maupun teks umum-- dituntut untuk tidak
sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di
balik teks. Untuk lebih jelas, pola hubungan segitiga tersebut dapat
digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Pemahaman
umum yang embankment, sebuah teks selain produk si pengarang (pembuat atau
penyusun teks), juga merupakan produk budaya atau (meminjam bahasa Foucoult)
episteme suatu masyarakat. Karenanya,
konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Teks dalam konteks hermeneutika sifatnya adalah "polyfonik",
mempunyai tafsiran dan "suara" yang banyak, sesuai dengan
penafsirnya. Kata Sayyidina 'Ali tentang Qur'an, "Innama yunthiquhur
rijal." Qur'an itu adalah teks mati; yang membuatnya "hidup"
dan berbunyi adalah manusia. Sementara manusia itu berbeda-beda pendapatnya.[11]
Wahyu yang telah menjadi "verbal" dalam bentuk susunan kata-kata
yang turun pada Nabi pun adalah terbatas. Mengenai pengertian dan pemahaman
diagram dan kesepakatan dengan diagram tersebut; input -----> wahyu
[proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al Quran Bedanya
dengan kultur input-----> alam sekitar [proses adaptasi dan
pembelajaran dalam kumpulan masyarakat Arab] ----> output kultur Arab.[12]
Persoalan dan pemahaman yang umum terhadap teks adalah; input ==>
[proses] ==> output wahyu ==>
[proses dalam diri Nabi Muhammad] ==> Al Quran (ayat qawliyah) surroundings
==> [proses adaptasi & pembelajaran oleh komunitas Arab] ==> kultur
Arab. Kultur Arablah yang mula-mula mendapat
"suntikan" ayat qawliyah, secara berangsur-angsur, sehingga ayat
qawliyah itu haruslah dalam bahasa Arab. [13]
C.Hermeneutika Fikih:
Referensi Sosio-Historis
Berkenaan dengan fikih (hukum Islam), institusi hukum dalam Islam
sebetulnya senantiasa bertalian dengan tradisi masyarakat dimana hukum itu
dirumuskan dan diterapkan. Dalam proses pembentukan dan perkembangannya Islam
senantiasa membuka diri dengan nilai-nilai ranah sosial masyarakat. Karenanya
mengapa substansi hukum yang diderivasikan dari budaya masyarakat lokal (Arab, saat itu) sering diadopsi oleh Nabi
untuk masuk dalam lingkup sistem hukum agama yang sakral. Ambil contoh
institusi hukum warisan, qisas, maupun hukum keluarga lainnya.[14] Dapat dilihat betapa nilai-nilai adat masyarakat Arab sangat kental dalam
filsafat bangunan hukumnya. Dengan demikian, dalam proses perkembangan
berikutnya bangunan Syariah Islam perlu juga mengadopsi tradisi hukum dalam
masyarakat tertentu di mana ia dikembangkan. Inilah esensi kaidah usul fikih Al-Adah
Muhakkamah.[15]
Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup
dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala
sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi,
karena telah membumi, ia terkena
kategori sebagai fakta historis. Fakta historis ini dapat dijumpai semenjak
Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil
perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah).
Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai
budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis tersebut
dapat dimengerti jika karakter dan genre
ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah.[16]
Konsep dialektika Islam awal dan budaya Arab setidaknya menampakkan tiga
pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian
lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara
setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek
pra-Islam. Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya
yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya.[17] Karena sifatnya yang selalu berdialektika dengan realitas, tradisi
keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, Islam yang baik
adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan
solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan masa
depan bangsa secara keseluruhan.[18]
Ada sebagian orang mengatakan bahwa, budaya bersumber dari akar yang
historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah SWT. Pandangan
seperti itu meletakkan seolah-olah antara budaya dan wahyu adalah saling
bertentangan. Sumber wahyu memang non-historis, tetapi ketika Allah hendak
berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, Allah menggunakan peralatan yang
historis untuk bisa menyampaikan pesan kepada manusia. Qur'an sendiri
berfirman, "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhaja,"
masing-masing umat seorang rasul diberikan syari'at dan manhaj yang sesuai
dengan kondisi sosial mereka masing-masing. Artinya, wahyu dan firman Tuhan
mewujudkan diri melalui bahasa budaya lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun
secara gradual, karena Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja konteks
historis yang ada. Bagaimana mungkin Allah yang non-historis berbicara dengan
manusia yang historis kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural yang
historis.[19]
Contoh kongkret: karena Qur'an turun
di tanah Arab, dengan sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti
kultural yang historis, yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan
'arabyyan la'allaku ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab,
struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu sendiri. Kalau
mengikuti studi-studi linguistik modern, dengan jelas diperlihatkan bahwa
sesungguhnya bahasa bukan sekadar deretan kalimat, tetapi juga pandangan dunia.
Jadi, karena wahyu Islam turun dalam bahasa Arab, pandangan dunia orang Arab jelas mempengaruhi
ajaran Islam.[20]
Di kalangan juris Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam itu diakui
sebagai sesuatu yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah
muhakkamah", adat masyarakat dapat dijadikan sumber hukum Islam.
Artinya: hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Ada wahyu yang
dipengaruhi kultur Arab", Artinya juga ==> itu bervisi "Al Quran
tidak murni terdiri atas wahyu, sebab ada sebahagian yang dipengaruhi kultur
Arab.
Setiap nabi membawa wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang
dihadapinya; wahyu, dengan demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis.
Wahyu ada "dalam" sejarah manusia, bukan di "luar" sejarah
manusia, memang Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya tidak
akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah Qur'an tidak ada wahyu
lagi. Akan tetapi persoalan yang akan muncul adalah apa yang disebut dengan hukum Qur'an itu?
Al-Qur'an memang panduan dan guidance
bagi kehidupan umat Islam (hudan lin nas), tetapi dia bukan kitab
hukum. Akan tetapi teks-teks Qur'an dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Lebih jauh
lagi dapat dikatakan bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi oleh budaya
setempat. Sebab wahyu sebagai kehendak Allah membutuhkan baju yang kongkret,
yaitu kultur masyarakat yang ada. Jadi, struktur wahyu itu adalah: pesan
universal (seperti tersimpan dalam Lauh Mahfuz") -->
Kultur setempat (sebagai baju) = wahyu, Kaum muslimin hanya diwajibkan
untuk mengikuti pesan universalnya, bukan baju tempat pesan itu menemukan
wadahnya. Jadi, bukan produknya yang wajib diikuti, tetapi nilai-nilai yang ada
di balik produk itu. Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan ke dalam kehidupan
kongkret, itulah tugas manusia untuk
ijtihad.[21]
D.Hermeneutika Kholid Aboul Fadl[22] Sebagai Model
Sebagai contoh dan model, berikut ini akan ditampilkan teori dan
penerapan hermeneutika khusus yang
mengkaji hukum Islam, yaitu hermeneutika Khalid Aboul Fadl. Khalid Aboul Fadl
mencoba menjelaskan diskursus dinamika hukum Islam melalui pendekatan ilmu-ilmu
kritis seperti hermeneutika dan semiotika. Pendekatan ini menawarkan sebuah
relativisme yang besar atas disiplin yang sangat miskin dengan relatifisme
yaitu hukum Islam (fikih).Warna sebab akibat yang mencolok dalam fikih menjadi
relatif dalam pedekatan misalnya sebab akibat tidak selalu terjadi karena
relasi sebab akibat itu hanya terjadi kalau hubungan antara teks dan pembaca
itu bersifat mekanis dan tertutup.[23]
Kholid Aboul Fadl mencoba menerobos
itu dengan tawarannya. Pada dasarnya yang menjadi perhatian studi Kholid Aboul
Fadl tidak jauh berbeda dengan Abu Zaid[24] yaitu tentang penafsiran teks-teks keagamaan. Salah satu studinya yang
terkenal adalah tentang fenomena “authoritarianism” dalam tradisi hukum Islam.
Authoritarianism yang dimaksud disini adalah metodologi hermeneutika (tafsir)
yang menaklukkan dan menundukkan mekanisme memproduksi makna dari teks kepada
bacaan yang selektif dan subjektif. [25]
Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang juris “authoritarianism
hemeneutics” menjadi sesuatu yang di luar kontrol. Metode penulisan yang
authoritarianism seperti ini, menurutnya
akan melakukan korupsi atas kejujuran teks-teks Islam dan mematikan suara
mereka. Ia juga percaya bahwa metodologi yang demikian ini akan juga menghilangkan
efektivitas dan dinamika hukum Islam.[26]
Fenomena authoritarianism ini berbahaya karena akan berakhir pada
penundukan atas keinginan Tuhan, lebih berbahaya lagi karena authoritarianism
merupakan tindakan yang memarginalkan realitas antologis dari yang suci dan
mendepositkan keinginan Tuhan ke dalam perantara (manusia,ulama) yang kemudian
mereka jadikan rujukan. Di sini perbedaan yang perantara dan yang prinsip
(Tuhan) menjadi titik jelas dan kabur. Keinginan Tuhan dan pembicaraan perantara
menjadi satu dan sama sebagaimana seorang perantara melakukan determinasi yang
berdasarkan atas pandangan mereka sendiri atas yang prinsip. [27]
Semenjak yang prinsip di atas diwakili dalam indikator tekstual maupun non
tekstual, dalam proses yang authorirarianism ini, perantara menegasikan
kebebasan indikator dan membuat suara dari indikator-indikator tersebut sesuai
dengan determinasi mereka sendiri. Dinamika authoritarian ini akan menutup
segala kemungkinan self-expression dari indikator-indikator dan
menghalangi perembangan dan evolusi makna yang ada dalam komunitas penafsiran. Gambaran
inilah yang disebut dengan “the construction of the authoritarian.”[28]
Cara pandang di atas dipergunakan
oleh Kholid Aboul Fadl untuk melihat hukum Islam. Hukum Islam ini sebagai
indikator tekstual dari yang prinsip dan para ulama fiqih sebagai perantara
nampaknya sulit untuk dipisahkan. Kitab-kitab fiqih adalah cerminan dari
determinasi makna perantara yang seolah-olah tidak bisa diganggu gugat atas
yang prinsip. Kalau bicara tentang hukum Islam, mau tidak mau mematuhi
authoritarianism para ulama fikih baik dari segi produk maupun metodologi.[29]
Diakui oleh Kholid Aboul Fad, hal
di atas memang sulit sekali untuk dihindarkan. Ketika seorang pembaca membaca
sebuah teks dan mengambil hukum dari teks tersebut resiko yang hadir adalah
pembaca tersebut akan menjadi perwujudan yang teks yang ekslusif. Resikonya
kemudian adalah teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan sama. Dalam
proses yang demikian, teks kemudian diabadikan kepada pembaca dan pembaca
menjadi pengganti teks. Ketika seorang pembaca memilih bacaan teks tertentu dan
mengklaim bahwa bacaan-bacaan lain tidak mungkin, teks dilemahkan ke
dalam watak pembaca. Apabila seorang pembaca menundukkan teks, yang menjadi
bahaya adalah pembaca dan transenden, tak tersentuh dan authoritarian.untuk
menghindari tindakan authoritarianism dalam hukum Islam. [30]
Kholid Aboul Fadl mengusulkan agar
seorang pembaca memiliki lima sifat yakni jujur, kontrol diri, hari-hati,
komprehensip, dan masuk akal. Selain lima hal ini Kholid Aboul Fadl
mengusulkan agar semua wilayah tafsir Islam itu dilihat sebagai sebuah work
in movement. Istilah ini sebenarnya ia pinjam dari Umberto Eco.Yang
dimaksud dengan istilah ini adalah semua teks pada dasarnya terbuka untuk
berbagai penafsiran/pemahaman. Dengan kata lain teks
selalu terbuka dari gerakan yang dinamis. Hukum Islam kalau mau bertahan harus
diperlakukan sebagai teks yang senantiasa terbuka. Teks yang terbuka ini selain
mengandung gerakan tafsir yang banyak juga menjadikan teks menduduki posisi
yang sentral.[31]
Dalam posisi ini teks akan
berbicara dengan suara yang selalu diperbaharui kepada generasi pembaca yang
baru karena maknanya tidak dipastikan dan selalu berkembang. Seorang pembaca
akan senantiasa akan kembali kepadanya karena dengan ini dia akan mendapatkan
masukan dan penafsiran yang baru. Jika teks tertutup, maka tidak ada gunanya
untuk membaca teks.[32]
Penutupan teks seperti tersebut di
atas akan terjadi jika pembaca menganggap makna teks sudah dibatasi, tidak bisa
berubah dan stabil, hal ini sangat berbahaya. Menurut Kholid Aboul Fadl menutup
sebuah teks adalah sebuah arogansi dan dalam kondisi yang demikian seorang
pembaca sedang mengklaim bahwa pengetahuan diri mereka sama dengan pengetahuan
Tuhan.[33]
Penutupan teks dalam konteks
tradisi hukum Islam ini identik dengan penutupan pintu ijtihad. Ijtihad ditutup
karena kalangan mayoritas juris sunni menganggap authorirarianism ijtihad hanya
dimiliki oleh generasi pembaca awal. Mereka menolak bahwa kebenaran ijtihad
adalah kebenaran bisa dicapai semua orang. Dan kebenaran ijtihat bukan pada
hasil, akan tetapi pada prosesnya. Dalam kaitan ini, sebagian kalangaan juris
ada yang berpendapat bahwa setiap mujtahid adalah benar. [34]
Pada masa itu kalangan juris pecah
kedalam dua kubu yaitu kalangan mukhati’ah yang berpendapat bahwa hal
yang satu tidak mungkin memproduksi dua realitas. Bagi kelompok ini yang benar
adalah satu. Kelompok kedua adalah kalangan musawwibah yang berpikiran
bahwa suatu yang satu bisa memproduksi banyak kebenaran. Termasuk dalam
kelompok ini adalah al- Juawaini, al-Suyuthi dan al-Razi. Namun kecederungan
terakhir ini tidak menjadi warna dominasi dari tradisi hukum Islam kita.[35]
Kholid Aboul Fadl juga bicara
tentang kecenderungan penafsiran isolatif yang diterapkan oleh sebagian kalangan
Islam. Dalam sebuah artikel yang ditulis untuk menaggapi 11 September atas
gedung WTS di Amerika, ia mengemukakan kritiknya terhadap cara pemahaman
keagamaan yang tertutup. Cara pemahaman keagamaan yang tetutup itulah yang
mengakibatkan munculnya ekstrimisme dalam Islam seperti kelompok Osama bin
Laden, organisasi-organisasi jihad.[36]
Secara historis, cara pemahaman
seperti tersebut di atas kalau dirunut akan menemukan sumber pada gerakan
salafi dan wahabisme. Jauh sebelum itu memang terdapat sekte Islam yang
memiliki kemiripan cara pandang dengan wahabisme yaitu kelompok khawarij. Namun
kelompok khawarij habis. Menurut Kholid Aboul Fadl keompok seperti ini yang
menyumbangkan cara baca al-Quran yang membelenggu. Dalam bahasa Kholid Aboul
Fadl kelompok seperti ini membaca al-Quran secara isolatif. artinya ketika
mereka menafsirkan al-Quran, kebenaran-kebenaran hanya dibatasi untuk mereka
sendiri. Mereka tidak berusaha mendialogkan al-Quran dengan kebenaran historis
dan sosiologis. Kalau ada kebenaran historis dan sosiologis, itu adalah hanya
menjadi milik mereka. Inilah yang mengesankan bahwa Islam itu seolah-olah agama
yang tidak toleran. Pada hal di dalam Islam, ajaran-ajaran mengenai toleransi dijunjung tinggi.[37]
Ajaran fenomena yang demikian, Kholid Aboul Fadl mengembalikan
bagaimana sesungguhnya kita memperlakukan
al-Quran. Ia menyatakan bahwa al-Quran adalah sebuah teks yang berbicara melalu
pembacaannya. Kemampuan manusia untuk menafsirkan teks-teks adalah berkah dan
sekaligus beban. Berkah karena kemampun memberikan kelenturan untuk
mengadaptasi teks untuk merubah situasi. Sekaligus beban karena pembaca harus
betanggung jawab. Setiap teks menyediakan belbagai mungkin pemaknaan. Segala
kemungkinan tersebut dieksploitasi, dibangun dan akhirnya ditentukan oleh upaya
pembacanya. Apabila moralitas pembacanya tidak toleran, maka akan menghasilkan
penafsiran yang tidak toleran pula.[38]
E.Penutup
Fikih atau Hukum Islam kalau mau
bertahan dan bersifat reesponsif harus diperlakukan sebagai teks yang
senantiasa terbuka. Teks yang terbuka ini selain mengandung gerakan tafsir yang
banyak juga menjadikan teks menduduki posisi yang sentral. Hal ini menjadi
dasar bagi pengembangan paradigma fikih ke depan Masalah substansial dalam kaitan ini
adalah membangun paradigma fikih sebagai
agen "pemaknaan sosial''. Landasan keilmuan membangun paradigma fikih
sebagai agen "pemaknaan sosial'' adalah dengan menggunakan
perangkat-perangkat ilmu lain di luar ilmu fikih, baik ilmu tasawuf, filsafat,
teologi, maupun ilmu-ilmu sosial.
Untuk kepentingan di atas, gagasan
ilmu sosial profetik oleh Kuntowijoyo yang body of knowledge-nya sudah
mulai tampak mempunyai relevansi yang tinggi.[39] Atas dasar itu, sudah saatnya dipikirkan menggeser fikih dari paradigma
"kebenaran ortodoksi'' kepada paradigma "pemaknaan sosial''. Dengan
pergeseran itu, fikih akan menjadi wacana tandingan (counter discourse) dalam
politik pemaknaan yang sedang berlangsung.
Paradigma pertama ( kebenaran ortodoksi) menundukkan realitas pada teks ( introvert skriptual)
dan berwatak "hitam-putih'' dalam memandang realitas, sedangkan paradigma kedua ( pemaknaan sosial)
menggunakan realitas untuk memaknai teks, sehingga memperlihatkan watak yang lebih bernuansa. Cara
demikian dapat menggeser fikih dari kecenderungan normatif kepada kecenderungan historis. Kerangka
semacam inilah sepertinya yang dikehendaki Mohammed Arkoun ketika mengkritik rancang bangun
epistemologi ilmu keagamaan. Menurutnya, struktur dan bangunan ilmu agama (Islam) harus dilihat
sebagai produk sejarah biasa yang hanya berlaku pada penggal waktu dan ruang tertentu.[40]
Meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam sering disebut universal-transedental (salih li kulli
zaman wa makan), tetapi jika nilai-nilai itu dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, tidak lagi bersifat
universal-transedental dalam arti sebenarnya. Ia sudah menjadi fenomena historis sosiologis. Cara berpikir
seperti ini dapat menghindari apa yang disebut Arkoun sebagai proses taqdis al-afkar al-dini (sakralisasi
pemikiran keagamaan)[41]. Jika pemikiran Arkoun ditarik dalam ilmu fikih, fikih harus diletakkan sebagai
perangkat hermeneutika yang implikasinya sangat besar bagi kehidupan, dan karena itu memunculkan
problem metodologis yang besar pula.
Sifat fikih sebagai perangkat hermeneutika mempunyai watak ganda. Di situ sisi mempunyai
watak relativitas yang sangat tinggi, karena harus mengakomodasi pluralitas realitas. Di sisi lain harus
melunakkan kepastian normatif yang berdimensi keabadian hukum agama yang bertumpu pada
"rasionalitas Tuhan''.
Meletakkan fikih sebagai perangkat hermeneutika mempunyai landasan pemikiran yang cukup
kokoh dalam konteks pemikiran hukum Islam. Salah satunya adalah rancang bangun fikih yang
dikontruksi Abu Ishaq Al-Syathibi dengan konsep maqasid al-syari'ah-nya. Sedangkan di tingkat
metodologis, terdapat sejumlah metode usul al-fikih seperti istihsan, al-mashlahat al-mursalah,
dan dikombinasikan dengan berbagai metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti tawaran
Arkoun di atas. Metode-metode ini agak longgar terhadap ketentuan spesifik normatif dan lebih
mementingkan logika nas, yaitu kemaslahatan. Metode-metode seperti ini sangat relevan, karena
hukum Islam itu diturunkan pada hakikatnya untuk mencari kemaslahatan.
[1]Fazlur Rahman, Islam ( Chicago: The University of Chicago
Press, 1966), p.32. dan Islam and
Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition ( Chicago: The
University of Chicago Press, 1982), p.20.
atau konsep maqashid al-syari'ah
menurut Abu Ishaq al-Syatibi dalam buku monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari'ah ( Kairo: Maktabat wa Matba'at Muhammad Ali Sabih wa Auladih,
1969).
[2]Rumadi, Fikih, Proses Sekularisasi Agama dikutip
dari http://www.isnet.org/archive-milis/archive97/oct97/msg00333.html
accessed 25 Oktober 2005.
[4]Auguste Comte adalah seorang filosuf Perancis
(1798-1857), filosuf ini membagi perkembangan masyarakat menjadi 3 tahap, yaitu
teologi, metafisika dan positif(ilmu pengetahuan). Karena penekannannya pada
tahap positif atau ilmu pengetahuan ini konsepnya yang terkenal adalah
positivisme. Positivisme Comte ini sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan
ilmu dan teori tentang kebenaran. Suatu
itu dikatakan benar jika bersifat teramati dan terukur. Lihat Paul Edwards (
Editor in Chief), The Encyclopedia of Philosophy ( New York: Macmillan
Publishing Co., Inc. & The Free Press dan London: Collier Macmillan
Publishers, 1972), II: 173-177.
[5]Kritik tajam terhadap
positivisme Auguste Comte, lihat M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam
pada Perguruan Tinggi terutama uraian Fasal Pertama yang berjudul
"Apakah.Agama Masih Diperlukan?" ( Jakarta: Bulan Bintang,1974). p. 7-23.
[6]Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan
lewat pendekatan hermeneutic tidak begitu popular dan untuk kalangan tertentu
justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam
kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermeneutic
pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap
hermenetik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah
yang popular digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain
dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen
yang hendak diterapkan dalam kajian al-Quran di lingkungan Islam M.Amin
Abdullah," Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Kegamaan:Proses
Negosiasi Pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca" makalah disampaikan
pada Moslem Scholars Congress" Reading of The Religious Texts and The
Roots of Fundamentalism" Yogyakarta Hotel Saphir, Ahad, 13 Juni 2004. dan
M.Amin Abdullah, "Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan
Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan
Pembaca" pengantar buku edisi
Indonesia Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif karya
Khaled M.Abou El Fadl terj. R. Cecep Lukman Yasin ( Jakarta: Serambi,
2004),p.VII-VIII.
[7]Tokoh-tokoh lain yang menggagas pembaharuan
pemikiran metodologi hukum Islam tersebut adalah Mahmud Syaltut karyanya Islam
Aqidah wa Syari'ah ( Mesir: Dar al-Qalam, tt.)., Yusuf al-Qardlawi karyanya
al-Ijtihad fi al-Syari'ah al-Islamiyah Ma'a Nazarat Tahliliyah fi al-Ijtihad
al-Mu'asir (Kuwait: Dar al-Qalam, t.t.), Ali Syari'ati karyanya On The
Sociology of Islam terj. Hamid Algar ( Berkeley: Mizan Press,1979), terutama
Bab II," Approaches to the Understanding of Islam," p.39-69, Mahmud
Muhammad Taha dan Abdullahi Ahmed an-Na'im dalam The Second Message of Islam
terj. Abdullahi Ahmed an-Na'im ( Syracuse: Syracuse University Press,1987) dan Toward
an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse:
Syracuse Universiry Press, 1990), dan Muhammad Syahrur dalam al-Kitab wa
al-Quran: Qiraah Mu'asirah (Kairo: Sina lil-Nasyr,1992).
[8]Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique,(London:Rutledge
& Kegan Paul, 1980), p.1.
[10]Richard E Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory
in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, ( Evanston: Northwesten
University Press,1969), p. 45-65.
[11]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.
[12]Ibid.
[14]Afif Muhammad, " Islam dan Budaya
Lokal" dalam Harian Pikiran Rakyat, Selasa 18 Maret 2003.
[15]Ibid. dan Al-Jurjani, at-Ta'rifat ( Mesir: Mustafa
al-Halabi,1938), p.130. Dalam khazanah hukum Islam, ada upaya untuk menyamakan
antara adat dan kearifan. Dalam al-Qur'an, kearifan merujuk pada kata 'urf
(yang fi'l madli-nya 'arafa dan seakar dengan ma'raf dan ma'rifah),
diungkapkan dua kali dalam konotasi positif. Yang pertama berkaitan dengan
perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memerintah dengan 'urf,
yaitu pada Q.7:199, 'Bersikaplah pemaaf, perintahkan dengan 'urf dan
berpalinglah dari orang-orang jahil'. Ayat yang kedua berkaitan dengan para
malaikat (ada yang menafsirkan angin atau para rasul) yang diutus dengan
membawa 'urf, yaitu pada surat al-Mursalat ayat pertama: Wa
al-mursalat 'urfa. Kearifan itu adalah adat yang memiliki kearifan (al-'adah
al-ma'rifah) yang dilawankan dengan al-'adah al-jahiliyyah. Di sini
tidak setiap adat adalah 'urf. Jika kita kaji lebih lanjut, rangkaian
ayat ini (misalnya dari ayat 193-203), sebenarnya berkaitan dengan pembicaraan
mengenai sistem kepercayaan jahiliyah yang sangat tidak masuk akal, dengan
menuhankan berhala-berhala yang tidak dapat mencipta, menolong, bahkan bergerak
sekalipun. Penuhanan berhala-berhala ini terjadi paling tidak akibat dua hal. Pertama
karena karakter psiko-antropologis manusia yang cenderung me-reifikasi
(mengongkretkan/membendakan) hal-hal yang abstrak. Kedua, kecenderungan
untuk menuhankan hal-hal yang misterius, mengagumkan, dan memiliki energi yang
dahsyat , sebagai aktualisasi kesaksian primordialnya bahwa Allah adalah
Tuhannya yang kemudian terlupakan (Q.7:172). Maka perintah dengan 'urf,
juga mesti melibatkan pengetahuan (ma'rifah) yang memadai dan dapat
dipertanggungjawabkan, yang akan menolak (nafy) hal-hal yang sebenarnya
bukan Tuhan dan mengukuhkan (itsbat) Tuhan yang sebenarnya. Karenanya,
doktrin tauhid Islam dimulai dengan nafy (la ilaha) kemudian diikuti
dengan itsbat (illat al-Lah). Dari sini kita dapat melihat hubungan 'urf-ma'rifah-ma'ruf
berlawanan dengan nukr-jahiliah-munkar. Jadi 'urf betul-betul
merupakan kristalisasi kearifan budaya lokal yang didasari pengetahuan yang
memadai.
[16]Adat dan Budaya dalam Islam dikutip dari http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF- 8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us accessed 25 Oktober 2005.
[17]Khalil Abdul Karim, Syari'ah Sejarah,
Perkelahian, Pemaknaan terj.Kamran As'ad dari judul asli al-Juzur
at-Tarikhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah ( Yogyakarta: LKis,2003). .
Respons Alquran terhadap kehidupan masyarakat jahiliah yang ada saat itu dapat
dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu tradisi
yang dimiliki masyarakat jahiliah, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri,
baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, hukum potong tangan bagi pencuri
sudah dikenal di tengah masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian dipertahankan
oleh Islam. Secara substansial dan material, di situ tidak ada perbedaan antara
hukum potong tangan yang berlaku pada masyatakat Arab jahiliah dan hukum potong
tangan yang ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah
sumbernya. Hukum potong tangan yang diberlakukan masyarakat Arab pra-Islam bersumber
dari tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun,
hukum tersebut dipertahankan, dengan mengalihkan sumbernya dari tradisi
masyarakat Arab pada wahyu Allah SWT. (Alquran). Kedua, Alquran
mempertahankan sebagian dari tradisi pra-Islam dan menolak sebagian lainnya,
misalnya dalam hukum poligami. Poligami bisa berarti poliandri (seorang
perempuan bersuami lebih dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri
lebih dari satu). Poligami dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh
Islam, sedangkan dalam arti yang kedua (poligami) diterima dengan pembatasan.
Jika sebelum dan di awal Islam seorang laki-laki boleh memiliki isteri dalam
jumlah yang tidak terbatas, Islam membatasinya hanya empat orang.Ketiga,
Alquran menghapus suatu tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah,
misalnya riba. Seperti diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-Islam berada
di tangan para saudagar kaya yang bersikap sangat zalim terhadap rakyat kecil
dan kaum lemah dengan, misalnya memberlakukan sistem riba. Melalui sistem ini
golongan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas.
Ketika seorang miskin meminjam uang dengan sistem riba, seringkali dia tidak
dapat melunasi utangnya. Kalau sudah begitu, dia dirampas dan dijadikan budak.
Tidak jarang pula yang ditampas adalah istri atau anak-anak perempuannya.
Dengan demikian, perbudakan pada masyarakat Arab pra-Islam terkait erat dengan
sistem ekonomi yang berlaku di tengah-tengah mereka. Islam mengharamkan riba
dan memberlakukan pinjam-meminjam dengan sistem mudharabah (bagi hasil),
lalu mengatasi masalah perbudakan yang menjadi akibat sistem riba dengan
kewajiban membebaskan budak sebagai hukuman atas pelanggaran-pelanggaran
tertentu agama Islam, misalnya tebusan untuk suatu pembunuhan atau denda bagi
orang yang melakukan hubungan seksual dengan suami/istri di siang hari bulan
Ramadan.
[18]Adat dan Budaya dalam Islam
dikutip dari http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF-
8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us
accessed 25 Oktober 2005.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Adat dan Budaya dalam Islam
dikutip dari http://216.109.117.135/search/cache?p=Islam+Lokal&toggle=1&ei=UTF-
8&b=41&u=nicolsian.blogspot.com/&w=islam+lokal&d=912DB7D5D2&icp=1&.intl=us
accessed 25 Oktober 2005.
[22]Kholid Aboul Fadl adalah seorang “intelektual
Islam nakal” yang lahir di Kuwait, sebuah negara Islam yang sangat jarang
menelurkan intelektual Islam yang kaliber international. Ia belajar hukum Islam
di Mesir dan dinegaranya sendiri. Dia mendapat gelar kesarjanaan dari
Pennsylvania, Yale dan Princeton. Dia terlibat dalam gerakan-gerakan hak asasi
manusia. Karyanya tidak disukai oleh dunia arab khususnya Arab Saudi. Apa yang
menarik dari Kholid Aboul Fadl adalah perhatiannya terhadap hukum Islam yang
relatif baru.
[23]Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin dari judul asli Speaking in God's Name:
Islamic Law , Authority and Women ( Jakarta: Serambi, 2004),p.10
[24] Nasr Hamid Abu Zaid sekarang menjadi guru besar untuk studi Islam
di universitas Leiden, Belanda, dan
menjadi pembibing beberapa mahasiswa yang sedang menulis desertasi tentang
penafsiran dalam Islam pada beberapa penafsiran di Eropa, seperti di Jerman,
Prancis, maupun tempat lainnya . keberadaan di Belanda karena dia harus
meninggalkan negrinya karena dengan kasus hukum yang dialaminya. Dia mendapat perlindungan politik di Belanda
dengan imbalan dia harus mengajar. Boleh dikatakan Nasr Hamid Abu Zaid memiliki
perhatian yang sangat mendalam bidang studi tafsir , hermeneuitika dalam Islam.
Hampir semua karyanya diarahkan untuk memberikan alternatif baru bagaimana
caranya melakukan bacaan (penafsiran) terhadap teks-teks keislaman. Obyek
studinya meliputi sufsm, tafsir (hermenetika) sampai kepada persoalan studi
perempuan. Namun semua objek kajian itu digerakkan oleh pemikiran dia tentang
perlunya cara pemahaman (tafsir) pada teks Islam (nash). Studi yang ditekuninya
adalah murni teologis, melihat dari teks ke teks. Hal ini mungkin karena tidak
memiliki keahlian dalam bidang ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi.
Ilmu seperti bahasa dan sastra, linguistik dan hermeneutika adalah disiplin
ilmu yang juga digunakannya dalam menganalisis dikursus keagamaan. Lihat karyanya,
Naqd al-Khitab al-Dini (Kairo: Sina al-Nasyr,1994).p.55.
[25]Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin dari judul asli Speaking in God's Name:
Islamic Law , Authority and Women ( Jakarta: Serambi, 2004).p.12.
[29]Ibid.
[39]Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001).
[40]Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. S.Hidayat ( Jakarta: INIS,1994),p.282.
[41]Ibid.
No comments:
Post a Comment