A. Pengertian Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara,
berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti
meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafyal-fi'l 'an
al'abd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini,
manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat
"mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan,
terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak,
(iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu,
perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti
halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan,
"Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata
jabara yang mengandung arti terpaksa. Memang dalam aliran ini, sebagai
dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatan
nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, paham ini disebut fatalisme
atau predistination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula
oleh qada dan qadar Tuhan.
Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke
dalam dua kelompok yaitu Jabariyah ekstrim (al-khalisah) dan Jabariyah moderat
(al-Mutawassitah). Jabariyah ekstrim tidak menetapkan perbuatan kepada manusia
sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan.
Sementara Jabariyah moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.
Orang-orang yang tidak mengakui
kebebasan manusia inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan "Kaum
Jabariyah". Para penulis Mu'-tazilah memasukkan aliran Ahlal-Sunah dan
Asy'ariyah ke dalam kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para penulis dari pihak
Asy'ariyah, termasuk al-Syahrastani, menolak pengelompokan itu. Bagi al-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak
dapat disebut Jabariyah. Anehnya, al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok
al-Najjariyah dan al-Dirariyah ke dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar
maupun al-Dirar termasuk orang yang memajukan teori kasb itu.
B. Sejarah timbulnya Jabariyah
Pola pikir Jabariyah kelihatannya
sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan
lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat
melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka
lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap
pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham
Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah
qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat
Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya
secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada
orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan
telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya
berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab:
"Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid)
untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman
kepada takdir dapat meniadakan rasa takut dan
waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari
takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir
Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan
melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh
mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki
sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah,
pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan
suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham
Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk
Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang
yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat
dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode
Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham
ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang
menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari
orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari
Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn
Ashamal-Yahudi. Dengan
demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.
Sungguhpun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat
dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù (
Artinya:
Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS.
al-An'am: 112).
4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 4
Artinya:
Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah
yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
Artinya:
Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat
ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya,
mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan
umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
C. Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah
Sebagai telah dijelaskan sebelumnya,
di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn
Shafwan. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah ekstrim. Tokoh lainnya adalah
Husain dan Dirar. Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka Jabariyah
moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran
masing-masing secara lebih terinci.
1.
Ja'ad ibn Dirham
Sebagai telah disebutkan, Ja'ad adalah orang pertama
yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak
(mawla) Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang
al-Qur'an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah.
Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn Shafwan
yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang
setia.
Sewaktu di Damsyik, Ja'ad menjadi guru Marwan ibn
Muhammad, salah seorang Khalifah Bani Umayah, sehingga Marwan mendapat julukan
"al-Ja'dy". Namun, pada akhir hayatnya, Marwan tidak menyukai Ja'ad.
la bahkan menyuruh Khalid al-Qasari untuk membunuhnya. Khalid menghukum bunuh
Ja'ad pada Hari Raya led al-Adhha. Namun, kematian Ja'ad bukan semata-mata
karena pendapat-pendapatnya yang dianggap bid'ah itu, melainkan karena
persoalan politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-Amawi.
Pendapat yang dimajukan Ja'ad meliputi masalah kalam
Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah takdir. Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalah
makhluk, la merupakan orang pertama yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la
juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat
diberikan sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat
kalam atau lawannya (bisu). Sebab, kedua sifat ini dapat disandang oleh
manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan manusia, Ja'ad berpendapat bahwa
segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas
perbuatan-perbuatannya. Semua pendapat ini diambil oleh Jahm ibn Shafwan. Jahm
lah yang mengembangkan lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
2.
Jahm ibn Shafwan
Sebagai Ja'ad, Jahm termasuk muslim non Arab (mawali).
la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh.
Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. la
dikenal ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah terlibat perbedaan dengan
Muqatil. Muqatil termasuk orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm
tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar
Abu Hanifah berikut ini:
Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih
sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa Sementara lawannya, Muqatil,
berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia
menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Harits ibn Syuraih
di Khurasan, ia turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm
menjadi "tangan kanan" Harits dalam melakukan propaganda baik dengan
lisan maupun tulisan. Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian
dihukum bunuh oleh Salam al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada
Salam, tetapi yang terakhir ini menolaknya seraya berkata, "Demi Tuhan
sekiranya engkau ada dalam perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat
membunuhmu. Demi Tuhan, tak ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya
dari dirimu. Dengan begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik,
bukan karena ajaran yang dibawanya.
Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk
berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak
mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan
tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya. Pandangan ini termasuk dalam pola
pikir Jabariyah ekstrim. Selain masalah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga
memajukan pendapat-pendapatnya dalam masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan,
surga dan neraka, dan masalah melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm, iman adalah mengetahui Allah dan
Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan
lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota badan bukan bagian
dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pandangan
Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah (ma'rifah), lalu ingkar dengan
lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Iman tidak berkurang dan
bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang
beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat. Sebagai mana Ja'ad, Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat
disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, hal ini dapat menimbulkan
keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). la meniadakan sifat hayat dan ilmu
Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta.
Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm karena menurut pendapatnya, tidak
ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Selain sifat-sifat di atas,
Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan adalah Pemberi wujud
(al-mujid), Memberi hidup (al-muhyi), dan Mematikan (al-mumit). Konsisten
dengan pendapatnya tentang nafy al-shifat, Jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat
al-Qur'an yang memberi pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada
penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk (tanzih).
Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak
kekal. Bagi Jahm tidak ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam
al-Qur'an tidak berarti kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama
sekali (thul al-muks). Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka
tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena
tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan ayat:
Artinya:
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki. (QS. Hud: 107).
Menuruf Jahm, kekekalan yang tersebut dalam ayat ini
mengandung persyaratan dan pengecualian. Kekal dan keabadian yang sesungguhnya
tidak boleh ada persyaratan dan pengecualian di dalamnya.
Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep
iman serupa dengan paham Murji'ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran
Jabariah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan
Murji'ah. Dalam masalah nafy al-sifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Mu'tazilah. Atau
lebih tepatnya pendapat Mu'tazilah sama dengan pendapat Jahm. Karena itu, tidak
heran bila golongan Mu'tazilah terkadang mendapat julukan "Jahmiyah"
(pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal pernah
menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi yang mereka maksud
dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Mu'tazilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari
sendiri dalam buku Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, mengkritik Mu'tazilah
dengan nama al-Jah-miyah. Namun, kaum Mu'tazilah sendiri tidak menerirna
sebutan itu. Bisyr ibn Muktamir, salah seorang pemuka Mu'tazilah menolak keras
penamaan itu.
Jahm sendiri dengan berbagai pendapatnya menyandang
serangan dari berbagai pihak. Kaum Mu'tazilah mengafirkan Jahm karena ia
meniadakan kemampuan (daya) manusia. Sedang Ahl al-Sunah, mengafirkan Jahm
karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur'an makhluk, dan
menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Sungguhpun demikian, sepeninggal Jahm, para
pengikutnya tetap bertahan hingga abad ke11. Didaerah Tirmidz dan sekitarnya.Selanjutnya mereka menganut paham
Asy'ariyah.
3.
Husain al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang tokoh
Jabariah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan
"Al-Najjariyah". Menurut Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui
karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan
madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa
atau dipaksa. Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak
efektif.. Inilah yang dinamakan kasb dalam teori al-Asy'ari. Dari sini
terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti wayang yang
geraknya bergantung pada gerak dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah ru'yah, Husain berpendapat bahwa Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi,Tuhan dapat saja memindahkan
potensi hati (ma'rifah) pada mata sehingga dengannya manusia dapat melihat
Tuhan.
4.
Dirar ibn 'Amr
Dirar juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat.
Sebagai Husain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam pandangan Dirar satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan
dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan
adalah Pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga
pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan
sebelum dan bersamaan dengan perbuatan.
Berbeda dengan Husain, Dirar berpendapat bahwa Tuhan
dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala seperti dalam paham
Asy'ariyah, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai "indera
keenam" (al-Hassah al-Sadisah). la juga berpendapat bahwa argumen (hujjah)
yang dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah konsensus (al-ijm'). Hadis ahad
(tidak mufawatir) tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum
agama.
No comments:
Post a Comment