Friday 3 February 2017

MAKALAH ULUMUL QUR'AN





بسم الله الرحمن الر حيم  
A.    Pengertian ulumul qur’an
Kata ‘ulum al-qur’an dalam bahasa arab adalah termasuk mukarrab idlafi. Kata ‘ulum itu sendiri adalah bentuk plural atau jama’ dari kata ‘ilm yg berarti ilmu-ilmu. Kata ilmu adalah bentuk masdar dari kata ‘alima, ya’lamu, yg maknanya sama dengan kata al-fahmu, al-ma’rifah al-yaqin.’Ulum al-qur’an jenis dan masalahnya beragam. Penggunaan atau susunan kata semacam ini dapat dianalogikan dengan ungkapan yg biasa digunakan oleh para fuqaha’ didalam kitab mereka
Secara etimologi, ungkapan ini berarti ilmu-ilmu al-qur’an. Kata ‘ulum yg disandarkan kepada kata “al-qur’an” telah memberikan pengertian, bahwa ilmu ini maupun kumpulan sejumlah ilmu yg berhubungan dengannya dan selalu dibaca oleh kaum muslimin diyakini sebagai kitab suci yg memberikan petunjuk kepada jalan yg lebih lurus.
Terdapat berbagai defenisi tentang yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ( ilmu- ilmu Al-Qur’an ). contohnya yaitu :
1.      Ulumul Qur’an adalah Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keragu-raguan terhadap Al-Qur’an dan sebagainya.
2.      Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang keadaan al-qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna–maknanya, baik yang berhubungan dengan lafal-lafalnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.
3.      Ulumul Qur’an adalah sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, mulai dari proses penurunan, urutan penulisan, kodifikasi, cara pembaca, penafsiran, nasikh mansukh, muhkam mutashabih serta pembahasan lainnya.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an. [1]
Dari definisi-definisi yg telah dikemukakan di atas dapat dipahami,     bahwa ‘ulum al-qur’an ialah ilmu yg berisi pembahasan mengenai segala macam ilmu yg ada hubungannya dengan al-qur’an, baik yg berupa ilmu-ilmu agama seperti halnya ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa arab seperti ilmu I’rab al-qur’an atau bahkan ilmu Gharib al-qur’an dan lain sebagainya.
B.     Ruang Lingkup pembahasan Ulumul Qur’an

                                  Dari uraian diatas tergambar bahwa Ulumul qur’an adalah ilmu-ilmu yg berhubungan dengan berbagai aspek yg terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an, sejarah, dialektika, dan pemahamannya.
                      Secara garis besar        ruang lingkup dari Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut:3
1.      Ilmu mawathin an-nuzul                                 4. Ilmu Qira’at
2.      Ilmu Tarawikh an-nuzul                                  5. Ilmu tajwid
3.      Ilmu asbab an-nuzul                                        6. DLL

Karena begitu luasnya ruang lingkup kajian ilmu-ilmu al-qur’an itu, sehingga imam Badruddin al-zarkasyi menandaskan: “bahwa ilmu-ilmu yg merupakan cabang dari ‘ulum al-qur’an itu tidak terhitung banyaknya…”4 Cabang ilmu bahasa, seperti ‘ilmu nahwu(sintaksis), sharf (morfologi), balaghah (stilistik), ma’ani al-mufradat (leksikologi).
Pembahasan ‘Ulumul Qur’an memang banyak, tetapi dapat klasifikasi berdasarkan tema-temanya.
Pertama, pembahasan-pembahasan yg berpautan dengan Nuzul Al-qur’a yaitu:
a)      Auqat Al-nuzul wa mawathin Al-nuzul
b)      Asbabun Nuzul
c)      Tarikhun Nuzul[2]

Kedua, pembahasan masalah sanad.  Hal ini berhubungan dengan enam macam persoalan, yakni yg mutawatir, ahad, syadz, beragam qiraat Nabi, para perawi dan huffazh, kaifiyat Al-tahammul(cara penerimaan riwayat).

Ketiga, masalah bacaan (tata cara membaca), yaitu soal waqaf, ibtida’, imalah, madd, men-takhfif-kan (meringankan bacaan) hamzah, idgam, dan lain-lain.

Keempat, masalah pembahasan lafaz. Hal ini terkait dengan beberapa soal, yaitu gharib, mu’rab, majaz, musytarak, mutaradif, isti’arah, dan tasyibih.
Kelima, masalah makna-makna Al-Qur’an yg berpautan dengan hukum.

Keenam, masalah makna-makna Al-Qur’an yg berpautan dengan lafaz, yaitu, fashl dan washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.5

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa disamping ilmu pengetahuan agama dan ilmu bahasa arab secara keseluruhan menjadi ruang lingkup bahasan ilmu-ilmu al-Qur’an, tidak terkecuali ilmu pengetahuan umum jga termasuk didalamnya.

C.     Pertumbuhan dan perkembangan ulumul qur’an

1.                  Pertumbuhan ulumul Qur’an
Ulumul qur’an itu sendiri bermula dari rasulullah saw dan para sahabatnya adalah orang yg dianggap paling banyak pengetahuannya tentang al-qur’an, melebihi pengetahuan para ulama’ setelahnya. Karena rasulullah s.a.w. sendiri, berikut para sahabatnya adalah mengetahui secara pasti makna al-qur’an baik yg tersurat maupun yg tersirat. Hal ini disebabkan, oleh karena rasulullah s.a.w sendiri menerima wahyu secara langsung dari Allah S.W.T, sedangkan para sahabat sendiri adalah orang-orang yg sangat “ambisi” dan bersemangat untuk mengetahui dan memahami kandungan al-qur’an.
Para sahabat nabi tersebut adalah orang-orang yg memiliki keistimewaan, baik dalam hal kecerdasan, hafalan maupun rasa bahasa dan lain-lain. Sehingga dengan sendirinya dapat menyerap ilmu-ilmu al-qur’an dan segi-segi kemukjizatnya dengan kejernihan fitrah mereka.6 oleh karena itu, penyampaian ilmu-ilmu al-qur’an lain-lain secara langsung melalui penuturan dari mulut ke mulut (bi al-talqin wa al musyafahah) adalah merupakan satu-satu alternatif yg ditempuh dalam peroses belajar mengajar pada masa rasulullah s.a.w. serta zaman pemerintahan khalifah Abu bakar dan Umar.r.a.[3]
Pada masa pemerintahan khalifah usman keadaan sudah mulai berubah, yg mana orang-orang arab sudah mulai berintraksi dengan masyarakat non arab (‘ajam) melalui berbagai kegiatan, sehingga khalifah ketiga tersebut memerintahkan agar kaum muslimin ketika itu berpegang dan berpedoman pada mushhaf  induk, serta mereproduksi mushhaf  tersebut menjadi beberapa buah naskah untuk dipedomani, dan dikirim ke berapa daerah.
Sepeninggalan khalifah Usman, Ali bin Abi Thalib naik sebagai khalifah keempat. Pada masa ini hubungan antara orang-orang arab dengan yg non arab(ajam) semakin meluas dan intraksi mengenai berbagai hal pun juga semakin berkembang.[4]
Oleh karena itu, khalifah keempat pun memerintahkan kepada abu al-aswad al-dauli. Agar menetapkan pramasastra (kaidah-kaidah) bahasa arab dengan maksud menjaga keselamatan dan keorisinolan al-qur’an. Dengan demikian, khalifah ali lah orang pertama yg dianggap meletakkan dasar-dasar ‘ilmu al-nahwu dan ‘ilmu I’rab al-qur’an, yaitu ilmu yg sangat vital untuk dimiliki oleh setiap mufassir yg ingin menafsirkan al-qur’an.7
Atas dasar itulah, maka dapat dikatakan bahwa printis dan peletak dasar ilmu-ilmu al-qur’an tersebut, dari golongan sahabat ialah khalifah yg empat yaitu (Abu bakar, umar, usman dan ali bin abi thalib). Ibnu abbas, ibnu mas’ud, zaen bin tzabit, ubay bin ka’ab, abu mus al-asy’ariy dan abdullah bin zubair.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu al-qur’an itu bersamaan tumbuhnya dengan mulainya diajarkan al-qur’an oleh rasulullah s.a.w. dan mulai dipelajari  oleh para sahabat beliau. Sebab tidak mungkin al-qur’an itu dapat dipahami dan dimengerti secara baik dan benar tanpa dipahami dan dimengerti ilmu-ilmunya, dan itu secara otomatis sudah dimiliki oleh para sahabat lebih-lebih oleh sumber utamanya, yaitu rasulullah s.a.w. sendiri.

2.perkembangan Ulumul Qur’an
a.       Abad I dan II Hijriyah
pada masa nabi, abu bakar, umar, ‘ulumul qur’an belum dibukukan. Namun, dengan merujuk pada definisi ‘ulumul qur’an sebelumnya, sesungguhnya pada masa ini, ia mulai tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pada masa utsman, penulisan al-qur’an diseragamkan untuk menjaga persatuan umat islam. Yg dilakukan oleh utsman tersebut merupakan rintisan bagi lahirnya ‘ilmu Al-rasm Al-Utsmani. Pada saa          t nabi hidup, setiap kali sahabat menanyakan suatu ayat, mereka langsung menanyakan kepada beliau. Namun, saat nabi telah wafat, mereka berijtihat dalam memberikan penafsiran al-qur’an. Selanjutnya para sahabat berpencar diberbagai negara dan mereka mempunyai murid di setiap tempat tinggal mereka yg baru.
            Abad ke-2 hijriyah dikenal sebagai masa pembukuan(ashr al-tadwin) khususnya dalam pembukuan hadis dengan beragam babnya. Pada masa ini juga terdapat pembukuan tafsir al-qur’an (bi al-ma’thur) baik rujukannya dari rasul, sahabat maupun tabi’in. [5]

b.      Abad III dan IV Hijriyah
beberapa cabang ‘ulumul quran pada abad ini mulai bertambah. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      ‘ilmu asbab al-nuzul
2.      ‘ilmu al-nasikh wa al-mansukh dan ilmu al-qiraat
3.      Ilmu al-makki wa al-madani.
4.      Ilmu gharib al-quran

c.       Abad V dan VI Hijriyah
            pada masa ini cabang ulumul quran semakin bertambah, terutama dengan munculnya ilmu I’rab al-quran dan ilmu mubhamat al-quran. Adapun ulama yg berjasa dalam pengembangan ulumul quran pada masa ini sebagai berikut:
1.      Ali ibn ibrahim bin sa’id al-hufi.
2.      Abu ‘amr Al-Dani
3.      Abu al-qasim ibn abdirahman al-suhaili
4.      Ibn al-jauzi.8
d.      Abad VII dan VIII Hijriyah
            pada masa ini ‘ulumul qur’an mempunyai cabang baru, yaitu ‘ilmu majaz al-quran dan tersusun pula ilmu al-qiraat. Berikut ini merupakan cabang-cabang ulumul quran yg muncul dan berkembang pada masa ini:
1.      Ilmu majaz al-quran                5.ilmu amtsal al-quran
2.      Ilmu bada’i al-quran                6.ilmu al-qiraat
3.      Ilmu aqsam al-quran
4.      Ilmu hujjaj al-quran

e.       Abad IX dan X Hijriyah
            masa ini merupakan masa produktif dalam penulisan diskursus ulumul quran dan merupakan puncak kesempurnaan masa penulisan.
            Jalaluddin al-bilqini menyusun kitab mawaqi al-ulum min al-mawaqi al-nujum. Muhammad ibn sulaiman al-kafiyaji menyusun kitab al-taisir fi qawa’id tafsir. Al-suyuthiy menyusun kitab al-tahbir fi ulum al-tafsir. Setelah suyuthiy wafat pada tahun 911H, perkembangan ilmu-ilmu al-quran seolah-olah telah mencapai puncaknya dan berhenti. Stagnasi ini terus berlanjut hingga akhir abad XIII H.9

f.       abad XIV Hijriyah
            ulumul quran digunakan dan dirintis oleh ibn al-marzuban (309 H) pada abad III. Dilanjutkan oleh ali ibn ibrahim ibn sa’id al-hufi(430 H) pada abad V. kemudian dikembangkan oleh ibn al-jauzi (597 H) pada abad VI dan diteruskan oleh al-sakhawi (643 H) pada abad VII. Selanjutnya disempurnakan oleh al-zarkasyi (794 H) pada abad VIII dan ditingkatkan lagi oleh al-bulqini (824 H) [6]dan al-kafiyaji (879 H) hingga akhirnya disempurnakan lagi oleh al-suyuthiy pada akhir abad IX dan awal abad XIII H.
D.    Urgensi Mempelajari Ulumul Qur’an
Tanpa mempelajari Uluumul Qur-an sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari ilmu tersebut.
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:
- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an.
- Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehiB. Manifestasi Iman dalam Bidang Kekhalifahan
Dalam suatu penggalan Al-Qur'an yang sangat dramatis dan mengesankan,tuhan mengatakan kepada kita bahwa dia telah menawarkan amanat-Nya kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya; bahwa hanya manusialah yang mau menerimanya.
Seorang pemikir Pakistan Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa manusia adalah patner Tuhan dalam menjaga stabilitas alam semesta. Dari itulah manusia disebut sebagai khalifah fi al-ardh. Tentunya seorang yang memiliki keimanan akan bertanggung jawab penuh atas kepercayaan yang dibebankan Tuhan kepadanya.
Manusia mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan dengannya manusia memiliki potensi untuk menjadi al-insanu al-kamil (manusia sempurna) atau dalam bahasa Iqbal dibahasakan dengan Insan Cita.
Namun lain halnya dengan orang yang beriman. Orang yang tidak memiliki rasa keimanan serta tidak mengerti akan eksistensi sebagai manusia, dia akan membuat kerusakan dan mengadakan pertumpahan darah di muka bumi sebagai mana yang ditakutkan oleh malaikat yang diabadikan Allah dalam Al-Qur'an "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Murtadlha Mutahari memberikan pernyataan bahwasanya ada tiga potensi pada manusia. Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia.
Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq biologi syang memiliki akal untuk berfikir merumuskan perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan
al-kamil.
Potensi yang ketiga adalah potensi manusia sebagai insan. Pada potensi inilah manusia dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna. Yaitu manusia memiliki tiga potensi sebagi makhluq biologis yang memiliki akal fikiran dan disempurnakan dengan adanya hati nurani yang senantiasa menuntun kepada perbuatan kebajikan, merindukan kedamaian, keselarasan, keharmonisan, serta ketertiban di muka bumi.


[1] [1] .Nuruddin’Itr, ‘ulumu al-Qur’an al-karim (damaskur, Matba’ah al-shabah, 1996) cet.6.h.  87-88

4. badruddin al-Zarkasyi, al-burhan ft’Ulumul al-Qur’an, (beirut-Libanon: Dar al-  ma’rifah, 1972), h. 30

[3] Ash-Shidddieqy,1997: 96-97 h.30

6. muhammad Bakr Ismail, op.cit.,h. 14-5

[5] muhammad bakar isma’il, op.cit.,h. 16. Lihat al-zarqaniy, manahilal-‘irfan, h.30

[6] masifuk zuhdi, 1980: 28-29
    masifuk zuhdi, 1980: 30

No comments:

Post a Comment

Entri Populer