Wednesday 13 December 2017

Penelitian Tasawuf (Metode dan pendekatan)

A.Penelitian Tasawuf
               Penelitian dan pengkajian dalam bidang tasawuf manerupakan bagian yang tak terpisahkan dari penellitian dan pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama isalam. Oleh karena itu, perlu disinggung masalah pemgertian agama islam. Penelitian agama memang berbeda dengan penelitian ilmu-ilmu social, tapi berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dari metode penelitian pada umumnya.
               Perbedaan antara penelitian ilmu Agama dan ilmu-ilmu social, ilmu social terletak pada medan, tujuan, dan pendekatan ( sudut penilaian). Penelitian agama menurut Mattulada terbatas pada pengkajian fenomena keagamaan, berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Penelitian agama mencakup tiga lapangan, yakni :
a.       Memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari agama, dan merupakan sumber statistiknya.
b.      Mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan ajaran suatau agama.
c.       Para ahli-ahli ilmu social disebut fenomena keagamaan, yakni perilaku dan pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada ditengah-tengah masyarakat manusia.
            Disamping itu di Barat telah lama muncul cabang ilmu yang disebut islamologi. Cabang inilah yang telah mencoba mengkaji hubungan antara ketiga medan ilmu keagamaan tersebut diatas. Tetapi tujuannya bermacam-macam, ada yang hasil penelitian mereka diabadikan bagi kepentingan misi ataupun sanding, ada yang diabadikan bagi kepentingan penjajahan sewaktu pemerintah colonial masih bercokol didunia timur, adapula yang semata-mata demi ilmu untuk saling memahami dan saling menghormati atau menghargai. Hal ini penting bagi hubungan antarnegara dan antarbangsa, bahkan bagi kerukunan dan kerjasama antaragama.
     Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemhaman dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia. Dengan demikian penelitian agama tujuannya tidak sama dengan penelitian ilmiah dalam bidang social ataupun islamologi. Penelitian agama memang telah tegas-tegas memihak bagi kepentingan pengembangan kehidupan dan pemikiran umat beragama. Yakni berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yanag tegar dan dinamis sesuai dengan tuntutan zaman.  Dari sudut penelitian Agama, maka yang menonjol adalah konflik antara para penganut ajaran Islam Tradisional dengan para pejuang pembaharu Agama. Penelitia atau studi dalam bidang ilmu Tasawuf obyeknya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi masa lampau yang telah terbukukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Disamping itu medan yang masih terbentang luas dan belum banyak dijamah oleh para peneliti orentalis adalah fenomena kehidupan kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata berserakan diserata alam islami. Kehidupan para sufi yang benar-benar ada umumnya tergambar dalam kelompok-kelompok ordo tarekat yang dengan sendrinya banyak diwarnai oleh kualitas guru-guru tarekat tingkat pedesaan. Konsep seperti ini amat jauh perbedaanya dengan ajaran tasawuf dan guru-guru pendri tarekatnya.
     Contohnya tarekat Qadriyah tentu aslinya jauh berbeda dengan Naqsabandiyan. Tetapi khusus di Indonesia muncul bentuk perpaduan antara keduanya kedua ini seperti berkembang didaerah pati dan pesantren Surialaya di Tasikmalaya. Demmikian banyak masalah penelitian yang bisa dimunculkan untuk mnyusun program penelitian.
     Adapun penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus (case study) yakani meneliti dan mengkaji kasus yang ditinjau dari segal aspeknnya. Studi kasus ini memang terpaksa harus dilakukan karena sesuai dengan cirri ajaaran tasawuf seperti halnya filsfat bersifat individual. Setiap tokoh sufi merupakan kasus tersendiri. Jaadi studi kasus merupakan pilihan yang wajar dalam menggarap sejarah perkembangan dan pemikiran tasawuf di Indonesia.
     Cirri dari studi kasus hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta kedudukannya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman. Dalam study kasus seorang peneliti harus peka menilai data-data yang bermakana, dan kemudian menganalisisnya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkannya. Jadi, diperlukan ketajaman dan kemampuan analisis secara kritis dan sistematis. Tanpa hal ini penelitian tidak akan terjadi dan ilmu keislaman akan lumpuh atau masih akan mengalami stagnasi yang cukup panjang.          
1.      Syarat Penelitian      
Peneliitian umumnya menggunakan studi kasus dan menggunakan penomenologis atau verstehen. Jadi gronded riset maka sarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Syarat pertama adalah harus menguasai istilah-istilah atau bahasa Sufisme. Yang kedua harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakekat tasawuf sebagaimana ajaran islam.
Tasawuf sebagai ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua Hijrah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti : Maqam, hal, ma’rifat, tarekat, hakikat, hubb, wara’, zuhud, tawakkal, muraqobah, fana’,baqa’ sakar, zikir, martabat, Nur Muhammad, dan lain-lain. Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimengerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
Ma’rifat sufi lain sekali dengan ma’rifat menurut filsafat ataupun dalam syariat. Maka, untuk memahami istilah-istilah dalam ilmu tasawuf minimal haarus mengkaji kitab kecil karya imam Al-Qusyairi, yakni Al-risalah. Mengenai sistematika tasawuf bisa membaca buku kecil The Mystics of Islam karya R.A. Nicholson. Mengenai sejarah perkembangan tasawuf perlu membaca buku Mystical dimensions of Islam karya Annemarie Schimmel. Bahkan kalau mungkin diperluas materinya dengan buku-buku Al-Ghazali, terutama al-munqidz min al-Dlalal, Ihya’ Ulum al-Din, dan Miskat al-anwar.
Syarat kedua harus punya pandangan tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena peneliti bergerak dalam bidang penellitian agama, bukan hanya penelitian bidang social.
Mengenai apa hakekat tasawuf bagi umat Islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya stereotyped ideas yang telah lama direntang para pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis antara kasyfi ( tasawuf) dan naqli ( syriat ) seperti Al-Ghazali, Al- Qusyairi atau oleh para ulama yang berusaha membelokkan pengertian tasawuf dari penghayatan kasyaf ke arah abid semisal Ibnu Khaldun dengan teorinya Syariat al-hadistah atau ke arah ahklak (ihsan) seperti Achmad Rifa’i dengan pesantren Budiyahnya, Hamka dengan ide tasawuf modernnya. Maka para peneliti yang rindu pada kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur harus berusaha mendobrak jeratan pengertian yang kabur tentang tasawuf di atas. Peneliti mencari dan berusaha menemukan intisari yang menjadi ide sentral dari ajaran tasawuf. Menurut Harun Nasution dalam bukunya filsafat dan Mistisisme dalam Islam intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog (langsung) antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan. Menurut Ibnu Kaldhun ajaran berkontemplasi (samadi,meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan Tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan masalah kaitan tasawuf dengan Islam.
Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajarannya adalah fana’ (ecstacy) dan kasyaf (kasyf, illuminasi). Fana’ dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Penghayatan mistik itu semata-mata tanggapan kejiwaan ditengah meditasi yang dalam tasawuf dilakukan dengan sarana zikir. Mistik itu sejenis “kepercayaan atau ajaran”. Ciri khususnya tanggapan kejiwaan dalam meditasi itu dipercayai sebagai tanggapan yang factual dan dijadikan dalil agama yang paling meyakinkan (paling qat’i) dan tertinggi.
Dari urian diatas maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran yang menjiwai seluruh pikiran dan perbuatan ketasawufan. Tanpa cita fana’ dan kasyaf tidak akan ada tasawuf. Semua kegiatan, pemikiran, perasaan, dan filsafat yang dimunculkan oleh para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbulkan cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana’ dan kasyaf ini, maka segala dipinisi tentang tasawuf yang tidak menonjolkan cita fana’ dan kasyaf adalah kabur, dan member gambar yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf.
Oleh karena itu, bagi orang yang akan  mengadakan pengamatan dan penelitian dalam bidang tasawuf, harus mempertimbangkan dan berpegang pada inti cita bidang tasawuf. Tanpa memahami inti cita sufisme, yakni fana dan kasyaf pengertiannya akan kabur, laksana si buta yang meraba-raba untuk mengenal gajah.
Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf adalah cinta rindu (hubbullah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatap muka secara intim (al-uns) dengan Tuhan. Ma’rifatullah yang berarti tatap muka langsung dengan tuhan ini hanya bisa dicapai melalui pengalaman fana’ (ecstasy) dan kasyfi (vision, isyraq). Seluruh kegiatan ketassawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana’ dan kasyfi ini, yang tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan, seperti halnya mimpi. Fan’ dan kasyfi merupakan ciri khusus yang membedakan antara cita ketasawufan dengan cita ajaran-ajaran lain. Oleh kareana itu, dipinisi yang jami’ dan mani’ harus menonjolkan ciri khusus (fana dan kasyaf) tanpa menonjolkan hal ini dipinisi tasawuf akan kabur, tidak memberi pemgertian yang jelas tentang pokok ajaran sufisme.
Banyak penulis tentang tasawuf  yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya terhadap pengenalan agama. Buku-buku semacam ini tidak bisa memberikan pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaatnaya bagi pengamat dan peneliti dalam bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negtifnya. Oleh karena itu, untuk  mendapatkan pengertianutuh dan menguasai persoalaan tentang tasawuf harus mempertimbangkan inti cita sufisme, yaitu fana’ dan kasyaf.    
2.      Metode dan pendekatan
Mengenai masalah metode kiranya cukup mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu social, terutama analisis kesejahteraan dan pendekatan fenomenologi yang cukup bagus untuk penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Pendekatan verstehen yang berusaha untuk mengerti sesuai keadaan objek bisa diterapkan dalam penelitian tasawuf. Verstehen artinya agar sang objek itu sendiri yang bicara mengenai dirinya sendiri. Tugas peneliti semata-mata merekam apa yang dirasa, dipikirkan, dipahami, dan diungkapkan oleh sang objek. Hasil rekaman itu kemudian dicoba untuk dimengerti dan di analisis oleh peneliti untuk menyusun tesis ataupun teori. Jadi, pendekatan fenomenologi atau verstehen si peneliti harus mencoba ikut terlibat dengan rasa semampu mungkin tanpa menggunakan teori terlebih dahulu. Fenomenalogi atau verstehen memang hanya bisa dilakukan oleh seorang peneliti ahli yang telah banyak menguasai banyak teori. Sebab yang meneliti bukan sufi, tentu tidak bisa menghayati  kejiwaan sufi sebagai realitas objektif kepercayaan para sufi.
Adapun mengenai segi pendekatan untuk memahami fenomena-fenomena keagamaan ataupun tasawuf, disinilah arti khusus dari penelitian agama. Fenomena keagamaan hanya bisa dimengerti secara utuh dan pas apabila diselami dari sudut agamis, bukan dari sudut limu social. Oleh karena itu, penelitian agama memang berbeda dengan penelitian social. Penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban umat manusia. Penelitian agama merupakan alat untuk mendukung dan merekayasa pengembangan ajaran agma dan  umat islam.
Adapun mengenai metode, menurut mattulada amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu. Jadi, tidak harus mengkhayal adanya satu metode universal yang berlaku bagi segala objek studi.[1] 
Adapun perintah membaca, meneliti, mengkaji, terkandung dalam Al-Qur’an, dalam surat Al-Alaq(96): 1-5.

           ا قرا با سم ربك الذي خلق (١) خلق الانسان من علق (٢) اقراؤربكالاكرم(٣) الذي علم با لقلم                           (٤)علم الانسا ن ما لم يعلم (٥)      

Artinya:” Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kewajiban membaca, meneliti, mengkaji dan seterusnya menjadi inhern dengan ajaran islam. Secara eksplisit, ayat juga ini mengisyaratkan bahwa segala penguasaan ilmu dan tehknologi merupakan tetesan ilmu Tuhan, dan dari ayat ini pula dapat dipahami bahwa keberhasialan sebuah penelitian atas “ restu” dari Tuhan.[2]

KESIMPULAN
Penelitian dan pengkajian dalam bidang tasawuf manerupakan bagian yang tak terpisahkan dari penellitian dan pengembangan dalam ilmu pengetahuan agama isalam. Oleh karena itu, perlu disinggung masalah pemgertian agama islam. Adapun penelitian yang mudah dijalankan adalah studi kasus (case study) yakani meneliti dan mengkaji kasus yang ditinjau dari segal aspeknnya. Studi kasus ini memang terpaksa harus dilakukan karena sesuai dengan cirri ajaran tasawuf seperti halnya filsfat bersifat individual. Setiap tokoh sufi merupakan kasus tersendiri. Jaadi studi kasus merupakan pilihan yang wajar dalam menggarap sejarah perkembangan dan pemikiran tasawuf di Indonesia. Adapun mengenai metode, menurut mattulada amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek studi itu. Jadi, tidak harus mengkhayal adanya satu metode universal yang berlaku bagi segala objek studi.
Adapun perintah membaca, meneliti, mengkaji, terkandung dalam Al-Qur’an, dalam surat Al-Alaq(96): 1-5.

           ا قرا با سم ربك الذي خلق (١) خلق الانسان من علق (٢) اقراؤربكالاكرم(٣) الذي علم با لقلم                           (٤)علم الانسا ن ما لم يعلم (٥)      

Artinya:” Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Daftar Pustaka
Simuh.2002. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Nurdiana.2011. Ilmu Alamiah Dasar. Mataram.




[1] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam,(Jakarta: Raja Grapindo, 2002,),h. 1-13
[2] Nurdiana, Ilmu Alamiah Dasar,(Mataram, 2011),h. 91

No comments:

Post a Comment

Entri Populer