SEJARAH ISLAM DI LOMBOK
Sebelum abad XVI
Lombok berada dalam kekuasaan majapahit dengan dikirimkannya maha Putih Gajah
Mada ke Lombok. Pada abad XVI sampai awal abad XVII, Lombok banyak di
pengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah
yang dilakukan oleh sunan Giri dengan mengutus beberapa muridnya. Hal ini yang
menyebabkan perubahan agama suku sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam .
Tidak heran bahwa
antara Jawa , Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam
bahasa dan tulisan oleh karena itu mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal
ini tidak lepas dari pengaruh penguasaan Kerajaan Majapahit yang kemingkinan
mengirimkan anggota kluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di
Lombok.
Pembawa agama
islam pertama kali di pulau Lombok tidak diketahui secara pasti, namun
setidaknya dapat dilacak bahwa agama islam dibawa oleh sunan prapen putra sunan
giri pada abad ke XVI yang masuk melalui pelabuhan Lombok. Dalam hal ini,
kerajaan yang pertama kali di Islamkan ialah Kerajaan Lombok melalui kekuatan
senjata dan akhirnya raja Lombok mau memeluk agama islam dan sekaligus menjadikannya sebagai agama
kerajaan. Menurut Faille (sudirman, 2007: 13), setelah pasukamn sunan prepen
mendarat di Lombok, raja Lombok dengan sukarela memeluk agama islam sementara
rakyatrnya tetap menolak sehingga dalam perjalanannya terjadi pemberontakan
yang menimbulkan peperangan antara rakyat yang menolak dengan pihak kerajaan
Lombok yang sudah memeluk agama islam. Raja
Lombok yamng dibantu oleh pangeran prapen mampu mengatasi semua itu.
Setelah berhasil
mengislamkan Raja Lombok, Sunan Prapen dengan pasukannya mengislamkan
kedatuan-kedatuan lainnya, seperti pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan,
Sokong, dan Sasak (Lombok utara). Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan
arkeologi seperti masjid-masjid tua , makam-makam tua, dan sebagainya.
Sebelum
masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut
kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk
melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI,
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para
penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali
tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih
menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan
budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan
adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran
agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi
para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada
masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat
atau kiai saja.
Kerajaan
Lombok, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen,
putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam abad Lombok
disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu
Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan
Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses
pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa
tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali pejarakan
(rembige) dan pengantap(Lombok barat) . sunan prepen menyebarkan ajaran sufi
mistik islam kepada masyarakat yang saat itu mempraktekkan campuran animism,
hindu, dan budha. Sesuai dengan missi yang diemban dari Ratu sunan giri, maka
setelah mengislamkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Lombok, sunan prapen
melanjutkan penyebaran Islam ke Sumbawa, Dompu dan Bima.
Salah
satu sumber yang menyebutkan masukknya Islam kepulauini dari Jawa adalah babad
Lombok. Di dalamnya antara lain disebutkan upaya-upaya dari raden paku atau
sunan ratu Giri yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk
menyebarkan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
Desa
Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara
Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda
dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Dari
tepi jalan lingkar
Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi situs purbakala yang
dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga rumah-rumah di desa itu. Dari
tepi jalan hanya tampak pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi
gerbang, kantor tempat pendaftaran pengunjung dan rumah penjaga situs. Selain
di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar
Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri
yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang
menjadi tanda Islam masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam masuk
Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid
Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah
mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama dilakukan setelah
Masjid terbakar akibat peperangan antara masyarakat Sekarbela yang menuntut
kematian Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa saat itu. Saat itu, bentuk
masjid Sekarbela berbentuk empat persegi dengan dinding bedek, atap rumbia,
lantai tanah dan yang menjadi ciri khas adalah empat soko guru.
Setelah kebakaran,
Masjid
dibangun kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh. Toha. Bentuk Masjid masih
sederhana dengan empat soko guru. Dari peninggalan yang ada yakni sebuah
kaligrafi tertulis angka 1350 H. Saat itu bangunan Masjid sudah lebih baik dari
sebelumnya namun masih sederhana. Kemudian pada tahun 1890 M, atas prakarsa TGH
M Rais, masjid direnovasi dengan memanfaatkan atap dari genteng. Jamaah yang
semakin banyak menginspirasikan penerus selanjutnya, yakni TGH Muktamat Rais
anak dari TGH Muhamaad Rais, untuk membangun kembali Masjid pada tahun 1974
dengan kontruksi beton. Namun dikarenakan jamaah yang semakin banyak dan
kompleknya kegiatan, pada tahun 2001 Masjid direnovasi kembali dengan desain
Timur Tengah dan berlantai tiga.
B.
PANDANGAN ISLAM DI LOMBOK
Islam
saat ini telah banyak dipermalukan oleh penganutnya sendiri. Bagaimana tidak,
jika melihat citra islam yang lekat dengan aksi intoleransi, kekerasan dan
masih banyak lagi yang lainnya. Belum lagi keterbelakangan hampir disegala
bidang pada daerah yang mayoritas penduduknya muslim, tak terkecuali indonesia1.
Menurut tholhah hasan ada beberap ciri wilayah kaum muslim adalah:
v Pertumbuhan penduduknya tinggi
v Produktivitasnya rendah
v Sumber alamnya besar tapi tidak
ikut menikmati
v Tingkat kesejahteraannya rendah
v Tingkat kematiannya tinggi
Namun
contoh konkritnya adalah islam di lombok yang memiliki reputasi panatik dan
taat3. Reputasi demikian tentu tidak berlebihan jika ukurannya
adalah komposisi masyaratkatnya berpenduduk mayoritas muslim, pondok pesantren
dan madrasah yang menyebar di seluruh plosok kota dan desa, masjid dan mushalla
yang berdiri megah disetiap kampung, salah satu daerah yang jumlah jamaah haji
yang paling banyak setiap tahunnya, banyaknya tuan guru yang menjadi penyebar
syiar islam ke seluruh pelosok pulau lombok, dan banyaknya kelompok-kelompok pengajian
yang merupakan fenomena keseharian di desa maupun kota. Namun ironisnya
bagaimana penelitian yang dilakukan Bartholomew, masyarakat sasak6 hampir
semuanya adalah muslim papan nama, dan merupakan diantara para kelompok etnis
yang paling miskin dan kurang terdidik di indonesia. hal tersebut
paling tidak, tergambar dari hasil statistik indeks pembangunan (IPM) di pulau
lombok termasuk NTB yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di indonesia.
Sebagian
kalangan menganggap islam waktu telu sebagai sekte dalam agama islam. Hal ini
sesuai dengan ungkapan seorang pemangku adat desa bayan, raden singaderia.
Tradisi keagamaan yang berkembang dalam komunitas islam wetu telu adalah
praktek peribadatan tidak secara keseluruhan mencerminkan
manifestasi
ajaran-ajaran islam yang sebenarnya. Keyakinan serta ritual keagamaan penganut
islam wetu telu justru lebih banyak dipengaruhi unsure paham animisme. Karena dilihat dari
penggunaan sesajen pada tempat-tempat yang dikeramatkan.
Disamping
itu penggunaan bahasa jawa madya juga masih terdapat dalam upacara-upacara
keagamaan seperti, dalam pernikahan yang mewajibkan mempelai pria berwudu,
mengucapkan istghfar serta ikrar taubat yang diucapkan dalam bahasa jawa madya.
Naskah-naskah
peninggalan tulisan istighfar dan syahadat ditulis dalam daun lontar dan kulit
kambing. Sebuah kitab suci alquran juga ditulis pada kulit
kambing dengan
menggunakan tinta emas yang hingga kini masih tersimpan di rumah pemangku adat
gama bayan. Peninggalan sejarah lainnya yang masih dapat disaksikan hingga saat
ini adalah sebuah masjid kuno yang diperkirakan berusia 300 tahun. Meskipun
kondisinya agak rusak, namun masjid tersebut masih dipergunakan sebagai tempat
upacara ritual keagamaan seperti, shalat iduladha, idul fitri, jumatan dan
mauled nabi SAW. Di halaman masjid
terdapat makam para pemangku adat dan kyai yang dianggap berjasa dalam
pengembangan ajaran islam wetu telu.
Perbedaan
pendapat tentang siapa yang membawa islam pertama kali ke Lombok merupakan
masalah yang hingga kini masih menjadi perdebatan sejarawan di Lombok. Pada
saat itu islam terjkasifikasi kedalam dua kelompok yaitu islam waktu lima dan
islam wetu telu.
Ada
beberapa pendapat yang menyatakan
tentang latar belakang munculnya islam wetu telu. Pertama, pendapat yang
menyebutkan bahwa islam wetu telu terbentuk bersamaan dengan penyebaran agama
islam di Lombok. Dengan sebab yang tidak pasti, para penyebarnya meninggalkan
Lombok menuju pulau Sumbawa. Akibatnya masyarakat yang mash kental dengan kepercayaan
animism dan hindu tidak sepenuhnya mampu menyerap ajaran agama islam. Perpaduan
inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan islam wetu telu. Jadi dapat pula di
katakana islam wetu telu itu sebelah kakinya di islam, dan sebelahnya lagi di
animism dan hindu.
Menurut
raden singaderia islam wetu telu berarti kemetuan dari tiga hal yaitu bertelur,
tumbuh dan beranak.
Islam
di pulau Lombok juga dipengaruhi oleh budaya local yang masih mengandung
unsure-unsur mistis. Tetapi oleh para penganut islam wetu telu, hal ini
dianggap tidak menympang dari ajaran islam. Dengan demikian umat islam di
Lombok terbagi dalam ikatan-ikatan yang sangat jecill dan tersebar dalam
berbagai wilayah.
Agama
islam di Lombok terbagi menjadi dua kategori penganut yaitu:
v Islam waktu lima, merupakan agama
yang dianut oleh sbagian besar penduduk Lombok sedangkan
v Islam wetu telu hanya terdapat di
beberapa daerah secara tidak merata.
Setelah
abad ke-20 golongan ini memisahkan diri dari golongan islam yang menjalankan
syariat agama yang sempurna. Selain percaya kepada tuhan dan Muhammad SAW
sebagai rasulnya, mereka masih mempercayai keberadaab dewa-dewa dan kekuatan
ghaib yang ditimbulkan oleh roh-roh. Menurut kepercayaan mereka, dwa yang
tertinggi adalah betara guru.
Agama
islam wetu telu terdapat di beberapa daerah, umumnya terdapat di daerah yang
agak terbelakang. Di wilayah Lombok barat tersebar di kecamatan narmada,
pagutan, dan kecamatan ampenan. Wilayah utara di kecamatan tanjung, pemenang
dan bayan. Di kabupaten Lombok tengan di desa rambitan, pujut dan pengadang.
Sedangkan di Lombok timur terdapat di daerah sapit, pengadangan, sembalun dan
obel-obel.
C.
KEBERADAAN
ISLAM WETU TELU DI TENGAH MASYARAKAT SASAK
Seperti
telah disinggung sebelumnya bahwa islam di Lombok terkatagorikan menjadi dua
yaitu islam wetu telu dan islam waktu lima. Keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat prinsipil. Menurut ajaran islam wetu telu, yang mempunyai kewajiban
melaksanakan sembahyang adalah para kyai atau penghulu sedangkan mereka yang bukan
kyai tidak mempunyaii kewajiban apa-apa, melainkan hanya memberikan sedekah
kepada kyai atau penghulu. Mereka tidak mengharamkan minum-minuman keras,
seperti arak dan berem. Sedangkan penganut islam waktu lima adalah mereka yang
taat melaksanakan syari’at agama islam
sebagaimana digariskan dalam al-quran dan hadits nabi SAW.
Penduduk
kecamatan bayan sebagian kecil menganut islam waktu lima dan sebagian besarnya
penganut islam wetu telu. Penganut islam wetu telu pada umumnya adalah penduduk
asli sedangkan penduduk yang menganut islam waktu
lima adalah pendatang
yang berasal dari daerah lain yang dating dan meenetap di bayan. Diantara kedua
kelompok penganut ini sesekali terlibat konflik yang mengakibatkan bentrokan
fisik. Bahkan konflik tersebut seringkali berakibat pada pembakaran
tempat-tempat ibadah seperti masjid dan makam-makam leluhur oleh penganut islam
waktu lima karena dianggap sebagai penganut sesat dan musyrik. Tahun 1927
tokoh-tokoh islam wetu telu, seperti kyai dan pemangku adat ditangkap dan
diasingkan karena dianggap membahayakan pemerintahan belanda. Mereka enggan
melakukan kerja rodi dan membayar pajak.
Sejak
awala abad ke XX golongan islam wetu telu mendapat serangan yang hebat dari
islam waktu lima. Serangan semakin hebat dilakukan ketika masyumi berkuasa di
Lombok antara tahun 190-1955. Banyak pemimpin islam wetu telu di bunuh dan
sebagian diasingkan ke jawa timur, salah satu pemimpin yang diasingkan adalah
mamik padelah.
Adanya
tekanan yang terus menerus membuat mereka membentuk suatu gerakan yang disebut
gerakan dewi anjani dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga ajaran-ajaran
yang merupakan warisan leluhurnya. Gerakan tersebut boleh dikatakan brhasil
mengingat keberadaan penganut islam wetu telu masih ada sampai saat ini.
Ø Sebuah
tipologi keislaman mayoritas
Islam
merupakan faktor dominan dalam masyarakat lombok, karena penganutnya hampir
95%. Seorang etnigrafik mengatakan bahwa “menjadi sasak berarti menjadi muslim”
meskipun pernyataan ini menurut bartholomew, tidak seluruhnya benar karena
mengabaikan popularitas sasak boda.8 namun sentimen-sentimen itu
dipegangi bersama oleh sebagian besar penduduk lombok, karena identitas sasak
begitu erat kaitannya dengan identitas mereka sebagai muslim.9
Dalam
masalah keyakinan, masyarakat sasak dikenal dengan sikap fatalisme,
dogmatisme,dan fanatismenya yang kuat. Dengan teologi as’ariyah yang dianut
mayoritas untuk tidak dikatakan semua masyarakat sasak, keyakinan terhadap
kemahakuasaan tuhan dan kemutlakan kehendak tuhan dijadikan oleh masyarakat
sasak sebagai inti dari kebudayaannya, dan meletakka hukum ghaib diatas semua
hukum alam yang ada. Dan kebudayaan yang berintikan nilai-nilai ketuhanan yang
tertinggi inilah yang nereka jadikan konsep dan pedoman dalam menempuh
kehidupan, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, semua fenomena
kehidupan selalu mereka kembalikan kepada inti kebudayaan itu, yaitu
kemahakuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang pada ujungnya membuat pasrah
terhadap kemauan dan kehendak sebagai inti hakekat mereka14 selain
itu bartholomew juga mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat sasak puas dengan
apa yang mereka miliki dan tidak cukup agresif untuk mengejar
kesempatan-kesempatan pendidikan dan ekonomi yang lebih baik bagi mereka
sendiri dan anak-anak mereka. Bahkan mereka kurang memperdulikan urusan-urusan
keduniaan daripada urusan-urusan akhirat yang lebih baik.
Sedangkan
dalam aspek sikap keagamaan, masyarakat sasak secara umum dapat dikatakan
formalisme, yaitu tipologi pemikiran yang selalu menjadikan ibadah formal dan
ritual sebagai standar utama dalam mengukur kadar keberagamaan, kesalehan
bahkan keimanan seseorang. Pemikiran semacam ini berlawanan dengan substantif
fungsional yang melihat islam secara lebih komprehensif dan tidak terbatas pada
ibadah dalam arti sempit. Hal ini dipertegas oleh muhammad husni, bahwa aspek
syariah yang dihayati dan diamalkan masyarakat islam lombok, tampaknya masih
sangat terbatas pada segi-segi ajaran agama yang bersifat seremonial, sehingga
tampaknya mereka berpandangan bahwa itulah keseluruhan agama. Akibatnya adalah
lahirnya brbagai kepincangan dalam tata pergaulan masyarakat, baik yang
berkaitan dengan hukum islam maupun yang berkaitan dengan aspek-aspek ajaran
islam lainnya.
Ø Akar
permasalahan
Situasi
internal umat islam yang amat memprihatinkan itu muncul begitu saja. Semua ini
merupakan fenomena luaran dari krisis yang lebih dalam dan mengakar, yaitu
krisis epistemologis dengan memudarkan kesadaran umat islam untuk memahami
ajaran-ajaran normatif agamanya secara kontekstual.
Menghadapi
perubahan-perubahan, umat islam masih berpangku tangan dan menyandarkan diri
pada beban sejarah masa lalu yang sudah lapuk. Inovasi berfikir sangat jarang
dilakukan, dan kalaupun ada, umat islam selalu merujuk masa lalu, seolah-olah
masa kini dan masa depan tidak menyediakan jawaban yang memuaskan bagi
persoalan yang mereka hadapi. Umat islam dengan mudah tergoda untuk mengurung
diri dari perubahan dan mudah merasa cukup puas dengan berlindung dibalik
“tempurung” tradisi.
Beberapa
cendekiawan muslim kontemporer seperti muahammad iqbal, muhammad arkoun, hassan
hanafi, atau ali syari’ahi mereka mengidentifikasi krisis kesadaran ini sebagai
kegagalan memaknai islam secara autentik. dengan kata lain umat
islam gagal merespon perubahan dengan berangkat dari ajaran islam yang
substantif dan pengalaman kebudayaan islam sendiri. Upaya mereformasi islam
tanpa bertolak dari keunikan islam, menurut mereka akan menemui kebuntuan,
karena dilakukan di atas pijakan yang rapuh dan tidak mewakili pengalaman umat
islam sejati. Tiadanya kerangka yang memungkinkan umat islam melakukan kritik
internal antara lain disebabkan oleh mandulnya fungsi ijtihad dan penalaran
kritis dalam ranah pemikiran.
Kata
religion yang biasa diterjemahkan menjadi “agama” pada mulanya lebih
berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan dan
kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, makna agama lalu bergeser menjadi semacam “kata benda” yaitu
himpunan doktrin, ajaran serta hokum-hukum yang telah baku, yang diyakini
sebagai kodifikasi perintah tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini
berlangsung antar lain melalui
proses sistemasi niali dan semangat
agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai bangunan epistemology.
Dalam
konteks ini ali syari’ahi membedakan agama menjadi dua jenis agama atau dua tahap dalam sejarah:
v Agama sebagai ideology
v Agama sebagai kumpulan tradisi
Ø Tantangan
transformasi
Masyarakat
kini telah mengalami apa yang disebut transformasi social sebagai dampak dari
arus modernisasi. Tranformasi ini mendesak setiap anggota masyarakat untuk
menguji kembali validitas beragam konvensi yang dilahirkan oleh lembaga-lembaga
social dan kebudayaan dalam rangka survive dan revive. Transformasi ini juga
memaksa setiap pemeluk agama untuk melakukan reorientasi terhadap pola
penghayatan keagamaannya dengan menafsirkan dan memaknai ulang format
pemahamannya terhadap validitas tekstual kitab suci.28
Pada
tahap awal perkembangannya, peradaban islam berinteraksi dengan peradaban
yunani, suryani, india, dan Persia.29 dalam setiap interaksi itu,
peradaban islam berhasil menyaring berbagai konsep dan nilai dari
peradaban-peradaban itu.
No comments:
Post a Comment