Pernikahan
adalah media untuk memakmurkan bumi dengan diturunkan Nabi Adam dan Hawa
kemudian mereka disebut dengan Abu al-Basyar
(Ibu bapak manusia) sebagaimana isyarat surat al-Maidah ayat 1. Selanjutnya
pernikahan menjadi satu ketetapan hukum guna membedakan antara hewan dengan
manusia. Karena itu pernikahan masuk dalam satu prinsip dasar dalam Syariat
Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang mukallaf (orang dibebani).
Perbuatan seorang akan dipandang menjadi tindakan hukum apabila berkaitan
dengan hukum sendiri, misalnya dalam hal ini adalah pernikahan. Hal ini sesuai
denga qiadah fiqhiyah:[1]
“الاصل في الافعال التقيد باحكام الشرع
وليس الاصل فيها الاباحة ولا التحريم"
“Hukum asal
dalam perbuatan adalah terikat dengan
hukum syara’ bukan berdasarkan pada kebolehan atau keharaman”
Tegasnya bahwa perbuatan
seorang yang mukmin akan menjadi pasti memiliki status hukum berdasarkan status
hukum agama, bukan berdasarkan pada kebolehan atau ketidakbolehan perbuatan itu
dilakukan. Berdasrkarkan hal ini, maka masalah hukum penting diperhatikan,
karena ketentuan hukum yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf akan menjadi
ketetapan yang berlaku bagi dirinya. Oleh karena itu, seorang muslim memiliki
kewajiban untuk mengetahui hukum agama
terhadapa suatu perbuatan, baik berkenaan dengan ibadah, mua’malah, perkawinan,
dan sebagainya, baik menyangkut hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Berkaitan
dengan hukum Islam, pernikahan merupakan salah satu hukum yang perlu diketahui
oleh orang yang akan menikah, agar apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan berkeluarga dapat
dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan tujuan ini, pernikahan dini menjadi
permsalahan yang serius dan perlu mendapat perhatian sebuah institusi
pemerintah atau suasta, sebab diasumsikan pernikahan dini menjadi permalahan
sebuah keluarga, lalu bagaimana pandangan maqashid al-Syari’ah dalam menanggapi
pernikahan tersebut. Tulisan akan mencoba menelaah bagaimanakah pernikahan dini
dalam pandangan Islam? Bagaimana pernikahan dini dipahami dengan pendekatan
maqashid al-Syari’ah? sehingga ditemukan
hukum yang patut bagi pernikahan tersebut dalam kehidupan masyarakat.
B. Pengertian Pernikahan Dini
Ulama’
mendefinisikan pernikahan dini (al-Zuwaj al-Mubakkir) dengan pergertian suatu pernikahan
yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang
biasanya di bawah 18 tahun, baik pria atau wanita jika belum cukup umur (18
Tahun), sesuai dengan umur pemuda .[2] Tegasnya bahwa pernikahan dini merupakan
pernikahan yang dilakukan seorang perempuan dalam umur sebelum haidh
(menstruasi), artinya pernikahan tersebut dilakukan seorang pada saat belum
dianggap balig (sampai umur dewasa), sehingga pernikahan seperti ini memang
secara umum tidak bertumpu pada ketentuan tertentu, namun ia berlaku pada
kesesuaian umur seorang pada saat ia akan menikah dimana masa peralihan masa
kanak-kanak ke masa dewasa.
C. Hukum Menikah
Bila dilacak
dari sumber hukum Islam, maka ditemukan pernyataan yang jelas, bahwa pernikahan
secara umum dibolehkan (mubahun). Hal ini berdasarkan pada nash al-Qur’an yang
antara lain surat al-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut:
…فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُم …
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki.”
Dalam ayat di
atas ada perintah (al-‘Amr) yang menunjukkan adanya kewajiban menikah, namun tidak pasti (ghairu jazim)
karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al
yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung
keharusan (thalab ghair jazim) tidak wajib, akan tetapi kebolehan untuk menikah
yang dalam bahasa ulama’ ushusliyyin disebut “ibarah al-Nash” yaitu pernyataan
atas makna dasar atau makna seharusnya, [3]
karena itu ayat di atas mengandung 3 (tiga) hukum: 1). Kebolehan menikah, 2).
Batas maksimal 4 istri dan 3). Cukup satu istri jika tidak mampu berbuat
adil. Berdarakan firman di atas,
sesungguhnya menikahi anak di bawah umur memang secara implisit tidak disebutkan adanya pelarangan, tetapi
secara umum seorang laki dibolehkan menikah dan boleh berpoligami, sehingga
tidak dilihat apakah istri yang dinikahi itu sudah tua atau masih di bawah
umur. Namun, lebih dari itu hukum nikah yang bermula dari boleh dapat berubah
menjadi hukum lain, seperti wajib, sunnah, dan bahkan haram haram, tergantung
keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah serta tujuannya.
D. Analisis Maqhasihid al-Syari’ah terhadap Pernikahan
Dini
Pernikahan Dini
pada hakekatnya adalah pernikahan biasa, hanya saja dilakukan oleh mereka yang
masih muda, seperti siswa, siswa, mahasiswa atau mahasiswi dimana mereka belum
sampai umur dewasa (17 tahun). Karena itu, bila dilihat dari segi tujuan
pernikahan, yaitu membentuk pernikahan yang mandiri dan sejahtera, maka
pernikahan dini dapat dikategorikan sebagai pernikahan yang belum matang.
Karena pernikahan butuh pada beberapa kesiapan, yang antara lain: 1). Pengetahuan
yang menyangkut fiqh al-Nikah,
baik berkaitan dalam hal-hal sebelum
menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti
syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah,
thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa kewajiban
invidu (fardh a’in) hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum
perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. 2).
Materi yang menyangkut maskawin dan nafkah yang menjadi hak-hak dalam
perkawinan[4]
dan sebagaimana yang dijlelaskan oleh ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 4:
وَآَتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Demikian juga
seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah (al-hajat al-dharuriyah)
kepada istri, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat al-Thalaq ayat
6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا
بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”.
Selain dua kesiapan
atas, kesiapan yang lain adalah 3) kesiapan kesehatan yang
merupakan bagian yang penting untuk menggapai ketenangan (al-sakinah) dan
kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, khususnya bagi laki-laki,
yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten sesuai dengan tafsiran makna “الْبَاءَة”[5] dalam
hadis sebagai berikut:[6]
مَنْ
اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَن لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَصُم
Jadi, tegasnya
bahwa kemampuan memberikan nafkah batin, yaitu kemampuan melakukan hubugan
dengan istri, merupakan satu bagian terpenting dalam perkawinan.[7]
Melihat
beberapa aspek yang terkait dengan pernikahan secara umum, maka pernikahan dini
pada dasarnya adalah pernikahan biasa, namun bila dilihat dari konsekwensi yang
akan temukan oleh pasangan dini, maka pernikahan yang masih dini dapat menjadi
pernikahan premature, sebab bagaimanapun keberadaan suatu pernikahan bila belum matang kesiapan para pelakunya,
maka tentu akan mengalami berbagai hambatan yang di tengah kehidupan berumah
tangga, walaupuan pernikahan dilakukan –bila dicermati- ada beberapa faktor, antara
lain seperti:
a. Faktor
ekonomi. Dalam hal ini, tidak sedikit orang tua merasa terdesak oleh ekonomi sehingga
mereka “harus” menikahkan anaknya agar tanggung jawab beban ekonomi dapat berkurang, karena sudah beralih
kepada orang lain.
b. Faktor perjodohan. Faktor ini juga dapat
menjadi sebab terjadinya pernikahan dini, dimana perjodohan ini seolah-seolah memberikan restu kepada mereka,
karena orang tua mereka sudah merelakan anak-anak mereka untuk dinikahkan
dengan orang yang dijodohkan.
c. Faktor cinta
sejati. Faktor ini sering ditemukan dua pasangan melakukan pernikahan dini,
sebab mereka sudah tidak dapat menunggu waktu lama dan atau mereka sama-sama tidak mau kehilangan satu sama
lainnya.
d. Faktor pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan dapat dialami oleh orang
tua, anak dan masyarakat. Hal ini juga dapat memicu terjadinya pernikahan dini
semakin marak.
e.
Faktor orang tua. Kadang terjadi di tengah masyarakat, bahwa sebagian orang tua
merasa khawatir terhadap pergaulan anak
yang sedemikan rupa, dan kondisi ini menyebabkan orang tua merasa mendapat “aib” karena melakukan 'zina' saat berpacaran,
maka ada orang tua yang memilih pernikahan sebagai solusinya bagi anaknya
dengan pacar yang dicintainya.
f.
Faktor media massa dan internet. Media masa yang sudah
masuh kampong tampa melihat situasi dan kondisi menjadi suatu gerakan yang luar
biasa di tengah kehidupan masyarakat. sebab disadari atau tidak bahwa anak-anak
sudah mampu mengses informasi dan bahkan dengan mudah dapat mengakses segala
sesuatu yang berhubungan dengan seks dan semacamnya. Hal yang sedemikian rupa
itu dapat menjadikan hal yang mesti tidak mesti terlihat (tabu) dapat menjadi
hal yang "biasa" sekaligus membuat orang tertarik untuk melakukan
yang sama.
g.
Faktor hamil di luar nikah.
Akibat pergaulan yang tak terkendali banyak remaja yang melakukan hubungan
dengan lawan jenisnya dan tampa disadari bahwa itu akan menjadi beban dalam
kehidupan selanjutnya. Akhir jalan yang ditempuh adalah nikah dini.[8]
Apapun faktor
pernikahan dini, namun bisa terjadi pada bukan pernikahan dini. Tetapi yang
masalah adalah substansi pernikahan itu sendiri, sebab yang akan dilihat dalam
pandangan syari’ah adalah perbuatan itu sendiri (akad) yang mengarah pada
adanya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku pernikahan yang
diangga sah oleh syari’ah apabila telah memenuhi persyaratan formal (rukun dan
syarat).
Selanjutnya,
bila dilacak argumentasi yang memberikan peluang pelaku untuk melakukan
pernikahan dini, maka di dalam beberapa ayat ditenukan sinyal-sinyal
instimbat ayat-ayat yang menjadi
landasan “pernikahan dini”. Beberapa ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ
الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ
وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً) “
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”[9]
Kata
“لَمْ يَحِضْنَ” bisa masuk dalam 2 (dua) kelompok orang: pertama orang
yang sudah berhenti haidh karena sudah
tua (monopose) dan kedua orang tidak haidh karena masih kecil.[10]
Selanjutanya, kelompok kedua tidak mungkin akan memiliki iddah tampa ada
penikahan dan perceraian. Berdasarkan hal ini, maka pernikahan dini secara
tidak langsung dibolehkan. Apalagi bila dilihat dari contoh yang dilakukan oleh
Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:[11]
" تزوج النبي صلى الله عليه وسلم عائشة وهي
بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين"
Nabi
(shlallahu alaih wa sallam) menikahi Aisyah pada saat ia berumur 6 (enam) tahun
dan menggaulinya pada saat ia berumur 9 (sembilan) tahun.
Dari
hadis di atas, dapat ditegaskan bahwa kata “وبنى بها” -dan dalam
riwayat lain- “ودخل
بها”[12] (membina
dengannya/menggauli) menjelaskan bahwa Nabi menikahi ‘Aisyah yang masih berumur
kecil tidak digaulinya sampai ia berumur dewasa sehingga ia mampu berkeluarga,
Artinya, Nabi menunggu untuk membina keluarga dengan ‘Aisyah sampai umur dewasa
(9 tahun) sesuai dengan umur kedewasaan perempuan di Arab. Disini kebijakan
Nabi tampak dalam melihat seorang kedewasaan, sehigga dapat membina kehidupan
tangga.
Ayat
lain yang dijadikan sebagai landasan pernikahan adalah pemahaman terhadap ayat
yang membolehkan poligami, yaitu ayat berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَاب لَكُمْ مِنْ الْنِّسَاءَ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat.”[13]
Untuk
memahami ayat di atas dengan baik, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan
pernikahan dini, maka dapat diperhatikan
intrepretasi Umm al-Mukmin, A’isyah RA, sebagaiamana diriwayatkan oleh Zubair
sebagai berikut:[14]
اخبرني
عروة بن الزبير انه سأل عائشة عن قول الله وان خفتم ان لا تقسطوا في اليتامى
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع قالت يا ابن اختى هي اليتيمة تكون
في حجر وليها تشاركه في ماله فيعجبه مالها وجمالها فيريد وليها ان يتزوجها بغير ان
يقسط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره فنهوا ان ينكحوهن الا ان يقسطوا لهن ويبلغوا
بهن اعلى سنتهن من الصداق.
Diceritakan
oleh Urwah bin Zubair, ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah diatas,
maka Aisyah bekomentar: “Hai anak saudariku yang dimaksudkan oleh ayat itu anak
yatim yang berada di ampuan walinya dimana ia menggabungkan hartanya, tetapi
hartanya berkembang dan anak itu semakin cantik sehingga ia (pengampunya) tergiur dan ingin menikahiny
dengan tidak memberikan mahar dengan wajar sebagaimana mahar kepada orang
lain”. Mereka dilarang menikaihi mereka kecuali dengan “adil” dan menyampaikan
kepada mereka mahar sesuai umur mereka.
Dari
ungkapan di atas, dapat ditegaskan bahwa kata “فنهوا
ان ينكحوهن الا ان يقسطوا لهن” menunjukkan
atas kebolehan menikahi anak yang belum sampai umur dewasa, sebab tidak akan
sempurna kedewasaan kecuali sesudah sampai umurnya, namun umur kedewasaannya
itu dihitung sebelum capai umur dewasa.
Selain
dua ayat di atas, beberapa sunnah, seperti informasi pernikahan Nabi dengan
Aisyah sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Disamping itu, pandangan ulama’
sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah dengan ungkapan:[15]
أما البكر
الصغيرة فلا خلاف فيها، قال ابن المنذر: أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن نكاح
الأب ابنته البكر الصغيرة جائز إذا زوجها من كفءٍ، ويجوز له تزويجها مع كراهيتها
وامتناعها.
“Pernikahan
gadis kecil, maka tidak ada perbedaan tentang hukumnya dalam pandangan ulama.
Ibnu Munzir berkata: “Sepakat para ahli yang saya ingat bahwa seorang ayah yang
menikahkan anaknya yang masih kecil adalah boleh, apabila ia menikahkan anaknya
dengan orang sepadan, bahkan ia boleh menikahkannya sekalipun anak itu enggan
dan tidak suka”
Demikian
juga laporan al-Qurtubiy ketika menjelaskan kitab “Shahih al-Bukhariy” bahwa
bapak boleh menikahkan anak kecilnya, sekalipun ia masih dalam buaiannya, tapi seorang
laki sebagai suami boleh mempergauli anak kecil yang dijadikan istri tersebut
setelah ia berumur untuk bergaul sebagai keluarga untuk membina keluarga, sebagaimana
diungkapkan sebagai berikut:[16]
أجمع
العلماء أنه يجوز للآباء تزويج الصغار من بناتهم، وإن كُنَّ في المهد، إلا أنه لا
يجوز لأزواجهن البناء بهنَّ إلا إذا صلحن للوطء واحتملن الرجال.
Informasi
berkaitan dengan pernikahan dini banyak dilakukan oleh para sahabat-sahabat
Nabi, karenanya tidak berlaku khusus pada diri Nabi tapi juga berlaku bagi
ummat Islam secara umum. Di anatara para sahabat yang melakuan adalah sahabat
Ali, beliau menikahkan putrinya Ummi Kalsum yang belum dewasa dengan Umar bin al-Khattab.[17] Diinformasikan
dari dari beberapa sumber bahwa sahabat lain, seperti Urwah yang telah menikahkan putrinya yang masih belia, hal ini sebagaimana
yang disampaikan oleh Said bin Manshur dalam Sunannya.[18] Selanjutnya,
informasi yang disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam kitab beliau “al-Umm”, disana beliau menegaskan dengan
jelas bahwa tidak sedikit para sahabat yang menikahkan putrinya yang masih
kecil.[19] Masih
banyak informasi lain yang dapat dilacak dalam sumber-sumber terpercaya yang
dapat dijadikan landasan pernikahan dini, baik dari perbagai versi yang ada.
Selanjutnya, dapat ditegaskan bahwa argumentasi
pernikahan dini yang diambil dari beberapa sumber hukum; al-Qur’an, al-Sunnah,
al-Astar dan pandangan ulama’ dapat menjadi bahwa seorang tidak merasa ragu
untuk menikahkan anak-anak meraka di bawah umur. Karena keyakinan terhadap
agama dalam melakukan sesuatu dapat
dipastikan akan memberikan kenyamanan, bahwa yang dilakukan itu tidak
mengandung resiko (dosa) yang akan diperolehnya kelak.
Walaupun demikian, bila diperhatikan lebih jauh
dan lebih umum bahwa pernikahan itu merupakan perpaduan antara dua sifat
manusia yang memiliki karakter yang berbeda, baik itu berupa sifat, budaya,
kebiasaan, jenis, hoby, pendidikan, perinsip, dan sebagainya, maka pernikahan sesungguhnya merupakan suatu media
untuk berjuang melakukan kebaikan, keharmonisan, sakinah, mawaddah, rahmah,
dan kebahagian, karena dapat melakukan adaptasi bersama pasangan dihadapan
berbagai perbedaan yang sedemikan banyak, sehingga akan terjadi namanya
keluarga bahagia dan sejahtera. Memperhatikan berbagai kondisi yang terjadi
dalam pernikahan, maka sesungguhnya pernikahan dini juga memiliki dampak negative dan positive.
Bila diperhatikan sisi dampak negative
pernikahan dini yang dilakukan seorang, baik diakibat oleh factor-faktor
seperti yang telah disebutkan dalam penjelasan yang telah lalu, dalam berbagai
perspektif, maka disini dapat dirincikan dampak negative dalam perspektif
tersebut, yaitu:
1. Sisi sosiologi.
Dalam kehidupan masyarakat dimana pun berada
terjadi beberapa tuntutan kehidupan, maka masa pertumbuhan anak sampai remaja
merupakan masa pembinnaan diri dalam berbagai skill yang ditekuni, baik dalam
bidang agama, seni, budaya, ekonomi, dan sebagainnya. Karena itu, masa
pembinaan dan masa remaja menjadi hilang, karena sudah memiliki tanggung jawab
yang harus dijalankan sebagai seorang
istri, baik itu melayani suami, mendidik anak, memelihara anak, dan sebagainya,
sehingga pertemuan-pertemuan dengan sebaya tidak dapat diikutinya. Lebih dari
itu, pernikahan dini dapat mengurangi keharmonisasikan kehidupan rumah tangga
atau keluarga, karena hal ini disebabkan oleh emosi dari pasangan yang masih
labil (belum bisa terkontrol), gejolak darah muda dan pola pikir yang belum
matang.[20]
2. Sisi kesehatan.
Kesehatan merupakan sisi-sisi yang sanagat penting dalam berbagai aktivitas
manusia. Kegiatan apapun namanya tidak akan
sempurna dikerjakan bila dilakukan dalam keadaan sakit. Karena itu
kesehatan sangat dibutuhkan, demikian juga yang akan terjadi pada usia-usia
dini kesiapan untuk melahirkan sangat berisiko, hamil di saat usia masih muda
sangat berbahaya untuk persalinan dan kesehatan rahim, sebab waktu untuk
melahirkan belum saatnya. Tapi apabila dipaksakan, tentuk akan beresiko bagi
ibu dan anak, sebab usia-usia pada saat itu masih banyak perlu pengetahuan
tentang kesehatan, memilhara diri, dan sebagainya. Disamping itu juga, menurut
informasi Berau Post, bahwa kepala dinas kesehatan mengatakan: Pernikahan di
usia muda sangat beresiko tinggi bagi perempuan terutama pada saat hamil dan
melahirkan. Resiko itu antara lain terjadinya kanker pada mulut rahim, karena
saluran rahim belum sempurna, sehingga berbahaya jika melahirkan”.[21]
Masih banyak informasi terkait bila dilacak dalam berbagai sumber yang dapat
diyakini sebagai data untuk menilai
negatifnya pernikahan dini pada sisi kesehatan jasmani.
3. Sisi pendidikan.
Usia belia sampai remaja merupakan usia pendidikan dan
pembinaan dalam berbagai ranah dan kajian dalam rangka menjalankan kehidupan
selanjutnya yang akan dijalankan. Dapat dibayangkan bagaimana anak kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar atau kelas
III Mts atau SMP dan sebagainya masuk sekolah dengan membawa kandungan. Tentunya,
kondisi ini akan membawa situasi yang sangat jauh dari harapan yang diharapkan
nanti pada saat umur dewasa untuk siap berkeluarga, sebab pada saat itu anak
yang sudah menikah pada saat akan memiliki tanggugjawab pendidikan bagi dirinya
dan anaknya, sehingga akan memiliki 2 (dua) beban yang harus ditanggunganya
sebagai resiko pernikahan pada saat umur yang sedemikian rupa, sehigga apa-apa
yang dicita-citakan berupa ilmu pengetahuan akan sirna, karena pendidikan untuk
mendapatkan ilmu itu berperoses, sebagaimana yang diungkapan ulama’ sebagai
berikut:[22]
والحفظ
لا يكون إلا مع شدة العناية وكثرة الدرس وطول المذاكرة ، والمذاكرة حياة العلم ،
وإذا لم يكن درس لم يكن حفظ ، وإذا لم يكن مذاكرة قلت منفعة الدرس ، ومن عول على
الكتاب وأخل بالدرس والمذاكرة ضاعت ثمرة سعيه واجتهاده في طلب العلم.
Walaupun
demikian, pernikahan dini juga memiliki dampak positif bagi para pelakunya.
Dampak positif itu antara lain adalah:
a.
Melatih berpikir dewasa
Seabagimana yang telah dijelaskan bahwa
pernikahan adalah media untuk merajut dua hal yang berbeda antara lawan jenis,
dalam berbagai sisi pembawaan dari dua pasangan baik bersifat alami (natural)
dari sendir atau hasil pengaruh pergaulan pada saat remaja. Maka karena itu,
pernikahan akan membawa atayu menarik seorang untuk berpikir untuk menjadi
dewasa dengan menghadapi dan beradaptasi dengan kondis dan situasi yang berbeda
dengan kondisi dan situasi sebelumnya, pada saat mereka masih berstatus bujang/gadis (single). Seorang yang melakukan
pernikahan dini akan melatih diri untuk menghadapi situasi yang tidak selalu seuai dengan yang diharapkan,
karena kehidupan ini tidak selalu monoton, tetapi berubah-ubah, baik pada sisi
ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial masyarakat, dan sebagainya.
Kondisi-kondisi seperti itu akan menjadi pelajaran bagi usia dini dan akan
menyamai cara berpikir orang dewasa yang menikah pada umur dewasa. Jadi, dengan
pernikahan dini akan dipaksa untuk menjadi orang dewasa dalam berpikir dalam
mengahadapi kehidupan berumah tangga, baik dalam hak dan kewajiban berumah
tangga (al-Huquq al-Zaujiah), seperti bagaimana kesiapan memelihara anak,
melayani pasangan, mengatur keuangan, merawat rumah, dan sebagainya. Semua itu
dipikirkan oleh orang-orang sudah berkeluarga, maka orang yang melaku
pernikahan pun akan mengalami yang sama, kecuali ada bantuan orang lain yang
akan mengurangi beban yang dihadapi, karena hak dan kewajiban rumah tangga itu
menjadi amanah yang diberikan Allah dalam berumah tangga, sebagaimana yang
diungkapkan ulama’ sebagai berikut:[23]
الحقوق الزوجية من أهم الأمور التي تطرح
فيما يخص أحوال الأسرة وقضاياها، إذ إن على كل من الزوجين واجبات تجاه الآخر، وله
حقوق، وهذه الحقوق والواجبات قد بينها الشارع الحكيم، وجعل المحافظة عليها من شروط
استمرار الحياة الزوجية. ويترتب
على الإتيان بهذه الحقوق صلاح الأسرة في الدنيا، مع ما أعده الله لكل من الزوجين
من الأجر في الآخرة.
b.
Melatih hidup mandiri
Keluarga merupakan kehidupan masyarakat
terkecil yang terdiri beberapa anggota keluarga. Tentu dalam membina keluarga
perlu sikap mandiri, karena anggota keluarga akan merasakan situasi dan kondisi
keluarga dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi,
pendidikan anak, hubungan dengan masyarakat setempat, dan lain sebagainya. Berbagai
kondisi dan situasi itu adalah hal yang biasa terjadi di dalam sebuah rumah
tangga dan bahkan semua rumah tangga mengalami situasi dalam rumah tangga. Hal
inilah yang akan dialami oleh pasangan suami istri yang menikah dengan
pernikahan dini, sebab mereka merupakan dari masyarakat secara umum, maka
banyak tanggung jawab yang akan diemban
sebagaimana beban dalam rumah pada umumnya, sebagaimana yang diungkapkan ulama’
sebagai berikut:[24]
ثم حقوق العباد بعضهم على بعض من الأمانات التي تجب لبعضهم على بعض
فالأبناء أمانة على الوالدين ، ومن أداء أمانة الأبناء على الوالدين اختيار
الأسماء الحسنة والتربية الحسنة وتعليمهم مبادئ الإسلام ، وإبعاد كل ما يسيء إليهم
في صحتهم الجسدية، والعقلية ، والدينية ، والخلقية . وكذلك من أداء الأمانة القيام
ببر الوالدين الواجب للأباء على الأبناء ، وخدمتهما والإحسان إليهما وطاعتهما
بالمعروف، والدعاء لهما والاستغفار لهما ، والترحم عليهما ، وصلة أرحامهما .
وإكرام أصدقائهما . ومن أداء الأمانة حفظ الحقوق
الزوجية بين الزوجين ، بحسن المعاشرة والتناصح والتعاون بينهما، وعلى الزوج
أداء حقوق الزوجة التي أوجبها الله تعالى لها عليه من النفقة والكسوة والسكن
والعلاج . وعلى الزوجة حفظ حقوق زوجها في غيبته وحضوره وحسن التبعل وحفظ أسرار
الزوج وممتلكاته ، والنصح له وطاعته في المعروف.
c.
Cepat memiliki pasangan hidup
Pasangan hidup dalam berumah tangga adalah
sesuatu yang dicari-cari, berbagai media menawarkan cara dan bahkan apa yang disebut dengan biro jodoh laris untuk
mengantarkan orang untuk menemukan pasangan yang dianggap pas sesuai dengan
suasana hati dan perasaannya. Apalagi pada jaman ini sosial media menjadi cara
cepat untuk berkenalan (al-Ta’aruf) dalam rangka menemukan pasangan yang
dinginkan. Media ini sudah banyak mengantarkan beberapa pasangan untuk membina
keluarga. Ini artinya betapa penting
pasangan hidup itu dalam menjalankan kehidupan sebuah rumah tangga bagi laki
dan perempuan. Hal itu sudah menjadi sunnah Allah dalam mengatur agar manusia
itu punya rasa saling ketertarikan satu sama lainnya.
Orang menikah pada saat di bawah umur, cepat
mendapat pasangan hidupnya dibanding orang yang mengundur waktu menikah sampai
disebut dengan dewasa.
Bertolak dari bahasan di atas, penulis dapat jelaskan bahwa
pernikahan dini merupakan yang secara jelas tidak diatur oleh Allah dalam al-Qur’an.
Namun ayat-ayat yang berkenaan pernikahan ditafsirkan ahli sehingga menjadi
rujukan untuk melegalkan pernikahan dini. Penafsiran para ulama’ terhadap
beberapa ayat al-Qur’an menjadi lapangan ijtihad, yaitu mengerahkan seluruh
kemampuan dalam mencari kepastian hukum, baik bersifat nalar atau naql yang
bersifat qathiy atau zhanniy dengan satu metode tertentu.[25]
Karena itu, orang tidak sertamerta menjastifikasi hukum pernikahan dini sebagai
sesuatu yang dilarang atau halal, namun sejauhmana nilai mashlahah yang
terkadung dalam pernikahan tersebut, sebab Nabi sendiri ketika menikahi ‘Aisyah
pada saat berumur 6 tahun, namun beliau berumah tangga dengan ‘Aisyah pada
saat berumur 9 tahun (umur dewasa) bagi
perempuan Arab. Ini berarti kesiapan seorang untuk berumah tangga sangat
ditentukan oleh kondisi seorang, dalam mensikapi pernikahan yang tidak
sementara (al-Abadi), bukan bersifat (al-Mut’ah). Pertimbangan-pertimbangan
tersebut menjadi rujukan dalam menilai pernikahan secara umum.
Sebelum lebih jauh menganalisis pernikahan dini, perlu diketahui
secara singkat tentang al-Maqashid al-Syari’ah. Kata “al- Maqāṣid al-Sharī‘ah”
merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “Maqāṣid” dan “al-Shari‘ah”.
Kata “Maqāṣid” adalah kata dasar yang disebut masydar mīmimi,
yaitu “maqāṣid” dan jama’ takthīr-nya adalah “maqāṣid” yang diambil dari kata
kerja (al-fi‘l), yaitu kata [26]قَصَدَ
يَقْصِدُ قَصْداً, seperti
kata maq‘ad (tempat duduk) yang diambil dari kata “qa‘ad-yaq‘udu-qu‘udan”. [27] Kata “al-Maqṣad” memiliki dua makna: 1). Tawassuṭ (sederhana),
sebagaimana yang ditujukkan firman Allah dalam surat Luqman (31) ayat 19, yang
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk berjalan dengan cara sederhana
(tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat). 2 adalah Istiqāmah al-Ṭarīq (penegakan
jalan yang benar), sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah dalam surat al-Naḥal
(16) ayat 9.
Kata
kedua dari kata “Maqāṣid al-Syarī‘ah”
adalah “sharī‘ah”, secara bahasa ia bermakana al-Shar‘ dan al-Shir‘ah
yang diterjemahkan dengan pengertian jalan air (maurid al-Mā’).[28]
Kata tersebut berakar dari kata “shara‘a” yang berarti jelas dan tampak.[29] Sedangkan
secara terminology ditafsirkan oleh Ibnu Ḥazm
dengan pengertian apa-apa yang dijadikan peraturan oleh Allah melalui nabi-Nya
dalam hal keagmaan.[30] Selanjuntnya “Maqāṣid al-Sharī‘ah” didefinisikan
oleh ulama’, seperti Ibnu Ashur, dengan pengertian segala makna dan hukum yang
tersirat bagi pembuat hukum dalam keadaan seluruh perundang-undangan atau
sebagian besarnya, sebagaimana dipahami dari ungkapannya yang dikutip oleh Ḥasan
sebagai berkut:[31]
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال
التشريع أو معظمها
“Beberapa makna dan hukum yang
tersirat bagi pembuat hukum dalam seluruh keadaan perundang-undangan atau
sebagian besarnya.
Definisi lain dikemukakan sebagian
ulama’ dengan pengertian bahwa Maqāṣid al-Sharī‘ah adalah tujuan dari sharī‘ah
dan rahasia yang ditetapkan Allah pada masing-masing hukum-Nya.[32]
Jadi, tegasnya bahwa yang dimaksud
dengan Maqāṣid al-Sharī‘ah adalah tujuan yang dicapai dari
penetapan suatu perundang-undangan kehidupan hamba baik berupa hubungan dengan
Allah (ibadah) maupun dengan manusia (mu’amlah) dalam rangka mendapat
kesalamatan di dunia dan akhirat kelak. Sementara dasar hukum “Maqāṣid al-Sharī‘ah” ditemukan beberapa ayat
al-Qur’an yang memberikan keabsahan Maqāṣid al-Sharī‘ah, seperti beberapa ayat berkut ini: Firman Allah dalam
surat al-Zāriyat (51) ayat 56 yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali melainkan mereka menyembah-Ku”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jin
dan manusia pada hakekatnya sebagai penyembah atau pengabdi kepada Allah.
Pengabdian itu ditunjukkan dalam bentuk hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia,
karena kedua hubungan tersebut menjadi kebaikan bagi manusia itu sendiri. Selain itu firman Allah dalam surat
al-Baqarah (2) ayat 185 yang
artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan
bagimu…” Potangan ayat di atas, menjelaskan bahwa pada hakikatnya yang menjadi
tujuan kehidupan manusia adalah bahwa Allah menghendaki kehidupan manusia tidak
berada pada kesulitan dalam menjalankan ibadah dan lainnya.
Selain
beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas, ditemukan penjelasan tujuan sharī‘ah
dalam sunnah Nabi, seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut:[33]
أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُ عَنْهُ
قَالَ: قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ،
فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-:« دَعُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ
سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مَيَسِّرِينَ
وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
“Diriwayatkan
dari Abi Hurairah bahwa ada seorang Arab Badui yang kecing di dalam masjid.
Sahabat ingin melemparkannya, Nabi
menegur tindakan itu, sambil berkata: “Biarkan dia, siramlah kecingnya
dengan setimba air, sebab kalian diutus dibangkitkan sebagai pembawa kemudahan
dan kalian tidak dibangkitkan sebagai pembawa kesulitan”. (Hadis riwayat
al-Bukhariy)
Oleh karena itu, berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan hadis,
sesungguhnya keberadaan “Maqāṣid al-Sharī‘ah” bila dianalisis dengan seksama, maka dapat ditemukan dengan keyakinan yang mendalam bahwa “Maqāṣid al-Sharī‘ah” ditopang
paling oleh tiga hal, yaitu: 1). Dalīl
Naqliy, yaitu dalil bersumber dari sumber hukum Islam; al-Qur’an dan
al-Hadis. Setelah diteliti, bahwa dalam sumber hukum tersebut dapat diakui
secara ditemukan beberapa argumentasi naqliyah,
yang menerangkan bahwa Allah dalam
menetapkan hukum bagi hamba-Nya bertujuan dalam rangka kemashalatan mereka (maṣāliḥ
al-‘Ibād), yaitu kepentingan yang bermanfaat dalam kehidupan [34]
baik kepentingan itu tertuang dalam bentuk perintah atau larangan. Demikian itu diakui oleh ulama’ seperti oleh al-‘Iz ‘Abd al-Salām, dimana ia
menyatakan bahwa perintah yang mengarah kepada menarik manfaat (jabl al-Maṣāliḥ)
atau larangan keburukan (dar’ al-Mafāsid) adalah semata-semata untuk
kepentingan hamban Allah dalam berkehidupan sosial, sesuai dengan fungsi
masing-masing sebagai hamba yang diberi beban (al-Mukallafūn) untuk
mencipatkan rasa kenyamanan, kesejahteraan, perdamaian, dan keharmonisan dalam
bermasyarakat tersebut. [35]
Selain itu alasan yang ke-2 adalah dalīl ‘aqliy, yaitu argumentasi
logika yang menunjukkan beberapa hal yang tidak masuk akal tampa ada mashlah
dalam penetapan hukum oleh al-Shāri‘ (Allah dan Rasul). Beberapa argumentasi
logika tersebut adalah adanya keyakinan yang mantap bahwa Allah Maha Kuasa,
maka tidak mungkin membiarkan sesuatu hukum tanpa ada maksud mendasar bagi
ummat. Hal yang demikian itu, karena Allah memuliakan manusia, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah dalam
al-Qur’an pada surat al-Isrā’ (17) ayat 70 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik,
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan”
Disamping itu, menurut akal yang sehat bahwa dalam cipataan Allah
pasti memiliki hikmat, baik yang ada pada alam raya sendiri atau pun penetapan
hukum. Hikmah tersebut kadang secara jelas diketahui, seperti dalam kasus
adanya hukum qiṣāṣ yang merupakan bentuk penyelematan kehidupan
masyarakat, karena dengan adanya hukum qiṣāṣ maka orang akan takut untuk membunuh orang lain.
Ulama’ membagi Maqāṣid al-Sharī‘ah dilihat dari segi maṣāliḥ yang wajib dipelihara kepada
3 (tiga) bagian:
Pertama, al-Ḍarūriyah (primer), yaitu
kepentingan pokok untuk menopang keberlanjutan kehidupan seorang atau kelompok
yang apabila salah satu dari rukun itu bila tidak ada akan menjadi pincang.[36]
Kebutuhan ini
dapat ditegakkan cara memelihara pontesi kebaikan dan mengindari
pontesnsi kerusakan. Selanjutnya menurut ulama’ bahwa kebutuhan yang termasuk
dalam kebutuhan primer adalah ada 5 (lima) kategori: a). Ḥifẓ
al-Dīn,[37]
bagian ini merupakan kebutuhan asasi seorang dalam hal
keberagamaan, yaitu hak seorang dalam memeluk agama Islam. Aktualisasi dari prinsip ḥifẓ al-Dīn
ini dilakukan dengan beberapa cara, yang
antara lain adalah pelaksanaan ajaran
agama secara nyata, seperti pelaksanaan kewajiban yang bersifat wajib ‘ain seperti shalat,
puasa, nadhar, dan sebagainya atau pun wajib kifā’i, seperti
shalat janazah. b). Ḥifẓ al-Nafs [38] adalah pemeliharaan jiwa dalam kehidupan. Prinsip
ini dilaksanakan dengan cara
pemeliharaan segala unsur yang menjamin keberlangsungan kehidupan,
seperti kahuran ada sandang, pangan dan
papan. Keberlangungan pemeliharaan jiwa ini juga dapat dilakukan
kebolehan menglanggar hal yang dilarang disebabkan oleh situasi emergence
sebagaimana yang dinyatakan Allah pada surat al-Mā’idah (5) ayat 3. 3. Hifẓ
al-‘Aql, [39]
adalah prinsif pemeliharaan akal. Akal adalah adalah karunia yang sangat
berharga, karenanya Allah memerintahkan untuk dipelihara dengan cara pencermelangan akal melalui pendidikan,
pelatihan, pengujian, dan pencegahan dari hal-hal yang dapat merusak akal
seperti larangan meminum minuman keras, seperti firman Allah dalam surat al-Ma’idah
(5) ayat 90-91, dimana dalam ayat tersebut
Allah melarang keras meminum minuman keras, karena dapat merusak akal.
4. Hifẓ al-Māl,[40] yaitu prinsip pemiliharaan
harta yang merupakan kecenderungan orang dalam kehidupannya, bahkan
kecenderungan itu sangat berlebihan[41]
sehingga orang-orangpun berlomba-lomba untuk meraihnya. Hal yang demikian itu
disebabkan karena harta merupakan salah satu penopang keberlanjutan kehidupan,
sehingga semua aktivitas keseharian, baik berupa ibadah individu atau sosial
berjalan dengan baik sesuai dengan harapan. Realisasi pemeliharaan harta Allah menganjurkan agar seorang berusaha dengan
cara yang baik dan halal, seperti
kepemilikan harta berdasarkan penetapan hukum hibah, warist, hadiah, hak
diyat dan sedaqah. Salah satu contoh ayat adalah firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat
261. 5. Ḥifẓ al-Nasal,[42]
yaitu prinsip pemeliharaan nasab dalam
hubungan kekeluargaan. Artinya percampuran nasab dapat mengakibatkan pada
kerusakan hubungan keluargaan, sehingga akan tidak diketahui nasab seorang anak
dalam keluarga. Kepastian terhadap status keluarga dalam sebuah keluarga
menjadi hal sangat penting untuk keberlangsungan sebuah ketururan, sebab
keterkaitan kepastian itu memiliki hubungan yang erat dengan hukum lain,
seperti keterkaitanya dengan hukum waris, wasiat, dan lainnya. Oleh karena itu,
Allah dalam beberapa ayat menjelaskan perkawinan sebagai bentuk pemeliharaan
keturunan, seperti dalam firman Allah pada surat al-Nisā’ (4) ayat 3. Selain dengan cara dilegalkan
pernikahan, cara lain adalah pelarangan perzinahan yang disertai dengan hukuman
bagi pelakunya, pelarangan melakukan penuduhan berzina (al-Qazf) yang disertai
dengan hukuman para pelakunya, pelarangan
adopsi, aborsi (al-Ijhāḍ),
bercampur laki dan perempuan.
Di sisi inilah pembicaraan tentang
pernikahan dini dapat dikaitkan, karena pernikahan merupakan cara untuk
memelihara keturunan, sehingga diketahui status anak yang dilahirkan oleh
seorang ibu. Dapat dibayangkan, bila seorang digauli oleh banyak “suami”, kemudian
tidak diketahui siapa yang akan menjadi ayahnya. Berdasarkan hal ini,
perzinahan sangat dilarang, karena merancaukan kehidupan masyarakat yang
berakibat hilangnya hak dan tanggungjawab dari sebuah akad pernikahan. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam,
sebab bukan merupakan tujuan syaria’ah untuk kemashlahatan kehidupan manusia.
Syari’at Islam menegaskan bahwa setiap akad memiliki konsekwensi, artinya
substansi akad itu mengandung hak dan kewajiban yang melekat bagi para pelaku
akad. Demikian juga dalam akad pernikahan ada hak dan kewajiban yang harus
dijalankan oleh para pelaku, sehingga terbentuk suatu system yang kuat dan
mengarah kepada pemenuhan hajat masing-masing pasangan, sebagai bentuk
kemashlahatan, seperti menggapai rasa nyaman, damai, senang, gembira, bahagia,
kasih sayang, sejahtera, dan sebagainya yang merupakan sifat-sifat yang baik dalam kehidupan rumah tangga. Karena
sifat-sifat inilah yang akan menegakkan kehidupan bangsa untuk selanjutnya,
sebab keluarga adalah merupakan komunitas yang pertama dan mendasar dalam
membina masyakarat selanjutnya dalam komunitas yang lebih besar. Oleh karena
itu, tidaklah salah kalau ada unggakapan bahwa “al-Ummu al-Madrasah” (ibu
adalah sekolah) sebagai berikut:[43]
الأُمُّ
مَدرَسَةٌ إِذا أَعدَدتَها ** أَعدَدتَ
شَعباً طَيِّبَ الأَعراقِ
الأُمُّ رَوضٌ
إِن تَعَهَّدَهُ الحَيا **
بِالرِيِّ أَورَقَ أَيَّما إيراقِ
الأُمُّ
أُستاذُ الأَساتِذَةِ الأُلى ** شَغَلَت
مَآثِرُهُم مَدى الآفاقِ
Bila engkau menyiapkan ibu sebagai
sekolah,
maka engkau menyiapkan pemuda sebagai
generasi terbaik.
Ibu sebagai kebun jika ia disirami
air dan hujan dengan menyerap air,
sehingga ia tumbuh dan berbunga.
Ibu adalah guru pertama yang selalu
sibuk berimprovisasi
dalam menciptakan karya sepanjang
singasana (langit)
Jadi,
keluarga merupakan komunitas kecil yang sangat berpengaruh kepada kehidupan
selanjutnya, terutama peran ibu yang akan menjadi orang pertama kali bersntuhan
dengan anak-anaknya, karena ibu menjadi pelindung bila kepanasan dan kedinginan
alam dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan istri yang akan menjadi ibu
adalah sangat dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan keluarga selanjutnya.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan dini
merupakan pernikahan premature,[44]
bila seorang memaksakan diri untuk melakukan yang belum datang saatnya
dilakukan, seperti melahirkan anak pada kondisi rahim belum mampu diberikan
beban untuk melahirkan, pikiran belia belum mampu untuk berpikir seperti orang
dewasa, kondisi fisisik belum mampu untuk melakukan kegiatan-kegiatan orang
dewasa, dan seterusnya. Kondisi-kondisi seperti ini bila dipaksakan tentu akan
mengalami sesuatu yang tidak diinginkan sehingga keluarga yang diharapakan jauh
dari mashlahah, sekalipun secara tafsiran teks keagamaan tidak ada larangan pernikahan
dini, bahkan Nabi sendiri menkahi ‘Aisyah pada umur 6 tahun dan digauli pada
saat berumur 9 tahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan peluang bagi yang
sudah mau menikah agar memperhatikan kondisinya, sehingga tercapai mashalahah
dalam keluarga, yaitu mawaddah, sakinah, sejahtera, dan damai, sehingga
tercapai hal-hal yang menjadi kebutuhan seorang dalam kehidupan, yaitu al-Dharuriyah,
al-Ḥājiyāt, al-Taḥsiniyāh (kebutuhan tersier). Realisasai taḥsiniyāh
ini dapat dilihat pada beberapa
bidang; ibadah, seperti penyempurnaan
ibadah sunah dan ibadah lain yang menjadi penyempurna, adat seperti adab yang
baik pada saat makan, minum, berpakaian
dan sebagainya, mu’amalah seperti kebagusan dalam pergaulan keseharian, yaitu
terhindar dari sifat menipu, memperdaya, pemborosan, dan sebagainya. Prinsip taḥsiniyāh ini terarah
pada dua hal, yaitu: 1). Penyempurna yang primer berupa pemeliharaan agama
dengan cara; pengharaman bid‘ah
dan hukum pelaku bid‘ah dengan cara meninggalkan bid’ah tersebut, karena
bid‘ah tersebut dapat mencedrai
pemeliharaan agama. Penegakan shalat berjama’ah sebagai dakwah Islam.
Pelaksanaan hukuman pidana, pengharaman minuman minuman keras dan
pencegahan khalawat antara laki dan perempuan, dan sebagainya. 2).
Penyempurnaan dalam prinsip al-Ḥājiyāh seperti memandang kesepadanan dalam perkawinan dalam
agama, moral dan sebagainya, adanya hak khiyar
dalam jual-beli, dan sebagainya. 3). Penyempurna dalam prinsip al-Taḥsiniyāh,
seperti mendahulukan tangan atau kaki kanan dalam mengerjakan sesuatu dan
sebagainya.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan
di atas dapat dijelaskan bahwa pernikahan diri merupakan pernikahan biasa tapi
dilakukan pada saat umur menikah belum dianggap dewasa. Dalam pandangan agama
bahwa pernikahan dini secara teks sumber hukum tidak ada pelarangan yang jelas,
baik dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun, bila dilihat tujuan dan kemashlahatan
maka pernikahan dini dapat dikatakan sebagai pernikahan yang premature bagi
orang yang tidak siap dengan segala prsiapan fisisik dan fisikis. Wallahu’alam
Daftar Pustaka
‘Ala al-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Sulaimān al-Mardawi, al-Taḥbīr Sharh al-Taḥbrīr fī ‘Usyūl
al-Fiqh, Riyāḍ: Maktabah al-Rushd, 2000.
Abd al-Salām bin Abi Qāsim, Qawā‘id al-Aḥkām fi Maṣālih
al-‘Anām, Baerut: Dār al-Ma’ārif, t.t.
Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Taisir I’lm Ushul al-Fiqh, ttp: tnp,
tt.
Abdulllah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Mughni fi Fiqh
al-Imam Ahmad bin Hambal al-Syaibaniy, Baerut: Dar al-Fikr, 1405 H.
Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik bin Bathal al-Bakriy
al-Qurtubiy, Syar Shaih al-Bukhariy, Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 2003
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baehaqiy, al-Sunan
al-Kubra Wa Fi Zailihi al-Jawhar al-Nuqa, (Hindi: Malis Dairah al-Ma’arif,
1344H.
Abu
Hilal al-Hasan bin Abdillah al-Askarit, al-Hast Ala Thalab al-Ilm wa al-Ijtihad
fi Jam’ih, Baerut: Maktab al-Islamiy, 1986.
Abū Ishāq al-Shaṭibiy, al-Muāfaqāt, t.p.: t.t, t.t
Al-Qur’an
Al-Riyahsah al-Ammah, Majallah al-Buhusth al-Islamiyah, (ttp., tnp,
tt), jilid 54, h. 228
Berau
Post, diakeses tanggal 09 Juni 2016
Hamad bin Muhammad bin Ibnrahim, Gharib al-Hadis li Khitab, Makkah:
Jami’ Umm al-Qura, 1402 H
Hisam al-Din bin Musa Afanah, Fatawa Yas’alunaka, ttp, tnp, tt.
Ḥusain bin ‘Abd al-‘Azīz ‘Ali
al-Shaekh, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi ‘ah li Fatāwa al-Shar‘iyah, (ttp:
tnp, t,t.
Ḥusain, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi‘ah li al-Fatāwā al-Shar‘iyah,
t.p.: t.t, t.t
Ibn ‘Amīr al-Hājj, al-Taqrīr
wa al-Taḥrīr fī ‘Ilm al-‘Uṣūl, Baerut: Dār al-Fikr, 1996.
Ibnu Ḥazm, al-Iḥkām fi Uṣūl al-Aḥkām, Mesir: Dār al-Hadith,
104
Imam Jamaluddīn Abd al-Raḥmān, Jihāyah al-Saul Sharh Minhaj
al-Wuṣūl, Baerut: Dār al-Kutub, 1999
Jabir bin Musa bin Abd al-Qadir, Aisar al-Tafasir Li Kalam
al-Ali al-Kabir, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam,
2003.
Kompasana com,diakses tanggal 09 Juni 2016
Majmu’ah Min al-Muallifin, Majallah Jami’ah Umm al-Qura,ttp.,
tnp., tt.
Markaz al-Fatwa, Fatawa al-Syubkah al-Islmiyah, ttp. tnp, tt.
Muhammad bin Abi Nashar, Tafsir Gharib Ma fi al-Shahihain
al-Bukhariy wa Muslim, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1995.
Muḥammad bin Futūḥ al-Ḥamidiy, al-Jam‘u bain al-Ṣaḥiḥain
al-Bukhāriy Wa Muslim, Barut: Dār
Ibn Ḥazam, 2002.
Muhammad bin Futuh al-Hamidiy, al-Jam’ al-Shahihain al-Bukhariy
wa Muslim, Bairut: Dar Ibn Hazam, 2002.
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Bairut: Dar al-Ma’rifah,
1393 H
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy al-Ju’fiy, Shahih
al-Bukhariy, Bairut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Muhammad bin Ismail al-Shan’aniy, Irsyad al-Nuqad Ila Taisir
al-Ijtihad, Kuait: al-Dar al-Salafiyah, 1405H
Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, Daur Li al-Syaikh
Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, ttp. tnp, tt.
Muḥammad
bin Muḥammad bin Abd al-Razzāq, Tāj al-‘Arus Min Jawāhir al-Qāmus, t.p:
t.t.,t.th
Muḥammad Buluz, Tarbiyah Malkah al-Ijtihād min Khilāl Bidāyah
al-Mujtahid li Ibn Rushd, t.p.: t.t,
t.t.
Sa’id ‘Abū Jaib, al-Qāmūs al-Fiqh Lagatan wa iṣṭilāha,
(Dimasyq: Dār al-Fikr, 1408 H/ـ 1988 M
Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim al-Thabariy, al-Mu’jam
al-Kabir, Mushil: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983.
Taqiy al-Din Abu al-Fath,
Ihkam al-Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam, Madinah: Mu’assah al-Risalah, 2005.
Taqiyud al-Dīn Abū al-Baqā’
Muḥammad bin Aẖmad, Sharh al-Kaukabal-Munīr, ttp: Maktabah
al-Abikan, 1997
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuh, Dimasy: Dar al-Fikir, tt.
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh,
Dimishqy: Dār al-Fikr, t.t
Wazai’r al-Auqāf wa al-Shu’ūn al-Islāmiyah, al-Mausū‘ah
al-Fiqhiyah al-Kuaitiyah, Kuait: Dār al-Salasil, 1427H.
[1]Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyah Al
Islamiyah Juz III, hal. 19 dan lihat dalam pada http://www.almeshkat.net/ vb/showthread.php?
t=38476 #gsc.tab=0 diakses pada
tanggal 5 bulan Mei 2016
[2]Hisam
al-Din bin Musa Afanah, Fatawa Yas’alunaka, ( ttp, tnp, tt), jilid 5, 164
[3]Abdullah
bin Yusuf al-Judai’, Taisir I’lm Ushul al-Fiqh, (ttp: tnp, tt), jl. III, 43
[4]Wahbah
al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillatuh, (Dimasy: Dar al-Fikir, tt), jilid 3, h.83
[5]Muhammad
bin Abi Nashar, Tafsir Gharib Ma fi al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim, (Mesir:
Maktabah al-Sunnah, 1995), 28
[6]Abu
Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baehaqiy, al-Sunan al-Kubra Wa Fi Zailihi
al-Jawhar al-Nuqa, (Hindi: Malis Dairah al-Ma’arif, 1344H), jilid VII, h.77
[7]Taqiy
al-Din Abu al-Fath, Ihkam al-Ahkam Syarh
Umdah al-Ahkam, (Madinah: Mu’assah al-Risalah, 2005), h.389
[8]http://genbagus.blogspot.com/2014/05/faktor-penyebab-pernikahan-dini.html
diakses pada tanggal 09-Juni 2016
[9]Al-Qur’an
surat al-Thalaq ayat 4
[10]Jabir
bin Musa bin Abd al-Qadir, Aisar al-Tafasir Li Kalam al-Ali al-Kabir,
(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), jilid III, h. 377
[11]
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy al-Ju’fiy, Shahih al-Bukhariy,
(Bairut: Dar Ibn Katsir, 1987), jilid V, h. 1980
[12]Sulaiman
bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim al-Thabariy, al-Mu’jam al-Kabir,
(Mushil: Maktabah al-Ulum wa Hikam, 1983), jilid 10, h. 149
[13]
Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 3
[14]Muhammad
bin Futuh al-Hamidiy, al-Jam’ al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim,
(Bairut: Dar Ibn Hazam, 2002), jilid IV, h.
38
[15]Abdulllah
bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hambal
al-Syaibaniy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1405 H), jilid VII, h. 379
[16]Abu
al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik bin Bathal al-Bakriy al-Qurtubiy, Syar
Shaih al-Bukhariy, (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 2003),
[17]Hamad
bin Muhammad bin Ibnrahim, Gharib al-Hadis li Khitab, (Makkah: Jami’ Umm
al-Qura, 1402 H), jilid II, h. 100
[18]Markaz
al-Fatwa, Fatawa al-Syubkah al-Islmiyah, (ttp. Tnp, tt), jilid IV, 4433
[19]Muhammad
bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), jilid
VII, h.155
[21]
Lihat di Berau Post, diakeses tanggal 09 Juni 2016
[22]Abu
Hilal al-Hasan bin Abdillah al-Askarit, al-Hast Ala Thalab al-Ilm wa al-Ijtihad
fi Jam’ih, (Baerut: Maktab al-Islamiy, 1986), h.67
[23] Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, Daur Li
al-Syaikh Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, (ttp. tnp, tt), h. 40
[24]Majmu’ah Min al-Muallifin, Majallah Jami’ah Umm al-Qura,
(ttp., tnp., tt.), jilid VII, h. 46
[25]Muhammad bin Ismail al-Shan’aniy, Irsyad al-Nuqad Ila Taisir
al-Ijtihad, (Kuait: al-Dar al-Salafiyah, 1405 H), h. 8
[26]Muḥammad bin Muḥammad bin Abd al-Razzāq, Tāj al-‘Arus Min
Jawāhir al-Qāmus, (t.p: t.t.,t.th), jilid, 5034
[28]Sa’id ‘Abū Jaib, al-Qāmūs al-Fiqh Lagatan wa iṣṭilāha,
(Dimasyq: Dār al-Fikr, 1408 H/ـ 1988 M), 193
[29]Wazai’r
al-Auqāf wa al-Shu’ūn al-Islāmiyah, al-Mausū‘ah al-Fiqhiyah al-Kuaitiyah,
(Kuait: Dār al-Salasil, 1427H), j, 193
[30]Ibnu
Ḥazm, al-Iḥkām fi Uṣūl al-Aḥkām, (Mesir: Dār al-Hadith, 104), jilid, 46
[31]Ḥusain,
al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi‘ah li al-Fatāwā al-Shar‘iyah, (t.p.: t.t,
t.th),19
[32]Muḥammad
Buluz, Tarbiyah Malkah al-Ijtihād min Khilāl Bidāyah al-Mujtahid li Ibn Rushd, (t.p.: t.t, t.th), 304
[33] Muḥammad
bin Futūḥ al-Ḥamidiy, al-Jam‘u bain al-Ṣaḥiḥain al-Bukhāriy Wa Muslim,
(Barut: Dār Ibn Ḥazam, 2002), jilid III,
173
[34]Imam
Jamaluddīn Abd al-Raḥmān, Jihāyah al-Saul Sharh Minhaj al-Wuṣūl,
(Baerut: Dār al-Kutub, 1999), jilid II, 147
[35]Abd al-Salām bin Abi Qāsim, Qawā‘id al-Aḥkām fi Maṣālih
al-‘Anām, (Baerut: Dār al-Ma’ārif, t.th), jilid II, 160
[36] Abū
Ishāq al-Shaṭibiy, al-Muāfaqāt, (t.p.: t.t, t.th), jilid II, 8
[37] Ḥusain
bin ‘Abd al-‘Azīz ‘Ali al-Shaekh, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi ‘ah li Fatāwa
al-Shar‘iyah, (ttp: tnp, t,th), 88
[38]Ibn
‘Amīr al-Hājj, al-Taqrīr wa al-Taḥrīr
fī ‘Ilm al-‘Uṣūl, (Baerut: Dār al-Fikr, 1996), jilid I, 191
[39]‘Ala
al-Din Abi al-Hasan ‘Ali bin Sulaimān
al-Mardawi, al-Taḥbīr Sharh al-Taḥbrīr
fī ‘Usyūl al-Fiqh, (Riyāḍ: Maktabah al-Rushd, 2000), 3381
[40]Wahbah
al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Dimishqy: Dār
al-Fikr, t.th), jilid I, 104
[42]Taqiyud
al-Dīn Abū al-Baqā’ Muḥammad bin Aẖmad, Sharh
al-Kaukabal-Munīr, (ttp: Maktabah al-Abikan, 1997), Jilid 4, 164
[43]Al-Riyahsah al-Ammah, Majallah al-Buhusth al-Islamiyah, (ttp., tnp,
tt), jilid 54, h. 228
[44]Prematur adalah suatu kondisi medis yang ditandai
dengan kelahiran bayi sebelum usia kehamilan memasuki minggu ke 37. Kehamilan
normal biasanya bertaham kurang lebih selama 40 minggu. Pada kelahiran
prematur, wanita menunjukkan gejala kontraksi yang terjadi lebih dari 8 kali
dalam satu jam, bersama-sama dengan keluarnya cairan dari vagina. Wanita
tersebut juga dapat menderita nyeri punggung bagian bawah dan diare. Meskipun
pada wanita yang melahirkan prematur biasanya tidak terjadi komplikasi, tetapi
bayi prematur memiliki resiko mengalami masalah perkembangan dan kesulitan
untuk bernafas karena singkatnya masa pertumbuhan bayi. Oleh karena itu,
bayi-bayi prematur biasanya memiliki organ-organ yang belum berkembang dengan
baik, seperti paru-paru, dan berat badan lahir yang rendah. Bayi prematur akan
diletakkan di dalam inkubator dengan pengawasan tanda-tanda vital secara ketat.
Selang intravena akan digunakan untuk mensuplai cairan dan nutrisi pada bayi.
Ketika wanita hamil memiliki resiko yang besar untuk terjadinya kelahiran
prematur, wanita tersebut dapat diberikan obat-obatan untuk merelaksasi
otot-otot polos dari dinding rahim untuk menghentikan kontraksi. http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/
kelahiran -prematur-_-9510001031227 diakses pada tanggal 17 Juni 2016
No comments:
Post a Comment