Thursday 28 December 2017

MAKALAH ILMU KALAM ALIRAN JABARIAH


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktifitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya?
Oleh karena kebanyakan sikap bangsa Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir, serta berpegang teguhnya terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat mendukung pendapatnya, maka aliran Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dia tidak mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji maupun yang tercela pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia sendiri, melainkan hanyalah ciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu orang-orang mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya, sebab dia melakukannya karena semata-mata terpaksa.
Salah satu pembicaraan penting dalam teologi Islam adalah masalah perbuatan manusia (af'al ai-'ibad). Dalam kajian ini dibicarakan tentang kehendak (masyi'ah) dan daya (istitha'ah) manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajat kepada daya dan kehendak. Persoalannya, apakah manusia bebas menentukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan dayanya sendiri, ataukah semua perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qadha dan qadhar Tuhan? Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan inilah yang kemudian melahirkan paham Jabariyah.
Menurut Ahmad Amin, persoalan ini timbul karena manusia dari satu segi melihat dirinya bebas berkehendak, melakukan apa saja yang ia suka, dan ia bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Namun, dari segi lain, manusia melihat pula bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, llmuTuhan meliputi segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi. Tuhan juga mengetahui kebaikan dan keburukan yang akan terjadi pada diri manusia. Hal demikian menimbulkan asumsi bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka muncullah persoalan jabar dan ikhtiyar, yakni apakah manusia itu terpaksa atau bebas memilih? Untuk mempejelasnya, akan diuraikan pada bab berikut ini tentang aliran Jabariah.












BAB II
ALIRAN JABARIAH

A.    Pengertian Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafyal-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat "mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan ma­nusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Memang dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, paham ini disebut fatalisme atau predistination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan.
Al-Syahrastani membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok yaitu Jabariyah ekstrim (al-khalisah) dan Jabariyah moderat (al-Mutawassitah). Jabariyah ekstrim tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Sementara Jabariyah moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.
Orang-orang yang tidak mengakui kebebasan manusia inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan "Kaum Jabariyah". Para penulis Mu'-tazilah memasukkan aliran Ahlal-Sunah dan Asy'ariyah ke dalam kelompok Jabariyah. Akan tetapi, para penulis dari pihak Asy'ariyah, termasuk al-Syahrastani, menolak pengelompokan itu. Bagi al-Syahrastani, orang yang menetapkan kasb pada manusia tidak dapat disebut Jabariyah. Anehnya, al-Syahrastani sendiri memasukkan kelompok al-Najjariyah dan al-Dirariyah ke dalam aliran Jabariyah. Padahal, aI-Najjar maupun al-Dirar termasuk orang yang memajukan teori kasb itu.
B.     Sejarah timbulnya Jabariyah
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik.
Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, "Tuhan telah menentukan aku mencuri." Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: "Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata, "Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?" Umar menjawab: "Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain." Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja'ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja'ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja'ad menerimanya dari Aban ibn Syam'an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi. Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia. Sungguhpun demikian, di dalam al-Qu'ran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat dibawa pada paham Jabariyah. Misalnya, ayat-ayat berikut ini:

Artinya: Mereka sebenarnya tidak percaya sekiranya Allah tidak menghendaki. (QS. al-An'am: 112).

Artinya: Bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar (musuh), tetapi Allahlah yang melontar (mereka). (QS. al-Anfal: 17),

Artinya: Kamu tidak menghendaki, kecuali Allah menghendaki. (Q.S. al-lnsan: 30).
Ayat-ayat ini jelas dapat dibawa pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya, mengapa hingga kini pola pikir Jabariyah itu masih tetap terdapat di kalangan umat Islam sungguhpun para penganjurnya yang pemula telah lama tiada.
C.    Tokoh-tokoh dan Ajaran Jabariyah
Sebagai telah dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah ekstrim. Tokoh lainnya adalah Husain dan Dirar. Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih terinci.
             1.    Ja'ad ibn Dirham
Sebagai telah disebutkan, Ja'ad adalah orang pertama yang mengenalkan paham Jabariyah di kalangan umat Islam, la seorang bekas budak (mawla) Bani Hakam. Ia tinggal di Damsyik sampai muncul pendapatnya tentang al-Qur'an sebagai makhluk. Karena pendapatnya ini, ia dibenci oleh Bani Umayah. Sejak itu, ia pergi ke Kufah. Di tempat ini ia bertemu dengan Jahm ibn Shafwan yang kemudian mengambil pendapat-pendapat-nya dan menjadi pengikutnya yang setia.
Sewaktu di Damsyik, Ja'ad menjadi guru Marwan ibn Muhammad, salah seorang Khalifah Bani Umayah, sehingga Marwan mendapat julukan "al-Ja'dy". Namun, pada akhir hayatnya, Marwan tidak menyukai Ja'ad. la bahkan menyuruh Khalid al-Qasari untuk membunuhnya. Khalid menghukum bunuh Ja'ad pada Hari Raya led al-Adhha. Namun, kematian Ja'ad bukan semata-mata karena pendapat-pendapatnya yang dianggap bid'ah itu, melainkan karena persoalan politik. la pernah memberontak kepada Hakam al-Amawi.
Pendapat yang dimajukan Ja'ad meliputi masalah kalam Tuhan, sifat-sifat Tuhan, dan masalah takdir. Menurut Ja'ad, al-Qur'an adalah makhluk, la merupakan orang pertama yang memajukan pendapat itu di Damsyik. la juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Artinya, Tuhan tidak dapat diberikan sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada makhluk, seperti sifat kalam atau lawannya (bisu). Sebab, kedua sifat ini dapat disandang oleh manusia. Dalam hal takdir atau perbuatan manusia, Ja'ad berpendapat bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia terpaksa atas perbuatan-perbuatannya. Semua pendapat ini diambil oleh Jahm ibn Shafwan. Jahm lah yang mengembangkan lebih lanjut dan menyiarkannya secara lebih luas.
             2.      Jahm ibn Shafwan
Sebagai Ja'ad, Jahm termasuk muslim non Arab (mawali). la berasal dari Khurasan. Mula-mula ia tinggal di Tirmidz, lalu di Balkh. Namanya terkadang dinisbatkan ke Samarkand, terkadang pula ke Tirmidz. la dikenal ahli pidato dan pandai berdialog. la pernah terlibat perbedaan dengan Muqatil. Muqatil termasuk orang yang mengakui sifat-sifat Tuhan, sedang Jahm tidak. Keduanya terlibat perbedaan sengit. Hal ini dapat dilihat dari komentar Abu Hanifah berikut ini:
Jahm sangat berlebihan dalam meniadakan tasybih sehingga ia menyatakan Tuhan bukan apa-apa Sementara lawannya, Muqatil, berlebih-lebihan pula dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga ia menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
Jahm juga menjabat sebagai sekretaris Harits ibn Syuraih di Khu­rasan, ia turut serta dalam gerakan melawan Bani Umayah. Bahkan Jahm menjadi "tangan kanan" Harits dalam melakukan propaganda baik dengan lisan maupun tulisan. Dalam pemberontakan ini, Jahm tertangkap dan kemudian dihukum bunuh oleh Salam al-Mazani. Sebelum dibunuh, Jahm meminta maaf kepada Salam, tetapi yang terakhir ini menolaknya seraya berkata, "Demi Tuhan sekiranya engkau ada dalam perutku, niscaya aku membedahnya agar aku dapat membunuhmu. Demi Tuhan, tak ada pemberontak dari Yamamah yang lebih berbahaya dari dirimu. Dengan begitu, kematian Jahm berlatar belakang persoalan politik, bukan karena ajaran yang dibawanya.
Menurut Jahm, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. la tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak, dan tidak mempunyai pilihan bebas. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan baginya. Pandangan ini ter­masuk dalam pola pikir Jabariyah ekstrim. Selain masalah keterpaksaan manusia ini, Jahm juga memajukan pendapat-pendapatnya dalam masalah konsep iman, sifat-sifat Tuhan, surga dan neraka, dan masalah melihat Tuhan di akhirat.
Menurut Jahm, iman adalah mengetahui Allah dan Rasul-Nya dan segala sesuatu yang diterimanya dari Tuhan. Pengakuan dengan lisan, tunduk dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota badan bukan bagian dari iman. Sebaliknya, kufur adalah tidak mengetahui Tuhan. Dalam pandangan Jahm, bila seseorang sudah mengenal Allah (ma'rifah), lalu ingkar dengan lidahnya, tidaklah menyebabkan ia menjadi kafir, Iman tidak berkurang dan bertambah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan di antara orang-orang yang beriman. Iman dan kufur bertempat dalam hati bukan pada anggota badan lainnya.
Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Sebagai mana Ja'ad, Jahm juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, hal ini dapat menimbulkan keserupaan Tuhan dengan makhluk (tasybih). la meniadakan sifat hayat dan ilmu Tuhan, tetapi ia mengakui bahwa Tuhan Mahakuasa, Pelaku, dan Pencipta. Sifat-sifat yang terakhir ini diterima Jahm karena menurut pendapatnya, tidak ada makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Selain sifat-sifat di atas, Jahm, menurut al-Bagdadi, juga mengakui bahwa Tuhan adalah Pemberi wujud (al-mujid), Memberi hidup (al-muhyi), dan Mematikan (al-mumit). Konsisten dengan pendapatnya tentang nafy al-shifat, Jahm berusaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang memberi pengertian adanya sifat-sifat Tuhan. Jahm cenderung pada penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk (tanzih).
Jahm juga berpendapat bahwa surga dan neraka tidak kekal. Bagi Jahm tidak ada sesuatu yang kekal selain Allah. Kata khulud dalam al-Qur'an tidak berarti kekal abadi (al-baqa al-mutlak), tetapi berarti lama sekali (thul al-muks). Dengan demikian, penghuni surga dan penghuni neraka tidak pula kekal. Keadaan mereka di surga maupun di neraka akan terputus karena tidak ada gerak yang tidak berakhir. Jahm memperkuat pendapatnya dengan ayat:
Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki. (QS. Hud: 107).
Menuruf Jahm, kekekalan yang tersebut dalam ayat ini mengandung persyaratan dan pengecualian. Kekal dan keabadian yang sesungguhnya tidak boleh ada persyaratan dan pengecualian di dalamnya.
Sebagai terlihat di atas, pendapat Jahm tentang konsep iman serupa dengan paham Murji'ah. Memang Jahm yang terdapat dalam aliran Jabariah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji'ah. Dalam masalah nafy al-sifah, al-Qur'an makhluk, dan Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, pendapat Jahm sama dengan pendapat kaum Mu'tazilah. Atau lebih tepatnya pendapat Mu'tazilah sama dengan pendapat Jahm. Karena itu, tidak heran bila golongan Mu'tazilah terkadang mendapat julukan "Jahmiyah" (pengikut Jahm). Sebagai contoh, Imam Bukhari dan Ahmad ibn Hanbal pernah menulis buku sebagai kritik terhadap kaum Jahmiyah, tetapi yang mereka maksud dengan Jahmiyah di sini adalah golongan Mu'tazilah. Abu al-Hasan al-Asy'ari sendiri dalam buku Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, mengkritik Mu'tazilah dengan nama al-Jah-miyah. Namun, kaum Mu'tazilah sendiri tidak menerirna sebutan itu. Bisyr ibn Muktamir, salah seorang pemuka Mu'tazilah menolak keras penamaan itu.
Jahm sendiri dengan berbagai pendapatnya menyandang serangan dari berbagai pihak. Kaum Mu'tazilah mengafirkan Jahm karena ia meniadakan kemampuan (daya) manusia. Sedang Ahl al-Sunah, mengafirkan Jahm karena ia meniadakan sifat-sifat Tuhan, menganggap al-Qur'an makh­luk, dan menganggap Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Sungguhpun demikian, sepeninggal Jahm, para pengikutnya tetap bertahan hingga abad ke11. Didaerah Tirmidz dan sekitarnya.Selanjutnya mereka menganut paham Asy'ariyah.
             3.      Husain al-Najjar
Husain al-Najjar merupakan salah seorang tokoh Jabariah moderat. Pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Najjariyah". Menurut Hu­sain, Tuhan berkehendak dan mengetahui karena diri-Nya sendiri. la menghendaki kebaikan dan keburukan, manfaat dan madarat. Yang dimaksud berkehendak di sini ialah bahwa Tuhan tidak terpaksa atau dipaksa. Husain juga berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu, suatu bagian yang efektif dan bukan bagian yang tidak efektif.. Inilah yang dinamakan kasb dalam teori al-Asy'ari. Dari sini terlihat bahwa manusia dalam pandangan Husain tidak lagi seperti wayang yang geraknya bergantung pada gerak dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam masalah ru'yah, Husain berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi,Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma'rifah) pada mata sehingga dengannya manusia dapat melihat Tuhan.


            4.      Dirar ibn 'Amr
Dirar juga salah seorang pemuka Jabariyah moderat. Sebagai Hu­sain, ia berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan per­buatan-perbuatannya. Dalam pandangan Dirar satu perbuatan dapat timbul dari dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah Pencipta hakiki dari perbuatan manusia. Dalam pada itu, manusia juga pelaku hakiki dari perbuatannya. Daya manusia menurut Dirar diberikan Tuhan sebelum dan bersamaan dengan perbuatan.
Berbeda dengan Husain, Dirar berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala seperti dalam paham Asy'ariyah, melainkan dengan apa yang ia sebut sebagai "indera keenam" (al-Hassah al-Sadisah). la juga berpendapat bahwa argumen (hujjah) yang dapat diterima setelah wafat Nabi hanyalah konsensus (al-ijm'). Hadis ahad (tidak mufawatir) tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum-hukum agama.


   
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Paham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. Dalam perkembangannya, paham Jabariyah dengan kedua cabangnya berinte-grasi dengan paham Asy'ariyah
Faham Jabariyah pertama kali dipopulerkan oleh Ja’d bin Dirham di Basrah yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom seorang hamba dengan menyandarkan semuanya kepada Allah.
Dalam pendapatnya, manusia digambarkan tidak memiliki sifat kesanggupan yang hakiki sehingga segala perbuatannya (baik ketaatan atau kemaksiatan) pada dasarnya adalah keterpaksaan (majburah) karena tidak berasal dari kekuasaan, kehendak maupun usahanya sendiri. Ide jabariyah ini kemudian terpelihara dalam gerakan pemikiran muridnya yaitu Jahm bin Shafwan, yang kepadanya dinisbatkan aliran Jahmiyah.
Di samping menerima ide jabariyah, Jahm juga mengembangkan pemikiran-pemikiran lain seperti mengemukakan pendapat bahwa surga dan neraka bersifat fana, iman adalah ma’rifah dan kekufuran adalah jahl, kalam Allah bersifat tidak qadim, Allah bukan sesuatu dan tidak bisa dilihat pada hari kiamat.

  

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin. 1984. I’itiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah. Bandung: Karya Nusantara.

http://cakrowi.blogspot.com/2010/05/kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.html

Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. 2000. Ilmu Kalam. Bandung Pustaka Setia

Raji, Sufyan Abdullah. 2006. Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya. Jakarta: Pustaka Al Riyadl.


No comments:

Post a Comment

Entri Populer