Thursday 30 November 2017

KERANGKA TEORI PENELITIAN KUALITATIF DENGAN BERBAGAI PENDAPAT PARA AHLI

1.      Penelitian Kualitatif
a.      Pengertian Penelitian Kualitatif
Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: “Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.” Sage Publications, 1994, mengemukakan: Research that is guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of understanding a social or human problem based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting.”
Kutipan tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma kualitatif didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah.”
Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: “Handbook of Qualitative Research,” Sage Publications, 1998, mengemukakan: “Qualitative research is many things to many people. Its essence is twofold: a commitment to some version of the naturalistic, interpretive approach to its subject matter, and an ongoing critique of the politics and methods of positivism…Qualitative researchers stress the socially constructed nature of reality, the intimate relationship between the researcher and what is studied, and…value laden nature inquiry.”
Kutipan tersebut mempunyai arti, penelitian kualitatif esensinya bersifat ganda: suatu komitmen terhadap pandangan naturalistik-pendekatan interpretatif terhadap pokok persoalan studi dan suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan metode positivisme. …….Peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk secara sosial, hubungan yang erat antara peneliti dan yang diteliti dan ……, ciri penelitian yang sarat nilai.
Selanjutnya, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research is aimed at gaining a deep understanding of a specific organization or event, rather than a surface description of a large sample of a population. It aims to provide an explicit rendering of the structure order, and broad patterns found among a group of participants. It is also called ethno-methodology or field research. It generates data about human groups in social settings.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus, ketimbang mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat mengenai struktur, tatanan dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut etno-metodologi atau penelitian lapangan. Penelitian ini juga menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam latar/setting sosial.”
Lebih lanjut, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative research does not introduce treatments or manipulate variables, or impose the researcher’s operational definitions of variables on the participants. Rather, it lets the meaning emerge from the participants. It is more flexible in that it can adjust to the setting. Concepts, data collection tools, and data collections methods can be adjusted as the research progresses.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif tidak memperkenalkan perlakuan (treatment), atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi operasional peneliti mengenai variabel-variabel pada peserta penelitian. Sebaliknya, penelitian kualitatif membiarkan sebuah makna muncul dari partisipan-partisipan itu sendiri. Penelitian ini sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan latar yang ada. Konsep-konsep, alat-alat pengumpul data, dan metoda pengumpulan data dapat disesuaikan dengan perkembangan penelitian.”
Untuk memperjelas pandangan-pandangan tentang penelitian kualitatif, Denzin & Lincoln menambahkan penjelasan sebagai berikut: “Qualitative research aims to get a better understanding through first-hand experience, truthful reporting, and quotations of actual conversations. It aims to understand how the participants derive meaning from their surroundings, and how their meaning influences their behavior.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar melalui pengalaman ‘tangan pertama’, laporan yang sebenar-benarnya, dan catatan-catatan percakapan yang aktual. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil makna dari lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka sendiri.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan.
Dari pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Creswell maupun Denzin & Lincoln tersebut tidak saja dapat ditarik kesimpulan tentang definisi penelitian kualitatif tetapi juga tentang ciri-cirinya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang ciri-ciri penelitian kualitatif akan diuraikan lebih lanjut tentang penelitian kualitatif menurut Denzin & Lincoln sebagai berikut: “Qualitative research uses variety kinds of qualitative inquiry in collecting data (such as: observation, interview, documenting, narrating, publishing text, etc.). Observation is the selection and recording of behaviors of people in their environment. Observation is useful for generating in-depth descriptions of organization or events, for obtaining information that is otherwise inaccessible, and for conducting research when other methods are inadequate.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif menggunakan berbagai jenis studi kualitatif dalam mengumpulkan data (seperti: observasi, wawancara, dokumentasi, narasi, publikasi teks, dll.). Observasi adalah penyeleksian dan pencatatan perilaku manusia dalam lingkungannya. Observasi digunakan untuk menghasilkan penjelasan yang sangat mendalam mengenai organisasi dan peristiwa, untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain, dan untuk melakukan penelitian di saat metode-metode lain tidak memadai.”
Tentang observasi, Denzin & Lincoln menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “Observation is used extensively in studies by psychologists, anthropologists, sociologists, and program evaluator. Direct observation reduces distortion between the observer and what is observed that can be produced by an instrument (e.g. questionnaire). It occurs in a natural setting, not a laboratory or controlled experiment. The context or background of behavior is included in observations of both people and their environment. And it can be used with inarticulate subjects, such as children or others unwilling to express themselves.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: “Observasi digunakan secara luas dalam studi oleh para psikolog, antropolog, sosiolog, dan penilai program. Observasi secara langsung mengurangi distorsi antara pengamat dan apa yang diamati, yang dapat diperoleh melalui sebuah instrumen (kuesioner). Observasi langsung terjadi di dalam latar yang alami, bukan dalam laboratorium atau eksperimen yang terkontrol. Konteks atau latar belakang perilaku juga tercakup dalam pengamatan terhadap orang-orang dan lingkungannya. Observasi ini dapat digunakan terhadap subjek yang tidak pandai berbicara, seperti anak-anak atau mereka yang segan mengekspresikan dirinya sendiri.”
Sebelum diuraikan tentang ciri-ciri penelitian kualitatif, akan dikemukakan pandangan Muluk (yang mengacu pada Guba & Lincoln, 1998) dalam disertasinya (2004) bahwa dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora penelitian kualitatif lebih tepat dibandingkan penelitian kuantitatif sebagai berikut: “…Memang selama beberapa ratus tahun setelah revolusi ilmu pengetahuan, positivisme seperti tidak terbantahkan dengan dasar objektivitas, kuantifikasi, dan rasionalitas. Namun positivisme menjadi problematis ketika dihadapkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mengingat bahwa realitas dan fenomena dalam ilmu sosial kebanyakan tidak mempunyai batas yang jelas antara subjek dan objek. Realitas tunggal yang objektif dalam ilmu sosial dan humaniora dipandang sebagai kemungkinan yang sukar dicapai dalam suatu dinamika sosial. Sebaliknya, dalam ilmu sosial dan humaniora, realitas dipandang sebagai suatu yang plural dan tidak pernah bebas konteks, bebas nilai dan bebas ideologi, suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh pendekatan positivisme. Kritik yang paling mendasar terhadap pendekatan positivisme adalah pada kecenderungannya untuk memperlakukan data – demi menjaga objektivitas – tanpa mempertimbangkan konteks, pada kecenderungannya untuk menggeneralisasi data yang umum kepada kasus-kasus yang spesifik. Kritik lainnya adalah pada pandangan positivistik yang meyakini adanya realitas yang bebas nilai (value-free) serta mengabaikan adanya dimensi interaksi dan hubungan timbal-balik (reciprocal) antara pengamat (observer) dengan yang diamati (Guba & Lincoln, 1998 dalam Malik, 2004:140). Dengan demikian, paradigma teoretik setelah era positivisme menolak anggapan bahwa sesuatu yang ilmiah hanyalah sesuatu yang dapat diukur secara kuantitatif. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan positivistik mendapat tantangan dari paradigma lainnya. Dengan demikian, positivistik tidak lagi satu-satunya cara untuk sampai pada kebenaran ilmiah. Makin disadari bahwa untuk gejala-gejala sosial, budaya dan perilaku, pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan naturalistik dan fenomenologis dianggap lebih mampu untuk menjelaskan gejala secara keseluruhan”).

b.      Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Dari pandangan Creswell, Denzin & Lincoln, serta pandangan Guba & Lincoln yang dikemukakan Muluk, dapat dikemukakan ciri-ciri Penelitian Kualitatif sebagai berikut:
1)      Penelitian kualitatif merupakan penelitian dengan konteks dan setting apa adanya atau alamiah (naturalistic), bukan melakukan eksperimen yang dikontrol secara ketat atau memanipulasi variabel.
2)      Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan peneliti kuantitatif dengan positivismenya.
3)      Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman mendalam bagaimana subjek memaknai realitas dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku subjek, peneliti perlu melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti. Untuk itu, bila perlu peneliti melakukan observasi terlibat (participant observation).
4)      Tidak seperti penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif tidak membuat perlakuan (treatment), memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional variabel. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data tidak terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga dokumen, riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain.
5)      Tidak seperti penelitian kuantitatif yang bebas nilai, penelitian kualitatif justru menggali nilai yang terkandung dari suatu perilaku. Penelitian kualitatif meyakini bahwa perilaku tidak mungkin bebas dari nilai yang dihayati individu yang diteliti.
6)      Penelitian kualitatif bersifat fleksibel, tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian, tetapi dapat berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.
7)      Tidak seperti penelitian kuantitatif di mana untuk mencapai objektivitas dengan melakukan pengukuran (measurement) secara kuantitatif, penelitian kualitatif mendapatkan akurasi data dengan melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam konteks dan setting yang alamiah (naturalistic).

Sebagai bahan perbandingan dan sebagai upaya memperluas wawasan, berikut ini pandangan Poerwandari (1998) yang mengacu pandangan Patton (1990) tentang ciri-ciri penelitian kualitatif:
1)      Studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry)
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi di mana fenomena tersebut ada. Fokus penelitian dapat berupa orang, kelompok, program, pola hubungan ataupun interaksi, dan kesemuanya dilihat dalam konteks alamiah (apa adanya).
2)      Analisis induktif
Penelitian kuantitatif-eksperimental menggunakan pendekatan analisis deduktif, dengan menerapkan pendekatan hipotesis-deduktif. Peneliti menetapkan variabel-variabel utama beserta dengan pernyataan-pernyataan tentang variabel-variabel tersebut (definisi operasional variabel catatan ini menurut penulis) sebelum pengumpulan data dilakukan, berdasarkan kerangka teoretis yang secara eksplisit dipilih. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, metode kualitatif secara khusus berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan logika induktif. Dikatakan induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya, melainkan mencoba memahami situasi (make sense of the situation) sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Analisis induktif dimulai dengan observasi khusus, yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori, pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut.
3)      Kontak personal langsung peneliti di lapangan
Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari sebagian besar penelitian kualitatif. Mengunjungi lapangan berarti mengembangkan hubungan personal langsung dengan orang-orang yang diteliti. Penelitian kualitatif memang menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari-hari.
4)      Perspektif holistik
Satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan bahwa yang menyeluruh tersebut lebih besar dan lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian. Penekanan pada pemahaman holistik ini kontras dengan tradisi kuantitatif-eksperimental, yang menuntut operasionalisasi variabel independen dan variabel dependen. Pendekatan kuantitatif demikian tidak disetujui oleh peneliti kualitatif karena dianggap: a) terlalu menyederhanakan realitas hidup yang sesungguhnya amat kompleks, b) tidak mampu, atau mengabaikan faktor-faktor penting yang sering sulit sekali untuk dikuantifikasi, c) gagal memberikan gambaran terintegrasi tentang fenomena yang diteliti.
5)      Perspektif dinamis, perspektif “perkembangan”
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang, bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam perkembangan kondisi dan waktu. Minat peneliti kualitatif adalah mendeskripsikan dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan gejala yang diteliti. Perubahan dilihat sebagai suatu hal yang wajar, sudah diduga sebelumnya, dan tidak dapat dihindari. Karenanya, daripada mengendalikan atau membatasinya, peneliti kualitatif-alamiah justru mengantisipasi kemungkinan perubahan itu, mengamati dan melaporkan objek yang diteliti dalam konteks perubahan tersebut.
6)      Orientasi pada kasus unik
Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan rincian, karena fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Kasus dipilih sesuai dengan minat dan tujuan khusus yang diuraikan dalam tujuan penelitian. Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam.
7)      Netralitas empatik
Penelitian kualitatif sering dikritik menghasilkan data yang subjektif, dan karenanya dianggap kurang ilmiah. Memang ilmu sering didefinisikan dalam kerangka objektivitas, yang dalam perspektif positivistik-kuantitatif dicapai melalui distansi (jarak catatan penulis) peneliti dari objek yang diteliti, karena peneliti kuantitatif-positivistik yakin bahwa distansi akan mempertahankan sikap “bebas nilai.” Peneliti-peneliti kualitatif, sebaliknya, menganggap bahwa objektivitas murni tidak pernah ada, hanya merupakan ilusi peneliti kuantitatif. Pilihan untuk meneliti topik tertentu pun sudah diwarnai subjektivitas, sementara rancangan dan instrumen penelitian adalah produk manusia, dan karenanya, selalu mungkin mengandung bias.
8)      Fleksibilitas rancangan
Penyelidikan yang bersifat kualitatif tidak dapat secara jelas, lengkap dan pasti ditentukan di awal sebelum dilaksanakannya pekerjaan di lapangan. Tentu saja, rancangan awal yang disusun sebaik mungkin, yang akan menentukan fokus pertama, rencana-rencana pengamatan dan wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Meski demikian, sifat alamiah dan induktif dari penelitian tidak memungkinkan peneliti menentukan secara tegas variabel-variabel operasional, menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan sampel dan instrumen yang akan dipakai sebelum ia sungguh-sungguh memasuki pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes, akan berkembang sejalan berkembangnya pekerjaan lapangan.
9)      Peneliti sebagai instrumen kunci
Bila peneliti kuantitatif dapat berpegang pada rumus-rumus dan teknik statistik, peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya. Karenanya, kompetensi peneliti menjadi aspek paling penting: Peneliti adalah Instrumen Kunci dalam penelitian kualitatif. Peneliti berperan besar dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data, hingga menganalisis dan menginterpretasikannya.

c.       Perbedaan Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Penelitian Kualitatif, berikut akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif menurut Creswell (1994:5).
1)      Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif
a)      Reality is objective and singular, apart from the researcher.
Realitas bersifat objektif dan tunggal, terpisah dari peneliti.
b)     Researcher is independent from that being researched.
Peneliti bebas dari apa yang diteliti.
c)      Value-free and unbiased.
Bebas nilai dan tidak bias.
d)     Formal language, based on set definitions, impersonal voice, use of accepted quantitative words.
Bahasa formal, berdasarkan seperangkat definisi, kata-kata yang tidak personal (impersonal), menggunakan kata-kata kuantitatif yang sudah diterima (disepakati).
e)      Deductive process, seeking cause & effect static design-categories isolated before study; context-free; generalization, and understanding; accurate and reliable through validity and reliability.
Proses deduktif, mencari sebab dan akibat, desain yang statis dalam arti kategori-kategori sudah dipisah-pisah sebelum studi diadakan; bebas konteks; generalisasi membawa pada prediksi, penjelasan dan pemahaman; keakuratan dan kehandalan melalui validitas dan reliabilitas.
2)      Asumsi-asumsi Penelitian Kualitatif
a)      Reality is subjective and multiple as seen by participants in a study.
Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek yang diteliti) dalam suatu studi.
b)     Researcher interact with that being researched.
Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti.
c)      Value-laden and biased.
Tidak bebas nilai dan bias.
d)     Informal, envolving decisions, personal voice, accepted qualitative words.
Informal, keputusan-keputusan mengalami perkembangan, menggunakan kata-kata yang personal, menggunakan kata-kata yang diterima kualitatif.
e)      Inductive process; mutual simultaneous shaping of factors; emerging design-categories identified during research process; context-bound; patterns, theories developed for understanding; accurate and reliable through verification.
Faktor-faktor dibentuk (diidentifikasi) bersamaan secara timbal balik; desain yang dinamis (berkembang selama studi) dalam arti kategori-kategori diidentifikasi selama proses penelitian), desain disusun kemudian; terkait konteks; pola-pola, teori-teori dikembangkan untuk memahami; akurasi dan kehandalan melalui verifikasi.

d.     Masalah-masalah yang cocok dengan penelitian kuantitatif dan yang cocok dengan penelitian kualitatif
Menurut Poerwandari (1998:46), gambaran mengenai masalah-masalah yang cocok untuk diteliti dengan pendekatan kuantitatif atau kualitatif adalah sebagai berikut:
1)      Bila anda lebih tertarik pada yang disebut Allport sebagai “Psikologi Diferensial,” yakni melihat elemen-elemen psikologi secara terpisah, mencari gambaran tentang hal tersebut pada manusia pada umumnya sehingga dapat membandingkan manusia satu dengan yang lain, tampaknya yang lebih sesuai digunakan adalah pendekatan kuantitatif.
2)      Bila anda tertarik untuk memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, pendekatan kualitatif adalah yang sesuai untuk digunakan. Seperti juga beberapa tokoh yang menganggap penting pendekatan kualitatif dalam psikologi, saya berpandangan bahwa psikologi, khususnya psikologi kepribadian dan psikologi klinis akan banyak menyumbangkan pengetahuan tentang manusia bila banyak bertumpu pada pendekatan kualitatif.
3)      Hal-hal yang membutuhkan pemahaman mendalam dan khusus sangat sulit diteliti dengan pendekatan kualitatif. Sulit untuk membayangkan bagaimana kita dapat secara utuh meneliti “penghayatan individu yang mengalami perceraian,” “trauma yang dialami korban kejahatan seksual,” “dinamika kekerasan terhadap perempuan,” atau “penyesuaian diri terhadap situasi menganggur” dengan pendekatan kuantitatif.
4)      Kecenderungan yang positif dan perlu terus dikembangkan saat ini adalah mulai digunakannya pendekatan kualitatif dan kuantitatif sebagai dua hal yang saling menunjang dalam penelitian-penelitian psikologi. Yang banyak dilakukan psikologi konvensional adalah menyusun skala atau kuesioner berdasarkan teori yang ada. Karena teori yang ada sering juga tidak sesuai dengan konteks populasi penelitian, tidak jarang terjadi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang merefleksikan cara berpikir peneliti, dan gagal mengungkap apa yang sesungguhnya menjadi masalah responden atau subjek penelitian. Menyadari hal tersebut, beberapa peneliti mulai menggabungkan metode-metode kualitatif dan kuantitatif.
Akan dikemukakan pendapat Prof. Dr. Fuad Hasan tentang penelitian kualitatif sebagai berikut:
“Pendekatan kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri dengan studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkah lakunya, baik individual maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali penjelmaan kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur, dan berbagai sarana pengukur lainnya, akan tetapi perlu tetap disadari bahwa apa yang dapat ditangkap secara kuantitatif itu tidak sepenuhnya representatif bagi pemahaman ikhwal manusia yang pada hakekatnya bersifat kualitatif. Bagaimana mengukur keresahan, keriangan, kebosanan, kesepian, frustrasi, euforia, rasa percaya diri, rasa malu, rasa cinta, rasa benci, rasa marah, rasa iri, dan sejumlah penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa empathy? Bukanlah segala penjelmaan manusiawi itu sesekali juga dapat menjadi penghayatan diri kita sendiri?”


2.      Studi Kasus
Setelah uraian mengenai apa itu penelitian kualitatif dan apa saja ciri-cirinya, selanjutnya akan dibahas dua jenis penelitian kualitatif yaitu studi Kasus dan grounded theory.
a.      Pengertian Studi Kasus
Menurut Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236), studi kasus tidak selalu menggunakan pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Stake, dalam membahas studi kasus, akan menekankan pendekatan kualitatif, bersifat naturalistik, berbasis pada budaya dan minat fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan pilihan metodologi, tetapi pilihan masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Terdapat contoh masalah yang dapat bersifat kuantitatif, misalnya; anak yang sakit, dokter mempelajari anak yang sakit dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan dokter lebih bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif. Contoh lain studi tentang anak yang diabaikan (neglected child) dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan pekerja sosial lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Sebagai suatu bentuk penelitian, pemilihan studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus yang bersifat individual, bukan oleh pemilihan penggunaan metode penelitian. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Some case studies are qualitative studies, some are not. In this chapter I will concentrate on case studies where qualitative inquiry dominates, with strong naturalistic, holistic, cultural, phenomenological interests. Case study is not a methodological choice, but a choice of object to be studied. We could study it in many ways. The physician studies the child because the child is ill. The child’s symptoms are both qualitative and quantitative. The physician’s record is more quantitative than qualitative. The social worker studies the child because the child is neglected. The symptoms of neglect are both qualitative and quantitative. The formal record the social worker keeps in more qualitative than quantitative. In many professional and practical fields, cases are studied and recorded. As a form of research, case study is defined by interest in individual cases, not by methods of inquiry used.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa peneliti karena memfokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada kasus tunggal. Penekanan studi kasus adalah memaksimalkan pemahaman tentang kasus yang dipelajari dan bukan untuk mendapatkan generalisasi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “The name case study is emphasized by some of us because it draws attention to the question of what specifically can be learned from the single case. That epistemological question is the driving question of this chapter: What can be learned from the single case? I will emphasize designing the study to optimize understanding of the case rather than generalization beyond.”
Lebih lanjut, Stake menjelaskan tentang identifikasi kasus bahwa kasus dapat bersifat sederhana tetapi dapat juga bersifat kompleks. Kasus dapat bersifat tunggal misalnya hanya terkait dengan seorang anak, atau banyak misalnya satu kelas, atau bersifat kompleks misalnya kaum profesional yang mempelajari anak dalam masa kanak-kanak. Waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari dapat pendek atau panjang, tergantung waktu untuk berkonsentrasi. Setelah menentukan mempelajari suatu kasus, peneliti seyogyanya terlibat secara mendalam pada kasus tersebut. Hal ini dpat dibaca penjelasan Stake sebagai berikut: “A case may be simple or complex. It may be a child or a classroom of children or a mobilization of professionals to study a childhood condition. It is one among others. In any given study, we will concentrating our inquiry on the one may be long or short, but while we so consentrate, we are engaged in case study.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa apabila ingin mempelajari suatu kasus, tidak mungkin memahami secara mendalam tanpa mengetahui tentang kasus-kasus lain. Tetapi apabila sumber daya terbatas, maka lebih baik hanya berkonsentrasi memahami kompleksitas satu kasus saja tanpa harus melakukan perbandingan antar kasus-kasus tersebut. Apabila mempelajari lebih dari satu kasus, maka sebaiknya penelitian berkonsentrasi pada kasus tunggal. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Ultimately we may be more interested in phenomenon or population of cases than in the individual case. We cannot understand this case without knowing about other cases. But while we are studying it, our meager resources are concentrated on trying to understand its complexities. For the while, we probably will not study comparison cases. We may simultaneously carry on more one case study, but each case study is concentrated inquiry into a single case.”
Stake mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) tipe studi kasus. Yang pertama disebut studi kasus intrinsik, yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari kasus yang khusus, hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluarbiasaan kasus itu sendiri menarik perhatian. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk memahami suatu konstruksi abstrak atau konstruksi fenomena umum seperti kemampuan membaca (literacy), penggunaan obat-obatan oleh remaja atau apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah. Tujuannya bukan untuk membangun teori, meskipun pada waktu lain peneliti mungkin mengerjakan hal tersebut. Studi dilakukan karena ada minat intrinsik di dalamnya, sebagai contoh anak luar biasa, klinik, konferensi atau kurikulum. Apa yang dikemukakan ini dibandingkan dengan penjelasan Stake sebagai berikut: “Different researchers have different purposes for studying cases. To keep such differences in mind, I find it useful to identify three types of study. In what we may call intrinsic case study, study is undertaken because one wants better understanding of its particular case. It is not undertaken primarily because the case represents other cases or illustrates a particular trait or problem, but because, in all its particularity and ordinariness, this case itself is of interest. The researcher temporarily subordinates other curiosities so that case may reveal its story. The purpose is not to come to understand some abstract constructs or generic phenomenon, such as literacy or teenage drug use or what a school principal does. The purpose is not theory building – though at other times the researcher may do just that. Study is undertaken because of intrinsic interest in, for example, this particular child, clinic conference or curriculum.”
Studi kasus yang kedua disebut studi kasus instrumental (instrumental case study), adalah kasus khusus yang diuji untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang suatu masalah (issue) atau untuk memperbaiki teori yang telah ada. Walaupun studi kasus ini kurang diminati, ia memainkan peran yang mendukung, memfasilitasi pemahaman terhadap sesuatu yang lain (minat eksternal). Kasusnya dilihat secara mendalam, dan konteksnya diteliti secara cermat, aktivitas-aktivitas untuk mendalami kasus tersebut dilakukan secara rinci, karena kasus ini membantu pemahaman tentang ketertarikan dari luar (minat eksternal). Dasar pemilihan mendalami kasus ini dikarenakan kasus ini diharapkan dapat memperluas pemahaman peneliti tentang minat lainnya. Hal ini disebabkan karena para peneliti bersama-sama mempunyai beberapa minat yang selalu berubah-ubah yang tidak membedakan studi kasus intrinsik dari studi kasus instrumental dan bertujuan memadukan keterpisahan di antara keduanya. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “In what we may call instrumental case study, a particular case is examined to provide insight into an issue or refinement of theory. The case of secondary interest; it plays a supportive role, facilitating our understanding of something else. The case is often looked at in depth, its contexts scrutinized, its ordinary activities detailed, but because this helps us pursue the external interest. The case may be seen as typical of other cases or not. (I will discuss the small importance of typicality later.) The choice of case is made because it is expected to advance our understanding of that other interest. Because we simultaneously have several interests, often changing, there is no line distinguishing intrinsic case study from instrumental; rather, a zone of combined purpose separates them.”
Studi kasus ketiga adalah studi kasus kolektif (collective case study), yaitu penelitian terhadap gabungan kasus-kasus dengan maksud meneliti fenomena, populasi, atau kondisi umum. Ini bukan merupakan kumpulan studi instrumental yang diperluas pada beberapa kasus. Studi kasus kolektif memerlukan kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus diketahui lebih dahulu untuk mendapatkan karakteristik umum. Kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama atau berbeda, masing-masing mempunyai kelebihan dan bervariasi. Kasus-kasus tersebut dipilih karena dipercaya bila memahami kasus-kasus tersebut akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, penyusunan teori yang lebih baik tentang kumpulan kasus-kasus yang lebih luas. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan Stake sebagai berikut: “With even less interest in one particular case, researchers may study a number of cases jointly in order to inquire into the phenomenon, population, or general condition. We might call this collective case study. It is not the study of collective but instrumental study extended to several cases. Individual cases in the collection may or may not be known in advance to manifest the common characteristic. They may be similar or dissimilar, redundancy and variety each having voice. They are chosen because it is believed that understanding them will lead to better understanding, perhaps better theoritizing, about a still larger collection of cases.”
Selanjutnya mengenai studi kekhususan, Stake menjelaskan bahwa peneliti kasus mencari tahu tentang apa yang bersifat umum dan apa yang bersifat khusus dari kasus tersebut, tetapi hasil akhir dari kasus tersebut biasanya menampilkan sesuatu yang unik. Keunikan tersebut mungkin meresap dan meluas kepada:
        Hakikat suatu kasus
        Latar belakang sejarah kasus tersebut
        Latar (setting) fisik
        Konteks-konteks lainnya, termasuk ekonomi, politik, hukum, dan estetika
        Kasus lainnya bilamana kasus tersebut berkaitan dengan kasus yang dipelajari
        Informan-informan dipilih dari orang-orang yang mengetahui kasus ini
Untuk mempelajari kekhususan suatu kasus, keseluruhan data tersebut harus dikumpulkan.
Keunikan, kekhususan dan perbedaan tidak disukai secara meluas. Studi kasus dirugikan oleh orang-orang yang kurang menghargai kekhususan. Banyak ahli ilmu pengetahuan sosial telah menulis tentang studi kasus, seolah-olah studi kasus khusus tidak sepenting studi kasus lainnya yang diarahkan guna menghasilkan generalisasi. Studi kasus dianggap merupakan tipifikasi dari kasus-kasus lainnya sebagai eksplorasi yang mengawali studi-studi yang dapat menghasilkan generalisasi, atau hanya merupakan suatu langkah awal dalam membangun teori. Jadi studi kasus kurang dihargai sebagai studi intrinsik yang bernilai kekhususan seperti biografi, studi mandiri kelembagaan, program evaluasi, praktek terapi dan banyak macam pekerjaan. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “Case researchers seek out both what is common and what is particular about the case, but the end result regularly presents something unique (Stouffer, 1941). Uniqueness is likely to be pervasive, extending to
        The nature of the case
        Its historical background
        The physical setting
        Other contexts, including economic, political, legal and aesthetic
        Other cases trough which this case is recognized
        Those informants through whom the case can be known
To study the case, many researchers will gather data on all the above.
Uniqueness, particulary, diversity is not universally loved. Case study methodology has suffered somewhat because it has sometimes been presented by people who have a lesser regard for study of the particular (Denzin, 1981; Glaser & Strauss, 1967; Herriott & Firestone, 1983; Yin, 1984). Many social scientists have written about case study as if intrinsic study of a particular case is not as important as studies to obtain generalizations pertaining to a population of cases. They have emphasized case study as typification of other cases, as exploration leading to generalization producing studies, or as an occasional early step in theory building. Thus, by these respected authorities, case study method has been little honored as in the intrinsic study of a valued particular, as its generally in biography, institutional self study, program evaluation, therapeutic practice, and many lines of work….”
Dari pandangan-pandangan Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236-238) tersebut dapat disimpulkan tentang studi kasus dan ciri-cirinya sebagai berikut: Studi kasus adalah suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Dalam buku yang penulis susun ini lebih ditekankan pendekatan kualitatif.

b.       Ciri-ciri studi kasus
Ciri-ciri studi kasus adalah sebagai berikut:
1)      Studi kasus bukan suatu metodologi penelitian, tetapi suatu bentuk studi (penelitian) tentang masalah yang khusus (particular).
2)      Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditujukan perorangan /individual) atau suatu kelompok, misalnya suatu kelas, kelompok profesional, dan lain-lain.
3)      Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau kompleks. Masalah yang sederhana misalnya anak yang mengalami penyimpangan perilaku. Masalah yang kompleks misalnya suatu periode (masa) kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, hal-hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, hal-hal yang menyebabkan skizofrenia, dll.
4)      Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tentang suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk mendapatkan verstehen bukan sekedar erklaren (deskripsi suatu fenomena).
5)      Studi kasus tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi, walaupun studi dapat dilakukan terhadap beberapa kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa kasus bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, sehingga pemahaman yang dihasilkan terhadap satu kasus yang dipelajari lebih mendalam.

6)      Terdapat 3 (tiga) macam tipe studi kasus, yaitu:
a)      Studi kasus intrinsik (intrinsic case study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus itu sendiri, atau dapat dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic interest).
b)     Studi kasus intrumental (intrumental case study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam karena hasilnya akan dipergunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini dapat dikatakan studi kasus instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
c)      Studi kasus kolektif (collective case study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam merupakan beberapa (kelompok) kasus, walaupun masing-masing kasus individual dalam kelompok itu dipelajari, dengan maksud untuk mendapatkan karakteristik umum, karena setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang bervariasi.
7)      Hal-hal umum juga dipelajari dalam studi kasus, tetapi fokusnya terarah pada hal yang khusus atau unik. Untuk mendapatkan hal-hal yang unik dari data-data sebagaimana tersebut di bawah ini, harus dikumpulkan dan dianalisis, yaitu:
a)      Hakikat (the nature) kasus
b)     Latar belakang sejarah kasus
c)      Latar (setting) fisik
d)     Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika
e)      Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang dipelajari
f)       Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui kasus ini

Untuk memperdalam wawasan pembaca, berikut ini akan dikemukakan tulisan Baedhowi (2001:94) yang mengacu pada Yin (1981) tentang perbedaan studi kasus intrinsik dengan studi kasus instrumental dan studi kasus kolektif sebagai berikut: “Intrinsic case study dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus tertentu. Jadi studi terhadap kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara intrinsik mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus, bukan alasan eksternal lainnya. Sebaliknya, instrumental case study merupakan studi terhadap kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin mengetahui tentang hakekat kasus tersebut. Kasus hanya dijadikan sebuah instrumen untuk memahami hal lain di luar kasus, misalnya dalam membuktikan sebuah teori yang sebelumnya sudah ada. Sedangkan collective case study dilakukan untuk menarik kesimpulan atau generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari kasus-kasus tersebut. Jadi, jenis studi kasus ke-tiga ini ingin membentuk sebuah teori berdasarkan persamaan dan keteraturan yang didapat dari setiap kasus yang diselidiki.”

c.       Kelebihan dan Kelemahan Studi Kasus
1)      Kelebihan Studi Kasus
a)      Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b)     Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif yang sangat ketat.
2)      Kelemahan Studi Kasus
Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas, reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang bertujuan untuk mencari generalisasi.






Daftar Pertanyaan BAB III

1.      Bagaimana pandangan Creswell tentang penelitian kualitatif ? Jelaskan !
2.      Bagaimana pandangan Denzin & Lincoln tentang penelitian kualitatif ? Jelaskan !
3.      Dari pandangan beberapa ahli, diantaranya Guba Creswell, Denzin & Lincoln, dapat disimpulkan adanya 7 (tujuh) ciri penelitian kualitatif. Sebutkan dan jelaskan masing-masing ciri tersebut !
4.      Menurut Poerwandari yang mengacu pada pandangan Patton terdapat 9 (sembilan) ciri penelitian kualitatif. Sebutkan dan jelaskan masing-masing ciri tersebut !
5.      Jelaskan masalah yang cocok dengan penelitian kuantitatif dan yang cocok dengan penelitian kualitatif menurut Poerwandari !
6.      Bagaimana pandangan Prof. Dr. Fuad Hasan tentang penelitian kualitatif ? Jelaskan !
7.      Jelaskan pengertian Studi Kasus baik menurut Denzin & Lincoln, maupun Stake !
8.      Menurut anda apa kriteria utama sehingga suatu studi (penelitian) disebut Studi Kasus?
9.      Menurut Stake terdapat 3 (tiga) tipe Studi Kasus. Sebutkan ketiga tipe Studi Kasus tersebut ? Jelaskan perbedaan Studi Kasus yang satu dengan yang lainnya !
10.  Sebutkan dan  jelaskan 7 (tujuh) macam ciri-ciri Studi Kasus ?
11.  Jelaskan kelebihan dan kelemahan Studi Kasus !

12.  Buatlah Proposal Penelitian Kualitatif dengan menerapkan prinsip-prinsip dan ciri-ciri Penelitian Kualitatif !

No comments:

Post a Comment

Entri Populer