BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling
sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah
dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan
memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca
indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah
memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
Secara
umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling
mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi
penciptaannya berasal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang
kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya,
semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah.
Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.
Konsekuensi
logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu
yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali
kepada Allah.
Dimensi jasad,
mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang
bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah
insting keberagama, yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia.
Manusia yang
mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada pengetahuan
kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal dirinya
sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Pada tataran
ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi hubungan
langsung antara manusia dengan Allah.
Manshur
al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah formulasi komunikasi
ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan
persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang
sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi
satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu.
Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini dalam teori tasawufnya
Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul.
Dalam makalah
ini, akan dibahas lebih jauh tentang hulul dalam khususnya dalam konsep Mansur
Al Hallaj. Dan juga akan dijelaskan bagaimana pendapat para ulama tentang
masalah hulul agar dalam mendalami masalah hulul kita tidak terjerumus kepada
kesalahan pemahaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Sejarah Singkat Hulul
Doktrin al-Hulul adalah salah satu
tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham al-Ittihad.
Konsepsi al-Hulul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Masur al-Hallaj yang
meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia
sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
Hulul
secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hulul berarti berhenti atau
diam. Adapun secara harfiah dapat didefinisikan Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifatsifat
kemanusiaannya melalui fana.
Menurut Abu Nasral-Tusi
dalam Al- Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
didalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Kalimat
utuhnya: “Sesungguhnya Allah memilih jasad (tertentu) dan menempatinya
dengan makna ketuhanan (setelah menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”.
Ini bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj.
Menurut Abu
Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman
spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih
kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulul dibangun di atas landasan
teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari perkataan Ilah yang berarti tuhan,
sedangkan lahut berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkatan nas yang
berarti manusia; sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Ini dapat dilihat
dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya atthawasin.
Menurut
Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19)
menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam
ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian
jiwanya dan kesulitan ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut aqidah dan
kepercayaan itu ialah al-Hallaj yang telah dihalalkan darahnya oleh para alim
ulama hingga ia terbunuh.
B.
Kedudukan
dan Tujuan Hulul
Al-Hulul berkedudukan paling tinggi
dalam bertasawuf karena untuk melalui ini seorang yang bertasawuf harus terlebih
dahulu melaui beberapa tingkatan atau tahapan sebelumnya yaitu:
1.
Syariat
(dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll);
2.
Tarekat,
dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan
tertentu;
3.
Hakekat,
dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4.
Ma'rifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Jika seseorang merasa
mengalami wahdatul wujud (al-Hulul) dengan tanpa melalui tingkatan-tingkatan
sebelumnya maka orang tersebut akan mendapat kesesatan.
Al-Hallaj
mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih
tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa
menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulul Allah pada diri
Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri
al-Hallaj bersifat sementara, melibatkan emosi dan spiritual serta tidak
fundamental dan permanen.
Al-Hallaj
tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak
disadarinya (syathahat). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia
hanya tidak menyadarinya selama syathahat. Adapun tazkiyat al-nafs adalah
langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan
dengan Allah dan mengalami al-fana' dan al- nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs
adalah lahut manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulul dari nasut
Allah.
Berdasarkan
beberapa uraian diatas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap
dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah
mencapai persatuan secara batin. Untuk itu, Hamka mengatakan, bahwa alHulul
adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini
terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh
perjalanan hidup kebatinan.
C.
Konsep
Ajaran Hulul Mansyur Al- Hallaj
1.
Sketsa
Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansyur Al Hallaj
Manshur al-Hallaj lahir di Persia
(Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain
ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj. Ayahnya bekerja sebagai pemital
kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.
Ketika masih
kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil,
al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal
al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang
sufi yang bernama Sahl al-Tustari.
Karena
pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang
berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia
dapat berkelana, bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan
pada masa itu.
Menginjak usia
20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada
Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad
untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu
al-Junaid alBaghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia
peroleh dari memintal wol. Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut alHallaj
karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan
Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.
Selanjutnya,
al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang
lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran
Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi
seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang
tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami
pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian
terkenal dengan istilah hulul.
Pada ujung
proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut,
al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini
sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan
lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat
itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan
latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari
tuduhan membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain,
al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah.
2.
Konsep Hulul Mansyur Al Hallaj
Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman
tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan
berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi
yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality).
Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu,
mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan
Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal
yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.
Ajaran tasawuf
al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil
melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.
Menurut
al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat
ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga
memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia
terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan
kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan
wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebut
al-lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut
al-nasut.
Berdasarkan
pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau
persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya
antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.
Bersatunya
antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala
manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan
sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan
dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah
terjadi pengalaman hulul.
Untuk
melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan
membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini,
maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat
al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah
hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Tatkala
peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari
lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kata
al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu
menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya,
al-Hallaj tidak mengaku demikian.
Dalam
pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut
al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan ungkapan ini,
semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya
dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya
kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah,
seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya
: “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.
Seandainya apa
yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai
perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang
sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena
apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa,
ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan
masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan
Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang
dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen
sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat
al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke
dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat
kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah
Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia
bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami
ajaran alHallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia
tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar,
dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan.
3.
Konsep
Taraqi dan Tanazul dalam Hulul
Taraqi menurut bahasa artinya adalah
menaiki atau naik. Sedangkan dalam Tasawuf taraqi berarti usaha seseorang dalam
mendekatkan diri kepada Allah swt. Dimana seorang sufi melalui maqam-maqam yang
harus dilalui tergantung kepada ajaran yang ia tempuh. Sedangkan tanajul
menurut bahasa adalah turun. Dalam tasawuf turun ini dimaknai dengan turunnya
Alllah swt kepada tubuh tertentu ketika tubuh itu telah sempurna dalam
melakukan usaha-usaha penyucian diri atau ketika jiwa itu telah suci. Kemudian
Allah mendiami tubuhnya dan menjelma dalam tubuh tersebut. Akan tetapi kejadian
ini hanya sementara tidak selamanya.
Perlu diketahui bahwasanya penyatuan atau hulul itu bukan antara
ruh manusia dengan ruh Allah. Akan tetapi antara nasut Allah dengan lahut
makhluk, karena menurut para sufi Allah itu memiliki sifat lahut dan sifat
nasut. Begitu pula dengan manusia yang mempunyai sifat lahut dan sifat
nasut.
4.
Persamaan
dan Perbedaan Hulul Kaum Nasrani tentang Nabi Isa dengan Pengalaman Hulul Al
Hallaj
Persamaan konsep hulul antara
al-Hallaj dengan nabi Isa adalah mereka sama-sama mempercayai bahwa antara Ruh
manusia denga sifat nasut Allah bisa bersatu, dan Allah bisa menjelma didalam
tubuh manusia. Tidak bisa dielakkan juga bahwasanya al-Hallaj mengambil konsep
hulul ini kepada kaum Nashrani.
Walaupun al-Hallaj mengambil konsep hulul kepada kaum Nashrani,
akan tetapi ada perbedaan yang sangat fundamental antara keduanya. Pada
kepercayaan kaum Nashrani, mereka berpendapat bahwasanya Allah telah mengambil
tubuh nabi Isa dan menjelma dalam tubuhnya sehingga hilang sifat kemanusiaan
dari nabi Isa dan Isa menjadi Tuhan. Dan sifat hulul pada ajaran Nashrani itu
menyatakan bahwasanya hulul-nya Tuhan dalam tubuh nabi Isa bersifat tetap dan
permanen untuk selamanya.
Berbeda dengan hulul-nya al-Hallaj, pada hulul-nya al-Hallaj tidak
menghilangkan sifat kemanusiaan al-Hallaj dan sifat kemanusiaannya itu tetap
ada ketika dia tidak sedang mengalami hulul. Dan sifat hulul-nya tidak permanen
hanya sementara saja dan itu pun dalam waktu yang singkat. Adapun dia mengaku
sebagai Tuhan itu karena ungkapan-ungkapan yang keluar ketika al-Hallaj
mengalami hulul, atau biasa disebut dengan syatahat.
D.
Penjelasan
Para Ulama Tentang Hulul
Para
Ulama berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan oleh al-Hallaj, mereka menganggap
kafir kepada al-Hallaj karena berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang
mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan syatahat. Hal itu terjadi karena para
Ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka
tidak menyetujui konsep itu karena menurut para Ulama Manusia tidak mungkin
bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin menempati manusia.
Selain itu juga mereka menganggap bid’ah tentang konsep tersebut,
karena al-Hallaj mengambil konsep tersebut dari kaum Nashrani atau dari konsep
Isa as.
Penolakan para Ulama terhadap konsep hulul yang disampaikan oleh
al-Hallaj dan corak tasawufnya yang bersifat inklusif tidak bisa dipisahkan
dari perjalanan hidup al-Hallaj. Penolakan yang disampaikan lebih dikarenakan
karena al-Hallaj mengambil konsep hulul dari agama Kristiani atau kaum Nashrani
dan mencari kebenaran tidak hanya di dunia Islam akan tetapi diluar agama Islam
juga dia mencari kebenaran. Mungkin ini adalah alasan dimana para Ulama tidak
setuju dengan konsep tersebut dan kekhawatiran mereka terhadap kepercayaan
al-Hallaj tentang Islam karena mungkin pemikiran dia terkontaminasi oleh
ajaran-ajaran selain Islam dan ditakutkan dapat menghancurkan akidah dan
kepercayaan umat Islam.
Dalam tinjauan
al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulul, ittihad atau wahdah al-wujud secara
hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan
menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi
Isa dan ibunya Maryam sekaligus. Hulul dan wahdah al-wujud ini sama sekali
bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku
sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi
gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan
hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut.
Al-Imam
al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulul
atau wahdah al-wujud jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena
bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam
sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan
hulul dan wahdah al-wujud Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau
menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.
Demikian pula
dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas
secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang
diyakini kaum Nasrani bahwa al-lahut (Tuhan) menyatu dengan al-nasut (makhluk),
yang kemudian diadopsi oleh faham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan
kekufuran.
Di antara karya
al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulul dan
ittihad adalah al-Munqidz Min adl-Dlalal dan al-Maqshad al-Asna Fî Syarh Asma’
Allah al-Husna. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham
kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihya ‘Ulumiddin.
Dalam tinjauan
Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulul dan ittihad adalah sesuatu yang tidak
logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah
sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan
antara dzat dengan sifat.
Dalam
pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa
nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun
hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas
berbeda. Sifat al-Hayat (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah
dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda.
Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan,
minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.
Imam al-Ghazali
menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat
yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan
berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti
sifat-sifat Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hulul secara etimologis berasal dari kata
hall-yahull-hulul berarti berhenti atau diam. Adapun secara harfiah dapat
didefinisikan Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifatsifat kemanusiaannya melalui fana.
2. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara
batin. Untuk itu, Hamka mengatakan, bahwa alHulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan
seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
3. Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah
konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu
setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua
sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).
Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu,
antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat.
4. Persamaan konsep hulul antara al-Hallaj dengan
nabi Isa adalah mereka sama-sama mempercayai bahwa antara Ruh manusia denga
sifat nasut Allah bisa bersatu, dan Allah bisa menjelma didalam tubuh manusia.
Tidak bisa dielakkan juga bahwasanya al-Hallaj mengambil konsep hulul ini
kepada kaum Nashrani.
5. Para Ulama berbeda pendapat dengan apa yang
disampaikan oleh al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada al-Hallaj karena
berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan
ungkapan syatahat. Hal itu terjadi karena para Ulama tidak sependapat dengan
al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka tidak menyetujui konsep itu karena
menurut para Ulama Manusia tidak mungkin bisa bersatu dengan Allah atau Allah
tidak mungkin menempati manusia.
B. Saran-saran
Sebagaimana
telah kami uraikan diatas, begitu panjang tentang akhlak seorang guru. Dari
uraian tersebut diharapkan bisa menambah pengetahuan kita tentang akhlak sorang
guru.
Akan
tetapi, masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Besar harapan kami
terhadap kritik dan saran serta bimbingan khususnya dari dosen agar makalah ini
menjadi lebih bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab. 2006. Menyingkap
Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif alQur’an. Jakarta: Lentera
Hati, Cetakan VIII.
Harun Nasution. 1973. Falsafah dan
Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Azyumardi Azra, et. Al., 2002.
Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, Cetakan X.
M. Abd. Hadi W., dalam pengantar
Saleh Abdul Sabur. 1976. Tragedi al-Hallaj. Bandung: Pustaka.
Simuh. 1997. Tasawuf dan
Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Nata Abuddin, Drs., H., MA. 1996.
Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada.
Admin. 2010. Makalah Al- Hulul Dalam
Tasawuf (online)
http://bamumin.wordpress.com/2010/09/03/makalah-al-hulul-dalam-tasawuf/
Jum’at, 13 Mei 2011
Admin. 2007. Abu Mansyur Al Hallaj
adalah Sufi yang Membawa Konsep Hulul dalam Tasawuf (online)
http://pedangkebajikan.blogspot.com/
2007/08/abu-yazid-al-busthami-abu-mansur-al.html Jum’at, 13 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment