Filsafat dan Agama
Sesudah kita melihat
hubungan antara nalar dan wahyu, kita dapat menanyakan sumbangan filsafat
terhadap agama.
Hubungan antara
filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan
kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan
filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para
filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan
sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat.
Kadang-kadang juga
terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban kepicikan dan kemunafikan
orang-orang yang mengatasnamakan agama. Socrates dipaksa minum racun atas
tuduhan atheisme padahal ia justru berusaha mengantar kaum muda kota Athena
kepada penghayatan keagamaan yang lebih mendalam. Filsafat Ibn Rusyd dianggap
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap, diasingkan dan meninggal
dalam pembuangan. Abelard (1079-1142) yang mencoba mendamaikan iman dan
pengetahuan mengalami pelbagai penganiayaan. Thomas Aquinas (1225-1274),
filosof dan teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh kafir karena memakai
pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad Pertengahan dari Ibn
Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota
Roma. Sedangkan di zaman modern tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak
dari Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis.
Pada akhir abad ke-20,
situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat maupun dari pihak agama.
Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar
tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan
kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan,
tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau sebenarnya
tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan dari
kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk
banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar dewasa ini.
Sebaliknya agama,
meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi yang dirasakan
sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa
apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia
adalah dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka
sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan
dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi
dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru
membantu membersihkan agama dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah
suatu legitimasi bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama
dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama, baru menjadi
saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam mengamalkan tugasnya tidak
memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan duniawi. )
Dengan demikian, dialog
antara filsafat dan agama justru akan membawa keuntungan bagi keduabelah pihak.
Filsafat
sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat pelayanan pada agama :
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama
wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda
Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi
segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah
sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu
juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada
kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun
sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan
kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita
tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang
itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap
agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya,
mengenal ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami
wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu
bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas
pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti
wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena
dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya).
Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab,
filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan
pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan
memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara
tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut
ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan
paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu
dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan
kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai
cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea",
pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat
membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat
mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus)
mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan
kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah
hanyalah satu.
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan
belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama
relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan
ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh
atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal
dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya
dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam
konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu
diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat
membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan
mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya
pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Pelayanan keempat yang
dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya.
Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah sebagai
berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah
semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan
keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan
kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat
menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya,
memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di
belakangnya.
Kritik ideologi itu
dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan,
terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan
bertanggungjawab. Filsafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan
pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama
sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka,
jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang
obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.
Arah kedua menyangkut
agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh
penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk
wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama
dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat
dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka
filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan
zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya
dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Filsafat Islam
Ketika datang ke Timur
Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer
tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya
ke luar Masedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang
dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang
dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah
falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat
peradaban Yunani seperti lskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia
di Suria, Selopsia serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di
lran.
Ketika para Sahabat
Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi
peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir ,
Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa
tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya
menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk
masuk Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut
agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non
Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan
oleh karena itu ingin memajuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani.
Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu
tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula.
Untuk itu mereka pelajari falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal
yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal
yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian
timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori
kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah :
1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau
tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran
filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti
harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti
tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat
menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa,
berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran
ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and
free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam
perbuatan maupun pemikiran.
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada
penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi
titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya
kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut
Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu
perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu'tazilah
inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia
dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa
pada perkembangan Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa
antara abad ke VIII dan ke XIII M.
Filosof besar pertama yang
dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-satunya filosof Arab dalam Islam. la
dengan tegas mengatakan bahwa antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar
(al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka
kedua-duanya membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam pembahasannya
memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat kalau ada yang benar maka
mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas
soal Tuhan dan agama. Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah
falsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam.
Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak
dilarang, tetapi wajib.
Dengan falsafat
"al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan
dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah
sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu
sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal.
Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars).
Yang penting bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri,
tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalarn benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals ). Tiap-tiap benda
mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah juz'iah) yang disebut aniah dan
hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat
yang bersifat universal dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid
memang masalah penting dalam teologi dan falsafat Islam. Dalam hal ini
Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya,
kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaan nya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti
banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya
esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Pemurnian tauhid inilah
yang menimbulkan falsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari Al-Farabi. Yang Maha
Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat,
maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang
diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa
atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah
Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga
mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya
tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri
menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan
dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan
planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
Akal l11 menghasilkan
Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan
Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan
Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan
Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan
Akal VIII dan Venus.
Akal VIII menghasilkan
Akal IX dan Merkuri
Akal IX menghasilkan
Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan
hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak
cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.
Demikianlah gambaran
alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi,
yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan
tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya.
Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam
pendapat filosof Islam adalah melekat.
Begitulah Tuhan
menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung
menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal l11 dan demikianlah seterusnya sampai ke
penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung
berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri
Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
Al-Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof Islam yang menganut faham emanasi.
Alam dalam falsafat
Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu
api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat
diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka
materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan
pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan berfikir
semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan
itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman.
Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat
api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian
alam qadim, yang dikritik AI-Ghazali.
Selain kemahaesaan
Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam
falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik mengenai ini adalah
pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AI-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:
- Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
tumbuh dan berkembang biak.
- Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari
satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi
dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b)
Indra da1am yang berada di otak dan terdiri dari:
a. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra.
b. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar
dari materi.
Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
c. Indra penganggap yang menangkap arti-arti
yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
d. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
- Jiwa
manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal.
Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada
dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan
perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam
diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis,
kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya
dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia
teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai
empat tingkatan :
a.
Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi
untuk rnenangkap arti-arti murni.
b.
Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti
murni.
c.
Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap
arti- arti murni.
d.
Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya
menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat
inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof. Akal inilah yang dapat
menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
Jiwa manusia mempunyai
wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk
menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana
dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti.
Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap
arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat
lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap
arti-arti murni.
Jiwa tumbuh-tumbuhan
dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai
fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah
rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa
manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan dengan
yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan
yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia
telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami
kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum
sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
Dari faham bahwa jiwa
manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya
pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
Demikianlah beberapa
aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi
kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins) serta diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga
tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
Pemurnian itu membawa
Al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam
qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman.
Karena Tuhan dalam falsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang
banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa
Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan
mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah
yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang
mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti
manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan
jasmani tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para
filosof percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam.
Inilah sepuluh dari duapuluh
kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para
filosof lslam. figa, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka
kepada kekufuran, yaitu :
1.
Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
2.
Pembangkitan jasmani tak ada
3.
Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa
pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada
ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar
Islam tauhid, yang sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam
memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap
kafir filosof yang percaya bahwa alam ini qadim.
Mengenai masalah kedua,
pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an
menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat
Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?
Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali".
Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya
pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an, yang adalah wahyu dari Tuhan.
Pengkafiran tentang
masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam, juga
didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam
al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat Al-An'am: Tiada daun
yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
Pengkafiran Al-Ghazali
ini membuat orang di dunia lslam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat
pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah
falsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul
teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu
dibawa oleh al-Asy'ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh
teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan
faham Mu'tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah,
teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
Sebagai lawan dari
teologi rasional Mu'tazilah, teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak
tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut :
1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan
rendah, sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu.
Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
pemikiran ilmiah dan falsafi.
2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini
merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum
bisa berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk
membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau
fatalisme, yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
statis.
3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak
dari faham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak
mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam
dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian
bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya membakar , tetapi
biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi
tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah
dan filosofis, sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'taziiah. Sesudah
al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian
Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak
berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan
filosof-filosof Islam.
Di dunia Islam bagian
Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran filosofis
masih berkembang sesudah serangan a1-Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138)
dalam bukunya Risalah al- Wida' kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang
membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M)
dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah, bahwa
akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah
keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan,
kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi
perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal
orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat
mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan,
seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn
Rusydlah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban
terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut
al-Falasijah.
Mengenai masalah
pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep
AI-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn
Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di
samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam
kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini, kata
Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an
digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu)
berada di atas air.
Jelas disebut dalam
ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping
Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian
la pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini yang ada di
samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30
dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak
melihat ' bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti
bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian
menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa
inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari
tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan
kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan
filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn
Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada", seperti yang
dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada", seperti yang dikatakan
filosof-filosof. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan,
Kami ciptakan manusia dari inti sari, tanah. Manusia di dalam al-Qur'an
diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu yang
"ada", yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas. Falsafat memang tidak menerima konsep.
penciptaan dari tiada
(creatio ex nihilo). "Tiada", kata Ibn Rusyd tidak bisa berobah
menjadi "ada", yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi
"ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk
materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi.
Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi
susunannya adalah baru (hadis ). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd
tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran
falsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti
sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak
bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi
Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta dan alam
qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak
bermula ke zaman tak berakhir . Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan.
Bahwa alam yang terus
menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga
oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
Jangan1ah
Sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain
dan ( demikian pula) langit.
Di hari perhitungan
atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini
dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan
langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan
langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air
dan tanah kembali dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit
yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya
akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa
kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian
terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian
al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof dalam
falsafat mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu
pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing
tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan
al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan pendapat al-Ghazali.
Mengenai masalah kedua,
Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan
bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan
mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap
pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan
jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filosof-filosof Islam
tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam
Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi
di dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
Dengan demikian
al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filosof
dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak
adanya pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya
adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka.
Dalam pada itu Ibn
Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara agama
dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran,
dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal
bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu
diberi arti majazi. Arti ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke
arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena
mereka tak dapat memahaminya.
Antara falsafat dan
agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai
kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana
dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda,
yang mengatakan bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah.
Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa.
Tak lama sesudah zaman
Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas
Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja
Ferdinand dari Castilia.
Dengan hilangnya Islam
dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah dari
dunia Islam bagian barat.
Di dunia Islam bagian
timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat
al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat
Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan
sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode
berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad
Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-lain
Agama, Filsafat dan Ilmu
Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi
dengan jelas menyatakan pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta
hubungan antara keduanya:
Ketika seseorang
memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia
memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika
gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan
yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan
atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu
menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika
pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif
digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang
diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
Al-Fârâbî menghidupkan
kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan
realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan
sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip
Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga
melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan
tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî,
filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama
memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang
didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk
menjelaskannya.
Tujuan dari
'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah
dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan
pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran
transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang
lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang
sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit
dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah
dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan,
bulan melambangkan nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas
politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi
kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud
dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta.
Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan
kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami.
Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fârâbî sebagai empat
prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan
objek-objek seni. Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa
tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan
mengenai perbedaan antara agama (millah)
dan filsafat (falsafah)
umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î
ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman
telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut
filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun,
gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu
yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para
Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi
demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran
manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia
juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi
filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan
agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem
rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan
agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas
tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah;
bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara
kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi
eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah
daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di
bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau
perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam wacana yang
dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis
pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan
eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm,
khususnya penjelasan dalam Ihshâ'
al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm sebagai
contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang
ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada
mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat
digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode
demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân
al-yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi
intelektual dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat
adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah
didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi
Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak
pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia
perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam
abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik
kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu
ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak,
kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan
bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa
Arab. Segala sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam
bahasa Yunani, kemudian Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan Al-Fârâbî,
bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan
"paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut
perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan
ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah
tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut
Al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial
kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini,
filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud
mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala
kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang
memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî agaknya sadar
sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini
satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model
pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak
menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani.
Tetapi dia menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles,
khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau
logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui
orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita
lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai
"pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama
dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari
setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah
filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam
bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan
metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu,
filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika
(filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan
filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang
sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan
bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas
pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori
untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu
sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa
jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian,
terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena
pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi
setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama,
Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius atas
lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang
dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak
disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama
lainnya. renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama
tertentu, meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra
religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal
macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif
sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya
kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian
lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau
bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka,
sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau
mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk
menolak mereka.
Perbedaan
filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus
pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan
baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan
sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan
Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan
ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang
muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau
eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan
politik (al-'ilm al-madanî)
berturut-turut merupakan mitra filosofisnya
No comments:
Post a Comment