BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran Islam,
terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut
ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional.
Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang
berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal
tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal
dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang
cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang
menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia
terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam
segala aktifitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau
Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya?
Oleh karena kebanyakan sikap bangsa
Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup
yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir, serta berpegang teguhnya terhadap
ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat mendukung pendapatnya, maka aliran
Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan
berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dia
tidak mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji maupun yang
tercela pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia sendiri, melainkan hanyalah
ciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian
maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu orang-orang
mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya,
sebab dia melakukannya karena semata-mata terpaksa.
Salah satu pembicaraan penting dalam
teologi Islam adalah masalah perbuatan manusia (af'al ai-'ibad). Dalam kajian
ini dibicarakan tentang kehendak (masyi'ah) dan daya (istitha'ah) manusia. Hal
ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya,
apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak
dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh
qadha dan qadhar Tuhan? Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang
kemudian melahirkan paham Jabariyah.
Menurut Ahmad Amin, persoalan ini
timbul karena manusia dari satu
segi melihat
dirinya bebas berkehendak, melakukan apa saja yang ia suka, dan ia bertanggung
jawab atas perbuatannya itu. Namun, dari segi lain, manusia melihat pula bahwa
Tuhan mengetahui segala sesuatu, llmuTuhan meliputi segala sesuatu yang terjadi
dan yang akan terjadi. Tuhan juga mengetahui kebaikan dan keburukan yang akan
terjadi pada diri manusia. Hal demikian menimbulkan asumsi bahwa manusia tidak
mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.
Maka muncullah persoalan jabar dan ikhtiyar, yakni apakah manusia itu terpaksa
atau bebas memilih? Untuk mempejelasnya, akan
diuraikan pada bab berikut ini tentang aliran Jabariah.
BAB II
ALIRAN JABARIAH
A. Pengertian Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara,
berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti
meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafyal-fi'l 'an
al'abd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini,
manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat
"mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan,
terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak,
(iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan
manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu,
perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti
halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan,
"Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung
arti terpaksa. Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution,
terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa.
Dalam istilah Inggris, paham ini disebut fatalisme atau predistination.
Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok
yaitu Jabariyah ekstrim (al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassitah).
Jabariyah ekstrim tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak
pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Sementara Jabariyah
moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.
Orang-orang yang tidak mengakui kebebasan manusia
inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan "Kaum Jabariyah". Para
penulis Mu'-tazilah memasukkan aliran Ahlal-Sunah dan Asy'ariyah ke dalam
kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para penulis dari pihak Asy'ariyah, termasuk
al-Syahrastani, menolak pengelompokan itu. Bagi
al-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak dapat
disebut Jabariyah. Anehnya, al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok
al-Najjariyah dan al-Dirariyah ke dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar
maupun al-Dirar termasuk orang yang memajukan teori kasb itu.
B. Sejarah timbulnya Jabariyah
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa
Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang
gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan
perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih
bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan
fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah
ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan
salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada
takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada
masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir
Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang
pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan
aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali.
Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong
tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya
menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat
meniadakan rasa takut dan
waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnya terdapat
wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir
Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan
yang lain." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi
manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan
sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab
berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang
jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi
reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang
sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa
cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun,
Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan
dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan
buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya
adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di
Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari Aban ibn Syam'an,
dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi. Dengan
demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.
Sungguhpun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat
dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:
Artinya:
Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS.
al-An'am: 112).
Artinya:
Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah
yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),
Artinya:
Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat
ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya,
mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan
umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
C. Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah
Sebagai telah dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh
penting aliran Jabariyah adalah Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Keduanya
termasuk pemuka Jabariyah ekstrim. Tokoh lainnya adalah Husain dan Dirar. Kedua
tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan
dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih
terinci.
1.
Ja'ad ibn Dirham
Sebagai telah disebutkan, Ja'ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham
Jabariyah di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam. Ia
tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang al-Qur'an sebagai makhluk.
Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke
Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn Shafwan yang kemudian mengambil
pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang setia.
Sewaktu di Damsyik, Ja'ad menjadi guru Marwan ibn Muhammad, salah seorang
Khalifah Bani Umayah, sehingga Marwan mendapat julukan "al-Ja'dy".
Namun, pada akhir hayatnya, Marwan tidak menyukai Ja'ad. la bahkan menyuruh
Khalid al-Qasari untuk membunuhnya. Khalid menghukum bunuh Ja'ad pada Hari Raya
led al-Adhha. Namun, kematian Ja'ad bukan semata-mata karena
pendapat-pendapatnya yang dianggap bid'ah itu, melainkan karena persoalan
politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-Amawi.
Pendapat yang dimajukan Ja'ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat
Tuhan, dan masalah takdir. Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalah makhluk, la
merupakan orang pertama yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat
bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan
sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau
lawannya (bisu). Sebab, kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal
takdir atau perbuatan manusia, Ja'ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia
sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya.
Semua pendapat ini diambil oleh Jahm ibn Shafwan. Jahm lah yang mengembangkan
lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
2.
Jahm ibn Shafwan
Sebagai Ja'ad, Jahm termasuk muslim non Arab (mawali). la berasal dari
Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang
dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. la dikenal ahli pidato dan
pandai berdialog. la pernah terlibat perbedaan dengan Muqatil. Muqatil termasuk
orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat
perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini:
Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan
Tuhan bukan apa-apa Sementara lawannya, Muqatil, berlebih-lebihan pula dalam
menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Harits ibn Syuraih di Khurasan, ia
turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi "tangan
kanan" Harits dalam melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan.
Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam
al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang
terakhir ini menolaknya seraya berkata, "Demi Tuhan sekiranya engkau ada
dalam perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan,
tak ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu. Dengan
begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik, bukan karena ajaran
yang dibawanya.
Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan
bebas. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan
dan kemauan baginya. Pandangan ini termasuk dalam pola pikir Jabariyah
ekstrim. Selain masalah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan
pendapat-pendapatnya dalam masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan
neraka, dan masalah melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm, iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu
yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan
mengerjakan dengan anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur
adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pandangan Jahm, bila seseorang sudah
mengenal Allah (ma'rifah), lalu ingkar dengan lidahnya, tidaklah menyebabkan ia
menjadi kafir, Iman tidak berkurang dan bertambah. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan di antara orang-orang yang beriman. Iman dan kufur bertempat dalam
hati bukan pada anggota badan lainnya.
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja'ad,
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat
makhluk. Sebab, hal ini dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk
(tasybih). la meniadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa
Tuhan Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima
Jahm karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat
seperti itu. Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga
mengakui bahwa Tuhan adalah Pemberi wujud (al-mujid), Memberi hidup (al-muhyi),
dan Mematikan (al-mumit). Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy
al-shifat, Jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang memberi
pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian Tuhan dari
sifat-sifat makhluk (tanzih).
Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak
ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam al-Qur'an tidak berarti
kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks).
Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan
mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang
tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan ayat:
Artinya:
Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki. (QS. Hud: 107).
Menuruf Jahm, kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan
dan pengecualian. Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada
persyaratan dan pengecualian di dalamnya.
Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan
paham Murji'ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariah ini sama dengan
Jahm yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah. Dalam masalah
nafy al-sifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat,
pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Mu'tazilah. Atau lebih tepatnya
pendapat Mu'tazilah sama dengan pendapat Jahm. Karena itu, tidak heran bila
golongan Mu'tazilah terkadang mendapat julukan "Jahmiyah" (pengikut
Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal pernah menulis buku
sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi yang mereka maksud dengan
Jahmiyah di sini adalah golongan Mu'tazilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari sendiri
dalam buku Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, mengkritik Mu'tazilah dengan
nama al-Jah-miyah. Namun, kaum Mu'tazilah sendiri tidak menerirna sebutan itu.
Bisyr ibn Muktamir, salah seorang pemuka Mu'tazilah menolak keras penamaan itu.
Jahm sendiri dengan berbagai pendapatnya menyandang serangan dari berbagai
pihak. Kaum Mu'tazilah mengafirkan Jahm karena ia meniadakan kemampuan (daya)
manusia. Sedang Ahl al-Sunah, mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat
Tuhan, menganggap al-Qur'an makhluk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat
di akhirat.
Sungguhpun demikian, sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahan
hingga abad ke11. Didaerah
Tirmidz dan sekitarnya.Selanjutnya mereka menganut paham Asy'ariyah.
3.
Husain al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang tokoh Jabariah moderat.
Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Najjariyah". Menurut
Husain, Tuhan berkehendak dan mengetahui karena diri-Nya sendiri. la
menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan madarat. Yang dimaksud
berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa atau dipaksa. Husain
juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian
yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inilah yang dinamakan kasb
dalam teori al-Asy'ari. Dari sini terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain
tidak lagi seperti wayang yang geraknya bergantung pada gerak dalang. Sebab,
tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah ru'yah, Husain berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat. Akan tetapi,Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma'rifah) pada
mata sehingga dengannya manusia dapat melihat Tuhan.
4.
Dirar ibn 'Amr
Dirar juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagai Husain, ia
berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam pandangan Dirar satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan
dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan
adalah Pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga
pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan
sebelum dan bersamaan dengan perbuatan.
Berbeda dengan Husain, Dirar berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di
akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah,
melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai "indera keenam" (al-Hassah
al-Sadisah). la juga berpendapat bahwa argumen (hujjah) yang dapat diterima
setelah wafat Nabi hanyalah konsensus (al-ijm'). Hadis ahad (tidak mufawatir)
tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak
berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan
kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan
Tuhan kepada manusia. Paham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim
dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim.
Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam
perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan
paham Asy'ariyah
Faham Jabariyah pertama kali dipopulerkan oleh Ja’d bin Dirham di Basrah
yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom seorang hamba dengan
menyandarkan semuanya kepada Allah.
Dalam pendapatnya, manusia digambarkan tidak memiliki sifat kesanggupan
yang hakiki sehingga segala perbuatannya (baik ketaatan atau kemaksiatan) pada
dasarnya adalah keterpaksaan (majburah) karena tidak berasal dari kekuasaan,
kehendak maupun usahanya sendiri. Ide jabariyah ini kemudian terpelihara dalam
gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan
aliran Jahmiyah.
Di samping menerima ide jabariyah, Jahm juga mengembangkan
pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka
bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah
bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari
kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. 1984. I’itiqad
Ahlussunnah Wal-jama’ah. Bandung: Karya
Nusantara.
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar.
2000. Ilmu Kalam. Bandung Pustaka
Setia
Raji, Sufyan Abdullah. 2006. Mengenal
Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya. Jakarta: Pustaka Al
Riyadl.
No comments:
Post a Comment