ESENSI PENGETAHUAN DAN MAKRIFAT DALAM IRFAN
Oleh :
ISYRAQ
http//www. wisdoms4all.com
Intuisi mistikal; Satu-satunya Jalan Menggapai Pengetahuan
Aliran-aliran
yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam
permasalahan yang esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa
pencapaian dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya
dengan metode intuisi mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan
dengan penalaran dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan
pengatahuan adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.
Dengan ungkapan
lain, yang lebih mendasar dan fundamental dalam hakikat pengetahuan dan
makrifat adalah pensucian jiwa dan tazkiyah
hati, dan bukan dengan analisa pikiran dan demonstrasi rasional.[1] Para urafa dan sufi beranggapan bahwa
segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih sesuai
dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi
rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas
akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya,
namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) dan intuitif dengan hakikat
tunggal alam (baca: Sang Pencipta) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri
dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh
dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Makrifat, syuhud,
dan pengetahuan dalam istilah Tasawuf dan Irfan adalah penyaksian
hakikat-hakikat dengan mata batin dan hati setelah melewati tingkatan-tingkatan
pensucian jiwa dan telah sampai pada kualitas-kualitas kejiwaan yang konstan.
Pengetahuan intuitif dan irfani adalah sejenis pengetahuan yang bersumber dari
hati (qalb, heart), pensucian, dan tazkiyah jiwa; atau suatu
bentuk pengetahuan yang tak berdasarkan pada empirisitas, indrawi, akal,
pikiran, dan argumentasi rasional, melainkan bersumber dari mata air sair
suluk, menapaki jalan-jalan spiritual, tahzib
dan tazkiyah
jiwa, dan penjernihan hati. Pengetahuan seperti ini tidak dapat disamakan
dengan pengetahuan hushuli yang
bersumber dari suatu konsepsi-konsepsi rasional, melainkan suatu pengetahuan syuhudi, intuisi, immediate (langsung),
kehadiran, dan hudhuri.
Sadruddin Qunawi
menyatakan, “Jalan-jalanya ahli Irfan dan Tasawuf adalah mencapai, mengetahui,
dan menyaksikan segala sesuatu dengan intuisi, musyahadah, dan mukasyafah, walaupun hal-hal yang diketahuinya
itu tidak dapat diargumentasikan secara rasional dan tak bisa dibuktikan dengan
penalaran akal-pikiran.”[2] Menurutnya,
segala bentuk makrifat dan pengetahuan itu hanya dihasilkan dari jalur syuhud, intuisi, dan
“menyatu” dengan realitas yang tertinggi dan suci (baca: Tuhan) serta
pengalaman internal. Dengan dasar ini, para filosof murni telah dipandang larut
dalam wacana-wacana pikiran dan konsepsi akal yang tidak secara murni dan
hakiki mengungkapkan apa hakikat-hakikat yang sebenarnya. Para filosof, dengan
metodologi rasional, tidak bisa menampakkan hakikat-hakikat segala sesuatu dan
bahkan telah terhijabi dengan metode-metodenya sendiri sedemikian sehingga
tidak mampu lagi menyaksikan realitas-realitas sebagaimana mestinya.
Pengetahuan jenis
ini, menurut Al-Gazali, merupakan ilmu mukasyafah
dan batin, ia mengungkapkan, “Pengetahuan ini adalah bersumber dari suatu
cahaya yang terpancar dan termanifestasikan ke hati yang telah tersucikan dari
segala bentuk sifat-sifat tak terpuji dan tercela. Dari tajalli dan manifestasi
inilah akan terwujud begitu banyak intuisi dan mukasyafah. Segala perkara yang
diketahuinya dengan tidak jelas dan kabur akan menjadi hal yang sangat nyata,
jelas, dan jernih setelah dia mendapatkan pengetahuan hakiki tersebut.[3]
Dalam risalah Qusyairiyyah tertera
ungkapan yang berbunyi, “Hati adalah wadah bagi makrifat-makrifat, dan akal
adalah rukun dan tiang makrifat, akan tetapi, akal telah terhijabi, lemah, dan
tidak dapat menjangkau pengetahuan terhadap hakikat-hakikat segala sesuatu… dan
pengetahuan intuisi ini akan lahir ketika langit hati telah menjadi jernih dan
terang serta menerima pancaran “cahaya matahari” dari wilayah suci yang paling
tinggi dan mulia.”[4]
Kesatuan Perspektif
para Arif Mengenai Pengetahuan Intuisi
Jalaluddin Hamayi
membagi aliran-aliran penting tasawuf itu menjadi tiga bagian dan beranggapan
bahwa perbedaan mendasar aliran-aliran tersebut berada dalam tahapan-tahapan
perjalanan spiritual (seir
wa suluk), adab-adab, dan tradisi-tradisi, “Tasawuf Islam memiliki
aliran-aliran dan silsilah-silsilah yang beragam dimana setiap aliran tasawuf
mempunyai kekhususan dalam akidah, adab, tradisi, dan syiar-syiar yang
menjadikannya berbeda satu dengan lainnya. Namun, secara umum kita bisa membagi
seluruh aliran tasawuf menjadi dua bagian: Pertama, ahli zuhud, riyadhah,
ibadah, zikir, dan pikir; Kedua, ahli wajd,
hal, raqsh, dan sima’. Sebagai contoh,
kita bisa katakan bahwa aliran Naqsyabandiyah tergolong bagian pertama dan
Qadiriyah termasuk bagian kedua, dan kedua aliran tersebut ini banyak dijumpai
di negara Iran . Aliran Naqsyabandiyah biasa disebut sebagai Sufi dan aliran
Qadiriyah sering dinamakan Darwis. Sementara aliran tasawuf Maulawi adalah
suatu aliran yang mengumpulkan semua karakteristik dari kedua aliran tersebut,
Naqsyabandiyah dan Qadiriyah.[5]
Akan tetapi, semua
aliran-aliran itu tidak meragukan bahwa segala pengatahuan diperoleh lewat
jalur musyahadah,
mukasyafah dan
penyingkapan hati yang kesemuanya dipengaruhi oleh bentuk riyadhah dan
pelaksanaan amalan-amalan sunnah (nawafil). Begitu pula mereka berkeyakinan
bahwa tidak ada ilmu dan pengetahuan yang lebih tinggi selain dari pengetahuan
intuitif dan irfani. Akan dikatakan, “Maulawi dan aliran lain tasawuf
beranggapan bahwa segala pengetahuan rasional dan pengetahuan-pengetahuan yang
diperoleh lewat proses belajar dan mengajar adalah bukan ilmu dan pengetahuan
hakiki. Mereka menyamakan pengetahuan tersebut dengan seni-seni,
keterampilan, dan pengetahuan sosial. Seluruh petunjuk dan perhatian aliran ini
mengarah kepada pengetahuan intuitif, ainul
yaqin, ilmu hati, dan ilmu laduni yang bersumber dari pencerahan
kejiwaan, kesucian hati, kekuatan ruh, mukasyafah,
musyahadah
hati, sair dan suluk, dan riyadhah. Pengetahuan ini juga berbeda dengan ‘ilmul yaqin (pengetahuan
yang berpijak pada pendekatan rasional dan demontrasi filosofis). Kaum urafa
dan para sufi berkeyakinan bahwa seseorang yang mata hatinya terbuka dan
mendapatkan pencerahan jiwa serta menemukan harta karun yang nilainya tak
terbatas itu (akal yang tercerahkan dan pengetahuan intuitif), maka dia tidak
lagi membutuhkan ribuan kitab, merujuk pada perpustakaan, bersabar dalam
penderitaan menuntut ilmu, dan tidak lagi menganggap bernilai segala
pengetahuan hushuli.”[6]
Berkaitan dengan
makrifat tasawuf dan irfani, Doktor Abdul Husain mengatakan, “Pengetahuan
tasawuf adalah pengetahuan intuitif dan syuhudi. Para sufi dan urafa memandang
segala sesuatu dan kondisi-kondisi alam dengan pengetahuan tersebut. Tolok ukur
kebenarannya adalah penyerahan total hati dan bukan pembenaran akal. Mukasyafah
dan musyahadah serta ilham-ilham emanatif lebih diterima daripada argumentasi,
burhan, demontrasi rasional, dan metode deduksi dan induksi. Mereka mengenal
kebenaran dan menafikan segala bentuk keraguan serta keheranan dengan upaya
pencerahan jiwa dan pensucian hati, menolak segala bentuk burhan dan
argumentasi sempit akal. Akan tetapi, pencapaian kondisi yang demikian ini
membutuhkan riyadhah dan suluk spiritual, dan tanpa meniti dan menapaki jalan
ini, mustahil hati dan jiwa manusia bisa menerima pancaran cahaya-cahaya suci
Ilahi yang dengannya dia dapat menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu. Oleh
karena itu, seseorang yang telah berhasil mencapai maqam dan derajat suci ini
niscaya akan memandang bahwa pengetahuan intuitif dan irfani jauh lebih pasti
dan benar daripada pengetahuan yang diperoleh secara argumentasi akal dan
demontrasi rasional. Dari dimensi ini, para sufi tidak berupaya menetapkan
eksistensi Tuhan, akan tetapi dengan berusaha “merasakan” dan “menyingkap”
eksistensi-Nya.”[7] Untuk lebih
jelasnya permasalahan ini, alangkah baiknya kita mengutip pandangan-pandangan
para urafa dan sufi.
Pandangan Para Urafa Mengenai
Pengetahuan Irfani
1. Syaikh Isyraq
Syaikh Isyraq
tidak menganggap bahwa pengetahuan intuitif itu mendahului pengetahuan
rasional, dan mukadimah pengetahuan intuitif adalah pensucian dan pencerahan
jiwa dimana merupakan pendahuluan pembahasan rasional yakni ilmu logika.
Menurutnya, dengan keberadaan ilmu logika itu dimana tertutup jalan untuk
mengetahui sesuatu dengan metode intuisi, maka ilmu tersebut bisa digunakan,
walaupun tidak secara mutlak. Dia dalam hal ini menyatakan, “Apabila sesuatu
tidak diketahui dan hal itu tetap tidak dipahami walaupun dengan metode
mengingatkan dan memberikan pengertian kepada subjek serta tertutup jalan untuk
memahaminya dengan metode intuisi, sebagaimana yang dialami oleh para filosof,
maka dalam hal ini tak terdapat cara lain kecuali mengurutkan dan menyusun
perkara-perkara yang diketahui untuk dipakai menyingkap perkara-perkara yang
belum dipahami.”[8] Dari ungkapan dan penjelasan Syaikh Isyraq
tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebutuhan terhadap ilmu logika
dalam keadaan ketiadaan kemungkinan menggunakan metode intuisi (kasyf wa syuhud). Oleh
karena itu, di akhir kitabnya, Hikmah al-Isyraq, dia berkata, “Sebelum memulai
mempelajari kitab ini harus menjalani riyadhah dan pensucian jiwa selama empat
puluh hari…”[9]
Di tempat lain dia
menyatakan, “Walaupun sebelum menulis kitab ini, Hikmah al-Isyraq, saya telah
menyusun suatu risalah kecil yang berhubungan dengan filsafat Aristoteles, akan
tetapi kitab ini berbeda dengan risalah tersebut dan mempunyai metodenya
sendiri yang khusus. Semua kajiannya tidak diperoleh dari jalur pemikiran dan
argumentasi rasional, melainkan dicapai dengan metode intuisi dan menjalani
amal-amal kezuhudan. Pandangan-pandangan kami yang tidak digapai lewat jalur
argumentasi-argumentasi rasional, bahkan dicapai dengan metode mukasyafah dan musyahadah, tidak dapat
diragukan dan dibatalkan oleh para peragu dan pengiritik.”[10]
Dawud bin Mahmud
Qaishary menyatakan bahwa makrifat dan pengetahuan intuitif itu adalah
mengetahui makna-makna gaib dan perkara-perkara hakiki yang berada dibalik
hijab lahiriah dengan pengetahuan tertinggi (haqqul
yaqin) atau pengetahuan menengah (ainul yaqin).[11]
2. Muhyiddin ‘Arabi
Muhyiddin dalam Fushushul Hikam menyatakan,
“Makrifat dan pengetahuan intuitif ini tidak dijangkau oleh akal dan
argumentasi rasional, melainkan dengan mukasyafah
Ilahiah.”[12] Menurut Ibnu
Arabi, akal tak bisa mengetahui dan memahami hakikat-hakikat segala sesuatu
yang metafisik dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Manusia dapat
mencapai makrifat dan pengetahuan intuitif hanya dengan perantaraan mukasyafah dan musyahadah serta hadirnya
manisfestasi intuitif dalam hati yang berbentuk tunggal (bashit) namun meliputi
semua hakikat-hakikat segala sesuatu. Dalam pandangannya, makrifat dan
pengetahuan itu merupakan realitas yang bersifat nonmateri yang teremanasi dan
termanifestasikan dari nama-nama Tuhan dalam jiwa dan hati manusia. Ibnu Arabi
beranggapan bahwa asas dan pondasi dari segala eksistensi dan keberadaan adalah
manifestasi dan tajalli, segala maujud merupakan manifestasi dari cahaya-cahaya
gaib Ilahi dalan wilayah makrifat-Nya. Dari makrifat dan ilmu Tuhan ini
terpancar eksistensi dan maujud di alam penciptaan, oleh karena itu, makrifat
pada dasarnya adalah emanasi Tuhan.
Di tempat lain dia
mengungkapkan, “Akal hanya menerima makrifat dan pengetahuan, bukan
menggapainya. Sebagaian ilmu dan makrifat itu bisa dijangkau lewat argumentasi
rasional, namun sebagian besar makrifat dan pengetahuan tidak dapat dihasilkan
dengan demontrasi rasional, melainkan didapatkan dengan hati dan intuisi,
karena terdapat pengetahuan-pengetahuan yang sangat dimungkinkan dan diyakini
keberadaannya oleh akal, akan tetapi tidak mampu dicapai oleh pikiran itu
sendiri. Oleh karena itu, akal tidak mempunyai batasan dari sisi penerimaan
pengetahuan-penngetahuan yang diyakini, walaupun pengetahuan tersebut tidak
dapat dipahami dan dijabarkan oleh pikiran. Pikiran hanya bisa menangkap
objek-objek fisik dan pengetahuan kepada hakikat-hakikat alam dan metafisika
hanya diperoleh dari jalur mukasyafah
dan wahyu Ilahi. Paling tingginya makrifat adalah pengetahuan terhadap Tuhan
yang tidak dihasilkan dengan akal, karena akal tidak dapat menjangkau dan
mempersepsi Tuhan itu. Akal manusia hanya bisa memahami dan mengetahui sesuatu
yang mempunyai kesamaan dari aspek spesies, genus, atau esensi. Tuhan hanya
dijangkau dan dicapai dengan intuisi, mukasyafah,
musyahadah, dan
wahyu serta hati,”[13]
Dia berkeyakinan
bahwa makrifat intuitif dan hakiki hanya dapat dicapai dengan amal-amal shaleh,
takwa, dan menapaki jalan-jalan kebenaran, hal ini berbeda dengan pengetahuan
yang dihasilkan dari metode argumentasi rasional yang sarat dengan berbagai
kritikan, keraguan, dan kontradiksi.[14] Lebih lanjut dia
juga menyatakan, “Dengan termanifestasinya cahaya-cahaya Ilahi pada hati
manusia maka akan tersingkap segala hijab yang menghalangi pandangan batin
manusia. Dengan demikian, alam gaib dan alam malakuti akan hadir dan terungkap
baginya, bahkan alam materi itu sendiri akan nampak dan muncul dalam “warna”
yang lain.”[15]
3. Mulla Husain
Kasyani
Mulla Husain Kasyani
menyatakan, “Makrifat dan syuhud serta segala sesuatu diliputi oleh Al-Haq
(Tuhan) secara esensial. Allah berfirman: Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup
(bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?[16]. Karena seorang
salik telah sampai pada maqam ketuhanan tersebut (sebagaimana firman-Nya) maka
dia senantiasa “menyaksikan” cahaya-cahaya gaib dan hakikat-hakikat segala
sesuatu.”[17]
4. Allamah Hasan
Zadeh Amuly
Beliau mengungkapkan
bahwa karena seorang salik telah terlepas dari segala kesibukan dunia, telah
mensucikan jiwanya dari segala sifat buruk, menyempurnakan dirinya dengan suluk
dan riyadhah syariat serta argumentasi akal, dan telah mengkondisikan dirinya
untuk menerima rahmat Tuhan, maka ia layak sebagaimana firman-Nya: Jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda
(antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu)[18].”[19]
5. Allamah Muhammad
Taqi Ja’fary
Muhammad Taqi
Ja’fary menuliskan tentang persepsi dan pengenalan intuitif (syuhudi) sebagai berikut,
“Maksud dari pengetahuan dan makrifat intuitif adalah hubungan langsung jiwa
dengan realitas yang bukan fisik dan nonrasional… Secara hakiki syuhud adalah
penyaksian internal dengan pencahayaan khusus terhadap suatu realitas dimana
cahaya dan penyaksiaannya lebih kuat dan terang daripada penglihatan indrawi
dan pengenalan rasional. Dan dengan memandang kondisi-kondisi jiwa yang beragam
dalam hubungannya dengan realitas-realitas hakiki, maka keberadaan bentuk penyaksian
seperti itu tidak dapat diingkari dan ditolak. Pengenalan dan penyaksiaan
intuitif ini lebih banyak hadir dalam bentuk seperti mimpi-mimpi benar dan
dalam keadaan fana daripada dalam keadaan alami.”[20]
Mengenai pengenalan
emanatif dia menyatakan, “Pengenalan emanatif (isyraqi) adalah emanasi dan pancaran
realitas hakiki atas pikiran manusia tanpa membutuhkan pendahuluan-pendahuluan
yang bersifat indrawi dan pemikiran-pemikiran yang telah terkonstruksi padanya
sebelumnya…Isyraqi
atau emanasi adalah suatu bentuk pencerahan pemikiran seperti pencahayaan
fisikal yang menerangi dan memberikan cahaya kepada benda-benda fisik. Bahkan
lebih dari itu, pencerahan terhadap pikiran tersebut yang dalam bentuk emanasi
sama seperti hukum-hukum cahaya, yakni akan juga terpancar bersama dengan pencerahan
dan pencahayaan itu sendiri, sebagai contoh: pengenalan realitas alam
eksistensi dimana akan menghadirkan makna “kebesaran”, “keluasan”, dan
“keuniversalan” itu. Bentuk pengenalan seperti ini adalah bersifat emanatif
dimana lebih tinggi dari segala pengenalan indrawi dan pemikiran-pemikiran
filsafat serta kalam, yang walaupun semua pengenalan indrawi dan filsafat serta
kalam mengenai alam eksistensi tersebut bisa dipandang merupakan pengkondisian
dan pendahuluan untuk menerima emanasi Ilahi. Begitu pula seseorang yang
mendapatkan perasaan bahwa setiap partikular dari alam eksistensi ini
mencitrakan dan menyuarakan keuniversalan, maka perasaan tersebut dikategorikan
sebagai perasaan emanatif.”[21]
Lebih lanjut dia
mengutarakan perbedaan antara pengenalan intuitif dan pengenalan emanatif,
“Faktor-faktor yang menghadirkan pengenalan dan pengetahuan intuitif adalah
sama dengan yang mewujudkan makrifat-makrifat emanatif, perbedaan di antara
keduanya hanya terletak pada subjek dan ranahnya, yakni subjek yang dicahayai
dan dicerahkan oleh pengetahuan intuitif tidak akan keluar dari subjek
tersebut, hanya subjek tertentu yang menjadi fokus musyahadah dan mukasyafah, hal ini sebagaimana satu objek
fisik yang menjadi subjek suatu pengkajian dan observasi.”[22]
Dia kemudian
mendefinisikan pengetahuan intuitif sebagai berikut, “Pengetahuan dan makrifat
intuitif adalah pengetahuan kepada alam dengan segala partikular-partikular dan
hubungan-hubungannya, seperti suatu hakikat yang nampak sangat jelas dan terang
sedemikian sehingga setiap bagian merupakan penjelmaan dari realitas dan maujud
universal yang abadi dan kekal, serta segala bentuk hubungan ilmiah dengan
partikular-partikular tersebut adalah berhubungan dengan maujud yang maha
sempurna dengan perantaraan manifestasi-manifestasinya. Membicarakan mengenai
bentuk pengenalan dan pengetahuan seperti ini tidak dengan orang yang tidak
meyakini keberadaannya dan tidak pula dengan orang yang sama sekali tidak
mempersiapkan dirinya untuk menggapai pengetahuan jenis ini, karena kalau hal
itu dilakukan sama dengan membicarakan kelezatan berhubungan dengan lawan jenis
dengan anak-anak yang belum balig dimana sama sekali tidak akan bisa memahami
dan mengetahui apa-apa yang dibicarakan itu serta mereka akan menyatakan bahwa
pembicaraan dan ungkapan tersebut tidak lain hanyalah hayalan belaka dan
kemudian akan menjadi bahan-bahan permainan dan canda mereka saja.”[23]
6. Ayatullah Jawady
Amuly
Berhubungan dengan
pengetahuan intuitif, Ayatullah Jawady menyatakan bahwa seseorang yang
mempunyai pengetahuan dan makrifat intuitif dapat menyaksikan hakikat-hakikat
dengan mata batin dan bisa pula mendengar kalimat-kalimat yang tidak mampu
disaksikan dan didengarkan oleh orang lain. Sebagaimana orang lain dapat
merasakan panasnya api dan mendengarkan suara-suara yang beragam serta mengenal
semua pemilik suara-suara tersebut dan makna-makna yang berhubungan dengannya,
begitu pula orang-orang yang mempunyai bentuk pengenalan intuitif dapat
“menyaksikan” segala sesuatu yang berbeda dan perkara-perkara yang beragam
serta “mendengarkan” suara-suara yang bermacam-macam dengan tanpa sedikitpun
keraguan dan kebimbangan. Keadaan dan kondisi yang dicapai oleh orang-orang
seperti ini, pertama-tama akan dialaminya di alam mimpi yakni dia senantiasa
mendapatkan dan menyaksikan mimpi-mimpi yang benar dan nyata berkaitan dengan
hakikat-hakikat di masa lampau, sekarang, dan akan datang atau berhubungan
dengan kejadian-kejadian yang bertempat jauh dan dekat. Semua peristiwa-peristiwa tersebut dia saksikan dan dengarkan dengan mata
dan telinga batin.
Yang pasti bahwa
mata dan telinga tersebut yang dapat menyaksikan dan mendengarkan
hakikat-hakikat seperti itu tidak secara khusus berhubungan dengan manusia yang
sementara tidur, seseorang yang dalam keadaan terbangun pun tidak akan dapat
melihat sesuatu yang bertempat sangat jauh itu atau mencium bau dari sesuatu
tersebut. Nabi Ya’qub As dapat melihat dan mencium baju Nabi Yusuf As yang
berada sangat jauh di luar kota Mesir saat itu, sebagaimana tertera dalam
al-Quran surah Yusuf ayat 94 yang berbunyi, “Sesungguhnya
aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal”
Bentuk perasaan
seperti tersebut di atas tidak secara khusus hanya dialami oleh Nabi Ya’qub As
saja, melainkan juga sama dengan apa-apa yang didengar dan dialami oleh Al-Hur
di Karbala atau suatu panggilan yang didengar oleh Imam Husain As di tengah
perjalanan menuju Karbala. Penglihatan-penglihatan dan
pendengaran-pendengaran yang terjadi dan dialami oleh para nabi, rasul, dan
orang-orang saleh itu sama sekali tidak berhubungan dengan keadaan tidur,
melainkan semua orang yang berupaya membersihkan dan mensucikan hatinya dari
segala bentuk kekotoran dan mencapai tingkatan spiritual tertentu niscaya akan
mengalami kenyataan-kenyataan tersebut serta mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan intuitif yang dengannya dia mengenal hakikat alam
semesta. Akan tetapi, karena di awal perjalanan spiritual, ruh dan jiwa manusia
masih dalam keadaan yang lemah, dengan demikian indera-indera lahiriahnya dan
kesibukan-kesibukan fisiknya senantiasa menggangu dan menghalangi terwujudnya
penglihatan-penglihatan dan pendengaran-pendengaran batinnya. Oleh karena itu,
dalam keadaaan dia tidur dimana dengan terputusnya segala kesibukan dan
gangguan fisikal, maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat sesuai untuk dia
memulai perjalanan internalnya dan pengaktualan kesempurnaan-kesempurnaan
batinya, yaitu menyaksikan dan mendengarkan hakikat-hakikat segala sesuatu
dalam mimpi. Apabila semua kesibukan fisikal dan halangan alami tidak lagi
efektif menghambat pengelanaan spiritual seseorang, maka apa-apa yang benar dan
hakiki yang dia saksikan dan dengarkan di alam mimpinya itu niscaya dia juga
akan saksikan dan dengarkan dalam keadaan tidak tidur dan terbangun.[24]
Catatan Kaki
[1] .
Muhyiddin Ibn ‘Arabi,
Fushushul Hikam, Syarh Janady, hal. 8.
[2] . Abdullah Fatimi
Niya, Farjam-e ‘Isyq,
hal. 77.
[3] . Muhammad
Al-Gazali, Ihya al-’Ulum,
jilid pertama, hal. 297.
[4] . Risalah Qusyairiyyah,
hal. 117 dan 118, penerjemah: Furuzanfur.
[5] . Jalaluddin
Hamayi, Maulawi Nameh,
jilid pertama, hal. 593. Dan Abdul Husain Zarin Kub, Arzesy-e Mirats-e Sufiyah.
[6] . Ibid, hal. 537
dan 538. Dan Ta’liqah Abul
‘ Ala ‘ ‘Afifi ‘ Ala Fushusul Hikam, Fatihatul Kitab, hal 3.
[7] . Abdul Husain
Zarin Kub, Arzesy-e
Mirats-e Sufiyah, hal. 100.
[8] . Sihabuddin
Suhrawardi, Syarh Hikmah
al-Isyraq, hal. 50-52.
[9] . Ibid, hal. 561.
[10] . Rujuk: Mukadimah Hikmah al-Isyraq.
Dan Husain Nashr, Seh Hakim
Musalmon, penerjemah: Ahmad Orom, hal. 85. Serta Gulam Muhsin
Ibrahimi Dinani, Syu’a-e
Andisye waSyuhud dar Falsafe-ye Suhrawardi.
[11] . Dawud
Qaishary, Muqaddame-ye
Fushushul Hikam, hal. 22.
[12] . Muhyiddin
‘Arabi, Fushushul Hikam,
Fash Adam, hal. 69.
[13] . Muhyiddin
‘Arabi, mukadimah Futuhat
Makiyyah, dan risalah Al-Washaya
dari kumpulan risalah-risalah Ibnu ‘Arabi.
[14] . Ibid, jilid
kedua, hal. 298.
[15] . Ibid, jilid
pertama, hal 166 dan jilid kedua, hal. 637.
[16] . Qs.
Fushshilat: 53.
[17] . Mulla Husain
Kasyani, Lub Libab Matsnawi,
hal. 393.
[18] . Qs. Al-Anfal:
29.
[19] . Hasan Hasan
Zadeh, Hezar wa Yek Nukteh,
nukteh 229.
[20] . Muhammad Taqi
Ja’fary, Syarh-e wa
Tafsir-e Nahjul Balaghah, jilid ketujuh, hal. 81-82.
[21] . Ibid, hal. 83.
[22] . Ibid, Syenokht az Didgoh-e ‘Ilmy wa az
Ddgoh-e Quran, hal. 189.
[23] . Ibid, hal.
233. Begitu pula rujuk, Tafsir
wa Naqd wa Tahlil Matsnawi, jilid kelima belas.
[24] . Abdullah
Jawady Amuly, Syenokh
Syenosy dar Quran, hal. 407-409.
No comments:
Post a Comment