BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Kita sudah
tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan
Saidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka
mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan
bertahkim.Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan
yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka
yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika
pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran
peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang
melawan khalifah yang sah harus diperangi.Kaum inilah yang dinamakan kaum
Khawarij yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Saidina Muawiyah dan keluar
dari Saidina Ali.
Kemudian
selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini
merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah.
Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas
perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim
sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan
mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang
Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij dan Murji’ah, agar kita
bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari kedua paham tersebut.
Memang kedua golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya
masih berkeliaran dimana-mana.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah kemunculan Khawarij?
- Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin
Khawarij?
- Bagaimana perkembangan Khawarij?
- Bagaimana sejarah kemunculan Murji’ah?
- Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin
Murji’ah?
- Apa saja sekte-sekte Murji’ah?
- Perbandingan antara Khawarij dan Murji’ah.
- Tujuan Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini, kami mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan
khawarij, pemikiran dan doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij,
sejarah kemunculan murji’ah, pemikiran dan doktrin-doktrin murji’ah, dan
sekte-sekte murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KHAWARIJ
1. Latar Belakang dan sejarah munculnya
Khawarij
Khawarij
adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi
Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang
yang keluar dar imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar
pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama
Khawarij berasal dari kata “kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Khawarij
sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi
Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin
abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang
dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin
Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah.
Kelompok
Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar
karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,
sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang
sah.
Ali
sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah
sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid
bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar
(komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah
menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai
delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka
beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian
mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat
memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali
diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij
sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada
manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali
menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada
saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.
Dengan
arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij
ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat
seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
B.
Doktrin-doktrin
pokok Khawarij.
1.
Khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat islam.
2.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat.
3.
Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
4.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar,
Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya
Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah tetapi
setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
6.
Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
7.
Pasukan perang Jamal yang melawan
Ali juga kafir.
8.
Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi,
mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
9.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka
sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
10. Seseorang
harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
11. Adanya wa’ad
dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang
jahat harus masuk ke dalam neraka).
12. Amar ma’ruf
nahyi munkar.
13. Memalingkan
ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
14. Quran adalah
makhluk.
15. Manusia
bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
C.
Perkembangan
Khawarij
Perkembangan
khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas
di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang
berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan
golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang
berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah
bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas
dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi
dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari
delapan macam, yaitu:
- Al-Muhakkimah
5. Al-Ajaridah
- Al-Azriqah
6. As-Saalabiyah
- An-Nadjat
7. Al-Abadiyah
- Al-Baihasiyah
8. As-Sufriyah
Semua
subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar,
apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin
teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan
doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran
yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai
khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin yang identic dengan
aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution mengidentifikasi beberapa
indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
- Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan
dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
- Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami
dan amalkan.
- Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir
perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang seperti
mereka pahami dan amalkan.
- Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham
dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka
sendiri.
- Mereka bersifat fanatic dalam paham dan tidak
segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.
D.
MURJI’AH
1. Sejarah kemunculan Murji’ah
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu,
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari
kiamat kelak.
Aliran
Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana
hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu.dihadapan Tuhan, karena
hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa
teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan
bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat
pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula
timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan
pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian
mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya
Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak
ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah
terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan
yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu
Syi’ah dan Khawarij.
Setelah
wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij
dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani
Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari
tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah
karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga
golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam
suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin
bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi
antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang
bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar
dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat
tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian
persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari
persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis
yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang
berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak
mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang
berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum
Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini
bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang
mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena
itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan
kafir.
Aliran
Murji’ah ini berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani
Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam
perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi,
bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran
yang berdiri sendiri, golongan Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan
tidak bisa ditemui lagi sekarang. Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu
masih didapati pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya.
Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran
golongan Murji’ah ekstrim.
2. Pemikiran dan doktrin-doktrin Murji’ah
Berkaitan
dengan teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1.
Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.
Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.
Pemberian harapan (giving of
hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
4.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai
pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih
berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat
ajaran pokoknya, yaitu :
1.
Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah,
Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya
kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan keputusan kepada Allah
atas orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan (pentingnya) imal
daripada amal.
4.
Memberikan pengharapan kepada muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran Murji’ah
dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.
Iman adalah percaya kepada Allah dan
Rasul-nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walau1pun
meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan adalah iman
semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan
madharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia
cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah
tauhid.
3.
Sekte-sekte
Murji’ah
Kemunculan
sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di
kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Kesulitannya antara lain karena ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu
yang diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud antara lain Washil bin
Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari ahlus Sunnah.
Pimpinan
dari kaum Murji’ah adalah Hasan Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman,
Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka yang terkenal pada masa Bani
Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang mengarang sebuah syair tentang I’tiqad
dan kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis
besar, kelompok Murji’ah terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan
golongan ekstrim. Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin
Murjiah di atas. Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin
masing-masing. Yang termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
1.
Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori
oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang
sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang
dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya
hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga
dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semat.
2.
Golongan al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan
ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui)
kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak
mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang
disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
3.
Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn
an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang
Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu.
Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan
karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama
sekali tidak merusak iman.
4.
Golongan al-Ubaidiyah dipelopori
oleh Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan
al-Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam
keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya.
Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan
baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
5.
Golongan al-Gailaniyah dipelopori
oleh Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat
(mengetahui) kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah
(cinta) dan tunduk kepada-Nya.
6.
Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh
Abu Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka
menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu
yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
7.
Golongan al-Marisiyah dipelopori
oleh Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati
bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus
diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari
iman.
8.
Golongan al-Karamiyah dipelopori
oleh Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan
dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat
diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.
Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi
ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu, menurut Harun Nasution ada bahayanya
karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah
ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat
yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa
dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut faham
demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak
baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
E.
PERBANDINGAN
ANTARA KHAWARIJ DAN MURJI’AH.
Untuk
melihat gambaran perbedaan pendapat antara aliran yang terdapat dalam
aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut ini akan dipaparkan kembali berdasarkan
uraian pada bab-bab sebelumnya, meliputi: Pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Dalam hal
menyikapi pelaku dosa besar, aliran Khawarij langsung memfonis bahwa semua
pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah, adalah
kafir atau murtad sehingga wajib dibunuh dan akan disiksa di neraka
selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musyrik, yaitu
memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka dan
yang tidak sefaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina, dll) dalam
pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah
(agama) yang berarti telah keluar dari Islam, kekal di neraka bersama
orang-orang kafir lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah,
Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah
bersalah dan menjadi kafir termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina,
membunuh manusia tanpa sebab, dosa besar lainnya).
Sedangkan
aliran Murji’ah memberikan pengharapan kepada masyarakat. Sekte Murji’ah ekstrim
terkenal dengan kredonya bahwa perbuatan maksiat tidak dapat membawa kekufuran.
Menurut mereka, keimanan terletak di dalam kalbu, adapun ucapan dan perbuatan
tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh
karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah
agam tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya
masih sempurna di mata tuhan. Mereka memandang pelaku dosa besar tidak akan
disiksa di neraka. Adapun sekte Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di
dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya hingga ia bebas dari siksaan
neraka. Abu Hanifah dan pengikutnya termasuk pada sekte Murji’ah moderat ini.
Kemudian
pendapat dalam hal menyikapi iman dan kufur, aliran Khawarij memandang masalah
iman dan kufur lebih bertendensi politik ketimbang ilmiah-teoritis. Menurutnya,
iman tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah
kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh karena itu, Khawarij
menganggap kafir bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan Muhammad
Rasul-Nya, namun tidak melaksanakan perintah kewajiban agama dan malah
melakukan dosa.
Aliran
Murji’ah yang ekstrim berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak
berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan. Sementara itu, Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak
kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa :
- Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum
yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang
menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
- Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas
oleh seluruh umat islam, khalifah tidak harus berasl dari keturunan Arab,
khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil
dan menjalankan syariat, khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi setelah
tahun ketujuh dari masa khalifahnya, utsman ra dianggap menyeleweng,
Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim) ia
dianggap telah menyeleweng, Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa
Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir, Pasukan
perang Jamal yang melawan Ali juga kafir, Seseorang yang berdosa besar
tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh, Setiap muslim harus
berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, Seseorang harus menghindar
dari pimpinan yang menyeleweng, Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik
harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam
neraka), Amar ma’ruf nahyi munkar, Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang
tampak mutasabihat (samar), Al-Quran adalah makhluk, Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
- Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi
menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang
menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang
dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang
kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di
Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin
‘Ami, dan abu Fudaika.
- Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas
sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap
orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran
khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa tahkim itu. dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah
yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang
melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
- Menurut W. Montgomery Watt merincinya sebagai
berikut :Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak, Penangguhan Ali untuk menduduki rangking
keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun, Pemberian harapan (giving
of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan
dan rahmat dari Allah, Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran
(madzhab) para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.
- Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah
yaitu : Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan; Ash-Shaliyah, pengikut Abu
Musa Ash-Shalahi; Al-Yunushiyah pengikut Yunus As-Samary; As-Samriyah
pengikut Abu Samr dan Yunus; Asy-Syaubaniyah pengikut Abu Syauban;
Al-Ghailaniyah pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy;
An-Najariyah pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr; Al-Hanafiyah
pengikut Abu Hanifah An-Nu’man; Asy-Syabibiyah pengikut Muhammad bin
syabib; Al-Mu’aziyah pengikut Muadz Ath-Thaumi; Al-Murisiyah pengikut Basr
Al-Murisyi; Al-Karamiyah pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Siradjuddin. I’tiqad ahlussunnah wal jamaah, Pustaka
Tarbiyah Baru, Jakarta, 2008.
Nata Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam, Pustaka
Setia, Bandung, 2001.
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, Sega
Asry, 2011.
No comments:
Post a Comment