A. IJMA’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kebulatan tekad
terhadap suatu persoalan”, atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Secara
terminologi, menurut ‘Abdul Karim Zaidan, ijma’ adalah “kesepakatan para
mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah
Rasulullah Saw wafat”. Para ulama sepakat bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai
dalil hukum. Ada ikhtilaf mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat
dianggap ijma’. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma’
meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah (ijma’ ahl al-madinah).
Menurut Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam di kalangan mereka. Menurut
jumhur, ijma’ sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama
mujtahid.
B. Dalil Keabsahan Ijma’
QS. Al-Nisa`: 115 وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى و َيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin ,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali. Ayat tsb mengancam golongan yang menentang Rasul Saw dan mengikuti
jalan orang2 non-mukmin. Artinya, wajib hukumnya mengikuti jalan orang2 mukmin,
yaitu mengikuti kesepakatan (ijma’) mereka. Hadis Rasulullah Saw riwayat Abu
Daud dan Tirmizi:
عن ابن عمر أن رسول الله ص م قال إن الله لايجمع أمتي اَو قالَ أمةَ محمدٍ ص م على
ضلالة
Rasul Saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan
mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad Saw, atas kesesatan.
C. Landasan (Sanad) Ijma’ dan
Contoh Ijma’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil jika dalam
pembentukannya mempunyai landasan, yaitu Quran dan Sunnah. Contoh ijma’ yang
dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi
nenek dan cucu perempuan , walau tidak disebut tegas dalam QS. Al-Nisa`: 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ ...
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu)
mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup
anak dan juga cucu perempuan. Contoh ijma’ yang disanadkan atas sunnah,
kesepakatan para ulama bahwa nenek menggantikan hak ibu, jika ibu kandung si
mayit sudah wafat, dalam hal mendapat harta warisan . Dalam hadis disebutkan,
ketika ada nenek datang bertanya kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar bertanya
kepada khalayak, dan Mughirah lah yang bisa memberitahu bahwa Rasul pernah
memberi nenek 1/6 dari harta warisan cucunya.
عن ابن عمر قال جاءت الجدة أمُّ الأمْ وأمّ الأب الى ابي
بكر فسأل الناسَ فشهدَ المغيرةُ بن شعبةَ أنّ رسول الله ص م أعطاها ( رواه الترمذي )
D. Macam-macam Ijma’
Ijma’ sharih
adalah kesepakatan tegas dari para ulama mujtahid dimana masing-masing mujtahid
menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan hukum. Ijma’ sukuti
adalah bahwa sebagian ulama menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid
lainnya hanya diam tanpa komentar. Menurut Imam Syafi’i dan kalangan
Mailikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum.
Karena diamnya sebagian ulama belum tentu menandakan setuju, bisa jadi
disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung penguasa,
atau boleh jadi disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid karena
dianggap lebih senior. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah
dijadikan sumber hukum, karena diamnya sebagian ulam dipahami sebagai
persetujuan. Jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru, pasti secara
tegas menentangnya. IJMA’ SHARIH (TEGAS) IJMA’ SUKUTI (DIAM)
Dilihat dari segi bahasa, Ijma’ berarti berkumpul,
sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan Ijma’ menurut Hukum Islam ialah:
اتّفاق
مجتهدى أمّة محمّد صلّى اللهعليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الأعصار على أمر من الأمور
Artinya:
“Kesepakatan pendapat para mujtahid
Umat Nabi Muhammad SAW,
setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Macam-macam Ijma’ :
Ditinjau dari segi caranya, ijma’ itu ada dua macam, yakni:
- Ijma’ Qouli.
Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu
masa atas hukum suatu persitiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing
secara jelas, baik melalui lisan, perbuatan atau tulisan. Ijma’ ini juga
disebut dengan Ijma’ Shorikh atau Ijma Qath’i;
- Ijma’ Sukuti.
Yakni secara diam-diam. Artinya
sebagian para mujtahid suatu masa menyampaikan pendapatnya secara jelas
mengenai suatu peristiwa dengan sistem fatwa dan Qadla’ (memberi keputusan),
sedangkan sebagian mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan terhadap
pendapat tersebut mengenai persetujuan atau perbedaannya.
Ditinjau dari segi waktu dan
tempatnya, ijma’ ada beberapa macam, yakni:
- Ijma’ Ummah.
Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid
dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu;
- Ijma’ Shohaby.
Yaitu kesepakatan semua ulama’
sahabat dalam suatau masalah;
- Ijma’ Ahli Madinah.
Yaitu kesepakatan ulama’-ulama’
Madinah dalam suatu masalah;
- Ijma’ Ahli Kufah.
Yaitu kesepakatan ulama’ulama’ Kufah
dalam suatu masalah.
- Ijma’ Khalifah.
Yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dalam suatu
masalah;
- Ijma’ Syaikhoni.
Yaitu kesepakatan pendapat antara
Abu Bakar dan Umar Bin
Khattab dalam suatu masalah;
- Ijma’ Ahli Bait.
Yaitu kesepakatan pendapat dari ahli
bait (Keluarga Rasul).
Kedudukan Ijma’ Segai Dasar Hukum Islam
Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ujma’ merupakan sumber
hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga
dalam sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan
dalam nash Al-Qur’an
dan Al-Hadist, diantaranya ialah:
QS.
An-Nisa:
59.
يا
أيّها الّذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرّسول وأولى الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”.
Rasulullah
SAW bersabda:
لا
تجتمع أمّتى على الَضّلالة (رواه ابن أبى عاصم)
“Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”.
ما
رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai
kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”.
Dengan
demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan
hokum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau
kurang jelas hukumnya.
Contoh-Contoh Pelanggaran Terhadap Ijma Alaihi Wa
Sallam
MUKADDIMAH
Ijma' merupakan dasar hukum Islam nan ketiga setelah Al-Qur`ân & Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantara dalilnya yaitu firman Allah Azza wa Jalla:
Ijma' merupakan dasar hukum Islam nan ketiga setelah Al-Qur`ân & Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diantara dalilnya yaitu firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa nan
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya & mengikuti jalan nan bukan
jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan nan telah
dikuasainya itu & Kami masukkan ia ke dlm Jahannam, & Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ`/4:115].
Berdasarkan ayat nan mulia
ini, para ulama, semisal Imam asy-Syafi'i beristimbath (berkesimpulan) tentang
adanya Ijma' dlm Islam. Karena dlm ayat ini Allah kAzza wa Jalla menyebutkan
“barang siapa nan menentang Rasul” setelah hidayah datang kepadanya & dia
tak mengikuti jalan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla tak hanya mengatakan
barang siapa nan menentang Rasulullah setelah hidayah datang kepadanya.
Disamping, dia menentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia juga tak
mengikuti jalan kaum mukminin. Berdasarkan ini, maka kalimat:
سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ
menunjukkan adanya Ijma'.
Sebagaimana telah dijelaskan
oleh Imam asy-Syafi'i & para imam lainnya, juga para ulama bahwa maksud kata
“al-mu`minin” dlm ayat di atas ialah para sahabat. Oleh karena itu, Ijma'
secara keseluruhan nan mungkin terjadi menurut para ulama' adalah Ijma'
sahabat.
Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dlm risalah beliau al-'Aqidah al-Wasithiyah menjelaskan:
“Ijma' merupakan dasar ketiga nan dijadikan sebagai sandaran dlm masalah ilmu
& agama. Dengan 3 dasar inilah (yaitu, Al-Qur`ân, as-Sunnah, &
Ijma'-red), ahlussunnah menimbang (mengukur) semua nan bersumber dari manusia,
berupa perkataan & perbuatan, lahir & bathin, nan berkait dgn agama. “
Pernyataan “Ijma' secara
keseluruhan hanya mungkin terjadi pada masa sahabat”, bukan berarti setelah
mereka tak ada Ijma'. Akan tetapi, Ijma' para sahabat lebih mungkin terjadi,
karena mereka belum tersebar ke berbagai kota serta belum banyak orang ‘ajam
(non Arab) nan masuk Islam, juga belum ada firqah-firqah dlm Islam.
Sebagaimana Ijma' terjadi
pada masa sahabat, juga Ijma' terwujud pada masa setelah masa sahabat. Ijma'
mereka ini terjadi dlm berbagai permasalahan. Oleh karena itu, para ulama telah
menulis beberapa kitab mengenai Ijma' ini. Seperti Imam Ibnul-Mundzir
rahimahullah dgn kitabnya nan terkenal, yaitu Kitab al-Ijmâ. Manhaj` beliau
rahimahullah sama dgn manhaj Ibnu Jarir ath-Thabari dlm mendefinisikan al-Ijma'.
Kemudian al-Imam Ibnu Hazm
rahimahullah nan menulis tentang Maraâtibul-Ijma' & menjelaskan apa-apa nan
telah disepakati oleh para ulama dari kalangan para sahabat, tabi'in &
tabi' tabi'in & seterusnya.
Singkat kata, seluruh ulama
sepakat tentang adanya Ijma' dlm Islam. Ini bagian pertama nan harus kita ini
ketahui.
Kemudian nan kedua: nan
mereka jadikan dasar nan utama adalah Ijma' para sahabat, kemudian Ketiga,
Ijma' para ulama. Yaitu kesepakatan mereka dlm suatu hal. Dan terkadang mereka
berbeda pendapat, apakah sudah terjadi Ijma' ataukah belum ?
Ijma' juga dapat terjadi dlm
disiplin ilmu tertentu. Misalnya, para muhadditsin memiliki Ijma' bahwa hadits
اخْتِلاَفُ
أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
adalah hadits nan tak
memiliki sanad sama sekali.
Ini merupakan Ijma'
(kesepakatan) para muhadditsin (ulama ahli hadits). Mereka telah meneliti
hadits terebut, namun tak menemukan sanadnya.
Begitu juga kesepakatan
mereka bahwa hadits maudhu` (palsu), dha'îfun Jiddan (sangat lemah), mungkar,
tak boleh dijadikan hujjah (landasan) secara mutlak, termasuk dlm
fadhâ`il-a'mâl, targhib (janji) & tarhîb (ancaman). Ini Ijma' mereka.
Mereka hanya berselisih terkait hadits nan lemah namun tak terlalu parah,
bisakah dijadikan hujjah? Sebagian ulama mutâkhirin, seperti Imam Nawâwi, al-
Hâfizh & Imam Suyûthi, mengatakan boleh hanya utk fadhâ`il-a'mâl saja, tak
utk hukum, 'aqîdah & tafsir Al-Qur`ân.
Ijmâ' para ulama hadits ini,
telah dilanggar oleh sebagian orang, atau kebanyakan orang di negeri kita ini
ini, bahkan oleh orang nan tergolong terpelajar nan tak mengindahkan Ijmâ' para
muhadditsîn. Buktinya, mereka sering membawakan hadits:
اخْتِلاَفُ
أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Atau membawakan
hadits-hadits palsu, atau nan sangat lemah utk fadhâ`il-a'mâl. Mereka
beralasan, hal ini boleh. Padahal para ulama telah mengisyaratkan,
hadits-hadits nan bisa dijadikan hujjah dlm fadhâ`il-a'mâl itu tak terlalu
lemah atau bukan hadits maudhû`. Bahkan saya pernah bertemu dgn salah seorang
pelajar dari salah 1 perguruan tinggi di negeri kita ini ini & berdialog
tentang permasalahan hadits nan boleh dipakai sebagai hujjah atau dibawakan.
Kesimpulannya bahwa mereka tak mengerti atau tak mengetahui Ijma' para ulama.
Yaitu kesepakatan mereka bahwa hadits-hadits maudhu` & sangat lemah tak
boleh dijadikan hujjah dlm fadhâilul-a'mâl. Ini salah 1 contoh Ijma' para
muhadditsîn.
Contoh lain,menurut para
ahli bahasa Arab terdahulu telah Ijma' bahwa makna istiwa` nan terdapat dlm
banyak firman Allah Azza wa Jalla, di antaranya:
اللَّهُ
الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ
عَلَى الْعَرْشِ
Allah-lah nan meninggikan
langit tanpa tiang (sebagaimana) nan kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di
atas 'Arsy,…. [ar Ra'd/ 13:2].
Adalah secara hakiki
sebagaimana nan Allah Azza wa Jalla firmankan. Istiwâ' adalah istiwâ'
(bersemayam) nan telah diketahui maknanya sebagaimana dikatakan oleh Imam
Mâlik. Istiwâ` tak bisa dimaknai dgn istaula (menguasai). Salah seorang ahli
bahasa Arab, yaitu Imam Ibnul-A'rabi rahimahullah pernah ditanya tentang makna:
الرَّحْمَٰنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Beliau menjawab, sebagaimana
nan Allah Azza wa Jalla firmankan, istiwa` yaitu bersemayam di atas Arsy-Nya
secara hakiki. Lalu orang itu menyanggah dgn mengatakan bahwa maknanya adalah
istaula. Maka Imam Ibnul-A'râbi menjawab: “Diamlah engkau Karena makna istaula
adalah 2 nan berlawanan lalu salah satunya mengalahkan nan lain. Demikian,
makna dialog antara Ibnul-A'râbi nan dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dlm
kitab Ijtimâ`ul Juyûsyil Islâmiyah, yaitu Ijma' para ahli bahasa Arab terdahulu
tentang makna istiwa`.
Muhammad bin an-Nadhr
menceritakan: “Saya pernah mendengar Ibnul-A'râbi sang ahli bahasa mengatakan,
Ibnu Abi Du'ad ingin agar saya mencarikannya pada sebagian bahasa Arab &
makna bahasa Arab bahwa ada istawa` nan bermakna istaula. Maka saya katakan
kepadanya, demi Allah, ini tak ada & saya tak akan mendapatkannya”. –
dinukil dari kitab Ijtimâ`ul Juyûsyil Islâmiyah.
Tidak pernah dikenal dlm
bahasa arab bahwa istiwa' maknanya istaula (menguasai). Sebagaimana perkataan
Jahmiyah, Mu'tazilah, Asy'ariyyah & Maturudiyah & orang-orang nan
mengikuti mereka. Nah, banyak sekali contoh-contoh Ijma' nan telah disalahi
oleh kaum muslimin. Khususnya para pemimpin agama, lebih khusus lagi di negeri
kita ini ini.
Saya akan memberikan contoh
lain.
Pertama: Bahwa para sahabat
telah Ijma' & mereka tak pernah berselisih dlm menetapkan sifat-sifat Allah
Azza wa Jalla nan Allah Azza wa Jalla telah sebutkan dlm Al-Qur`ân &
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada di antara
mereka nan bermadzhab dgn madzhab tahrîf (merubah makna nan hak kepada makna
nan bathil). Contoh, kalimat “wajah” dlm firman Allah Azza wa Jalla:
وَيَبْقَىٰ
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dan tetap kekal wajah Rabbmu
nan mempunyai kebesaran & kemuliaan. [ar-Rahmân/55:27].
Kata “wajah” dlm ayat di
atas ditafsirkan dgn dzat. Sebuah penakwilan bathil nan pada hakikatnya adalah
tahrîf (merubah), jika “wajah” diartikan dgn Dzat Allah. Para sahabat
menetapkan wajah adalah wajah. Demikian juga dgn tangan, nuzulnya Allah Azza wa
Jalla pada setiap sepertiga malam nan terakhir, sebagaimana hal ini terdapat
dlm hadits shahîh, muttafaq 'alaih. (*1)
Allah Azza wa Jalla
“bersemayam”, maksudnya bersemayam secara hakiki sesuai dgn keagungan &
dzat-Nya. Para sahabat, orang Arab asli mengetahui makna ini & tak merubah.
Tetapi ahli bid'ah, dari dulu & sekarang telah merubah makna nan haq ini ke
nan bathil.
Kita sedang berbicara
mengenai kaum muslimin di negeri kita, khususnya para tokoh agama nan mengikuti
tahrîf nan dilakukan oleh Jahmiyah & Mu'tazilah. Contoh, salah seorang
tokoh agama, Sirajuddin Abbas menulis buku I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah.
Buku ini sangat terkenal & belasan kali dicetak ulang & beredar di
Indonesia, Malaysia, & sekitarnya. Penulis buku ini telah merubah
sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seperti tangan diartikan dgn kekuasaan; wajhu
diartikan dgn dzat; Turun diartikan dgn turunnya rahmat Allah k &
seterusnya. Tindakan ini jelas menyalahi Ijma' para sahabat.
Imam Ibnul-Qayyim
rahimahullah dlm kitabnya, I'lâmul-Muwaqqi'in, pada awal-awal jilid pertama
menjelaskan, para sahabat tak pernah berselisih (sepakat) dlm menetapkan
sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Maka para ustadz & kiai nan melakukan
tahrif saat menjelaskan nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla seperti ini,
berarti telah mengikuti Mu'tazilah, Jahmiyah, & nan sepaham seperti kaum
Asy'ariyah & Maturidiyyah.
Di pesantren-pesantren atau
di sekolah-sekolah diajarkan bahwa sifat Allah Azza wa Jalla itu ada 2 puluh,
padahal sifat & nama Allah Azza wa Jalla itu sangat banyak, tak terbatas,
hanya Allah Azza wa Jalla nan mengetahuinya. Bahkan mereka membantah
orang-orang nan mengikuti Al-Qur`ân & hadits shahîh & Ijma' para
sahabat dlm menetapkan nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa Jalla serta
menyematkan gelar pada mereka sebagai mujasssimah (orang-orang nan menjisimkan
Allah Azza wa Jalla) atau musyabbihah (orang-orang nan menyerupakan Allah Azza
wa Jalla dgn makhluk-Nya). Ucapan ini dikatakan langsung oleh Sirajudin Abbas
dlm bukunya di atas .
Permasalahan ini merupakan
permasalahan nan sangat besar, karena pembicaraan mengenai nama-nama &
sifat-sifat Allah Azza wa Jalla merupakan bagian dari mentauhidkan Allah Azza
wa Jalla. Kebanyakan kaum muslimin di Indonesia beraqidah seperti nan
disampaikan oleh Sirajuddin Abbas, & sedikit di antara mereka nan mengikuti
Ijma' para sahabat.
Apa nan mereka ajarkan, baik
secara lisan maupun tulisan tentang nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa
Jalla kebanyakan menyalahi Ijma' para sahabat. Perhatikanlah Bagaimana mereka
telah melakukan tahrîf dlm masalah nama-nama & sifat-sifat Allah Azza wa
Jalla ? Dan pembawa benderanya adalah Sirajuddin Abbas dlm tulisan-tulisannya.
Kemudian diikuti oleh para tokoh agama, kiai & ustadz.
Mereka menyandarkan hal ini
kepada madzhab Asya'irah. Madzhab Asya'irah bukan Abul-Hasan al-Asy'ari, karena
beliau rahimahullah telah meninggalkan madzhab ini. Sebagaimana beliau
rahimahullah jelaskan dlm al-Ibânah fi Ushulid-Diyanah. Namun anehnya,
orang-orang Asy'ariyyah (para pengikut Imam Abul-Hasan al-Asy'ari) tak
mengindahkan & tak memperdulikan kitab ini.
Abul Hasan al Asy' ari
rahimahullah dlm kitab al Ibaanah, dgn tegas mengatakan bahwa beliau
rahimahullah mengikuti madzhab Salaf secara keseluruhan, terlepas dari beberapa
kritikan dari sejumlah ulama terhadap beberapa point dlm kitab ini.
Sebenarnya Asy'ariyah
sekarang ini, mereka mengikuti madzhab Ibnu Kullaab nan mengambil sebagiannya
dari Mu'tazilah & Jahmiyyah.
Kita tahu bahwa Abul-Hasan
rahimahullah mengalami 3 fase.
Fase pertama, beliau berada di Mu`tazilah. Kemudian fase Kedua, beliau rahimahullah meninggalkan Mu`tazilah & mengikuti Ibnu Kullâb nan banyak menakwil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.
Fase pertama, beliau berada di Mu`tazilah. Kemudian fase Kedua, beliau rahimahullah meninggalkan Mu`tazilah & mengikuti Ibnu Kullâb nan banyak menakwil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.
Perlu diketahui, Ibnu Kullâb
adalah madzhab nan berdiri sendiri. Pada zaman dahulu, sebelum Abul Hasan
al-Asy'ari, bahkan sebelum Ibnu Kullab, dlm masalah nama-nama & sifat-sifat
Allah Azza wa Jalla ada 2 madzhab. Yaitu madzhab Salaf & madzhab Jahmiyah,
Mu`tazilah. Kemudian muncullah madzhab Ibnu Kulaab nan ingin memadukan antara
madzhab Salaf & Jahmiyah, tapi pengaruh Mu`tazilah & Jahmiyah masih
melekat, meskipun mereka menetapkan sebagian sifat & nama Allah Azza wa
Jalla.
Imam Abul-Hasan al-Asy'ari
rahimahullah meninggalkan Mu`tazilah menuju madzhab Ibnu Kulâb. Madzhab Ibnu
Kullâb inilah nan diikuti oleh orang-orang Asy'ariyyah saat ini. Mereka tak
tahu bahwa Abul- Hasan al-Asy'ari telah meninggalkannya & masuk ke fase
ketiga di akhir hidupnya yaitu mengikuti madzhab salaf & menulis kitab al-
Ibânah. Ini menurut sebagian ulama.
Contoh lain, para sahabat
telah berijma' bahwa setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat,
tak ada lagi nan meminta-minta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mendatangi kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memohon kepada Allah
melalui perantara beliau, padahal para sahabat Radhiyallahu 'anhum mengalami
masa-masa krisis. Tidak ada seorangpun nan mendatangi kubur beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam utk meminta agar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa
kepada Allah Azza wa Jalla utk mereka.
Imam Bukhaari rahimahullah
mencatat sebuah hadits nan sangat agung menjelaskan tentang Ijma' mereka ini
& tentang kemurnian aqidah mereka. Juga menceritakan bahwa 'Umar bin
Khaththaab Radhiyallahu 'anhu bertawassul dgn 'Abbaas bin 'Abdul-Muthalib
ketika terjadi musim kemarau, lalu 'Umar berdoa:
اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
“Ya, Allah Dahulu kami
bertawassul dgn Nabi kami kepada-Mu lalu Engkau menurunkan hujan bagi kami. Dan
sekarang kami bertawassul kepada-Mu dgn paman Nabi kami maka berilah kami
hujan”. Anas bin Malik berkata: “Lalu mereka diberi hujan”.
Ini sebuah hadits shahih.
kita ini dapati 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, seorang khalifah
bersama para sahabat sedang mengalami kesusahan karena kemarau nan
berkepanjangan. Mereka tak mendatangi kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam utk memohon langsung kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm, atau
menjadikan beliau sebagai wasilah, padahal jaraknya hanya beberapa langkah
saja. Mereka sepakat minta kepada 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, paman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam utk berdoa agar Allah Azza wa Jalla menurunkan hujan
buat mereka.
Coba, kita ini perhatikan
perkataan Umar Radhiyallahu 'anhu: “Dahulu kami bertawassul dgn Nabi kami
kepada-Mu”. Maksudnya, dahulu semasa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih
hidup. Setalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, mereka sepakat tak
bertawassul dgn beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang mereka menjadikan kuburan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai tempat perayaan:
لَا
تَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
حَيْثُ كُنْتُمْ
Janganlah kalian menjadikan
kuburanku sebagai tempat perayaan & bershalawatlah kepadaku. Sesungguhnya
shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada. [HSR Abu Dâwud]
Ijma' ini dilanggar oleh
banyak tokoh-tokoh agama di negeri kita ini ini. Bahkan ada di antara mereka
nan menganjurkan utk memohon kepada Allah Azza wa Jalla lewat perantara
orang-orang nan sudah mati, bahkan memohon langsung kepada nan sudah mati.
Saya ambil contoh lagi,
Sirajuddin 'Abbas dgn tegas dlm bukunya menganjurkan utk mendatangi kuburan
Nabi, bertawassul dengannya dlm memohon kepada Allah Azza wa Jalla, bahkan
mendatangi Syaikh 'Abdul-Qadir al-Jailani & lain-lain. Dan menurut mereka, inilah
berdoa dgn tawassul. Lagi-lagi, mereka merubah makna tawassul nan hakiki dgn
makna nan bid'ah & syirik. Padahal para sahabat telah Ijma' pada zaman
mereka, tak meminta kepada nan telah mati, bagaimanapun tinggi kedudukannya,
termasuk kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena Ahlus-Sunnah
membolehkan ziarah kubur kaum muslimin, juga kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, tetapi para sahabat juga telah Ijma' tak boleh mengadakan safar utk
ziarah kubur meskipun kubur nan akan diziarahi itu kuburan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian Ijma' mereka ini diikuti oleh tabi'in, tabi'
tabi'in sampai imam nan empat, yaitu Imam Mâlik rahimahullah, Abu Hanifah,
rahimahullah Syafi'i rahimahullah & Ahmad rahimahullah, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang:
لَا
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَمَسْجِدِ ي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Kemudian contoh ketiga,
yaitu di antara Ijma' sahabat nan banyak dilancangi di negeri kita ini ini oleh
sebagian kaum muslimin yaitu selamatan kematian nan dikenal dgn istilah
tahlilan. Padahal Jarir bin 'Abdillah dgn tegas mengatakan dlm atsar nan
diriwayatkan oleh Imam Ahmad & Ibnu Majah & saya (Ustadz Abdul-Hakim
bin Amir Abdat, Red. ) jelaskan takhrîj atsar ini dlm buku saya tentang hukum
tahlilan menurut 4 madzhab:
كُنَّا
نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ
النِّيَاحَةِ
Kami menganggap
berkumpul-kumpul di tempat keluarga mayit & membuat makanan (setelah
pemakaman) termasuk meratap.
Ini Ijma' para sahabat.
Selamatan kematian di negeri kita ini ini, baik selamatan hari pertama, ketiga,
ketujuh, hari keseratus bahkan keseribu, adalah bid'ah munkarah nan menyalahi
Ijma' para sahabat. Tapi kita ini lihat tokoh-tokoh mereka membela bid'ah nan
terang-terangan menyalahi Ijma' para sahabat. Dengan lisan & tulisan, tak
sedikit di antara mereka nan menulis bahwa selametan kematian itu ada dlm
Islam. Itu beberapa contoh penyimpangan sebagian kaum muslimin terhadap Ijma'
para sahabat Radhiyallahu 'anhu,
Demikianlah, beberapa contoh
Ijma' nan dilancangi oleh sebagian kaum muslimin.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
B. Syarat-syarat Ijma’.
Dari definisi ijma’ di atas
dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di
bawah ini.
1). yang bersepakat adalah
para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.
secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan
dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami”
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat
terpuji dan mampu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan
mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2) Yang bersepakat adalah
seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit,
maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus
mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu
sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud
kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu
pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3) Para mujtahid harus umat
Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak
bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang
berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa
mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah
wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu
dianggap sebagai syariah.
5) Kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya
dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[1]
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu
kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap
pendapat yang telah dikemukakan.[2]
D. Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban
melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah
terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu
tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang
diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus
memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan
mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang
permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun
yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi
bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil
yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena
masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir
daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.[3]
E. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah)
berdasarkan dua dalil berikut:
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat
terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut
Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah
disepakati dapat dijadikan argumentasi.[4]
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya,
apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih
atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat.
Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan
dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah
ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan
Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam,
Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya
adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul”
dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang
oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.[5]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan
sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat
mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada
suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang,
dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur
Firman Allah SWT. dalam
surat Annisa’ ayat 115.
Artinya:
Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka
yagn tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan
dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal
itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman
itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh
orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak
mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam
Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya
sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan
apakah hal itu qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan
adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’
ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka
adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya
terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila
memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang
kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai
hujjah yang qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak
bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[6]
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil
pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar
dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/
sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’
sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam
pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang
bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan
sebaliknya.
B. SARAN DAN KRITIKAN
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber
Islam (ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil
dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan
konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
No comments:
Post a Comment