A.
Latar Belakang
Matematika adalah subjek ideal yang
mampu mengembangkan proses berfikir anak dimulai dari usia dini, usia
pendidikan kelas awal (pendidikan dasar), pendidikan menengah, pendidikan
lanjutan dan bahkan sampai mereka berada di bangku perkuliahan. Hal ini
diberikan untuk mengetahui dan memakai prinsip matematika dalam kehidupan
sehari-hari baik itu mengenai perhitungan, pengerjaan soal, pemecahan masalah
kehidupan di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan masyarakat. Selain itu, matematika juga merupakan salah satu mata
pelajaran di sekolah yang mendapatkan porsi perhatian terbesar baik dari
kalangan pendidik, orang tua maupun para siswa.
Pelajaran
matematika oleh sebagian besar pelajar sekolah tingkat menengah dianggap
sebagai momok yang menakutkan. Materi pelajaran yang relatif lebih rumit
dipelajari secara tuntas, bahannya yang abstrak serta memerlukan penalaran dan
pemikiran logis yang tinggi dalam pemecahan soal-soal dirasa oleh mereka.
Disamping itu para pelajar sering mengeluh bahwa mata pelajaran matematika yang
mereka dapatkan seringkali terlepas sama sekali dari apa yang mereka alami di
lingkungannya sehari-hari, sehingga matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang tersulit bagi kebanyakan pelajar sekolah menengah dan akhirnya
prestasi belajar mereka rendah.
Pemahaman
konsep-konsep dasar dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal
matematika merupakan wujud tingkat pencapaian hasil belajar siswa. Menurut
Arifin, keberhasilan siswa dalam belajar adalah salah satu faktor penentu
pencapaian tujuan penyelenggaraan pendidikan. Keberhasillan ini ditandai dengan
kemampuan siswa menguasai konsep-konsep yang diberikan dalam kegiatan belajar
mengajar dan mampu menggunakan konsep-konsep trsebut untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan baru yang berkaitan, termasuk dalam hal ini mata
pelajaran matematika.
Berdasarkan hasil
observasi awal, didapat bahwa masih banyaknya siswa yang mengalami miskonsepsi dalam mempelajari
aljabar dan sebagian siswa juga bahkan mengalami kesalahan konsep. Hasil
wawancara awal penulis dengan Ibu Puji yang merupakan guru mata pelajaran
matematika kelas VII E mengatakan bahwa, siswa yang duduk dikelas VII E tingkat
kemampuan kognitifnya tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan kelas
lainnya. Saat proses belajar mengajar berlangsung, siswa kurang serius dalam
menyimak pelajaran yang disampaikan oleh guru, terlihat beberapa siswa ada yang
menjahili teman sebangkunya, ada yang asyik menggambar dan lain sebagainya[1].
Konsep-konsep yang
berhubungan dengan materi pelajaran yang dimiliki siswa sebelum materi
pelajaran tersebut disampaikan, biasanya diperoleh dari membaca buku maupun
referensi lainnya terkait dengan materi yang akan disampaikan dan siswa
menafsirkan sendiri hasil bacaannya. Apabila setelah materi tersebut diberikan
dan konsep yang disampaikan benar, akan tetapi penafsiran siswa tetap salah,
maka siswa tersebut dikatakan mengalami miskonsepsi. Di dalam penerimaan
konsep-konsep matematika, siswa juga seringkali salah dalam mencerna dan
menangkap konsep-konsep matematika yang disampaikan oleh guru. Namun tidak
menuntup kemungkinan juga kesalahan di dalam penerimaan konsep-konsep
matematika tersebut karena penyampaian dari tenaga pendidik (guru) yang
keliru/salah. Kesalahan konsep yang terjadi baik pada diri siswa maupun dari
tenaga pendidik ini juga yang disebut dengan miskonsepsi. Hal ini merupakan
salah satu alasan perlunya untuk diadakan identifikasi guna mengungkapkan
kesalahan konsep (miskonsepsi) yang ada pada siswa dengan mengambil pokok
bahasan aljabar.
Untuk mengetahui
apakah siswa mengalami miskonsepsi atau tidak dalam suatu konsepsi harus
melalui suatu penelitian. Penelitian sangat penting untuk dilakukan mengingat
besarnya pengaruh miskonsepsi terhadap pemahaman dan penguasaan konsep
berikutnya. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti supaya dapat
mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada pokok bahasan aljabar. Dimana pada
pokok bahasan aljabar banyak mengandung konsep-konsep abstrak yang harus
dinyatakan dalam model matematika. Hal ini tidak menutup kemungkinan timbulnya
penafsiran yang salah tentang konsep tersebut pada siswa.
Sebagai contoh, soal
operasi hitung pada bentuk aljabar. Tentukan hasil penjumlahan dan pengurangan
berikut ini :
1.
(8ab - 2c3 + 1) – (2c2 + c3 - 6)
2.
(2x - x2 + 4) – (x3 + 5x - 6)
Dari contoh operasi
hitung di atas, siswa harus mengetahui bentuk aljabar terlebih dahulu yaitu siswa dapat membedakan apa yang
dimaksud dengan variabel, suku, faktor, koefisien, konstanta, dan suku sejenis
sebagai penunjang dalam menjawab soal operasi hitung di atas. Jadi seorang siswa
akan dapat memahami materi yang diberikan selanjutnya jika siswa telah
menguasai materi prasyarat.
Berdasarkan hal
tersebut maka penulis menganggap perlu melakukan penelitian tentang “Miskonsepsi
Dalam Mempelajari Aljabar Pada Siswa Kelas VII E di MTsN Model Kuripan Tahun
Pelajaran 2011/2012”.
B.
Fokus Penelitian
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka fokus penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Kesalahan-kesalahan apa saja yang dialami siswa kelas VII
E MTsN Model Kuripan Tahun Pelajaran 2011/2012 dalam mempelajari aljabar?
2. Apa penyebab terjadinya miskonsepsi dalam mempelajari
aljabar pada siswa Kelas VII E MTsN Model Kuripan Tahun Pelajaran 2011/2012?
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
1.
Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan konsep apa saja yang
dialami siswa Kelas VII E MTsN Model Kuripan Tahun Pelajaran 2011/2012 dalam mempelajari
aljabar.
2.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya miskonsepsi dalam mempelajari aljabar pada siswa VII E
MTsN Model Kuripan Tahun Pelajaran 2011/2012.
2.
Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat penelitian dalam hal
ini dibagi dua bagian yaitu:
a.
Manfaat
secara teoritis antara lain :
1)
Bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran bagi upaya
memahami dan
mengetahui kesalahan-kesalahan yang tengah dihadapi oleh siswa dan penyebab
miskonsepsi dalam mempelajari aljabar.
2)
Bagi pihak lain atau peneliti dapat terangsang untuk
meneliti bagian yang lain mengenai siswa yang terdapat dalam informasi hasil
penelitian ini.
b.
Manfaat secara praktis, antara lain :
1)
Bagi guru agar dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
mengetahui kesalahan
konsep yang terjadi pada siswa dan penyebab miskonsepsi dalam mempelajari
aljabar yang diimbangi dengan kreatifitas dan inovasi
mengajar yang lebih baik.
2)
Informasi hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
bermanfaat bagi para pembimbing, guru di sekolah atau orang tua dilingkungan
keluarga agar memberikan perhatian pada anak-anaknya dalam upaya mengetahui kesalahan konsep
dalam mempelajari aljabar terutama pada pelajar
sekolah tingkat menengah.
D.
Ruang Lingkup dan Setting Penelitian
1.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperjelas arah penelitian
ini, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya. Adapun ruang lingkup dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Subjek penelitian
Penelitian ini
akan dilakukan pada siswa kelas VII E MTsN Model Kuripan Tahun Pelajaran
2011/2012.
b. Objek penelitian
Penelitian
yang diakukan tentang miskonsepsi siswa yang hanya ditekankan pada aspek
kemampuan kognitif siswa dalam menganalisa dan menyelesaikan soal-soal pada materi
aljabar saja serta penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa.
2.
Setting Penelitian
Setting
penelitian merupakan latar alamiah (tempat atau lokasi) penelitian dilakukan.
Adapun lokasi yang dijadikan sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah
lembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model Kuripan Lombok Barat.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan judul penelitian “Miskonsepsi
Dalam Mempelajari Aljabar Pada Siswa Kelas VII E
di MTsN Model Kuripan Tahun
Pelajaran 2011/2012”. Bahwa
sebagaimana dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan yang berjudul Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia Pada Pembelajaran Konsep Struktur Atom oleh Maruli
Simamora dan I Wayan Redhana.
Pinker (2003)
mengemukakan bahwa siswa hadir di kelas umumnya tidak dengan kepala kosong,
melainkan mereka telah membawa sejumlah pengalaman-pengalaman atau ide-ide yang
dibentuk sebelumnya ketika mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Artinya
bahwa sebelum pembelajaran berlangsung sesungguhnya siswa telah membawa
sejumlah ide-ide atau gagasan-gagasan. Mereka menginterpretasikan tentang
gejala-gejala yang ada di sekitarnya. Gagasan-gagasan atau ide-ide yang telah
dimiliki oleh siswa sebelumnya ini disebut dengan prakonsepsi atau konsepsi
alternatif. Prakonsepsi ini sering merupakan miskonsepsi (Gardner, 1991;
Redhana dan Kirna, 2004). Beberapa peneliti menunjukkan bahwa siswa yang telah
mempunyai ide-ide sebelumnya sering kali memngalami konflik ketika berhadapan
dengan informasi baru. Informasi baru ini bisa sejalan atau bertentangan dengan
ide-ide siswa yang sudah ada. Kenyatan menunjukkan bahwa konsepsi alternatif
siswa sangat resisten terhadap perubahan. Dengan demikian, diperlukan suatu
kondisi pembelajaran khusus untuk dapat mengubah konsepsi alternatif siswa
tersebut. Konsepsi alternatif ini akan berubah menjadi konsepsi ilmiah hanya
jika pembelajaran guru menjadi lebih necessary, intelligible, plausible, dan
fruitful bagi siswa (Posner, dkk, 1982)[2].
Bahwa Penelitian yang dilakukan oleh
Redhana dan Kirna (2004) menemukan bahwa siswa SMA Negeri 1 Singaraja masih
banyak mengalami miskonsepsi terhadap konsep struktur atom, sistem peridik, dan
ikatan kimia. Rerata miskonsepsi siswa SMA Negeri 1
Singaraja terhadap konsep struktur atom di kelas X dan XI masing-masing adalah
68,1% dan 45,9%. Hasil ini tentu tidak menggembirakan karena setelah siswa
diajar oleh guru ternyata miskonsepsinya masih sangat tinggi. Masih menurut
Redhana dan Kirna (2004), rerata miskonsepsi siswa pada konsep ikatan kimia di
kelas X adalah 63,4%.
Menurut Van Den
Berg (1991) siswa tidak memasuki pelajaran dengan kepala kosong yang dapat
diisi dengan pengetahuan. Tetapi sebaliknya kepala siswa sudah penuh dengan pengalaman dan pengetahuan yang berhubungan dengan pelajaran yang diajarkan.
Intuisi siswa mengenai suatu konsep yang berbeda dengan ilmuwan fisika ini disebut dengan miskonsepsi. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan pada saat mempelajari suatu konsep. Berdasarkan penelitian Mustafa Baser (2006) tentang pengembangan perubahan konsep dengan pembelajaran konflik kognitif pada pemahaman siswa tentang konsep suhu dan kalor, hasil uji menunjukan bahwa skor rata-rata postes siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol pada akhir pembelajaran tentang pemahaman konsep suhu dan
kalor.[3]
[2]Maruli Simamora dan I Wayan
Redhana, “Identifikasi Miskonsepsi Guru Kimia Pada Pembelajaran Konsep Struktur
Atom”, dalam http://www.miskonsepsipembelajaran-kimia.com/05241/,
diambil tanggal 28 November 2011, pukul 07.30 Wita
[3] Mosik*, P. Maulana, “Usaha Mengurangi Terjadinya
Miskonsepsi Fisika Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Konflik Kognitif”,
dalam http://www.miskonsepsi-fisika.com/56004/, diambil
tanggal 28 November 2011, pukul 08.00
Wita
No comments:
Post a Comment