PEMIKIRN KALAM
MU’TAZILAH
A.
Latar
Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yanmg berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri. Dan yang dimaksud adalah suatu aliran atau
golongan yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Washil bin Atho’ yang
memisahkan diri dari gurunya al-Hasan Al-Bashry karena terjadi perbedaan
pendapat diantara mereka,yang akhirnya Washil membuat aliran sendiri yang
dikenal dengan sebutan golongan Mu’tazilah.
Mu’tazilah juga berarti sebuah
aliran atau sekte yang mempunyai lima pokok keyakinan (al-ushulu al-khamsah),
meyakini dirinya merupakan kelompok
moderat diantara dua kelompok ekstrim yaitu Murji’ah yang menganggap bahwa
pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan Khawarij yang menganggap bahwa
pelaku dosa besar telah kafir.
Muncul berbagai perbedaan pendapat
dikalangan ahli sejarah mengenai awal kemunculan fahan Mu’tazilah. Perbedaan
penyebab munculnya faham Mu’tazilah erat
kaitannya dengan berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di dunia Islam pada masa munculnya aliran ini,
pendapat-pendapat tersebut diantaranya adalah:
1) Sebagian
kalangan mengatakan bahwa munculnya Mu’tazilah berasal dari lawan berfikir
mereka yaitu Ahlus sunnah wajama’ah yang berpegang dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ Ummah dalam menetapkan segala hukum syari’ah.
2) Sebagian
yang lain mengatakan bahwa Mu’tazilah muncul akibat pemisahan diri dari dunia
politik pada awal masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
3) Pendapat
lainnya dan merupakan pendapat mayoritas mengatakan bahwa munculnya Mu’tazilah
akibatperbedaan pendapat menganai pelaku dosa besar antara Imam Hasan al-Bashri
dan Washil bin Atho’ (80 H – 131 H) yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam
bin Abdul Malik Al-Umawy.
Dari
berbagai pendapat tersebut pendapat yang paling rajih adalah yang mengatakan
bahwa timbulnya golongan Mu’tazilah dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan
faham antara guru dan murid tentang masalah dosa besar, dimana Hasan Al-Bashri
yang berfaham Ahlus Sunnah Waljama’ah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tetap
mukmin, namun imannya berkurang, dan faham ini lebih dikenal dengan faham Ahlus
Sunnah Waljam’ah (sejalan dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ul Ummah).
Sedangkan Washil bin Atho mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan
tidak pula kafir yaitu diantara kedua-duanya (al-Manzilah Baina
al-Manzilataini).
Sejarah singkat munculnya golongan
Mu’tazilah imam Hasan Al-Bashri mempunyai majlis pengajian di masjid Bashrah. Pada
suatu hari seotang laki-laki masuk ke dalam masjid dan mengikuti pengajian
tersebut lalu ia bertanya kapada Hasan Al-Bashri, isi pertanyaannya ialah: ”
Wahai imam, di zaman kita ini telah timbul kelompok yang mengkafirkan para
pelaku dosa besar yaitu kalangan Wa’idiyah dan Khawarij dan juga timbul
kelompok lain yang mengatakan maksiat tidak membahayakan iman sebagaiman
ketaatan tidak bermanfaat sama sekali bila bersama kekafiran yaitu pendapat
kelompok Murji’ah, bagaimanakah sikap kita? “
Imam Hasan al-Bashri terdiam
sejenak dan kemudian beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan jelas. Kemudian
murid Hasan al-Bashri itu memotong jawaban Hasan al-Bashri dengan mengatakan: “
saya tidak mengatakan pelaku dosa besar itu mukmin secara muthlak dan tidak pula
mengkafirkan secara muthlak, namun dia berada di satu posisi diantara dua
posisi, tidak mukmin dan tidak pula kafir “
Perkataan Washil itu tidak sejalan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab pelaku dosa besar tetap berhukum mukmin
namun imannya berkurang. Seperti jawaban Hasan al-Bashri, maka Hasan al-Bashri
membantah pendapat Washil yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Washil kemudian pergi ke salah satu masjid, maka imam Hasan al-Bashri berkata:
“ ia telah mmemisahkan diri dari kita (i’tazal) “. Sejak saat itulah Washil dan
yang mengikuti fahamnya disebut dengan Mu’tazilah, artinya ialah kelompok yang
memisahkan diri dari faham yang telah dikemukakan oleh gurunya atau faham yang
lebih dikenal dengan Ahlus Sunnah Wal-jama’ah.
B.
Lima
Ajaran Dasar Theologi Mu’tazilah
Lima ajaran dasar Mu’tazilah yang
tertuang dalam al-ushul al-khamsah (pengesaan Tuhan), al-adl (keadilan Tuhan),
al-waad wa al-waid (janji dan ancaman Tuhan), al-manzilah baina al-manzilataini
(posisi di antara dua posisi), dan
al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kemunkaran).
1. At-Tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan)
merupakan prinsip utama dan intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya setiap
mahzab memegang doktrin ini, namun bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
sangat spesifik artinya tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak
ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu hanya Dialah yang qadim. Bila
ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama
(berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan Tuhan
(tanzih), Mu’tazilah menolak sikap Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran
fisik tuhan (antromorfisme tajasum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang
menyamai-Nya, Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan sebagainya. Namun,
mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya.
Menurut mereka sifat adalah suatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim,
berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat. Washil bin Atha’ seperti
dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “ siapa yang mengatakan sifat yang
qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima merupakan
perbuatan yang syirik.
Menurut Mu’tazilah apa yang disebut
sebagai sifat adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu al-Hudzail berkata: ” Tuhan
mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan sendiri, Tuhan berkuasa dengan
kekuasaan dan kekuasaan itu adalah tuhan sendiri”. Dengan demikian pengetahuan
dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan
sifat yang menempel pada dzat-Nya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
baru (diciptakan); Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan, Al-qur’an terdiri
atas rangkaian huruf, kata dan bahasa
yang satunya mendahului yang lainnya.
Doktrin Mu’tazilah lebih lanjut
menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula
sebalikny, bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhlu-Nya. Penolakan terhadap faham
antromorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki
landasan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:
“ Tak ada satupun yang menyamai-Nya.” (Q.S.
Asy-Syura: 9)
Tidak dapat di pungkiiri bahwa
Mu’tazilah terkena pengaruh filsafat Yunani. Nmaun hal ini tidak menjadikan
Mu’tazilah sebagai pengikut buta Hellenisme. Dengan di dorong oleh semangat
keagamaan yang kuat, pemikiran Helelenistik yang telah mereka pelajari
dijadikan senjata yang mematikan terhadap serangan para penentangnya, yakni
para muhadditsin Rafidah Manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan India.
Untuk menegaskan penilaiannya
terhhadap antropormofisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yanga
secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Bebrapa contok dapat dikemukakan,
misalnya kata-kata tangan (Q.S. Shad:75) diartikan kekuasaan dan pada konteks
yang lain tangan (Q.S. Al-Maidah: 64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S.
Ar-Rahmah: 27) diartikan esensi dan dzat sedangtkan al-arsy (Q.S. Thaha: 5)
diartikan kekuasaan.
Penolakan Mu’tazilah terhadap
pendapat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis
dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah immateri tidak
tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk.
Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan memiliki ruang. Andaikan
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun Dia dapat
dilihat oleh mata kepala. Oleh karena itu kata melihat ditakwilkan dengan
mengetahui (Q.S. Al-Qiyamah: 22-23)
2.
Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah Al-Adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil merupakan sifat yang paling
jelas untuk menunjukkan kesempurnaan Tuhan. Karena Tuhan Maha Sempurna, sudah
barang tentu Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar
adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini diciptakan untuk
kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik
(ash-shalah) dan terbaik (al-ashalah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula
Tuhan adil bila tidak melanggar janji-Nya.
Ajaran tentang keadilan erat
kaitannya dengan beberapa hal, sebagai berikut:
a. Perbuatan
Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah
melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan
kuasa Tuhan, baik secara langsuing atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk
mennetukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Yang disuruh tuhan tentulah baik
dan apa yang di larang Tuhan pastinya buruk.tuhan berlepas dari perbuatan yang
buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu
apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di
dunia. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan
keburukan, dan itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampunnya
sendiri tanpa paksaan.
b. Berbuat
dan Terbaik
Berbuat baik dan terbaik
(ash-shalah wal al-ashlah), maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniyana karena
akan menimbulkan kesan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi
Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang
lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Maha Sempurna.
Bahkan menurut An-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat
pberbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan dan
kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Artinya, bila tuhan
tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak bijaksana, pelit, dan kasar atau
kejam.
c. Mengutus
Rasul
Mengutus rasul kepada manusia
merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
1) Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
2) Al-Qur’am
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan utuk memberikan belas kasih kepada
manusia (Q.S. Asy-Syu’ara: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah
dengan pengutusan rasul.
3) Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak adajalan lain selainmengutus rasul.
3.
Al-Wa’ad
wa al-wa’id
Al-Wa’ad wa al-wa’id berarti janji
dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar
janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan
siska atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi
pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.
Ajaran Al-Wa’ad wa al-wa’id ini,
tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-janji-Nya, yaitu
memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak ada harapan, bagi pendurhaka,
kecuali bila ia taubat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya
masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa
kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Karena ajaran ini mendorong manusia berbuat
baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.
Al-Manzilah
Baina al-Manzilatain
Al-Manzilah baina al-manzilatain
merupakan penyebab lahirnya mazhab Mu’tazilah. Pokok ajaran ini adalah bahwa
mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir,
tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan
Mu’tazilah sebagai berikut: “ orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia
bukan mukmin dan bukan pula kafir, bukan pula munafik.
Menurut pandangan Mu’tazilah,
pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini
karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup adanya
pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan
kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia
masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya, dan masih mengerjakan pekerjaan yang
baik, hanya saja kalau meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkasn ke neraka dan
kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang
yang fasik pun dimasukkan ke dalam neraka, hanya saja siksanya lebih ringan
daripada orang kafir.
5.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf An-Nahy an Munkar
Ajaran ini menyuruh kepada
kebajikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada
kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi yang logis dari keimanan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang
dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a. Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang munkar.
b. Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c. Ia
mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf akan membawa kebaikan dan yang nahi
munkar itu akan membawa mudarat yang lebih besar.
d. Ia
mengetahui atau menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan
hartanya.
Arti asal kata al-ma’ruf adalah apa
yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan
kebenaran. Lebik spesifik lagi, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui
Allah. Sedangkan al-munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima
atau buruk. Jadi, kita diseru untuk berbuat dengan keyakinan yang
sebanr-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang
bertentangan dengan norma Tuhan.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan
mazhab lainnya mengenai ajaran ini terletak pada tatanan pelaksanaannya.
Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan yang dilakukan
dalam menyiarkan ajaran-ajarannya oleh golongan Mu’tazilah.
C.
Tokoh-Tokoh
Golongan Mu’tazilah
Diantara tokoh dari aliran
Mu’tazilah, yang berjasa mengembangkan dan melestarikan faham Mu’tazilah, adalah:
1.
Washil
Bin Atha’
Merupakan pria kelahiran tahun 80
Hijriyah di Madinah. Beliaun belajar agama kepada Syaikh Hasan Al-Bashri di
Bashrah, kemudian akhirnya memisahkan diri dari gurunya, karena memiliki
perbedaan pendapat tentang pelaku dosa besar. Diantara pendapat Washil bahwa
pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi ia berada di
anmtara dua tempat (Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain). Washil bin Atha
merupakan pendiri Mu’tazilah, dia wafat tahun 13 Hijriyah.
2.
Amru
Bin Ubaid
Amru bin Ubaid Abu Utsman
Al-Bashri, wafat tahun144 H. Dia merupakan murid dari Washil bin Atha’.
Pendapatnya yang palih fatal ialah, bahwa ia menentang semua hadits Nabi saw
yang tidak sesuai dengan akal, termasuk mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi
saw hanya lewat mimpi. Maka memperingatio malam Isra’Mi’raj Nabi saw tidak
diperbolehkan, begitu pula tidah memperingati Maulid Nabi saw, tidak percaya
bahwa akan turun Dajjal di akhir zaman, orang yang Islam yang sudah mati tidak
dapat dan tidak boleh dimintakan ampunan serta dihadiahi pahala, karena sudah
terputus semua amalnya, doa untuk orang yang sudah mati tidak smapai dan tidak
bermanfaat.
3.
Abu
Hudzail Al-Allaf
Abu Hudzail Al-Allaf, wafat pada
tahun 235 H. Ia seorang pemikir dan ahli kalam Mu’tazilah. Beliau dilahirkan
dan belajar di Bashrah kemudian pindah ke Bagdad. Diantara ajarannya yang
menyimpang dari syari’at Islam ialah:
a) Kemampuan
Allah itu fana’ (rusak) dan ketika kemampuan Allah itu fana’ maka Allah tidak
punya kemampuan apa-apa.
b) Allah
itu ‘Aliim (mengetahui) dan ilmu Allah adalah Dzat-Nya. Allah itu Qodir (Maha
Kuasa) dan Qudrat Allah adalah Dzat-Nya.
c) Seorang
Mukalaf wajib mengetahui Allah sebelum datangnya wahyu. Barang siapa tidak
sungguh dalam hal ini, maka ia akan di adzab, maksudnya bahwa akal saja sudah
cukup untuk tegaknya hujjah tanpa harus menunggu datngnya wahyu, karena wahyu
sudah lewat.
4.
Ibrahim
Bin Yasar AN-Nadham
Ibrahim Bin Yasar An-Nadham (wafat,
tahun 231 H), ia adalah murid Abu Hudzail Al-Allaf, ia juga termasuk ahli kalam
Mu’tazilah , ia dilahirkan di Bashrah dan dibesarkan di Bagdad sampai
meninggal, ia seorang penyair dan ahli dalam ilmu mantiq, diantara fahamnya
yang sesat adalah:
a) Allah
tidak mempunyai sifat Qudrat (mampu) atas perbuatan jahat dan maksiat. Artinya
seluruh perbuatan jahat dan maksiat berasal dari manusia semata, tanpa campur
tangan Allah.
b) Al-Qur’an
tidak mempunyai i’jaz (mu’jizat) dalam susunannya, juga mengingkari mu’jizat
Nabi saw, seperti terbelahnya bulan dan bertasbihnya kerikil. Ia juga
berpendapat bahwa ruqiyah (mengobati) dengan Al-Qur’an haram, karena Al-Qur’an
tidak mengandung mu’jizat apa-apa.
c) Menghujat
para sabahat Nabi saw.
5.
Abu
Utsman Al-Jahid
Abu Utsman Al-Jahid lahir dan
meninggal di Bashrah. Ia belajar di Bashrah dan Bagdad sehingga menjadi
pembesar Mu’tazilah pada saat itu. Dari pemikirnya timbullah kelompok yang
menamakan dirinya Al-Jahidiyah.
6.
Bisr
bin Mu’tamad
Bisr bin Mu’tamad (Iwafat yahun 226
H).dia merupakan ulama Mu’tazilah yang paling keras dalam meniiadakan
sifat-sifat Allah dan taqdir. Dari pemikirannya timbul kelompok yang menamakan
dirinya Al-Bisriyyah.
7.
Ma’mar
Bin Ibad Al-Silmy
Ma’mar bin Ibad Al-Silmy (wafat
tahun 320 H) ia adalah ulama Mu’tazilah yang juga paling keras meniadakan
sifat-sifat Allah dalam arti dia berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai sifat
dan bahkan Dia mengharamlkan mengkaji sifat-sifat Allah, serta tidak mengakui
Qadha’ dan Qadar Allah. Dari pemikirnnya lahirlah kelompok yang menamakan
dirinya Al-Ma’mariyyah.
8.
Tsumamah
Bin Asyras Al-Numairi
Tsumamah binb Asyras Al-Numairi
(wafat tahun 213 H), ia meyakini bahwa orang fasik kekal di dalam neraka. Ia
merupa tokoh yang menegmbangkan faham Mu’tazilah pada masa Makmun, al-Watsiq,
dan al-Mu’tashim. Menurut riwayat dilah yang membujuk Al-Makmun agar mengikuti
faham Mu’tazilah. Dari pemikirannya timbul kelompok Tsumamiyah.
No comments:
Post a Comment