Wednesday, 23 August 2017

Pernikahan Dini Dalam Persepektif Maqashid al-Syari’ah


Pernikahan adalah media untuk memakmurkan bumi dengan diturunkan Nabi Adam dan Hawa kemudian mereka disebut  dengan Abu al-Basyar (Ibu bapak manusia) sebagaimana isyarat surat al-Maidah ayat 1. Selanjutnya pernikahan menjadi satu ketetapan hukum guna membedakan antara hewan dengan manusia. Karena itu pernikahan masuk dalam satu prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang mukallaf (orang dibebani). Perbuatan seorang akan dipandang menjadi tindakan hukum apabila berkaitan dengan hukum sendiri, misalnya dalam hal ini adalah pernikahan. Hal ini sesuai denga qiadah fiqhiyah:[1]
الاصل في الافعال التقيد باحكام الشرع وليس الاصل فيها الاباحة ولا التحريم"
“Hukum asal dalam perbuatan  adalah terikat dengan hukum syara’ bukan berdasarkan pada kebolehan atau keharaman”
Tegasnya bahwa perbuatan seorang yang mukmin akan menjadi pasti memiliki status hukum berdasarkan status hukum agama, bukan berdasarkan pada kebolehan atau ketidakbolehan perbuatan itu dilakukan. Berdasrkarkan hal ini, maka masalah hukum penting diperhatikan, karena ketentuan hukum yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf akan menjadi ketetapan yang berlaku bagi dirinya. Oleh karena itu, seorang muslim memiliki kewajiban untuk mengetahui  hukum agama terhadapa suatu perbuatan, baik berkenaan dengan ibadah, mua’malah, perkawinan, dan sebagainya, baik menyangkut hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Berkaitan dengan hukum Islam, pernikahan merupakan salah satu hukum yang perlu diketahui oleh orang yang akan menikah, agar apa yang seharusnya dilakukan  dalam kehidupan berkeluarga dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan tujuan ini, pernikahan dini menjadi permsalahan yang serius dan perlu mendapat perhatian sebuah institusi pemerintah atau suasta, sebab diasumsikan pernikahan dini menjadi permalahan sebuah keluarga, lalu bagaimana pandangan maqashid al-Syari’ah dalam menanggapi pernikahan tersebut. Tulisan akan mencoba menelaah bagaimanakah pernikahan dini dalam pandangan Islam? Bagaimana pernikahan dini dipahami dengan pendekatan maqashid al-Syari’ah?  sehingga ditemukan hukum yang patut bagi pernikahan tersebut dalam kehidupan masyarakat.
B. Pengertian Pernikahan Dini
Ulama’ mendefinisikan pernikahan dini (al-Zuwaj al-Mubakkir) dengan pergertian suatu pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang biasanya di bawah 18 tahun, baik pria atau wanita jika belum cukup umur (18 Tahun), sesuai dengan umur pemuda .[2]  Tegasnya bahwa pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan seorang perempuan dalam umur sebelum haidh (menstruasi), artinya pernikahan tersebut dilakukan seorang pada saat belum dianggap balig (sampai umur dewasa), sehingga pernikahan seperti ini memang secara umum tidak bertumpu pada ketentuan tertentu, namun ia berlaku pada kesesuaian umur seorang pada saat ia akan menikah dimana masa peralihan masa kanak-kanak ke masa dewasa.
C. Hukum Menikah
Bila dilacak dari sumber hukum Islam, maka ditemukan pernyataan yang jelas, bahwa pernikahan secara umum dibolehkan (mubahun). Hal ini berdasarkan pada nash al-Qur’an yang antara lain surat al-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً  أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم
 “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.”
Dalam ayat di atas ada perintah (al-‘Amr) yang menunjukkan adanya kewajiban  menikah, namun tidak pasti (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) tidak wajib, akan tetapi kebolehan untuk menikah yang dalam bahasa ulama’ ushusliyyin disebut “ibarah al-Nash” yaitu pernyataan atas makna dasar atau makna seharusnya, [3] karena itu ayat di atas mengandung 3 (tiga) hukum: 1). Kebolehan menikah, 2). Batas maksimal 4 istri dan 3). Cukup satu istri jika tidak mampu berbuat adil.  Berdarakan firman di atas, sesungguhnya menikahi anak di bawah umur memang secara implisit  tidak disebutkan adanya pelarangan, tetapi secara umum seorang laki dibolehkan menikah dan boleh berpoligami, sehingga tidak dilihat apakah istri yang dinikahi itu sudah tua atau masih di bawah umur. Namun, lebih dari itu hukum nikah yang bermula dari boleh dapat berubah menjadi hukum lain, seperti wajib, sunnah, dan bahkan haram haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah serta tujuannya.

D. Analisis Maqhasihid al-Syari’ah terhadap Pernikahan Dini
Pernikahan Dini pada hakekatnya adalah pernikahan biasa, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda, seperti siswa, siswa, mahasiswa atau mahasiswi dimana mereka belum sampai umur dewasa (17 tahun). Karena itu, bila dilihat dari segi tujuan pernikahan, yaitu membentuk pernikahan yang mandiri dan sejahtera, maka pernikahan dini dapat dikategorikan sebagai pernikahan yang belum matang. Karena pernikahan butuh pada beberapa kesiapan, yang antara lain: 1). Pengetahuan yang menyangkut  fiqh al-Nikah, baik berkaitan dalam  hal-hal sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa kewajiban invidu (fardh a’in) hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya. 2). Materi yang menyangkut maskawin dan nafkah yang menjadi hak-hak dalam perkawinan[4] dan sebagaimana yang dijlelaskan oleh ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 4:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Demikian juga seorang suami berkewajiban untuk memberikan nafkah (al-hajat al-dharuriyah) kepada istri, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat al-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Selain dua kesiapan atas, kesiapan yang lain adalah 3) kesiapan kesehatan yang merupakan bagian yang penting untuk menggapai ketenangan (al-sakinah) dan kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten  sesuai dengan tafsiran makna “الْبَاءَة[5] dalam hadis sebagai berikut:[6]
 مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَن لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَلْيَصُم
Jadi, tegasnya bahwa kemampuan memberikan nafkah batin, yaitu kemampuan melakukan hubugan dengan istri, merupakan satu bagian terpenting dalam perkawinan.[7]
Melihat beberapa aspek yang terkait dengan pernikahan secara umum, maka pernikahan dini pada dasarnya adalah pernikahan biasa, namun bila dilihat dari konsekwensi yang akan temukan oleh pasangan dini, maka pernikahan yang masih dini dapat menjadi pernikahan premature, sebab bagaimanapun keberadaan suatu pernikahan  bila belum matang kesiapan para pelakunya, maka tentu akan mengalami berbagai hambatan yang di tengah kehidupan berumah tangga, walaupuan pernikahan dilakukan –bila dicermati- ada beberapa faktor, antara lain seperti:
a. Faktor ekonomi. Dalam hal ini, tidak sedikit orang tua merasa terdesak oleh ekonomi sehingga mereka “harus” menikahkan anaknya agar tanggung jawab  beban ekonomi dapat berkurang, karena sudah beralih kepada orang lain.
b.  Faktor perjodohan. Faktor ini juga dapat menjadi sebab terjadinya pernikahan dini, dimana perjodohan ini  seolah-seolah memberikan restu kepada mereka, karena orang tua mereka sudah merelakan anak-anak mereka untuk dinikahkan dengan orang yang dijodohkan.
c. Faktor cinta sejati. Faktor ini sering ditemukan dua pasangan melakukan pernikahan dini, sebab mereka sudah tidak dapat menunggu waktu lama dan atau mereka  sama-sama tidak mau kehilangan satu sama lainnya.
d. Faktor pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dapat dialami oleh orang tua, anak dan masyarakat. Hal ini juga dapat memicu terjadinya pernikahan dini semakin marak.
e. Faktor orang tua. Kadang terjadi di tengah masyarakat, bahwa sebagian orang tua merasa  khawatir terhadap pergaulan anak yang sedemikan rupa, dan kondisi ini menyebabkan orang tua merasa mendapat  “aib” karena melakukan 'zina' saat berpacaran, maka ada orang tua yang memilih pernikahan sebagai solusinya bagi anaknya dengan  pacar yang dicintainya.
f. Faktor media massa dan internet. Media masa yang sudah masuh kampong tampa melihat situasi dan kondisi menjadi suatu gerakan yang luar biasa di tengah kehidupan masyarakat. sebab disadari atau tidak bahwa anak-anak sudah mampu mengses informasi dan bahkan dengan mudah dapat mengakses segala sesuatu yang berhubungan dengan seks dan semacamnya. Hal yang sedemikian rupa itu dapat menjadikan hal yang mesti tidak mesti terlihat (tabu) dapat menjadi hal yang "biasa" sekaligus membuat orang tertarik untuk melakukan yang sama.
g.  Faktor hamil di luar nikah. Akibat pergaulan yang tak terkendali banyak remaja yang melakukan hubungan dengan lawan jenisnya dan tampa disadari bahwa itu akan menjadi beban dalam kehidupan selanjutnya. Akhir jalan yang ditempuh adalah nikah dini.[8]

Apapun faktor pernikahan dini, namun bisa terjadi pada bukan pernikahan dini. Tetapi yang masalah adalah substansi pernikahan itu sendiri, sebab yang akan dilihat dalam pandangan syari’ah adalah perbuatan itu sendiri (akad) yang mengarah pada adanya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku pernikahan yang diangga sah oleh syari’ah apabila telah memenuhi persyaratan formal (rukun dan syarat).
Selanjutnya, bila dilacak argumentasi yang memberikan peluang pelaku untuk melakukan pernikahan dini, maka di dalam beberapa ayat ditenukan sinyal-sinyal instimbat  ayat-ayat yang menjadi landasan “pernikahan dini”. Beberapa ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً)
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”[9]

Kata “لَمْ يَحِضْنَ” bisa masuk dalam 2 (dua) kelompok orang: pertama orang yang  sudah berhenti haidh karena sudah tua (monopose) dan kedua orang tidak haidh karena masih kecil.[10] Selanjutanya, kelompok kedua tidak mungkin akan memiliki iddah tampa ada penikahan dan perceraian. Berdasarkan hal ini, maka pernikahan dini secara tidak langsung dibolehkan. Apalagi bila dilihat dari contoh yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:[11]
 " تزوج النبي صلى الله عليه وسلم عائشة وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين"
Nabi (shlallahu alaih wa sallam) menikahi Aisyah pada saat ia berumur 6 (enam) tahun dan menggaulinya pada saat ia berumur 9 (sembilan) tahun.

Dari hadis di atas, dapat ditegaskan bahwa kata “وبنى بها” -dan dalam riwayat lain- “ودخل بها[12] (membina dengannya/menggauli) menjelaskan bahwa Nabi menikahi ‘Aisyah yang masih berumur kecil tidak digaulinya sampai ia berumur dewasa sehingga ia mampu berkeluarga, Artinya, Nabi menunggu untuk membina keluarga dengan ‘Aisyah sampai umur dewasa (9 tahun) sesuai dengan umur kedewasaan perempuan di Arab. Disini kebijakan Nabi tampak dalam melihat seorang kedewasaan, sehigga dapat membina kehidupan tangga.
Ayat lain yang dijadikan sebagai landasan pernikahan adalah pemahaman terhadap ayat yang membolehkan poligami, yaitu ayat berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَاب لَكُمْ مِنْ الْنِّسَاءَ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.”[13]

Untuk memahami ayat di atas dengan baik, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan pernikahan dini, maka  dapat diperhatikan intrepretasi Umm al-Mukmin, A’isyah RA, sebagaiamana diriwayatkan oleh Zubair sebagai berikut:[14]
اخبرني عروة بن الزبير انه سأل عائشة عن قول الله وان خفتم ان لا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع قالت يا ابن اختى هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشاركه في ماله فيعجبه مالها وجمالها فيريد وليها ان يتزوجها بغير ان يقسط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره فنهوا ان ينكحوهن الا ان يقسطوا لهن ويبلغوا بهن اعلى سنتهن من الصداق.
Diceritakan oleh Urwah bin Zubair, ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah diatas, maka Aisyah bekomentar: “Hai anak saudariku yang dimaksudkan oleh ayat itu anak yatim yang berada di ampuan walinya dimana ia menggabungkan hartanya, tetapi hartanya berkembang dan anak itu semakin cantik sehingga ia  (pengampunya) tergiur dan ingin menikahiny dengan tidak memberikan mahar dengan wajar sebagaimana mahar kepada orang lain”. Mereka dilarang menikaihi mereka kecuali dengan “adil” dan menyampaikan kepada mereka mahar sesuai umur mereka.

Dari ungkapan di atas, dapat ditegaskan bahwa kata “فنهوا ان ينكحوهن الا ان يقسطوا لهن” menunjukkan atas kebolehan menikahi anak yang belum sampai umur dewasa, sebab tidak akan sempurna kedewasaan kecuali sesudah sampai umurnya, namun umur kedewasaannya itu dihitung sebelum capai umur dewasa.
Selain dua ayat di atas, beberapa sunnah, seperti informasi pernikahan Nabi dengan Aisyah sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Disamping itu, pandangan ulama’ sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah dengan ungkapan:[15]
 أما البكر الصغيرة فلا خلاف فيها، قال ابن المنذر: أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن نكاح الأب ابنته البكر الصغيرة جائز إذا زوجها من كفءٍ، ويجوز له تزويجها مع كراهيتها وامتناعها.
“Pernikahan gadis kecil, maka tidak ada perbedaan tentang hukumnya dalam pandangan ulama. Ibnu Munzir berkata: “Sepakat para ahli yang saya ingat bahwa seorang ayah yang menikahkan anaknya yang masih kecil adalah boleh, apabila ia menikahkan anaknya dengan orang sepadan, bahkan ia boleh menikahkannya sekalipun anak itu enggan dan tidak suka”
Demikian juga laporan al-Qurtubiy ketika menjelaskan kitab “Shahih al-Bukhariy” bahwa bapak boleh menikahkan anak kecilnya, sekalipun ia masih dalam buaiannya, tapi seorang laki sebagai suami boleh mempergauli anak kecil yang dijadikan istri tersebut setelah ia berumur untuk bergaul sebagai keluarga untuk membina keluarga, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:[16]
 أجمع العلماء أنه يجوز للآباء تزويج الصغار من بناتهم، وإن كُنَّ في المهد، إلا أنه لا يجوز لأزواجهن البناء بهنَّ إلا إذا صلحن للوطء واحتملن الرجال.
Informasi berkaitan dengan pernikahan dini banyak dilakukan oleh para sahabat-sahabat Nabi, karenanya tidak berlaku khusus pada diri Nabi tapi juga berlaku bagi ummat Islam secara umum. Di anatara para sahabat yang melakuan adalah sahabat Ali, beliau menikahkan putrinya Ummi Kalsum yang belum dewasa dengan Umar  bin al-Khattab.[17] Diinformasikan dari dari beberapa sumber bahwa sahabat lain, seperti Urwah yang telah  menikahkan  putrinya yang masih belia, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Said bin Manshur dalam Sunannya.[18] Selanjutnya, informasi yang disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam kitab beliau  “al-Umm”, disana beliau menegaskan dengan jelas bahwa tidak sedikit para sahabat yang menikahkan putrinya yang masih kecil.[19] Masih banyak informasi lain yang dapat dilacak dalam sumber-sumber terpercaya yang dapat dijadikan landasan pernikahan dini, baik dari perbagai versi yang ada.
Selanjutnya, dapat ditegaskan bahwa argumentasi pernikahan dini yang diambil dari beberapa sumber hukum; al-Qur’an, al-Sunnah, al-Astar dan pandangan ulama’ dapat menjadi bahwa seorang tidak merasa ragu untuk menikahkan anak-anak meraka di bawah umur. Karena keyakinan terhadap agama  dalam melakukan sesuatu dapat dipastikan akan memberikan kenyamanan, bahwa yang dilakukan itu tidak mengandung resiko (dosa) yang akan diperolehnya kelak.  
Walaupun demikian, bila diperhatikan lebih jauh dan lebih umum bahwa pernikahan itu merupakan perpaduan antara dua sifat manusia yang memiliki karakter yang berbeda, baik itu berupa sifat, budaya, kebiasaan, jenis, hoby, pendidikan, perinsip, dan sebagainya, maka  pernikahan sesungguhnya merupakan suatu media untuk berjuang melakukan kebaikan, keharmonisan, sakinah, mawaddah, rahmah, dan kebahagian, karena dapat melakukan adaptasi bersama pasangan dihadapan berbagai perbedaan yang sedemikan banyak, sehingga akan terjadi namanya keluarga bahagia dan sejahtera. Memperhatikan berbagai kondisi yang terjadi dalam pernikahan, maka sesungguhnya pernikahan dini juga memiliki dampak  negative dan positive.
Bila diperhatikan sisi dampak negative pernikahan dini yang dilakukan seorang, baik diakibat oleh factor-faktor seperti yang telah disebutkan dalam penjelasan yang telah lalu, dalam berbagai perspektif, maka disini dapat dirincikan dampak negative dalam perspektif tersebut, yaitu:
1.  Sisi sosiologi.
Dalam kehidupan masyarakat dimana pun berada terjadi beberapa tuntutan kehidupan, maka masa pertumbuhan anak sampai remaja merupakan masa pembinnaan diri dalam berbagai skill yang ditekuni, baik dalam bidang agama, seni, budaya, ekonomi, dan sebagainnya. Karena itu, masa pembinaan dan masa remaja menjadi hilang, karena sudah memiliki tanggung jawab yang harus  dijalankan sebagai seorang istri, baik itu melayani suami, mendidik anak, memelihara anak, dan sebagainya, sehingga pertemuan-pertemuan dengan sebaya tidak dapat diikutinya. Lebih dari itu, pernikahan dini dapat mengurangi keharmonisasikan kehidupan rumah tangga atau keluarga, karena hal ini disebabkan oleh emosi dari pasangan yang masih labil (belum bisa terkontrol), gejolak darah muda dan pola pikir yang belum matang.[20]  
2. Sisi kesehatan.
Kesehatan merupakan sisi-sisi  yang sanagat penting dalam berbagai aktivitas manusia. Kegiatan apapun namanya tidak akan  sempurna dikerjakan bila dilakukan dalam keadaan sakit. Karena itu kesehatan sangat dibutuhkan, demikian juga yang akan terjadi pada usia-usia dini kesiapan untuk melahirkan sangat berisiko, hamil di saat usia masih muda sangat berbahaya untuk persalinan dan kesehatan rahim, sebab waktu untuk melahirkan belum saatnya. Tapi apabila dipaksakan, tentuk akan beresiko bagi ibu dan anak, sebab usia-usia pada saat itu masih banyak perlu pengetahuan tentang kesehatan, memilhara diri, dan sebagainya. Disamping itu juga, menurut informasi Berau Post, bahwa kepala dinas kesehatan mengatakan: Pernikahan di usia muda sangat beresiko tinggi bagi perempuan terutama pada saat hamil dan melahirkan. Resiko itu antara lain terjadinya kanker pada mulut rahim, karena saluran rahim belum sempurna, sehingga berbahaya jika melahirkan”.[21] Masih banyak informasi terkait bila dilacak dalam berbagai sumber yang dapat diyakini sebagai data untuk  menilai negatifnya pernikahan dini pada sisi kesehatan jasmani.
3. Sisi pendidikan.
Usia belia sampai  remaja merupakan usia pendidikan dan pembinaan dalam berbagai ranah dan kajian dalam rangka menjalankan kehidupan selanjutnya yang akan dijalankan. Dapat dibayangkan bagaimana  anak kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar atau kelas III Mts atau SMP dan sebagainya masuk sekolah dengan membawa kandungan. Tentunya, kondisi ini akan membawa situasi yang sangat jauh dari harapan yang diharapkan nanti pada saat umur dewasa untuk siap berkeluarga, sebab pada saat itu anak yang sudah menikah pada saat akan memiliki tanggugjawab pendidikan bagi dirinya dan anaknya, sehingga akan memiliki 2 (dua) beban yang harus ditanggunganya sebagai resiko pernikahan pada saat umur yang sedemikian rupa, sehigga apa-apa yang dicita-citakan berupa ilmu pengetahuan akan sirna, karena pendidikan untuk mendapatkan ilmu itu berperoses, sebagaimana yang diungkapan ulama’ sebagai berikut:[22]
والحفظ لا يكون إلا مع شدة العناية وكثرة الدرس وطول المذاكرة ، والمذاكرة حياة العلم ، وإذا لم يكن درس لم يكن حفظ ، وإذا لم يكن مذاكرة قلت منفعة الدرس ، ومن عول على الكتاب وأخل بالدرس والمذاكرة ضاعت ثمرة سعيه واجتهاده في طلب العلم.
Walaupun demikian, pernikahan dini juga memiliki dampak positif bagi para pelakunya. Dampak positif itu antara lain adalah:
a.       Melatih berpikir dewasa
Seabagimana yang telah dijelaskan bahwa pernikahan adalah media untuk merajut dua hal yang berbeda antara lawan jenis, dalam berbagai sisi pembawaan dari dua pasangan baik bersifat alami (natural) dari sendir atau hasil pengaruh pergaulan pada saat remaja. Maka karena itu, pernikahan akan membawa atayu menarik seorang untuk berpikir untuk menjadi dewasa dengan menghadapi dan beradaptasi dengan kondis dan situasi yang berbeda dengan kondisi dan situasi sebelumnya, pada saat mereka masih berstatus  bujang/gadis (single). Seorang yang melakukan pernikahan dini akan melatih diri untuk menghadapi situasi yang  tidak selalu seuai dengan yang diharapkan, karena kehidupan ini tidak selalu monoton, tetapi berubah-ubah, baik pada sisi ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial masyarakat, dan sebagainya. Kondisi-kondisi seperti itu akan menjadi pelajaran bagi usia dini dan akan menyamai cara berpikir orang dewasa yang menikah pada umur dewasa. Jadi, dengan pernikahan dini akan dipaksa untuk menjadi orang dewasa dalam berpikir dalam mengahadapi kehidupan berumah tangga, baik dalam hak dan kewajiban berumah tangga (al-Huquq al-Zaujiah), seperti bagaimana kesiapan memelihara anak, melayani pasangan, mengatur keuangan, merawat rumah, dan sebagainya. Semua itu dipikirkan oleh orang-orang sudah berkeluarga, maka orang yang melaku pernikahan pun akan mengalami yang sama, kecuali ada bantuan orang lain yang akan mengurangi beban yang dihadapi, karena hak dan kewajiban rumah tangga itu menjadi amanah yang diberikan Allah dalam berumah tangga, sebagaimana yang diungkapkan ulama’ sebagai berikut:[23]
الحقوق الزوجية من أهم الأمور التي تطرح فيما يخص أحوال الأسرة وقضاياها، إذ إن على كل من الزوجين واجبات تجاه الآخر، وله حقوق، وهذه الحقوق والواجبات قد بينها الشارع الحكيم، وجعل المحافظة عليها من شروط استمرار الحياة الزوجية. ويترتب على الإتيان بهذه الحقوق صلاح الأسرة في الدنيا، مع ما أعده الله لكل من الزوجين من الأجر في الآخرة.
b.      Melatih hidup mandiri
Keluarga merupakan kehidupan masyarakat terkecil yang terdiri beberapa anggota keluarga. Tentu dalam membina keluarga perlu sikap mandiri, karena anggota keluarga akan merasakan situasi dan kondisi keluarga dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, pendidikan anak, hubungan dengan masyarakat setempat, dan lain sebagainya. Berbagai kondisi dan situasi itu adalah hal yang biasa terjadi di dalam sebuah rumah tangga dan bahkan semua rumah tangga mengalami situasi dalam rumah tangga. Hal inilah yang akan dialami oleh pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan dini, sebab mereka merupakan dari masyarakat secara umum, maka banyak  tanggung jawab yang akan diemban sebagaimana beban dalam rumah pada umumnya, sebagaimana yang diungkapkan ulama’ sebagai berikut:[24]
ثم حقوق العباد بعضهم على بعض من الأمانات التي تجب لبعضهم على بعض فالأبناء أمانة على الوالدين ، ومن أداء أمانة الأبناء على الوالدين اختيار الأسماء الحسنة والتربية الحسنة وتعليمهم مبادئ الإسلام ، وإبعاد كل ما يسيء إليهم في صحتهم الجسدية، والعقلية ، والدينية ، والخلقية . وكذلك من أداء الأمانة القيام ببر الوالدين الواجب للأباء على الأبناء ، وخدمتهما والإحسان إليهما وطاعتهما بالمعروف، والدعاء لهما والاستغفار لهما ، والترحم عليهما ، وصلة أرحامهما . وإكرام أصدقائهما . ومن أداء الأمانة حفظ الحقوق الزوجية بين الزوجين ، بحسن المعاشرة والتناصح والتعاون بينهما، وعلى الزوج أداء حقوق الزوجة التي أوجبها الله تعالى لها عليه من النفقة والكسوة والسكن والعلاج . وعلى الزوجة حفظ حقوق زوجها في غيبته وحضوره وحسن التبعل وحفظ أسرار الزوج وممتلكاته ، والنصح له وطاعته في المعروف.
c.       Cepat memiliki pasangan hidup
Pasangan hidup dalam berumah tangga adalah sesuatu yang dicari-cari, berbagai media menawarkan cara dan bahkan  apa yang disebut dengan biro jodoh laris untuk mengantarkan orang untuk menemukan pasangan yang dianggap pas sesuai dengan suasana hati dan perasaannya. Apalagi pada jaman ini sosial media menjadi cara cepat untuk berkenalan (al-Ta’aruf) dalam rangka menemukan pasangan yang dinginkan. Media ini sudah banyak mengantarkan beberapa pasangan untuk membina keluarga.  Ini artinya betapa penting pasangan hidup itu dalam menjalankan kehidupan sebuah rumah tangga bagi laki dan perempuan. Hal itu sudah menjadi sunnah Allah dalam mengatur agar manusia itu punya rasa saling ketertarikan satu sama lainnya.
Orang menikah pada saat di bawah umur, cepat mendapat pasangan hidupnya dibanding orang yang mengundur waktu menikah sampai disebut dengan dewasa.
Bertolak dari bahasan di atas, penulis dapat jelaskan bahwa pernikahan dini merupakan yang secara jelas tidak diatur oleh Allah dalam al-Qur’an. Namun ayat-ayat yang berkenaan pernikahan ditafsirkan ahli sehingga menjadi rujukan untuk melegalkan pernikahan dini. Penafsiran para ulama’ terhadap beberapa ayat al-Qur’an menjadi lapangan ijtihad, yaitu mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari kepastian hukum, baik bersifat nalar atau naql yang bersifat qathiy atau zhanniy dengan satu metode tertentu.[25] Karena itu, orang tidak sertamerta menjastifikasi hukum pernikahan dini sebagai sesuatu yang dilarang atau halal, namun sejauhmana nilai mashlahah yang terkadung dalam pernikahan tersebut, sebab Nabi sendiri ketika menikahi ‘Aisyah pada saat berumur 6 tahun, namun beliau berumah tangga dengan ‘Aisyah pada saat  berumur 9 tahun (umur dewasa) bagi perempuan Arab. Ini berarti kesiapan seorang untuk berumah tangga sangat ditentukan oleh kondisi seorang, dalam mensikapi pernikahan yang tidak sementara (al-Abadi), bukan bersifat (al-Mut’ah). Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi rujukan dalam menilai pernikahan secara umum.
Sebelum lebih jauh menganalisis pernikahan dini, perlu diketahui secara singkat tentang al-Maqashid al-Syari’ah. Kata “al- Maqāṣid al-Sharī‘ah” merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “Maqāṣid” dan “al-Shari‘ah”. Kata “Maqāṣid” adalah kata dasar yang disebut masydar mīmimi, yaitu “maqāṣid” dan jama’ takthīr-nya  adalah “maqāṣid” yang diambil dari kata kerja (al-fi‘l), yaitu kata [26]قَصَدَ يَقْصِدُ قَصْداً, seperti kata maq‘ad (tempat duduk) yang diambil dari kata “qa‘ad-yaq‘udu-qu‘udan”. [27] Kata “al-Maqṣad” memiliki dua makna: 1). Tawassuṭ (sederhana), sebagaimana yang ditujukkan firman Allah dalam surat Luqman (31) ayat 19, yang menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk berjalan dengan cara sederhana (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat). 2 adalah Istiqāmah al-Ṭarīq (penegakan jalan yang benar), sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah dalam surat al-Naḥal  (16) ayat 9.
Kata kedua dari  kata “Maqāṣid al-Syarī‘ah” adalah “sharī‘ah”, secara bahasa  ia bermakana al-Shar‘ dan al-Shir‘ah yang diterjemahkan dengan pengertian jalan air (maurid al-Mā’).[28] Kata tersebut berakar dari kata “shara‘a” yang berarti jelas dan tampak.[29] Sedangkan secara terminology ditafsirkan oleh Ibnu Ḥazm  dengan pengertian apa-apa yang dijadikan peraturan oleh Allah melalui nabi-Nya dalam hal keagmaan.[30] Selanjuntnya “Maqāṣid al-Sharī‘ah” didefinisikan oleh ulama’, seperti Ibnu Ashur, dengan pengertian segala makna dan hukum yang tersirat bagi pembuat hukum dalam keadaan seluruh perundang-undangan atau sebagian besarnya, sebagaimana dipahami dari ungkapannya yang dikutip oleh Ḥasan sebagai berkut:[31] 
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها

“Beberapa makna dan hukum yang tersirat bagi pembuat hukum dalam seluruh keadaan perundang-undangan atau sebagian besarnya.

Definisi lain dikemukakan sebagian ulama’ dengan pengertian bahwa Maqāṣid al-Sharī‘ah adalah tujuan dari sharī‘ah dan rahasia yang ditetapkan Allah pada masing-masing hukum-Nya.[32] Jadi, tegasnya  bahwa yang dimaksud dengan Maqāṣid al-Sharī‘ah adalah tujuan yang dicapai dari penetapan suatu perundang-undangan kehidupan hamba baik berupa hubungan dengan Allah (ibadah) maupun dengan manusia (mu’amlah) dalam rangka mendapat kesalamatan di dunia dan akhirat kelak. Sementara dasar hukum “Maqāṣid al-Sharī‘ah” ditemukan beberapa ayat al-Qur’an yang memberikan keabsahan Maqāṣid al-Sharī‘ah, seperti beberapa ayat berkut ini: Firman Allah dalam surat al-Zāriyat (51) ayat 56 yang artinya:
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali melainkan mereka menyembah-Ku”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jin dan manusia pada hakekatnya sebagai penyembah atau pengabdi kepada Allah. Pengabdian itu ditunjukkan dalam bentuk hubungan  dengan Allah dan hubungan dengan manusia, karena kedua hubungan tersebut menjadi kebaikan bagi manusia itu sendiri.  Selain itu firman Allah dalam surat al-Baqarah (2)  ayat 185 yang artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu…” Potangan ayat di atas, menjelaskan bahwa pada hakikatnya yang menjadi tujuan kehidupan manusia adalah bahwa Allah menghendaki kehidupan manusia tidak berada pada kesulitan dalam menjalankan ibadah dan lainnya. 
Selain beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas, ditemukan penjelasan tujuan sharī‘ah dalam sunnah Nabi, seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut:[33]
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِىَ  الله ُ عَنْهُ قَالَ: قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-:« دَعُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مَيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa ada seorang Arab Badui yang kecing di dalam masjid. Sahabat ingin melemparkannya, Nabi  menegur tindakan itu, sambil berkata: “Biarkan dia, siramlah kecingnya dengan setimba air, sebab kalian diutus dibangkitkan sebagai pembawa kemudahan dan kalian tidak dibangkitkan sebagai pembawa kesulitan”. (Hadis riwayat al-Bukhariy)

Oleh karena itu, berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan hadis, sesungguhnya  keberadaan “Maqāṣid al-Sharī‘ah” bila dianalisis dengan seksama, maka dapat ditemukan  dengan keyakinan yang mendalam   bahwa “Maqāṣid al-Sharī‘ah” ditopang paling oleh tiga hal, yaitu:  1). Dalīl Naqliy, yaitu dalil bersumber dari sumber hukum Islam; al-Qur’an dan al-Hadis. Setelah diteliti, bahwa dalam sumber hukum tersebut dapat diakui secara  ditemukan beberapa argumentasi naqliyah, yang menerangkan bahwa  Allah dalam menetapkan hukum bagi hamba-Nya bertujuan dalam rangka kemashalatan mereka (maṣāliḥ al-‘Ibād), yaitu kepentingan yang bermanfaat  dalam kehidupan [34] baik kepentingan itu tertuang dalam bentuk perintah atau larangan.  Demikian itu diakui oleh ulama’  seperti oleh al-‘Iz ‘Abd al-Salām, dimana ia menyatakan bahwa perintah yang mengarah kepada menarik manfaat (jabl al-Maṣāliḥ) atau larangan keburukan (dar’ al-Mafāsid) adalah semata-semata untuk kepentingan hamban Allah dalam berkehidupan sosial, sesuai dengan fungsi masing-masing sebagai hamba yang diberi beban (al-Mukallafūn) untuk mencipatkan rasa kenyamanan, kesejahteraan, perdamaian, dan keharmonisan dalam bermasyarakat tersebut. [35] Selain itu alasan yang ke-2 adalah dalīl ‘aqliy, yaitu argumentasi logika yang menunjukkan beberapa hal yang tidak masuk akal tampa ada mashlah dalam penetapan hukum oleh al-Shāri‘ (Allah dan Rasul). Beberapa argumentasi logika tersebut adalah adanya keyakinan yang mantap bahwa Allah Maha Kuasa, maka tidak mungkin membiarkan sesuatu hukum tanpa ada maksud mendasar bagi ummat. Hal yang demikian itu, karena Allah memuliakan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah  dalam al-Qur’an pada surat al-Isrā’ (17) ayat 70 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik, Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”
       
Disamping itu, menurut akal yang sehat bahwa dalam cipataan Allah pasti memiliki hikmat, baik yang ada pada alam raya sendiri atau pun penetapan hukum. Hikmah tersebut kadang secara jelas diketahui, seperti dalam kasus adanya hukum qiṣāṣ yang merupakan bentuk penyelematan kehidupan masyarakat, karena dengan adanya hukum qiṣāṣ maka orang akan takut  untuk membunuh orang lain.
Ulama’ membagi Maqāṣid al-Sharī‘ah dilihat dari segi maṣāliḥ yang wajib dipelihara kepada 3 (tiga) bagian:
Pertama, al-Ḍarūriyah (primer), yaitu kepentingan pokok untuk menopang keberlanjutan kehidupan seorang atau kelompok yang apabila salah satu dari rukun itu bila tidak ada akan menjadi pincang.[36] Kebutuhan ini dapat ditegakkan  cara  memelihara pontesi kebaikan dan mengindari pontesnsi kerusakan. Selanjutnya menurut ulama’ bahwa kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan primer adalah ada 5 (lima) kategori:  a).   Ḥifẓ al-Dīn,[37] bagian ini   merupakan kebutuhan asasi seorang dalam hal keberagamaan, yaitu hak seorang dalam memeluk agama Islam.  Aktualisasi dari prinsip ḥifẓ al-Dīn ini dilakukan dengan  beberapa cara, yang antara lain adalah  pelaksanaan ajaran agama secara nyata, seperti pelaksanaan kewajiban yang  bersifat wajib ‘ain seperti shalat, puasa, nadhar, dan sebagainya atau pun wajib kifā’i, seperti shalat janazah. b). Ḥifẓ al-Nafs [38] adalah  pemeliharaan jiwa dalam kehidupan. Prinsip ini dilaksanakan dengan cara  pemeliharaan segala unsur yang menjamin keberlangsungan kehidupan, seperti kahuran ada sandang, pangan dan  papan. Keberlangungan pemeliharaan jiwa ini juga dapat dilakukan kebolehan menglanggar hal yang dilarang disebabkan oleh situasi emergence sebagaimana yang dinyatakan Allah pada surat al-Mā’idah (5) ayat 3. 3. Hifẓ al-‘Aql, [39] adalah prinsif pemeliharaan akal. Akal adalah adalah karunia yang sangat berharga, karenanya Allah memerintahkan untuk dipelihara dengan cara  pencermelangan akal melalui pendidikan, pelatihan, pengujian, dan pencegahan dari hal-hal yang dapat merusak akal seperti larangan meminum minuman keras, seperti firman Allah dalam surat al-Ma’idah (5) ayat 90-91, dimana dalam ayat tersebut  Allah melarang keras meminum minuman keras, karena dapat merusak akal. 4. Hifẓ al-Māl,[40] yaitu prinsip pemiliharaan harta yang merupakan kecenderungan orang dalam kehidupannya, bahkan kecenderungan itu sangat berlebihan[41] sehingga orang-orangpun berlomba-lomba untuk meraihnya. Hal yang demikian itu disebabkan karena harta merupakan salah satu penopang keberlanjutan kehidupan, sehingga semua aktivitas keseharian, baik berupa ibadah individu atau sosial berjalan dengan baik sesuai dengan harapan.  Realisasi pemeliharaan harta Allah  menganjurkan agar seorang berusaha dengan cara yang baik dan halal, seperti  kepemilikan harta berdasarkan penetapan hukum hibah, warist, hadiah, hak diyat dan sedaqah. Salah satu contoh ayat adalah  firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat 261. 5. Ḥifẓ al-Nasal,[42] yaitu  prinsip pemeliharaan nasab dalam hubungan kekeluargaan. Artinya percampuran nasab dapat mengakibatkan pada kerusakan hubungan keluargaan, sehingga akan tidak diketahui nasab seorang anak dalam keluarga. Kepastian terhadap status keluarga dalam sebuah keluarga menjadi hal sangat penting untuk keberlangsungan sebuah ketururan, sebab keterkaitan kepastian itu memiliki hubungan yang erat dengan hukum lain, seperti keterkaitanya dengan hukum waris, wasiat, dan lainnya. Oleh karena itu, Allah dalam beberapa ayat menjelaskan perkawinan sebagai bentuk pemeliharaan keturunan, seperti dalam firman Allah pada surat al-Nisā’ (4) ayat 3. Selain dengan cara dilegalkan pernikahan, cara lain adalah pelarangan perzinahan yang disertai dengan hukuman bagi pelakunya, pelarangan melakukan penuduhan berzina (al-Qazf) yang disertai dengan hukuman para pelakunya, pelarangan  adopsi,  aborsi (al-Ijhāḍ), bercampur laki dan perempuan.
Di sisi inilah pembicaraan tentang pernikahan dini dapat dikaitkan, karena pernikahan merupakan cara untuk memelihara keturunan, sehingga diketahui status anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Dapat dibayangkan, bila seorang digauli oleh banyak “suami”, kemudian tidak diketahui siapa yang akan menjadi ayahnya. Berdasarkan hal ini, perzinahan sangat dilarang, karena merancaukan kehidupan masyarakat yang berakibat hilangnya hak dan tanggungjawab dari sebuah akad pernikahan.  Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam, sebab bukan merupakan tujuan syaria’ah untuk kemashlahatan kehidupan manusia. Syari’at Islam menegaskan bahwa setiap akad memiliki konsekwensi, artinya substansi akad itu mengandung hak dan kewajiban yang melekat bagi para pelaku akad. Demikian juga dalam akad pernikahan ada hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh para pelaku, sehingga terbentuk suatu system yang kuat dan mengarah kepada pemenuhan hajat masing-masing pasangan, sebagai bentuk kemashlahatan, seperti menggapai rasa nyaman, damai, senang, gembira, bahagia, kasih sayang, sejahtera, dan sebagainya yang merupakan sifat-sifat yang  baik dalam kehidupan rumah tangga. Karena sifat-sifat inilah yang akan menegakkan kehidupan bangsa untuk selanjutnya, sebab keluarga adalah merupakan komunitas yang pertama dan mendasar dalam membina masyakarat selanjutnya dalam komunitas yang lebih besar. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau ada unggakapan bahwa “al-Ummu al-Madrasah” (ibu adalah sekolah) sebagai berikut:[43]
الأُمُّ مَدرَسَةٌ إِذا أَعدَدتَها ** أَعدَدتَ شَعباً طَيِّبَ الأَعراقِ
الأُمُّ رَوضٌ إِن تَعَهَّدَهُ الحَيا ** بِالرِيِّ أَورَقَ أَيَّما إيراقِ
الأُمُّ أُستاذُ الأَساتِذَةِ الأُلى ** شَغَلَت مَآثِرُهُم مَدى الآفاقِ
Bila engkau menyiapkan ibu sebagai sekolah,
maka engkau menyiapkan pemuda sebagai generasi terbaik.
Ibu sebagai kebun jika ia disirami air dan hujan dengan menyerap air,
sehingga ia tumbuh dan berbunga.
Ibu adalah guru pertama yang selalu sibuk berimprovisasi
dalam menciptakan karya sepanjang singasana (langit)

Jadi, keluarga merupakan komunitas kecil yang sangat berpengaruh kepada kehidupan selanjutnya, terutama peran ibu yang akan menjadi orang pertama kali bersntuhan dengan anak-anaknya, karena ibu menjadi pelindung bila kepanasan dan kedinginan alam dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan istri yang akan menjadi ibu adalah sangat dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan keluarga selanjutnya. Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan dini merupakan pernikahan premature,[44] bila seorang memaksakan diri untuk melakukan yang belum datang saatnya dilakukan, seperti melahirkan anak pada kondisi rahim belum mampu diberikan beban untuk melahirkan, pikiran belia belum mampu untuk berpikir seperti orang dewasa, kondisi fisisik belum mampu untuk melakukan kegiatan-kegiatan orang dewasa, dan seterusnya. Kondisi-kondisi seperti ini bila dipaksakan tentu akan mengalami sesuatu yang tidak diinginkan sehingga keluarga yang diharapakan jauh dari mashlahah, sekalipun secara tafsiran teks keagamaan tidak ada larangan pernikahan dini, bahkan Nabi sendiri menkahi ‘Aisyah pada umur 6 tahun dan digauli pada saat berumur 9 tahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan peluang bagi yang sudah mau menikah agar memperhatikan kondisinya, sehingga tercapai mashalahah dalam keluarga, yaitu mawaddah, sakinah, sejahtera, dan damai, sehingga tercapai hal-hal yang menjadi kebutuhan seorang dalam kehidupan, yaitu al-Dharuriyah, al-Ḥājiyāt, al-Taḥsiniyāh (kebutuhan tersier). Realisasai taḥsiniyāh ini dapat dilihat  pada beberapa bidang;  ibadah, seperti penyempurnaan ibadah sunah dan ibadah lain yang menjadi penyempurna, adat seperti adab yang baik  pada saat makan, minum, berpakaian dan sebagainya, mu’amalah seperti kebagusan dalam pergaulan keseharian, yaitu terhindar dari sifat menipu, memperdaya, pemborosan,  dan sebagainya. Prinsip taḥsiniyāh ini terarah pada dua hal, yaitu: 1). Penyempurna yang primer berupa pemeliharaan agama dengan cara;  pengharaman bid‘ah dan hukum pelaku bid‘ah dengan cara meninggalkan bid’ah tersebut, karena bid‘ah tersebut  dapat mencedrai pemeliharaan agama. Penegakan shalat berjama’ah sebagai  dakwah Islam.  Pelaksanaan hukuman pidana, pengharaman minuman minuman keras dan pencegahan khalawat antara laki dan perempuan, dan sebagainya. 2). Penyempurnaan dalam prinsip al-Ḥājiyāh seperti  memandang kesepadanan dalam perkawinan dalam agama, moral dan sebagainya,  adanya hak khiyar dalam jual-beli, dan sebagainya. 3). Penyempurna dalam prinsip al-Taḥsiniyāh, seperti mendahulukan tangan atau kaki kanan dalam mengerjakan sesuatu dan sebagainya.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa pernikahan diri merupakan pernikahan biasa tapi dilakukan pada saat umur menikah belum dianggap dewasa. Dalam pandangan agama bahwa pernikahan dini secara teks sumber hukum tidak ada pelarangan yang jelas, baik dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun, bila dilihat tujuan dan kemashlahatan maka pernikahan dini dapat dikatakan sebagai pernikahan yang premature bagi orang yang tidak siap dengan segala prsiapan fisisik dan fisikis. Wallahu’alam



Daftar Pustaka

 ‘Ala al-Din Abi  al-Hasan ‘Ali bin Sulaimān al-Mardawi,  al-Taḥbīr Sharh al-Taḥbrīr fī ‘Usyūl al-Fiqh, Riyāḍ: Maktabah al-Rushd, 2000.
Abd al-Salām bin Abi Qāsim, Qawā‘id al-Aḥkām fi Maṣālih al-‘Anām, Baerut: Dār al-Ma’ārif, t.t.
Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Taisir I’lm Ushul al-Fiqh, ttp: tnp, tt.
Abdulllah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hambal al-Syaibaniy, Baerut: Dar al-Fikr, 1405 H.
Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik bin Bathal al-Bakriy al-Qurtubiy, Syar Shaih al-Bukhariy, Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 2003
Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baehaqiy, al-Sunan al-Kubra Wa Fi Zailihi al-Jawhar al-Nuqa, (Hindi: Malis Dairah al-Ma’arif, 1344H.
Abu Hilal al-Hasan bin Abdillah al-Askarit, al-Hast Ala Thalab al-Ilm wa al-Ijtihad fi Jam’ih, Baerut: Maktab al-Islamiy, 1986.
Abū Ishāq al-Shaṭibiy, al-Muāfaqāt, t.p.: t.t, t.t
Al-Qur’an
Al-Riyahsah al-Ammah, Majallah al-Buhusth al-Islamiyah, (ttp., tnp, tt), jilid 54, h. 228
Berau Post, diakeses tanggal 09 Juni 2016
Hamad bin Muhammad bin Ibnrahim, Gharib al-Hadis li Khitab, Makkah: Jami’ Umm al-Qura, 1402 H
Hisam al-Din bin Musa Afanah, Fatawa Yas’alunaka, ttp, tnp, tt.
Ḥusain bin ‘Abd al-‘Azīz ‘Ali al-Shaekh, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi ‘ah li Fatāwa al-Shar‘iyah, (ttp: tnp, t,t.
Ḥusain, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi‘ah li al-Fatāwā al-Shar‘iyah, t.p.: t.t, t.t
Ibn ‘Amīr al-Hājj, al-Taqrīr  wa al-Taḥrīr fī ‘Ilm al-‘Uṣūl, Baerut: Dār al-Fikr, 1996.
Ibnu Ḥazm, al-Iḥkām fi Uṣūl al-Aḥkām, Mesir: Dār al-Hadith, 104
Imam Jamaluddīn Abd al-Raḥmān, Jihāyah al-Saul Sharh Minhaj al-Wuṣūl, Baerut: Dār al-Kutub, 1999
Jabir bin Musa bin Abd al-Qadir, Aisar al-Tafasir Li Kalam al-Ali al-Kabir, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003.
Kompasana com,diakses tanggal 09 Juni 2016
Majmu’ah Min al-Muallifin, Majallah Jami’ah Umm al-Qura,ttp., tnp., tt.
Markaz al-Fatwa, Fatawa al-Syubkah al-Islmiyah, ttp. tnp, tt.
Muhammad bin Abi Nashar, Tafsir Gharib Ma fi al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1995.
Muḥammad bin Futūḥ al-Ḥamidiy, al-Jam‘u bain al-Ṣaḥiḥain al-Bukhāriy Wa Muslim, Barut: Dār  Ibn Ḥazam, 2002.
Muhammad bin Futuh al-Hamidiy, al-Jam’ al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim, Bairut: Dar Ibn Hazam, 2002.
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy al-Ju’fiy, Shahih al-Bukhariy, Bairut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Muhammad bin Ismail al-Shan’aniy, Irsyad al-Nuqad Ila Taisir al-Ijtihad, Kuait: al-Dar al-Salafiyah, 1405H
Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, Daur Li al-Syaikh Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, ttp. tnp, tt.
Muḥammad bin Muḥammad bin Abd al-Razzāq, Tāj al-‘Arus Min Jawāhir al-Qāmus, t.p: t.t.,t.th
Muḥammad Buluz, Tarbiyah Malkah al-Ijtihād min Khilāl Bidāyah al-Mujtahid  li Ibn Rushd, t.p.: t.t, t.t.
Sa’id ‘Abū Jaib, al-Qāmūs al-Fiqh Lagatan wa iṣṭilāha, (Dimasyq: Dār al-Fikr, 1408 H/ـ 1988 M
Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim al-Thabariy, al-Mu’jam al-Kabir, Mushil: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 1983.
Taqiy al-Din Abu al-Fath,  Ihkam al-Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam, Madinah: Mu’assah al-Risalah, 2005.
Taqiyud al-Dīn Abū al-Baqā’  Muḥammad bin Aẖmad, Sharh al-Kaukabal-Munīr, ttp: Maktabah al-Abikan, 1997
Wahbah al-Zuhailiy,  al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Dimasy: Dar al-Fikir, tt.
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Dimishqy: Dār al-Fikr,  t.t
Wazai’r al-Auqāf wa al-Shu’ūn al-Islāmiyah, al-Mausū‘ah al-Fiqhiyah al-Kuaitiyah, Kuait: Dār al-Salasil, 1427H.




[1]Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19 dan lihat dalam pada http://www.almeshkat.net/ vb/showthread.php? t=38476 #gsc.tab=0 diakses pada tanggal 5 bulan Mei 2016
[2]Hisam al-Din bin Musa Afanah, Fatawa Yas’alunaka, ( ttp, tnp, tt), jilid 5, 164
[3]Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Taisir I’lm Ushul al-Fiqh, (ttp: tnp, tt), jl. III, 43
[4]Wahbah al-Zuhailiy,  al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Dimasy: Dar al-Fikir, tt), jilid 3, h.83
[5]Muhammad bin Abi Nashar, Tafsir Gharib Ma fi al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1995), 28
[6]Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baehaqiy, al-Sunan al-Kubra Wa Fi Zailihi al-Jawhar al-Nuqa, (Hindi: Malis Dairah al-Ma’arif, 1344H), jilid VII, h.77
[7]Taqiy al-Din Abu al-Fath,  Ihkam al-Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam, (Madinah: Mu’assah al-Risalah, 2005), h.389
[9]Al-Qur’an surat al-Thalaq ayat 4
[10]Jabir bin Musa bin Abd al-Qadir, Aisar al-Tafasir Li Kalam al-Ali al-Kabir, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), jilid III, h. 377
[11] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy al-Ju’fiy, Shahih al-Bukhariy, (Bairut: Dar Ibn Katsir, 1987), jilid V, h. 1980
[12]Sulaiman bin Ahmad bin Ayub Abu al-Qasim al-Thabariy, al-Mu’jam al-Kabir, (Mushil: Maktabah al-Ulum wa Hikam, 1983), jilid 10, h. 149
[13] Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 3
[14]Muhammad bin Futuh al-Hamidiy, al-Jam’ al-Shahihain al-Bukhariy wa Muslim, (Bairut: Dar Ibn Hazam, 2002), jilid IV, h.  38
[15]Abdulllah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hambal al-Syaibaniy, (Baerut: Dar al-Fikr, 1405 H), jilid VII, h. 379
[16]Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik bin Bathal al-Bakriy al-Qurtubiy, Syar Shaih al-Bukhariy, (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 2003),
[17]Hamad bin Muhammad bin Ibnrahim, Gharib al-Hadis li Khitab, (Makkah: Jami’ Umm al-Qura, 1402 H), jilid II, h. 100
[18]Markaz al-Fatwa, Fatawa al-Syubkah al-Islmiyah, (ttp. Tnp, tt), jilid IV, 4433
[19]Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), jilid VII, h.155
[20] Lihat dalam Kompasana com,diakses tanggal 09 Juni 2016
[21] Lihat di Berau Post, diakeses tanggal 09 Juni 2016
[22]Abu Hilal al-Hasan bin Abdillah al-Askarit, al-Hast Ala Thalab al-Ilm wa al-Ijtihad fi Jam’ih, (Baerut: Maktab al-Islamiy, 1986), h.67
[23] Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, Daur Li al-Syaikh Muhammad al-Mukhtar al-Syanqithiy, (ttp. tnp, tt), h. 40
[24]Majmu’ah Min al-Muallifin, Majallah Jami’ah Umm al-Qura, (ttp., tnp., tt.), jilid VII, h. 46
[25]Muhammad bin Ismail al-Shan’aniy, Irsyad al-Nuqad Ila Taisir al-Ijtihad, (Kuait: al-Dar al-Salafiyah, 1405 H), h. 8
[26]Muḥammad bin Muḥammad bin Abd al-Razzāq, Tāj al-‘Arus Min Jawāhir al-Qāmus, (t.p: t.t.,t.th), jilid, 5034
[27]Ibid, 66
[28]Sa’id ‘Abū Jaib, al-Qāmūs al-Fiqh Lagatan wa iṣṭilāha, (Dimasyq: Dār al-Fikr, 1408 H/ـ 1988 M), 193
[29]Wazai’r al-Auqāf wa al-Shu’ūn al-Islāmiyah, al-Mausū‘ah al-Fiqhiyah al-Kuaitiyah, (Kuait: Dār al-Salasil, 1427H), j, 193
[30]Ibnu Ḥazm, al-Iḥkām fi Uṣūl al-Aḥkām, (Mesir: Dār al-Hadith, 104), jilid, 46
[31]Ḥusain, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi‘ah li al-Fatāwā al-Shar‘iyah, (t.p.: t.t, t.th),19
[32]Muḥammad Buluz, Tarbiyah Malkah al-Ijtihād min Khilāl Bidāyah al-Mujtahid  li Ibn Rushd, (t.p.: t.t, t.th), 304
[33] Muḥammad bin Futūḥ al-Ḥamidiy, al-Jam‘u bain al-Ṣaḥiḥain al-Bukhāriy Wa Muslim, (Barut: Dār  Ibn Ḥazam, 2002), jilid III, 173
[34]Imam Jamaluddīn Abd al-Raḥmān, Jihāyah al-Saul Sharh Minhaj al-Wuṣūl, (Baerut: Dār al-Kutub, 1999), jilid II, 147
[35]Abd al-Salām bin Abi Qāsim, Qawā‘id al-Aḥkām fi Maṣālih al-‘Anām, (Baerut: Dār al-Ma’ārif, t.th), jilid II, 160
[36] Abū Ishāq al-Shaṭibiy, al-Muāfaqāt, (t.p.: t.t, t.th), jilid II, 8
[37] Ḥusain bin ‘Abd al-‘Azīz ‘Ali al-Shaekh, al-Uṣūl al-‘Āmmah al-Jāmi ‘ah li Fatāwa al-Shar‘iyah, (ttp: tnp, t,th), 88
[38]Ibn ‘Amīr al-Hājj, al-Taqrīr  wa al-Taḥrīr fī ‘Ilm al-‘Uṣūl, (Baerut: Dār al-Fikr, 1996), jilid I, 191
[39]‘Ala al-Din Abi  al-Hasan ‘Ali bin Sulaimān al-Mardawi,  al-Taḥbīr Sharh al-Taḥbrīr fī ‘Usyūl al-Fiqh, (Riyāḍ: Maktabah al-Rushd, 2000), 3381
[40]Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Dimishqy: Dār al-Fikr,  t.th), jilid I, 104
[41] Qur’an surat  al-Fajar ayat 20: وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
[42]Taqiyud al-Dīn Abū al-Baqā’  Muḥammad bin Aẖmad, Sharh al-Kaukabal-Munīr, (ttp: Maktabah al-Abikan, 1997), Jilid 4, 164
[43]Al-Riyahsah al-Ammah, Majallah al-Buhusth al-Islamiyah, (ttp., tnp, tt), jilid 54, h. 228
[44]Prematur adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kelahiran bayi sebelum usia kehamilan memasuki minggu ke 37. Kehamilan normal biasanya bertaham kurang lebih selama 40 minggu. Pada kelahiran prematur, wanita menunjukkan gejala kontraksi yang terjadi lebih dari 8 kali dalam satu jam, bersama-sama dengan keluarnya cairan dari vagina. Wanita tersebut juga dapat menderita nyeri punggung bagian bawah dan diare. Meskipun pada wanita yang melahirkan prematur biasanya tidak terjadi komplikasi, tetapi bayi prematur memiliki resiko mengalami masalah perkembangan dan kesulitan untuk bernafas karena singkatnya masa pertumbuhan bayi. Oleh karena itu, bayi-bayi prematur biasanya memiliki organ-organ yang belum berkembang dengan baik, seperti paru-paru, dan berat badan lahir yang rendah. Bayi prematur akan diletakkan di dalam inkubator dengan pengawasan tanda-tanda vital secara ketat. Selang intravena akan digunakan untuk mensuplai cairan dan nutrisi pada bayi. Ketika wanita hamil memiliki resiko yang besar untuk terjadinya kelahiran prematur, wanita tersebut dapat diberikan obat-obatan untuk merelaksasi otot-otot polos dari dinding rahim untuk menghentikan kontraksi. http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/ kelahiran -prematur-_-9510001031227 diakses pada tanggal 17 Juni 2016

No comments:

Post a Comment

Entri Populer