Wednesday 30 November 2016

MAKALAH IJTIHAD



A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata :
إِ جْتَهَدَ – يَجْتَهَدِ – إِ جْتِهَا دًا             
                   Artinya: mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Para ahli ushul fiqh merumuskan pengertian ijtihad yaitu.,
بَذْلُ ا لْجُهْدِ لِلْوُ صُوْ لِ اِ لَى الْحُكْمِ الشَّرْ عِيِ مِنْ دَ لِيْلِ تَفْصِيْلى مِنَ ا لْاَ دِ لَّةِ ا لشَّرْ عِيَّةِ
Atrinya : “pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara’ pula”
Ijtihad berasal dari kata ijtihad yang berakar dari kata al-juhd  yang artinya  al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang artinya masyaqqah (kesulitan atau kesukaran)
Menurut al-Syaukani melihat bahwa ijtihad secara umum memiliki makna yang sangat luas, mencakup segenap pencurahan dya intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan atau permasalahan yang sukar,
Secara terminologi ushul fiqh secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan hukum syarak,
Ijtihad dalam hukum islam ialah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan solusi hukum suatu permasalahan sesuai dengan hukum syara’

Dari itu ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kemampuan,[1] atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.”[2]
 Dengan kata lain ijtihad itu adalah Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan keputusan hukum, ini berarti bahwa banyak kemampuan yang dituntut untuk melakukan ijtihad. Kemampuan-kemampuan itu :
·         Mengetahui nash al-qur’an dan hadist.
·         Mengetahui masalah ijma’ dan masalah-masalah yang ditetapkan hukumnya melalui ijma’
·         Mengetahui bahasa arab sebagai dasa memahamai al-qur’an dan hadist.
·         Mengetahui ilmu  ushul fiqih, karena ilmu ini menjadi dasar ijma’.
·         Mengetahui nasikh-nasikh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkakn dalil mansukh.
·         Mengetahui kemaslahatan berdasarkan pertimbangan akal sehat.

Analisis :
      Setuju , karna dalam menentukan suatu hukum dalam kehidupan ini kita perlu melakukan suatu cara atau mentode dalam mengambil keputusan yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Maka harus melakkukan ijtihad sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Hadist, dalam memecahkan suatu masalah yang memyebabkan keresahan di dalam kehidupan, sehingga sangatlah diperlukan yang namanya ijtihad.

B.     Hukum Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudiari, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a.       Wajib ‘Ain yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah , dan  masalah itu hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
b.      Wajib Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid lain telah gugur
c.       Sunnah yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang terjadi. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.
                        Menurut Al-Syaukani berpendapat bahwa dia membagi hukum ijtihada atas empat, yaitu:
a.       Fardu ‘ain, ijtihad dihukumi fardu ‘ain apabila seseorang mujtahid menghadapi masalah satu atau dua hal:
-          Ketika masalah langsung terjadi pada diri mujtahid itu sendiri, yang ia belum mengetahui hukumnya,
-          Ketika seorang mujtahid ditanya tentang suatu masalah yang mendesak, yang seandainya ditangguhkan jawabannya, masalah itu akan segera selesa idengan membawa akibat tertentu
b.      Fardu kifayah apabila seseorang mujtahid menghadapi dua hal:
-          Ketika mujahid di tanya tentang suatu masalah yang mendesak, tetapi bersamanya ada mujtahid lain. Kalau salah seorang dari mereka telah memberikan jawaban, maka bebaslah mereka semuanya dari dosa. Akan tetapi, kalau masalah itu tidak diberikan jawabannya oleh seseorang pun diantara mereka,  maka mereka semua berdosa.
-          Ketika terdapat keraguan hukum atas suatu masalh yang dihadapi oleh dua mujtahid yang memiliki kesamaan jalan pikir, keduanya wajib melakukan ijtihad. Jika salah seorang telah memberikan jawabannya, maka bebaslah keduanya dari dosa, tetapi kalaau keduanya tidak memberikan jawaban, maka keduanya menanggung dosa
c.       Nadb (sunnat), ijtihad menjadi sunnat hukumnya apabila dilakukan oleh mujtahid dalam salah satu dua hal:
d.      Berijtihad tentang hukum suatu yang peristiwa yang belum terjadi
Memberikan fatwa terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi
      Bertolak dari kaidah-kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum membangun perguruan tinggi yang menjdi sarana untuk menghasilkan mujtahid adalah fardu kifayah pula seperti mlakukan ijtihad. Pandangan al-Syaukani bahwa hukum ijtihad dalam suatu masyarakat muslim adalah fardu kifayah yang merupakan pandangan yang dapat diterima[3]
Ijtihad bertujuan menghasilkan hukum syara’. Setiap  peristiwa  yang terjadi tentu ada dan harus ada hukumnya, sedangkan nash Al-Qur’an maupun hadist terbatas jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan ijtihad sebagai alat penggali hukum.
Ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang qoth’i atau tidak ada dalilnya sama sekali. Bagi peristiwa yang sudah ada yang  tidak ada nashnya sama sekali, caranya adalah dengan  cara qiyas,istihsan, ‘urf dan lain-lain.
إِذَا حَكَمَ الٌحَا كَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمٌ أَ صَا بَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِ ذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمٌ أَ خْطَأَ فَلَهُ أَ جْرً
Artinya:  “jika seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia mendaptkan dua pahala, apabila ia menghukum, dan berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala “. (HR.Bukhori dan Muslim).
Analisis :
Hukum yang digunakan dan diterima oleh masyarakat adalah fardu kifayah. Bahwa ijtihad merupakan suatu kebutuhan yang senantiasa diperlukan pada setiap masa yang dimana dalam  menentukan suatu hukum dapat diterima oleh masyarkat dan sesuai dengan ketentuan dan pedapat para ulama’.
C.    Kedudukan dan Fungsi ijtihad
1.      Kedudukan ijtihad
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis.Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadis.Allah SWT berfirman:Artinya:”Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu
2.      Fungsi ijtihad

Imam syafi’I ra. (150-204 H)dalam kitabnya Ar-risalah pernah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya .
      Menurut Satria Efendi, pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
      Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil       hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Selanjutnya Satria menjelaskan bahwa ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
-          Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
-          Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya.
Analisis :
Ijtihad mempunyai kedudukan setelah Al-Qur’an dan hadist, karena ijtihad dilakukan apabila  hukum suatu masalah tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Yang dimana dalam mengambil suatu keputusan tidak keluar dari syariat islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Dan fungsi dari ijtihad itu untuk mempermudah kita dalam  menemukan suatu solusi atau pemecahan dari suatu masalah yang dihadapi masyarkat.

D.    Objek Ijtihad
Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.
1.      Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.
2.      Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama


E.     Macam-Macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan dalil syara’
2)      Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’

Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu
1.      Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang dihadapi.
2.      Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan diterapkan.


F.     Syarat –Syarat Ijtihad
1.      Mengetahui al-kitab (Al-Qur’an) dan sunnah, ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad, menurut salah seorang mufassir dan ahli fiqh Maliki, jumlah ayat al-Qur’an yang harus di hapal ialah 500 ayat sedangkan dalam pengetahuan sunnah harus mengetahui sebanyak-banyaknya , salah satu pendapat menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui 500 hadits beserta yang menyangkut tentang hadits sendiri. menurut al- syaukani harus sendiri cendrung tidak membatasi hanya dalam jumlah 500 ayat,bahkan bagi orang yang berfikiran jernih dan penalaran yang sempurna akan dapat pula mengeluarkan hukum  dari ayat-ayat tentang cerita.
 Jumlah hadis yang harus diketahui mujtahid ada yang mengatakan harus 3000 buah adapula yang mengatakn harus 1200 buah
2.      Mengetahui ijmak, sehingga tidak bertentangan dengan ijmak itu sendiri. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetaui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.[4]
3.      Mengetahui bahasa arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Menurut al-syaukani seorang mujtahid harus menguasai seluk-beluk bahasa arab secara sempurna sehingga ia mengetahui makna-makna yang terkandung didalam al-qur’an dan sunnah Nabi saw. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh sepakat bahwa syarat ijtihad untuk menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa arab secara baik dan benar, sebab bahasa arab adalah bahasa al-Qur’an dan hadits, seseorang tidak mungkin akan dapat mengeluarkan hukum dari dua sumber hukum itu kalau tidak mengetahui bahasa arab. Sementara ulama, seperti ‘ Abd al-Wahhab Khallaf menempatkan pengetahuan tentang bahasa arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.[5]  
4.      Mengetahui ilmu ushul fiqh, menurut al-Syaukani, ilmu ushul fiqh penting diketaui oleh seorang mujtahid karena dari ilmu inilah diketahuitentang dasar-dasar dan cara-cara seorang mujtahid dalam berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode dan cara yang benar pula yang dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh. Segenap ulama melihat bahwa ushul fiqh merupakan suatu cabang ilmu yang penting dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya.
5.      Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-syaukani, pengertian tentang nasikh dan mansukhpenting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh,[6] baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Dari kajian diatas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar ushul fiqh yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang memiiki syarat-syarat untuk itu secara lengkap, seseorang ahli fiqh yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut dapat juga melakukan ijtihad tetapi hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.

Analisis : yang dapat melakukan ijtihad adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tetapi dapat juga melakukan ijtihad walaupun belum mencapai atau memenuhi syarat-syarat yaitu hanya terbatas pada bidang tertentu, yang diketahui secara luas dan mendalam. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti mengetahui tentang al-qur’an dan sunnah, ijmak, mempunyai pengetahuan tentang bahasa arab dan ushul fiqh, kami setuju dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berijtihad sebagaimana alasan yang kami kemukakan diatas

G.    Tingkatan Ijtihad
Adapun tingkatan-tingkatan mujtahid adalah sebagai berikut:
Menurut Ulama ushul fiqh kontemporer , Muhammad Abu  Zahrah tingkatan mujtahid ada empat, yaitu sebagai berikut:
1.      al-Mujtahid fi al-syar atau al- Mujtahid al- Mustaqill
Mujtahid Mutlak atau Mustaqil, yaitu apabila mujtahid yang telah memiliki                      persyaratan ijtihad  yang  telah ditentukan  lalu ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’ dengan berdasarkan hasil kajiannya sendiri tanpa terikat kepada mazhab apapun. Bahkan ia menjadi mazhab tersendiri, seperti Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambali. Nama lain bagi mujtahid ini adalah mujtahid fard (perorangan).
2.      al- Mujtahid al- Muntasib
Mujtahid Muntasib Yaitu yang mempunyai persyaratan ijtihad  dan melakukannya sungguh-sungguh,tetapi dalam berfikir dan melakukan ijtihad dia masih menggabungkan diri dan mengambil kepada suatu mazhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh mazhab itu, sekalipun demikian pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam mazhab tersebut.
3.      al- Mujtahid fi al- madzhabih
Mujtahid Fil al-Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengikuti imam mazhabnya secara kosekuen, tetapi dalam masala-masalah yang belum ditetapkan oleh imam mazhab hukumnya, mujtahid pada peringkat ini berupaya melakukan ijtihad untuk mendapatkan solusi hukumnya. Namun pada masalah-masalah yang terdapat dua pendapat yang diriwayatka dari imam mazhabnya, maka ia akan memilih yang paling tepat untuk diterapkan ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan kemaslahatan.
4.      al- Mujtahid al- Murajjih
orang yang mentarijih yaitu yang dalam menggali dan menetapkan hukum suatu     perkara  didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat ) dari pendapat imam-imam mazhabannya. Jadi, mujtahid pada peringkat ini tidak berupaya untuk menginstinbatkan hukum dari sumber-sumbernya, tetapi hanya sekedar menguatkan suatu pendapat dari sejumlah pendapat yang di riwayatkan dari seseorang imam mazhab, dengan mengunakan metode tarjih.
Menurut pandangan Al-Syaukani , tingkatan ijtihad yaitu sebagai berikut:
1.      Dikatakan mujtahid adalah ahli fiqh yang mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan hukum syara’ yang bersifat zhanni,
2.      Berpengetahuan tentang Al- Qur’an dan sunnah, mengetahui masalah ijmak, berpengetahuan tentang bahasa arab, mengetahui usul fiqh, dan mengetahui nasikh dan mansukh.
3.      Tidak boleh bertaklid kepada siapapun dalam masalah agama,.
 Mayoritas ulama, yang terdiri dari imam mazhab yang empat dan para imam ahl-al bait sepakat melarang taklid kepada pendapat mereka, dan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan sunnah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah
Menurutnya tingkatan mujtahid di bagi menjadi empat, yaitu:
1.      Orang yang mengetahui kitab Allah (Al-Qur’an), sunnah Rasul-Nya, dan ucapan para   sahabat. Atas dasar itu ia mampu memberikan solusi hukum atas peristiwa yang dihadapi dalam masyarakat.
2.      Mujtahid muqayyzad (yang terbatas), mengetahui fatwa, ucapan, sumber dan metode ijtihad yang diikutinya, bahkan ia mampu berijtihad dalam menghadapi masalah baru yang belum ditemukan solusinya dari imam yang diikutinya, sehingga tidak memungkinkan mengikuti ijtihad imamnya. Akan tetapi tetap mengikuti metode ijtihad dan memberikan fatwa atas dasar metode tersebut, tidak hanya itu ia juga menghimbau agar mengikuti mazzhab imamnya.
3.      Mujtahil al-madzhab (dalm satu mazhab), mengetahui dalil-dalil dan fatwa imam,dan tidak mau keluar dari apa yang telah digariskan oleh imam yng diikutinya dan menghubungkan dirinya dengan mazhab tersebut,
4.      Kelompok orang yang menghubungkan dirinya kepada suatu mazhab, mengetahui fatwa mazhab tersebut,dan memantapkan dirinya sebagai muqqalid dalam mazhab,menyebut Al-Qur’an dan sunnah dalam suatu masalah hanya untuk mendapatkan berkahnya, bukan sebagai dasar argumentasi hukum.
Al- Suyuti, Ibn al-Shalah, dan al-Nawwi
Membagi tingkatan ijtihad menjadi lima, yaitu:
1.      al- mujtahid al-mustaqil, yaitu mujtahid yang membangun fiqh atas dasar metode dan kaidah tersendiri
2.      al-mujtahid al-muthalaq ghair al-mustaqill, yaitu oarang yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad, tetapi tidak memiliki metode tersendiri dalam melakukan ijtihad, ia melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah digariskan oleh seorang imam dari imam-imam mazhab.
3.      al-mujtahid al-muqqayadatau al-mujtahid al-Takhrij, yaitu seseorang yang telah memiliki syarat-syarat berijtihad, mampu menggali hukum dari sumber-sumbernya, tetapi tidak mau keluar dari dalil-dalil dan pandangan imamnya.
4.       Mujtahid al-Tarjih, yaitu ahli fiqh yang berupaya menjaga mazhab imamnya, mengetahui seluk-beluk mazhab imamnya dan mampu mentarjih pendapat yang kuat dari imam dan pendapat yang terdapat pada mazhabnya.
5.       Mujtahid al-Fatya, yaitu ahli fiqh yang berupaya menjaga mazhabnya, mengembangkannya, mengetahuinya dan mengetahui seluk-beluknya.

Analisis: banyak sekali pendapat yang mengungkapkan mengenai tingkatan ijtihad, kami setuju dengan berbagai pendapat tersebut karena pada intinya bahwa ijtihad itu adalah untuk mendapatkan sebuah pemecahan masalah terhadap masalah yang sukar atau sulit dihadapi, begitu juga tingkatan dari ijtihad ini yaitu hanya untuk memecahkan suatu masalah serta ijtiad dilakuakan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya agar sesuai dengan masalah yan dihadapi.


[1] Lihat Ibn Manzhural-fariqi h.133-5.
[2] Al-Syaukani,Irsyad, h.250
[3] Al-Syaukani,konsep ijtihad al-syaukani,(jakarta:logos,1999), h.125
[4] Pandangan al-syaukani tentang kedudukan ijmak
[5] ‘Abd al-Wahhab Khallaf,UIF, h.218
[6] Al-syaukani,irsyad, h. 252

No comments:

Post a Comment

Entri Populer