1.
TASAWUF
AKHLAKI
Pada prinsipnya,
tasawuf adalah ilmu tentang moral islam, setidaknya sampai dengan abad keempat
hijriah. Pada periode ini, aspek moral tasawuf berkaitan erat dengan pembahasan
tentang jiwa, klasifikasinya, kelemahan-kelemahannya, penyakit-penyakit jiwa dan
sekaligus mencari jalan keluarnya atau pengobatnya. Dengan kata lain, pada
mulanya tasawuf ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan
analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang sempurna.
Haris al-Muhasibi (w.243 H) adalah
seorang sufi yang populer dalam pembahasan tassawuf akhlaki melalui konvergensi
antara syariat dan hakikat. Dia adalah seoraang yang handal hal analisis
kehidupan rohaniah sebagaimana diuraikan dalam bukunya al-Ri’ayah li Huquq
al-Insan. Al-Muhasibi menegaskan bahwa segala sesuatu mempuyai substansi,
substansi manusia adalah akal budi yang disertai moralitas dan dan substansi
akal budi adalah kesabaran. Sufi lain yang yang banyak menaruh minat terhadap
moralitas dan masa kejiwaan pada masa itu adalah al-Sirri al-Saqathi (w.257 H)
dengan pendapatnya yang populer, bahwa kekuatan yang paling tangguh adalah
kemampuan mengendalikan diri. Seseorang yang tidak bisa mengendalikan dirinya,
niscaya ia tidak akan sanggup mengendalikan orang lain. Kharraz (w.277 H)
barangkali adalah yang pertama menulis konsep-konsep dasar tentang sifat-sifat
terpuji yang kemudian menjadi rujukan bagi setiap sufi-sufi berikutnya. Secara
rinci ia menulis jenjang-jenjang keikhlasan, kesabaran, rasa malu, kerendahan
hati, zuhud, dan sifat-sifat terpuji yang lainnya yang khas sufisme.
Kaum sufi memandang ajaran islam
dari dua aspek, aspek lahiriah seremonial, dan aspek batiniyah spiritual atau
aspek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek dalam adalah yang
paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriahnya yang dimotivasi untuk
membersihkan jiwa. Menurut para sufi satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan
seseorang kehadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Sebab menurut mereka,
jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari cahaya ilahi yang suci dan
sempurna, agar dapat dihadirat Allah, manusia harus terlebih dahulu
mengidentifikasikan keberadaan dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
penyucian jiwa raganya sehingga tercipta pribadi yang berakhlak mulia. Sejalan
dengan tujuan sufi, mereka berkeyakinan bahwa kebahagian yang paripurna dan
abadi adalah bersifat spiritual, berangkat dari paham ini atau falsafah hidup
ini, maka dalam menilai baik buruknya sikap mental seseorang didasarkan kepada
pandangannya terhadap kehidupan duniawi, bahwa kenikmatan hidup duniawi
bukanlah tujuan, akan tetapi dunia hanya sekedar jembatan. Menurut pendapat
ini, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kesenangan duniawi adalah
sumber utama dari kerusakan moral.
Menurut al-Ghazali, falsafah hidup
yang ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia hanya akan
membawa manusia kejurang kehancuran moral. Untuk merehabilitir sikap mental
sikap mental yang tidak baik menurut orang sufi tidak akan berhasil baik apabila
terapinya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah, sebabnya pada tahap-tahap
awal kehidupan tassaawuf seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang berat, tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, untuk
menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah dan atau apabila mungkin mematikan
hawa nafsu itu sama sekali. Adapun sistem pembinaan akhlak yang mereka susun,
yaitu sebagai berikut:
a.
Takhali
Takhali adalah langkah pertama yang
harus ditempuh dalam mengosongkan diri dari sikap ketergnatungan terhadap
kelezatan dunia, hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan
berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsunya. (h. 96-102)
b.
Tahalli
Kata ini mengandung pengertian
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta
perbuatan yang baik. Dengan demikian, tahap tahalli ini merupakan tahap
pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi, sebab apabila satu kebiasaan telah
dilepaskan tetapi tidak segera ada penggantinya maka kekosongan akan
menimbulkan frustasi.
c.
Tajalli
Kata Tajalli berarti terungkapnya
nur ghaib bagi hati. Para sufi sependapat bahwa untuk mencapai tingkat
kesempurnaan keesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada
Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.
Untuk memperhalus dan memperdalam
rasa ketuhanan dalam jiwa seseorang, ada beberapa cara yang diajarkan oleh para
sufi, yaitu:
Ø Munajat
Secara sederhana kata ini mengandung arti melaporkan diri kehdirat
Allah atas segala aktivitas yang dilakukan. Munajat biasanya dilkukan dalam
suasana skeheningan malam seusai salat tahajjud agar seluruh ekspresinya
tertuju bulat kehadirat ilahi,
Ø Zikrul Maut
Adalah suatu realita bagaimana usaha manusia untuk dapat hidup abadi agar tidak mati, nmaun kematian
tidak dapat dielkkan. Oleh karena itu, ingat kepada kematian kapan dan dimana
saja adalah suatu hal yang penting, orang sufi berkeyakinan, bahwa ingat akan
mati secara berkelanjutan termasuk rangkaian rohani yang perlu dibina sebab
dengan mengingat mati akan menimbulakan rangsangan untuk mempersiapkan diri
dengan maksimal. Zikir, menurut penafsiran al-Kalabazi, adalah ingatan yang
terus-menerus kepada allah dan menyebut namanya dengan lisan, zikir berfungsi
sebagai alat kontrol bagi hati dan perbuatan agar jangan sampai menyimpang dari
garis yang sudah ditetapkan Allah. (h. 104-109)
2.
TASAWUF
AMALI
Apabila dilihat dari sudut tingkatan
amalan dan fasenya serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa
istilah yang khas dalam dunia tasawuf yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Secara
terinci kedua aspek itu dibagi menjadi empat bidang, yaitu:
1)
Syariat
Syariat
diartikan sebagai amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama islam
melalui Al-Qaur’an dan Sunnah. Seseorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus
lebih dahulu menguasai aspek-aspek syariat dan harus terus mengamalkannya baik
yang wajib ataupun yang sunnat. Al-thusi dalam al-luma’ mengatakan syariat
adalah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan diroyah
yang berisikan amalan-amalan lahir dan batin. Apabila syariat diartikan sebagai
ilmu riwayah, maka yang dimaksud adalah ilmu teoritis tentang segala macam
hukum sebagaimana yang terurai dalam ilmu fiqh atau ilmu lahiriah, sedangkan
syariat dalam konotasi diroyah adalah makna batiniyah dari ilmu lahiriyah atau
makna hakiki dari ilmu fiqh dan disebut dengan ilmu tasawuf. Dalam perkembangan
selanjutnya, apabila disebut syariah maka mereka maksud adalah hukum formal
atau amalan lahiriyah yang berkaitan dengan jasmani manusia, sedangkan syariat
sebagai fiqh dan syariat sebagai tasawuf tidak dapat dipisahkan karena yang
pertama adalah wadahnya dan yang kedua sebagai isinya.
2)
Thariqat
Sampai
abad keempat Hijriah, kalangan sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat
serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf yang dijadikan metode
pengarahan jiwa dan moral.
3)
Hakikat
Dalam
pengertian istilah, al-Qusyairi mengatakan apabila syariat berkonotasi kepada
konsistensi seorang hamba allah maka hakikat adalah kemampuan seseorang dalam
measakan dan melihat kehadiran Allah didalam syariat itu.
4)
Ma’rifat
Dari
segi bahasa, Ma’rifat berarti pengetahuan atau pengamalan. Sedangkan secara
istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan yang langsung kepada
Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu
hakikat. Nampaknya ma’rifat lebih mengacu kepada tingkata kondisi mental,
sedangkan hakikat mengarah kepada kualitas pengetahuan atau pengamalan,
kualitas pengetahuan itu sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa
menyatu dengan yang diketahuinya. (h.109-112)
3.
JENJANG
MENUJU SUFI (AL-MAQAMAT)
Dikalangan sufi yang pertama membahas tentang masalah al-maqamat
atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan kepada allah barangkali
adalah Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H) menurutnya perhitungan dan
perbandingan terletak diantara keimanan dan kekafiran, kejujuran dan khianat,
tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya. Kemudian muncul pula tokoh
lain, yakni al-Surri al-Saqathi dan Abu Said al-Kharraz, tetapi siapapun yang
pertama menyusun maqomat tidak menjadi permasalahan, tetapi yang pasti adalah
bahwa sejak abad III H setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau
ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, baik yang
bersifat amalan lahiriah atau batiniyah, dan harus melalui tahapan-tahapan.
Penanaman jenjang-jenjang itu adalah karena sifatnya yang langgeng, artinya
seorang salik harus mapan terlebih dahulu pada satu tingkat, baru ia boleh
beralih ketingkat berikutnya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang
yang ingin menjadi sufi, yaitu:
a)
Taubat
Menurut
sufi, yang menyebabkan manusiajauh dari allah adalah karena dosa, sebab dosa
adalah sesuatu yang kotor, sedang Allah Maha Suci menyukai yang suci. Para sufi
berbeda pendapat dalam mengartikan taubat, tetapi secara garis besar dapat
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
Ø Taubat dalam mengartikan meninggalkan segala kemaksiatan dan
melakukan kebajikan secara terus-menerus
Ø Taubat ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena
takut kepada Allah
Ø Taubat adalah terus-menerus bertaubat walaupun sudah tidak pernah
lagi melakukan dosa, disebut dengan aladawam atau taubat abadi.
Namun menurut al-Mishri, taubat itu ada dua macam yaitu taubat
orang awam ( taubat dari salah dan dosa) dan taubat khawas (taubat dari
kelalaian dan kealpaan). Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan
untuk dekat kepada Allah.
b)
Al-Zuhd
Mengenai
pengertian zuhd teradapat banyak penafsiran, tetapi semuanya berkonotasi pada
mengurangi dan mengabaikan kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya, sebab
akkan menghambat untuk ingat kepada Allah, sehingga seoranga kan jauh
kepada-Nya. Pendapat yang bervariasi dalam konotasi pengertian zuhd pada
haikaktnya merupakan refleksi dari beratnya perjuangan untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Seorang calon sufi rela melepaskan segala macam kenikmatan dunia
dan menyiapkan diri untuk hidup dalam keterbatasan serba kekurangan.
c)
Al-Wara’
Pengetian
dasar dari kata wara adalah menghindari apa saja yang tidak baik, tetapi para
sufi mempunyai pengertian sendiri, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak
jelas hukumnya. Ibrahim bin Adham berpendapat, wara ialah meninggalkan segala
yang masih diragukan dan kemewahan. Menurut Qamar Kailani orang sufi membedakan
wara menjadi dua yaitu, al-wara lahiriyah yaitu tidak menggunakan anggota
tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah, dan al-wara batiniyah yaitu
tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali Allah.
d)
Al-Faqr
Istilah
al-faqr berbeda antara sufi yang satu dengan sufi yang lain, tetapi pada
umumnya befokus pada hidup yang tidak ngoyo atau memaksa diri untuk mendapatkan
sesuatu.
e)
Al-Shabr
Atinya
konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan perintah Allah, berani menghadapi
kesulitan, tabah menghadapi cobaan selamaperjuangan demi tercapainya tujuan.
Oleh karena itu al-Ghazali dalam ihya ulumuddin mengatakan sabar adalah kondisi
jiwa yang timbul karena dorongan keimanan.
f)
Al-Tawakal
Secara
umum pengertian tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada
allah setelah melakukan suatu rencana dan usaha. Menuut kaum sufi tawakal itu
tidak hanya sekedar menyerahkan diri seperti itu. Ini berarti bahwa dalam
segala hal baik sikap maupun perbuatan harus diterima dengan tulus. (h.
113-121)
g)
Al-Ma’rifah
Dalam
istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang allah
yang diperoleh melalui sanubari. Al-Mishri mengklasifikasikan ma’rifat menjadi
tiga kelas, yaitu:
Ø Ma’rifat tauhid sebagai ma’rifat orang awam dan lebih bersifat
penerimaan dan kepatuhan semata tanpa
dibarengi dengan argumentasi
Ø Ma’rifat al-burhan wa istidlal (mutakalimin dan filosof) yaitu
pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal
Ø Ma’rifat para wali taitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan
melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan.
Ø
h)
Al-muraqabah
Menurut
orang sufi mengandung pengertian adanya kesaadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi.
i)
Al-khauf
Suatu
sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. (
h. 128-133)
4.
KARAKTERISTIK
SUFI (AL-AHWAL)
Menurut sufi, al-Hal dalam bahasa ingris disebut state yaitu
situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil
dari usahanya. Menurut al-Qusyairi, al hal selalu bergerak niak setahap demi
setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani.
a.
Al-Raja’
Kata
ini berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat
Allah yang disediakan bagi orang yang saleh.
b.
Al-Syauq
Syauq
atau rindu adalah kondisi jiwa yang menyertai mahabah, yaitu rasa rindu (yearning)
yang memancar dari qalbu karena glora cinta yang murni. Pengetahuan dan
pengenalan yyang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan
gairah.
c.
Al-Uns
Uns
adalah jiwa dan seluruh ekspresi trpusat penuh kepada suatu titik sentru yaitu
Allah, tidak ada yang dirasa, di ingat, diharap kecuali kepada Allah.
d.
Al-Thumaninah
Secara
harfiyah, kata ini berarti tentang
tentram, tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkaat kebersihan jiiwa yang paling tinngi.
e.
Musyahadah
Kata
Musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi
tasawuf diartikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu.
f.
Al-Yakin
Perasaan
yang mantap yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut denngan
al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena ia sendiri
menyaksikannya dengan segenap jiwa dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya
serta dipersaksikan oleh segenap eksistensinya. (h.131-138)
KESIMPULAN
Tasawuf
akhlaki adalah ilmu tentang moral. Sistem pembinaan akhlak ada tiga yaitu:
1.
Takhali
2.
Tahali
3.
Tajali
Tasawuf amali adalah ilmu tentang perbuatan baik lahir maupun
batin. Ada 4 bidang dan kualitas yaitu, syariat, thariqat, hakikat dan
ma’rifat.
Jenjang menuju sufi (al-maqamat), ada beberapa tahapan yang harus
dilalui sufi yaitu: taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-tawakal,
al-ma’rifah, al-muraqabah dan al-khauf.
Karakteristik sufi (al-hal), ada beberapa karakteristik para sufi
yaitu: al-raja’, al-syauq, al-uns, al-thuma’ninah, musyahadah,dan al-yakin.
DAFTAR
PUSTAKA
Siregar, A.Rivay.
2002. Tassawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
No comments:
Post a Comment