A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
menurut bahasa berasal dari kata :
إِ
جْتَهَدَ – يَجْتَهَدِ – إِ جْتِهَا دًا
Artinya: “mengerjakan
sesuatu dengan sungguh-sungguh.”
Para ahli ushul fiqh merumuskan pengertian ijtihad yaitu.,
بَذْلُ ا لْجُهْدِ لِلْوُ صُوْ لِ اِ لَى الْحُكْمِ
الشَّرْ عِيِ مِنْ دَ لِيْلِ تَفْصِيْلى مِنَ ا لْاَ دِ لَّةِ ا لشَّرْ عِيَّةِ
Atrinya : “pencurahan
segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara’
pula”
Ijtihad berasal dari kata ijtihad yang berakar
dari kata al-juhd yang artinya al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau
dari kata al-jahd yang artinya masyaqqah (kesulitan atau kesukaran)
Menurut al-Syaukani
melihat bahwa ijtihad secara umum memiliki makna yang sangat luas, mencakup
segenap pencurahan dya intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu
kegiatan atau permasalahan yang sukar,
Secara terminologi ushul
fiqh secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan
ketentuan hukum syarak,
Ijtihad dalam hukum islam
ialah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan solusi
hukum suatu permasalahan sesuai dengan hukum syara’
Dengan kata lain ijtihad itu adalah Pencurahan
segala kemampuan untuk mendapatkan keputusan hukum, ini berarti bahwa banyak
kemampuan yang dituntut untuk melakukan ijtihad. Kemampuan-kemampuan itu :
·
Mengetahui
nash al-qur’an dan hadist.
·
Mengetahui
masalah ijma’ dan masalah-masalah yang ditetapkan hukumnya melalui ijma’
·
Mengetahui
bahasa arab sebagai dasa memahamai al-qur’an dan hadist.
·
Mengetahui
ilmu ushul fiqih, karena ilmu ini
menjadi dasar ijma’.
·
Mengetahui
nasikh-nasikh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkakn dalil
mansukh.
·
Mengetahui
kemaslahatan berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Analisis :
Setuju , karna
dalam menentukan suatu hukum dalam kehidupan ini kita perlu melakukan suatu
cara atau mentode dalam mengambil keputusan yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan
Hadist. Maka harus melakkukan ijtihad sebagai sumber hukum ketiga setelah
Al-Quran dan Hadist, dalam memecahkan suatu masalah yang memyebabkan keresahan
di dalam kehidupan, sehingga sangatlah diperlukan yang namanya ijtihad.
B. Hukum
Ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Khudiari, bahwa hukum
ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a.
Wajib
‘Ain yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah , dan masalah itu hilang sebelum hukumnya
diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin
mengetahui hukumnya.
b.
Wajib
Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid
lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu
tersebut, maka kewajiban mujtahid lain telah gugur
c.
Sunnah
yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang terjadi. Orang yang
berijtihad disebut mujtahid.
Menurut Al-Syaukani berpendapat
bahwa dia membagi hukum ijtihada atas empat, yaitu:
a.
Fardu ‘ain, ijtihad
dihukumi fardu ‘ain apabila seseorang mujtahid menghadapi masalah satu atau dua
hal:
-
Ketika masalah langsung
terjadi pada diri mujtahid itu sendiri, yang ia belum mengetahui hukumnya,
-
Ketika seorang mujtahid
ditanya tentang suatu masalah yang mendesak, yang seandainya ditangguhkan
jawabannya, masalah itu akan segera selesa idengan membawa akibat tertentu
b.
Fardu kifayah apabila
seseorang mujtahid menghadapi dua hal:
-
Ketika mujahid di tanya
tentang suatu masalah yang mendesak, tetapi bersamanya ada mujtahid lain. Kalau
salah seorang dari mereka telah memberikan jawaban, maka bebaslah mereka
semuanya dari dosa. Akan tetapi, kalau masalah itu tidak diberikan jawabannya
oleh seseorang pun diantara mereka, maka
mereka semua berdosa.
-
Ketika terdapat keraguan hukum
atas suatu masalh yang dihadapi oleh dua mujtahid yang memiliki kesamaan jalan
pikir, keduanya wajib melakukan ijtihad. Jika salah seorang telah memberikan
jawabannya, maka bebaslah keduanya dari dosa, tetapi kalaau keduanya tidak
memberikan jawaban, maka keduanya menanggung dosa
c.
Nadb (sunnat), ijtihad
menjadi sunnat hukumnya apabila dilakukan oleh mujtahid dalam salah satu dua
hal:
d.
Berijtihad tentang hukum
suatu yang peristiwa yang belum terjadi
Memberikan fatwa terhadap suatu peristiwa yang belum
terjadi
Bertolak dari kaidah-kaidah tersebut
dapat disimpulkan bahwa hukum membangun perguruan tinggi yang menjdi sarana
untuk menghasilkan mujtahid adalah fardu kifayah pula seperti mlakukan ijtihad.
Pandangan al-Syaukani bahwa hukum ijtihad dalam suatu masyarakat muslim adalah
fardu kifayah yang merupakan pandangan yang dapat diterima[3]
Ijtihad
bertujuan menghasilkan hukum syara’. Setiap
peristiwa yang terjadi tentu ada
dan harus ada hukumnya, sedangkan nash Al-Qur’an maupun hadist terbatas
jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan ijtihad sebagai alat penggali
hukum.
Ijtihad
hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang
qoth’i atau tidak ada dalilnya sama sekali. Bagi peristiwa yang sudah ada
yang tidak ada nashnya sama sekali,
caranya adalah dengan cara
qiyas,istihsan, ‘urf dan lain-lain.
إِذَا حَكَمَ الٌحَا كَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمٌ أَ
صَا بَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِ ذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمٌ أَ خْطَأَ فَلَهُ أَ
جْرً
Artinya: “jika
seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad kemudian ijtihadnya itu benar, maka
ia mendaptkan dua pahala, apabila ia menghukum, dan berijtihad dan ternyata
ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala “. (HR.Bukhori dan Muslim).
Analisis :
Hukum yang digunakan dan
diterima oleh masyarakat adalah fardu kifayah. Bahwa ijtihad merupakan suatu
kebutuhan yang senantiasa diperlukan pada setiap masa yang dimana dalam menentukan suatu hukum dapat diterima oleh
masyarkat dan sesuai dengan ketentuan dan pedapat para ulama’.
C. Kedudukan
dan Fungsi ijtihad
1.
Kedudukan ijtihad
Ijtihad menempati
kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis.Dalilnya
adalah Al-Qur’an dan Hadis.Allah SWT berfirman:Artinya:”Dan dari mana saja kamu
keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu
2.
Fungsi ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204
H)dalam kitabnya Ar-risalah pernah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran
pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang
pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang
hukumnya .
Menurut Satria Efendi, pernyataan
Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh
Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk
berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama
halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan
lainnya.
Fungsi
ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan
Hadis.
Selanjutnya
Satria menjelaskan bahwa ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
-
Menguji kebenaran hadis
yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai
upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak
angsung dapat dipahami.
-
Berfungsi
untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan
Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting,
karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak
terbatas jumlahnya.
Analisis :
Ijtihad mempunyai
kedudukan setelah Al-Qur’an dan hadist, karena ijtihad dilakukan apabila hukum suatu masalah tidak ditemukan di dalam
Al-Qur’an dan Hadist. Yang dimana dalam mengambil suatu keputusan tidak keluar
dari syariat islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Dan fungsi dari ijtihad
itu untuk mempermudah kita dalam menemukan suatu solusi atau pemecahan dari
suatu masalah yang dihadapi masyarkat.
D. Objek Ijtihad
Menurut Imam
Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil
yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian.
1.
Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina,
mencuri dan lain-lain.
2.
Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan
pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada
nash-nya dan ijma’ para ulama
E. Macam-Macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi
ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1) Ijtihad
al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan
dalil syara’
2) Ijtihad
syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’
Ijtihad dari segi obyek
kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi menjadi dua yaitu
1. Ijtihad
Istinbathi
Adalah ijtihad yang
dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat dalam meneliti dan
menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya. dan hasil dari ijtihad
tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk setiap permasalahan yang
dihadapi.
2. Ijtihad
Tathbiqi
Jika ijtihad istimbathi dilakukan
dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad Tathbiqi dilakukan
dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad istinbathi akan
diterapkan.
F. Syarat –Syarat Ijtihad
1.
Mengetahui al-kitab
(Al-Qur’an) dan sunnah, ini merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad, menurut salah seorang mufassir dan
ahli fiqh Maliki, jumlah ayat al-Qur’an yang harus di hapal ialah 500 ayat
sedangkan dalam pengetahuan sunnah harus mengetahui sebanyak-banyaknya , salah
satu pendapat menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui 500 hadits
beserta yang menyangkut tentang hadits sendiri. menurut al- syaukani harus
sendiri cendrung tidak membatasi hanya dalam jumlah 500 ayat,bahkan bagi orang
yang berfikiran jernih dan penalaran yang sempurna akan dapat pula mengeluarkan
hukum dari ayat-ayat tentang cerita.
Jumlah
hadis yang harus diketahui
mujtahid ada yang mengatakan harus 3000
buah adapula yang mengatakn harus 1200 buah
2.
Mengetahui ijmak, sehingga
tidak bertentangan dengan ijmak itu sendiri. Akan tetapi, seandainya dia tidak
memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetaui ijmak ini tidak menjadi
syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.[4]
3.
Mengetahui bahasa arab,
yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan
benar. Menurut al-syaukani seorang mujtahid harus menguasai seluk-beluk bahasa
arab secara sempurna sehingga ia mengetahui makna-makna yang terkandung didalam
al-qur’an dan sunnah Nabi saw. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh sepakat bahwa
syarat ijtihad untuk menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa arab secara
baik dan benar, sebab bahasa arab adalah bahasa al-Qur’an dan hadits, seseorang
tidak mungkin akan dapat mengeluarkan hukum dari dua sumber hukum itu kalau
tidak mengetahui bahasa arab. Sementara ulama, seperti ‘ Abd al-Wahhab Khallaf
menempatkan pengetahuan tentang bahasa arab sebagai syarat pertama bagi seorang
mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.[5]
4.
Mengetahui ilmu ushul
fiqh, menurut al-Syaukani, ilmu ushul fiqh penting diketaui oleh seorang
mujtahid karena dari ilmu inilah diketahuitentang dasar-dasar dan cara-cara
seorang mujtahid dalam berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban
suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan
sunnah dengan menggunakan metode dan cara yang benar pula yang dijelaskan dalam
ilmu ushul fiqh. Segenap ulama melihat bahwa ushul fiqh merupakan suatu cabang
ilmu yang penting dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya.
5.
Mengetahui nasikh (yang
menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-syaukani, pengertian
tentang nasikh dan mansukhpenting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum
yang telah mansukh,[6] baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Dari kajian diatas
terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar ushul fiqh yang lain,
memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang memiiki syarat-syarat
untuk itu secara lengkap, seseorang ahli fiqh yang belum memenuhi syarat-syarat
tersebut dapat juga melakukan ijtihad tetapi hanya terbatas dalam bidang
tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.
Analisis : yang dapat melakukan
ijtihad adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tetapi dapat
juga melakukan ijtihad walaupun belum mencapai atau memenuhi syarat-syarat
yaitu hanya terbatas pada bidang tertentu, yang diketahui secara luas dan
mendalam. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti mengetahui tentang
al-qur’an dan sunnah, ijmak, mempunyai pengetahuan tentang bahasa arab dan
ushul fiqh, kami setuju dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
berijtihad sebagaimana alasan yang kami kemukakan diatas
G. Tingkatan
Ijtihad
Adapun tingkatan-tingkatan mujtahid adalah sebagai
berikut:
Menurut Ulama
ushul fiqh kontemporer , Muhammad Abu Zahrah tingkatan mujtahid ada
empat, yaitu sebagai berikut:
1.
al-Mujtahid fi al-syar
atau al- Mujtahid al- Mustaqill
Mujtahid Mutlak atau Mustaqil, yaitu apabila mujtahid
yang telah memiliki persyaratan
ijtihad yang telah ditentukan lalu ia melakukan ijtihad dalam berbagai
hukum syara’ dengan berdasarkan hasil kajiannya sendiri tanpa terikat kepada
mazhab apapun. Bahkan ia menjadi mazhab tersendiri, seperti
Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambali. Nama lain bagi mujtahid
ini adalah mujtahid fard (perorangan).
2.
al- Mujtahid al- Muntasib
Mujtahid Muntasib Yaitu yang mempunyai
persyaratan ijtihad dan melakukannya sungguh-sungguh,tetapi
dalam berfikir dan melakukan ijtihad dia masih menggabungkan diri dan mengambil
kepada suatu mazhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh mazhab itu, sekalipun
demikian pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam mazhab tersebut.
3.
al- Mujtahid fi al-
madzhabih
Mujtahid Fil al-Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam
melakukan ijtihad ia mengikuti imam mazhabnya secara kosekuen, tetapi dalam
masala-masalah yang belum ditetapkan oleh imam mazhab hukumnya, mujtahid pada
peringkat ini berupaya melakukan ijtihad untuk mendapatkan solusi hukumnya.
Namun pada masalah-masalah yang terdapat dua pendapat yang diriwayatka dari
imam mazhabnya, maka ia akan memilih yang paling tepat untuk diterapkan
ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan tuntunan kemaslahatan.
4.
al- Mujtahid al- Murajjih
orang yang mentarijih yaitu yang dalam menggali dan
menetapkan hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih
kuat ) dari pendapat imam-imam mazhabannya. Jadi, mujtahid pada peringkat ini
tidak berupaya untuk menginstinbatkan hukum dari sumber-sumbernya, tetapi hanya
sekedar menguatkan suatu pendapat dari sejumlah pendapat yang di riwayatkan
dari seseorang imam mazhab, dengan mengunakan metode tarjih.
Menurut pandangan
Al-Syaukani , tingkatan ijtihad yaitu sebagai berikut:
1.
Dikatakan mujtahid adalah
ahli fiqh yang mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan hukum
syara’ yang bersifat zhanni,
2.
Berpengetahuan tentang Al-
Qur’an dan sunnah, mengetahui masalah ijmak, berpengetahuan tentang bahasa
arab, mengetahui usul fiqh, dan mengetahui nasikh dan mansukh.
3.
Tidak boleh bertaklid
kepada siapapun dalam masalah agama,.
Mayoritas ulama,
yang terdiri dari imam mazhab yang empat dan para imam ahl-al bait sepakat
melarang taklid kepada pendapat mereka, dan mengembalikannya kepada Al-Qur’an
dan sunnah.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah
Menurutnya tingkatan
mujtahid di bagi menjadi empat, yaitu:
1.
Orang yang mengetahui
kitab Allah (Al-Qur’an), sunnah Rasul-Nya, dan ucapan para sahabat. Atas dasar itu ia mampu memberikan
solusi hukum atas peristiwa yang dihadapi dalam masyarakat.
2.
Mujtahid muqayyzad (yang
terbatas), mengetahui fatwa, ucapan, sumber dan metode ijtihad yang diikutinya,
bahkan ia mampu berijtihad dalam menghadapi masalah baru yang belum ditemukan
solusinya dari imam yang diikutinya, sehingga tidak memungkinkan mengikuti
ijtihad imamnya. Akan tetapi tetap mengikuti metode ijtihad dan memberikan
fatwa atas dasar metode tersebut, tidak hanya itu ia juga menghimbau agar
mengikuti mazzhab imamnya.
3.
Mujtahil al-madzhab (dalm
satu mazhab), mengetahui dalil-dalil dan fatwa imam,dan tidak mau keluar dari
apa yang telah digariskan oleh imam yng diikutinya dan menghubungkan dirinya
dengan mazhab tersebut,
4.
Kelompok orang yang
menghubungkan dirinya kepada suatu mazhab, mengetahui fatwa mazhab tersebut,dan
memantapkan dirinya sebagai muqqalid dalam mazhab,menyebut Al-Qur’an dan sunnah
dalam suatu masalah hanya untuk mendapatkan berkahnya, bukan sebagai dasar
argumentasi hukum.
Al- Suyuti, Ibn al-Shalah,
dan al-Nawwi
Membagi tingkatan ijtihad
menjadi lima, yaitu:
1.
al- mujtahid al-mustaqil, yaitu mujtahid yang membangun fiqh atas dasar metode dan
kaidah tersendiri
2.
al-mujtahid al-muthalaq ghair al-mustaqill, yaitu oarang yang telah memenuhi syarat-syarat
berijtihad, tetapi tidak memiliki metode tersendiri dalam melakukan ijtihad, ia
melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah digariskan oleh seorang imam
dari imam-imam mazhab.
3.
al-mujtahid al-muqqayadatau al-mujtahid al-Takhrij, yaitu seseorang yang telah memiliki syarat-syarat
berijtihad, mampu menggali hukum dari sumber-sumbernya, tetapi tidak mau keluar
dari dalil-dalil dan pandangan imamnya.
4.
Mujtahid
al-Tarjih, yaitu ahli fiqh yang berupaya menjaga mazhab imamnya, mengetahui
seluk-beluk mazhab imamnya dan mampu mentarjih pendapat yang kuat dari imam dan
pendapat yang terdapat pada mazhabnya.
5.
Mujtahid al-Fatya,
yaitu ahli fiqh yang berupaya menjaga mazhabnya,
mengembangkannya, mengetahuinya dan mengetahui seluk-beluknya.
Analisis: banyak sekali pendapat
yang mengungkapkan mengenai tingkatan ijtihad, kami setuju dengan berbagai
pendapat tersebut karena pada intinya bahwa ijtihad itu adalah untuk mendapatkan
sebuah pemecahan masalah terhadap masalah yang sukar atau sulit dihadapi,
begitu juga tingkatan dari ijtihad ini yaitu hanya untuk memecahkan suatu
masalah serta ijtiad dilakuakan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya agar
sesuai dengan masalah yan dihadapi.
No comments:
Post a Comment