INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI
a. Interpretive
Pada bagian ini akan
dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu
budaya (Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt
(dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) mencoba menggambarkan secara lebih luas
dan lebih mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan bahwa interpretive
merupakan ide yang berasal dari tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik,
tradisi Verstehen dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan
kritik kepada aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran
Positivis (positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf
terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat
dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai
berikut:
“Painted
in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered with ideas stemming
from the German intellectual tradition of hermeneutics and the Verstehen
tradition in sociology, the phenomenology of Alfred Schutz and critiques of
scientism and positivism of ordinary language philosophers critical of logical
emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa
secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive
digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam
sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu
pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan
alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften)
atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu
pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu pengetahuan alam
adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu
pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen)
mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan
Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Historically,
at least, interpretivists argued for the uniqueness of human inquiry. They
crafted various refutations of naturalistic interpretation of the social
sciences (roughly the view that the aims and methods of the social sciences are
identical to those of the natural sciences). They held that the mental sciences
(Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften) were
different in kind than the natural sciences (Naturwissenschaften): The goal of
the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of the
former is the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social
phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive seperti
tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis,
Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah
yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh
ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud
para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan
alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang
berpasangan. Istilah-istilah
tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang peka. Walaupun demikian
istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang harus
diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan penjelasan.
Hal tersebut dapat
dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118)
sebagai berikut:
“Constructivist,
constructivism, interpretivist and interpretivism are terms that routenely
appear in the lexicon of social science methodologists and philosophers. Yet,
their particular meaning are shaped by the intent of their user. As general
descriptors for a loosely coupled family of methodological and philosophical
persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts (Blumer,
1954). They steer the interest reader in the general direction of where
instances of particular kind of inquiry can be found. However they “merely
suggest directions along which to look” rather than provide descriptions of
what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt
tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan
dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba
dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah
dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku Paradigm Dialog karangan
Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin &
Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode
analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari
suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga
nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan
fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik
terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika
emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan penjelasan
(erklaren) maka interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan
perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena (noumenon), penulis
akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic
Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Metode
Etnografi” sebagai berikut:
“Tiga orang anggota
kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada
seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah diserang oleh segerombolan
yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya
yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang gerombolan yang
kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah ambulan datang. Para anggota
kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka
kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu
memukul wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota
polisi namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun,
meninggal dunia.”
Dari kutipan tersebut
dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama
yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan
kemudian diberi bantuan oleh polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan
sangat berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan
kebudayaannya menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung,
sehingga perlu diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan
oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama
tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan
kebudayaannya menginterpretasikan
tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan
memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang
mereka pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan
gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut
disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan
penjelasan bahwa suatu peristiwa atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara
berbeda, penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip contoh yang diberikan
oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The Interpretation of Cultures, Selected
Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir
Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang mengedipkan mata.
Perilaku mengedipkan mata dapat memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama,
anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan
matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang
mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata
dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat dimulainya suatu
persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan
mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata
dapat mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat
memahami makna tersebut seseorang harus melakukan “thick description”
(“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi.
Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut:
“Dengan percaya pada Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang
bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya
menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis
atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan
sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”
Gambar 17 : Clifford Geertz
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian
Hermeneutik serta fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften)
dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II)
bahwa interpertive, hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis
yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen)
atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan
adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa
bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa
yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara harfiah dapat
diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada
tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu
fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang
pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono,
1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum
ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam
pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani
Hermeneutik dalam
pandangan klasik akan mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles
dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa
kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan
kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang
lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan orang
lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara
langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De
Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu
Aristoteles sudah menaruh minat terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles,
tidak ada satu pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun bahasa
lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana komunikasi antara individu
dapat juga tidak berarti sejauh orang yang satu berbicara dengan yang lain
dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu ke
bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak problem. Manusia juga mempunyai
cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi
jika manusia saling mengkomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa
tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari uraian-uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun manusia mempunyai pengalaman mental
yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati, benci, rindu dan
lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan
berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama seperti
sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang lain tidak sama. Demikian
pula dalam berkomunikasi, walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama,
belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa
(penerjemahan) dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan
banyak persoalan.
Pengungkapan
pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis ke dalam
kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar untuk
mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau sebuah konsep mempunyai
nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman nuansa
tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam sebuah kata yang diucapkan atau
ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman mental ke
dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang pada umumnya, kita tidak
berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih jelas. Orang
pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau kegembiraan sebagaimana orang
biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan
corak khusus dari pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Apabila kita
berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila
dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata
yang tertulis, juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya
hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya
melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita memahami sesuatu
dan menginterpretasikan sesuatu melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi
sesuatu seni dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya seni dengan
bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan
makna yang terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah,
surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang
dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang
pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci.
Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab
Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan
interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono, 1993: 28).
c. Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis
dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi terbentuknya pengetahuan
manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan
objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan secara jelas
dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya harus ada,
keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya ada
pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain…..”.
Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985:
345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan
dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak
ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud
pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana
adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui
sebagaiman adanya.
Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan
subjek kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu
manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak,
objek tidak mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan
kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri
memiliki kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya
manusia dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia
tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan
manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia
tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal
ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal,
kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu
tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat akal budinya tidak
hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui
pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai pengetahuan yang abstrak dan
universal yang berlaku umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund
Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam
kemurniannya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil
rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa
kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang
penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu
fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa
disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan
segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena
sebagaimana adanya.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada
barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil
sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam
Delfgaauw, 1988: 105).
Usaha kembali kepada fenomena ini
memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena
sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap
hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat
menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan
diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai
hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran
tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena pada
hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada sesuatu yang bukan
merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta
penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional,
terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan analisis mengenai
intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang
fenomenolog harus sangat cermat “ menempatkan tanda kurung” kenyataan dunia
luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini
memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik
atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan
hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang
menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia
luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental,
sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan
bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan
bahwa Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada
permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada
kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya
sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau
mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain
fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks
khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang kealamiahan
dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita
(“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as
humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us
perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know
about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is
experienced by human beings within particular contexts and at particular times,
rather than in abstract statements about the nature of the world in general.
Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness
as we engage with the world around us”).
Menurut
prespektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa
dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh
objek dan subjek harus hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya
seperti sesuatu ini atau itu membentuk realitasnya pada saat manapun.
Penampilan suatu objek sebagai fenomena konseptual bervariasi menurut lokasi
dan konteks, segi pandang, dan terpenting, orientasi mental dari penerima
(misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas
membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri” dan
dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat dipisahkan (Moustakas,
1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan pada
presepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah presepsi, sebaliknya presepsi
selalu bersifat intensional, oleh karena itu merupakan unsur pengalamannya itu
sendiri. Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui
bahwa presepsi kurang lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan.
Fenomenologi mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat membantu memfokuskan
diri dimana letak kemurnian fenomenologi (Husserl, 1931: 262), dan
merefleksikan apa yang kita bawa serta pada aktivitas presepsi dengan merasa,
berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan
implikasi metodologi fenomenologi (“According to a phenomenological
perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as
separate from our experience of it. This is because all objects and subjects
must present themselves to us as something, and their manifestation as this or
that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an
object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s mental
oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and purposes).
This is refered to as intentionality. Intentionality allows objects to appear
as phenomena. This means that “self and world are inseparable components of
meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added on
to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional and
therefore constitutive of experience itself. However, at the same time,
transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less
infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to
focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl,
1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception
through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the
methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).
No comments:
Post a Comment