TEKNIK PENGUMPULAN INFORMASI (DATA)
Menurut
Creswell (1994: 150-151) berdasarkan tipe data kualitatif maka terdapat 4
(empat) macam tipe pengumpulan data, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara, 3) dokumen, 4) alat-alat
audiovisual. Atas dasar hal tersebut penulis mengklasifikasi kan teknik
pengumpulan informasi (data) menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara, 3) dokumen, sedangkan alat-alat
audiovisual penulis sebut sebagai alat bantu pengumpulan data. Selanjutnya
masing-masing teknik pengumpulan data tersebut akan diuraikan pengertian dan
ciri-cirinya.
1.
Pengertian dan ciri-ciri Observasi (pengamatan)
a. Pengertian observasi/pengamatan
(Observation)
Menurut Kartono
(1980: 142) pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang
disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis
dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan
observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba
kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu”.
Observasi dapat
menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian
yang sudah ditetapkan.
2)
Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan
tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3)
Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan
proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong oleh impuls dan
rasa ingin tahu belaka.
4)
Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan
dikontrol seperti pada data ilmiah lainnya (Jekoda, dkk, 1959 dalam Kartono
1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4) istilah validitas dan reliabilitas dalam
penelitian kualitatif tidak biasa digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk
menggantikan kedua istilah tersebut adalah kredibilitas.
Poerwandari tidak
memberikan batasan tentang observasi tetapi memberikan penjelasan tentang
observasi sebagai berikut: “Observasi barangkali menjadi metode yang paling
dasar dan paling tua di bidang psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita
selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis,
baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya.
Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan
“memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian
psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental)
maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang dilakukan dalam laboratorium dalam
konteks eksperimental itu adalah observasi dalam rangka penelitian kuantitatif.
Observasi dalam rangka penelitian kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201
dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan
data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai
metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan
yang memadai, serta telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan tentang
observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas
observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam
pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat Pengamatan
Menurut Guba dan
Lincoln (1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan pengamatan
(observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, intinya
karena:
1)
Pengamatan merupakan pengalaman langsung, dan pengalaman
langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh kebenaran. Apabila
informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka peneliti dapat melakukan
pengamatan sendiri secara langsung untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
2)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa yang
berkaitan dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan yang diperoleh
dari data.
4)
Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti terhadap
informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran adanya bias atau
penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena responden kurang
mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis antara peneliti
dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan
tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan pengamatan.
5)
Pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami
situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti
ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi pengamatan dapat
menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk perilaku
yang kompleks.
6)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi
lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum bisa berbicara atau
mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan
disini pengamatan dimaksudkan agar memungkinkan pengamat melihat dunia
sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti, menangkap makna fenomena
dan budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan
apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh si peneliti. Jadi interpretasi peneliti harus
berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b) Macam Pengamat dan Derajat Pengamat
Menurut Moleong
(2001: 126-127) pengamatan dapat dibedakan menjadi: a) pengamatan berperan
serta, b) pengamatan tidak berperan serta. Pengamatan juga dapat
diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan terbuka, apabila keberadaan pengamat
diketahui oleh subjek yang diteliti, dan subjek memberikan kesempatan kepada
pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi dan subjek menyadari adanya
orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan, b) pengamatan tertutup apabila
pengamat melakukan pengamatan tanpa diketahui oleh subjek yang diamati.
Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan dengan latar
alamiah atau pengamatan tidak terstruktur dan b) pengamatan buatan atau
pengamatan terstruktur. Pengamatan terstruktur ini disebut eksperimen biasa
digunakan dalam penelitian kuantitatif. Sedang pengamatan alamiah atau
pengamatan tidak terstruktur inilah yang biasa digunakan dalam penelitian
kualitatif.
Selanjutnya Bunford
Junker (dalam Moleong, 2001: 126-127) membagi peran peneliti sebagai pengamat
menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1)
Berperan serta secara lengkap (the complete
participant). Pengamat dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu
kelompok yang diamati, artinya peneliti bergabung secara penuh atau menjadi
anggota secara penuh dalam kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan
demikian peneliti dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya,
termasuk yang rahasia.
2) Pemeran serta sebagai pengamat (the
participant as observer). Peneliti tidak sepenuhnya menjadi anggota
kelompok yang diamati (misalnya anggota kehormatan), tetapi masih dapat
melakukan fungsi pengamatan. Hal-hal rahasia masih dapat diketahui.
3) Pengamat sebagai pemeran serta (the
observer as participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh
umum, karena segala macam informasi termasuk yang rahasia dapat dengan mudah
diperoleh.
4) Pengamat penuh (the complete observer).
Biasanya hal ini terjadi pada pengamatan suatu eksperimen dilaboratorium yang
menggunakan kaca sepihak. Peneliti dengan bebas mengamati secara jelas
subjeknya dari belakang kaca, sedang subjeknya sama sekali tidak mengetahui
apakah mereka sedang diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menjelaskan tentang
observasi sebagai berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan
sebagaimana digunakan dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan
keterampilan harian lain sebagai secara metodelogis disistematisir dan
diterapkan dalam penelitian kualitatif. Tidak hanya persepsi visual tetapi juga persepsi berdasarkan pendengaran,
perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (“Besides
the competencies of speaking and listening which are used in interviews,
observing is another everyday skill which is methodologically systematized and
applied in qualitative research. Not only visual perceptions but also those
based on hearing, feeling and smelling are integrated (Adler and Adler
1998)”).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs
(1973: 272-273), Flick (2002: 135) menyatakan prosedur observasi secara umum
diklasifikasikan menjadi 5 (lima) dimensi, yaitu:
a) Observasi tertutup versus observasi
terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi.
(“Covert versus overt observation: how far is the observation revealed to
those who are observed”).
b) Observasi tidak terlibat versus observasi
terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari lapangan yang
diamati. (“Non-participant versus participant observation: how far does the
observer become an active part of the observed field”).
c) Observasi sistematis lawan observasi yang
tidak sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang
terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih
fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic
versus unsystematic observation: is a more or less standarized observation
scheme applied or does observation remain rather flexible and responsive to the
processes themselves”).
d) Observasi secara alamiah versus
situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati
atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu
tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi
yang lebih baik. (“Observation in natural versus artificial situations: are
observation done in the field of interest or are interactions ’moved’ to a
special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e) Observasi diri versus mengobservasi
orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak
niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk
dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang
diobservasi. (“Self-observation versus observing others: mostly other people
are observed, so how much attention is paid to the researcher’s reflexive
self-observation for futher grounding the interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap observasi, penulis
seperti Adler dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980) (dalam
Flick, 2002: 136) menyatakan bahwa observasi memiliki 7 (tujuh) tahap, yaitu:
a) Seleksi suatu latar (setting) yaitu
dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu dapat
diobservasi (“The selection of a setting, i.e. where and when the
interesting processes and persons can be observed”).
b) Berikan definisi
tentang apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap
kasus. (“The definition of what is to be
documented in the observation and in every case”).
c) Latihan untuk pengamat supaya ada
standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The
training of the observers in order to standarized such focuses”).
d) Observasi deskriptif yang memberikan suatu
pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive observations which provide
an initial general presentation of the field”).
e) Observasi terfokus yang semakin
terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused
observations which concentrate more and more on aspects that are relevant to
the research questions”).
f) Observasi selektif yang dimaksudkan untuk
secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations
which are intended to purposively grasp only central aspects”).
g) Akhir dari observasi apabila kepenuhan
teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak memberikan
pengetahuan lanjutan. (“The end of the observations, when theoretical
saturation has been reached (Glaser and Strauss, 1967), i.e. futher observations
do not provide any futher knowledge”).
Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang
1990: 857) intinya menyatakan bahwa manusia melakukan pengamatan sehari-hari
terhadap orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi pengamatan
seperti itu jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan untuk
penelitian ilmiah. Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil
pengamatan dapat dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur
pengukuran yaitu setiap perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga
berdasarkan skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal tersebut ternyata masih
menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan
bahwa perilaku tersebut harus dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku
tersebut dapat dikenakan prosedur pengukuran, dengan demikian data tersebut
bermanfaat untuk ilmu pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif
menyatakan bahwa pengamatan harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut
dalam situasi realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati
perilaku sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini
dalam pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar
(dalam Koentjoroningrat, 1977: 139) intinya menyatakan bahwa dalam pengetahuan
ilmiah mengenai segala sesuatu yang diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan
merupakan teknik yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah.
Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan pengamatan yang dilakukan sehari-hari,
pengamatan sebagai cara penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu
yang merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan
yang menjadi sasaran penelitian. Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus
berusaha membandingkan dengan hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang
sama dan dalam keadaan yang sama, apabila ternyata mendapatkan hasil yang tidak
sama, maka harus diperiksa kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran
suatu pengamatan, peneliti dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan
dengan hasil pengamatan pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan
karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati
lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan hasil pengamatan dari seorang
peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit karena belum tentu
mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek yang sama. Oleh
karena itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya dengan hasil
pengamatan significant others yaitu individu yang dinilai berwibawa,
dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap
subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan
(1997: 103) metoda pengamatan digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan
biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut.
Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan sementara
pihak bahwa pengamatan dinilai bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena
sederhana, tidak rumit teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan
menggunakannya. Padahal apabila digunakan sesuai persyaratannya akan memperoleh
data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya
mengemukakan bahwa dalam penelitian ilmiah yang menggunakan metoda pengamatan,
si peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a)
Ruang atau tempat: setiap gejala (benda, peristiwa,
orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu. Bahkan
keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang menciptakan
suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu
mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b)
Pelaku: pengamatan terhadap pelaku mencakup ciri-ciri
tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang berpengaruh
terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c)
Kegiatan: dalam ruang atau tempat tersebut para pelaku
tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu
tindakan-tindakan yang dilakukan, yang dapat mewujudkan adanya serangkaian
interaksi di antara sesama mereka.
d)
Benda-benda atau alat-alat: semua benda-benda atau alat
yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh para pelaku dalam
melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatannya
haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e)
Waktu: setiap kegiatan selalu berada dalam suatu
tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan
waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya memperhatikan
kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak secara
keseluruhan.
f)
Peristiwa: dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa diluar kegiatan-kegiatan yang
nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya. Seorang peneliti
yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa untuk mencatatnya.
g)
Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa juga
terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya sebagaimana
terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan gerak tubuh atau
juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
h) Perasaan:
pelaku-pelaku juga dalam kegiatan dan interaksi dengan sesama para pelaku dapat
terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk
tindakan, ucapan, ekspresi muka dan gerakan tubuh. Hal-hal
semacam ini juga harus diperhatikan oleh si peneliti.
Dari berbagai pendapat beberapa tokoh
tentang pengamatan (observasi) maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan
(observasi) dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan
dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan
mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam
konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian
ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Agar hasil pengamatan dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya dibandingkan dengan
hasil pengamatan peneliti lain tentang orang atau fenomena yang sama dan dalam
situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan mengulangi pengamatannya
atau melengkapi dengan menggunakan teknik lain misalnya wawancara dan
lain-lain. Atau dapat pula dilakukan
dengan membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant others. Jelaslah
bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif harus ditegakkan.
b. Ciri-ciri Observasi
1)
Persyaratan
lain disamping diterapkannya prinsip triangulasi, maka agar hasil observasi
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan
observasi, dan telah dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau
konseptual dalam bidang atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti telah memiliki kepekaan
teoritis (theoretical sensitivity).
2)
Pengamatan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam
penelitian kualitatif karena mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a)
Pengamatan yang dilakukan sendiri oleh si peneliti dapat
diperoleh kebenaran yang meyakinkan, karena si peneliti dapat secara langsung
mengecek kebenaran informasi.
b)
Pengamatan memungkinkan si peneliti mampu memahami
situasi yang rumit yaitu jika si peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah
laku sekaligus atau tingkah laku yang kompleks.
c)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kegiatan sebagaimana yang sebenarnya.
3)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi
lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat,
misalnya mengamati bayi yang belum dapat berbicara, atau mengamati orang yang
menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra, dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti
muda (mahasiswa S-1 yang sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif)
tujuan pengamatan adalah menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek
yang diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati
oleh si peneliti.
4)
Menggaris bawahi pendapat Poerwandari (1998: 62) yang
menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara
aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti pengamatan harus dilakukan dengan
teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak dapat dilakukan secara
bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin pengamatan yang dilakukan
bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapatkan hasil teliti dan cermat.
5)
Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986 terjemahan
Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam konteks penelitian
kualitatif situasi yang diamati harus realistik dan alami (naturalistik), maka
pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62) yang menyatakan
observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun
konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat berlangsung dalam
konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan observasi tersebut
dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen direncanakan
dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam eksperimen
penelitian kuantitatif berperan sebagai objek eksperimen. Observasi dapat pula
dilakukan dalam penelitian kualitatif apabila eksperimen disusun dan dilakukan
oleh peneliti lain, si peneliti mengamati subjek yang diteliti dalam eksperimen
tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang diteliti tidak menjadi objek eksperimen dan tidak tahu
kehadiran observer (eksperimen dengan laboratorium berkaca).
6)
Agar dapat berfungsi sebagai metoda dalam penelitian
ilmiah pengamatan harus dilakukan sesuai persyaratannya. Apabila hal tersebut
dilakukan maka akan memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan
(Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam penelitian ilmiah dengan menggunakan
teknik pengamatan harus memperhatikan 8 (delapan) hal, yaitu: a) ruang atau
tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d) benda-benda atau alat-alat, e) waktu, f)
peristiwa, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7)
Mengacu pendapat beberapa penulis Flick (2002: 136)
menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan observasi, yaitu:
a) Melakukan seleksi terhadap seting
penelitian.
b)
Mendefinisikan apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi
dan dalam setiap kasus.
c)
Melakukan latihan bagi peneliti tentang aturan-aturan
yang harus ditaati dalam melakukan pengamatan sesuai fokus-fokus penelitian
yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian
dapat berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)
Mendiskripsikan apa yang akan dilakukan dilapangan.
e)
Memfokuskan observasi pada aspek-aspek yang relevan
dengan pertanyaan penelitian.
f)
Menyeleksi apa yang diobservasi dengan mengutamakan
aspek-aspek pokok.
g)
Mengakhiri observasi apabila tujuan observasi telah
tercapai artinya apa yang akan diobservasi tidak dapat dikembangkan lagi karena
telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak akan mendapatkan data-data
baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
No comments:
Post a Comment